Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28 - Hello, Goodbye

DOUBLE UUUUPPPPPP!

UYEAHHH!!

BACA SAMPAI AKHIR YAAAA, DAN SEMOGA KALIAN TIDAQ MENYESAL. HUEHEUEHEHHEEEE.

🍁🍁🍁

"Az, aku sakit perut. Pergi sama Oppa aja, nggak papa ya?" Namira berjalan tergopoh menghampiri Azrina yang sudah menunggu didepan pintu, Lee Jun Ki bahkan sudah masuk ke mobilnya.

"Loh? Kamu gak papa? Sakit kenapa? Maag nya kambuh?"

"Nggak kok, udah sana pergi. Cuma mules aja. Mungkin belom setoran pagi, hehehe"

Palsu.

Semua tawa dan sakit yang ditampilkan Namira, semuanya palsu. Setelah memastikan Azrina pergi dengan Jun Ki, wajah aslinya pun kembali. Raut kecewa, kesal, dan menertawai diri sendiri, semuanya menyatu di wajahnya.

Hyungsik yang melihatnya langsung menangkap gurat kesedihan itu. Tanpa sepatah kata, laki-laki itu menyambar pergelangan tangan Namira yang melangkah gontai ke kamarnya. Menariknya melesat pergi, juga meninggalkan rumah.

Tidak peduli dengan teriakan dan umpatan Namira padanya, Hyungsik menggenggam lengan Namira semakin kencang. Sampai gadis itu ia dudukkan di jok penumpang dalam mobilnya.

"YAAA! bisa tidak kau berhenti membuat masalah denganku?!"

Hyungsik bungkam, memilih untuk fokus menyetir.

"Kau! Sudah kubilang jangan menyentuhku! Kau jangan samakan aku dengan perempuan-perempuan yang berkeliaran di sekitarmu! Dasar pria yang tidak mengerti hukum!"

Hyungsik membiarkan saja Namira mencak-mencak.

"Kau tahu kan! Aku sudah sering katakan padamu! Bersentuhan dengan seseorang yang tidak dianjurkan, dosanya berat! Tahu!"

"AKU YANG TANGGUNG DOSANYA!" tercekat Namira mendengar suara Hyungsik meninggi disampingnya.

"Aku yang akan menanggungnya. Kau diam dan ikuti saja kemana aku akan membawamu. Mulai saat ini kau tidak boleh bersedih lagi." Hyungsik mengulangi ucapannya, kali ini lebih pelan dan cenderung lembut. Tidak seperti biasa.

Tanpa sadar, cairan hangat menembus pertahanan di matanya.

Dengan suara bergetar, Namira kembali bersuara.

"Aku bodoh, ya. Aku terlalu bodoh ... Sejak awal kau menyuruhku berhenti..." Hyungsik diam mendengarkan.

"Nyatanya, aku menipu diriku sendiri. Aku pura-pura baik-baik saja, padahal aku sendiri tahu luka ku sebesar apa."

"Kupikir diriku mampu. Kukira aku akan baik-baik saja melihat mereka karena aku benar-benar sudah berhasil menghapusnya dari sini, ternyata semuanya ... Dusta ... Selama ini.... Aku hanya menolak kenyataan bahwa sebenarnya, Jun Ki tidak pernah hilang dari sini—"

"Sakit, Sik ... Disini sakit sekali," berulang kali Namira mengetuk-ngetuk dadanya keras. Kerudungnya semakin basah oleh tetesan air yang membentuk jejak abstrak disana.

Hyungsik masih diam saja, membiarkan Namira meluapkan segalanya. Dia tahu, selama ini gadis itu sudah kesulitan mengontrol emosi jiwanya dan tiba saatnya kini ia mulai kelelahan bersandiwara.

"Aku jahat, ya? Aku pantas menerima hukuman. Aku ... Aku ... Gadis yang buruk, karena tidak rela melihat sahabatku sendiri bahagia. Hyungsik-aaaaah ... Mengapa semuanya terasa semakin sulit ... "

Beberapa saat Namira terdiam, Hyungsik pun sama. Hanya napas mereka yang saling menderu bersama deru knalpot mobil Hyungsik yang terpacu agak kencang. Namira berulang kali menghela napas berat dan menghembuskannya keras seolah ingin membuang segala bebannya disana.

Di tempat lain, Azrina dan Jun Ki sudah tiba pada tujuan mereka. Jarak yang tidak terlalu jauh membuat mereka memilih untuk berjalan kaki saja ketika Namira mohon diri. Masih merasa khawatir dengan keadaan Namira, Azrina tidak banyak bicara sampai Jun Ki menegurnya.

"Ada masalah? Kenapa mendung di langit terlihat pindah ke wajah rembulan ini?" Azrina meraih tangan Jun Ki yang hendak menangkup wajahnya. "Tidak apa-apa, Oppa. Hanya memikirkan Namira ... "

"Biarkan saja, Namira sudah dewasa. Palingan hanya nyeri datang bulan atau maag karena makannya tidak benar."

"Maag nya Namira cukup parah, lho. Oppa. Dia bisa menjerit kesakitan sampai kehabisan tenaga."

"Aku tahu. Nanti setelah belanja kita sekalian belikan obat untuknya. Sudah jangan dipikirkan," Lee Jun Ki mengusap pelan puncak kepala istrinya yang terbalut hijab.

Aku tahu.

Ah. Azrina hampir lupa, lelakinya ini sudah berhubungan lama dengan Namira, jauh sebelum mereka bertemu dalam sebuah ikatan. Bahkan Jun Ki mungkin mengenal Namira lebih baik dari mengenal istrinya sendiri.

Ada rasa yang aneh menjalari tubuh Azrina kala menyadari hal itu. Mungkinkah ia cemburu?

"Memangnya Oppa tidak khawatir dengan Namira? Dia kan tanggung jawab Oppa juga."

"Khawatir. Tapi dia bukan istriku. Jika prioritasku ada disini sekarang, kenapa aku harus mengkhawatirkan yang lain?" Lee Jun Ki tersenyum merangkul tubuh istrinya sambil satu tangannya mendorong kereta belanja mereka.

"Mmm. Kalau Namira istrinya Oppa, ceritanya akan berbeda?"

"Tapi kan dia bukan. Sudahlah. Ini, daging kambing. Kau butuh berapa banyak?" Jun Ki mencoba mengajak Azrina kembali fokus pada tujuan mereka berbelanja ketika tiba pada bagian daging-dagingan.

"Jadi Namira mau dijadiin istri dulu, begitu?" sayangnya Azrina masih tak ingin berganti topik.

"Memangnya boleh? Wah. Istriku benar-benar berhati mulia sampai rela membagi suaminya," gurau Jun Ki menggoda. Lama-lama dia gemas saja mendengar ocehan tak berdasar istrinya itu.

"Iiihh. Serius! Oppa kalau dijodohkan dengan Namira juga tidak menolak, kan?"

"Perlukah kita membahas ini untuk membuat Nasi Briyani, Sayang?"

"Hehe ... Iseng aja, Oppa. Semacam truth or dare mungkin?"

"Well ... Kalau belum bertemu denganmu aku mengenal Namira lebih dulu, mungkin aku tidak menolak," sesaat ekspresi Azrina lesu, meski berusaha disembunyikannya. "Tapi, untungnya aku bertemu kamu duluan. Permata yang paling bersinar diantara semua permata yang berkilauan. Kau satu-satunya, Sayang. Selamanya akan begitu. Jadi jangan pernah berpikir yang aneh-aneh seperti tadi. Ini perintah. Oke?"

Azrina tersenyum lembut. Relung hatinya menghangat. Lee Jun Ki merangkul bahunya semakin erat. Mungkin laki-laki jangkung itu akan membenamkan Azrina di dadanya yang bidang andai mereka sedang tidak berada di tempat umum saat ini. Azrina tahu suaminya memang setulus itu. Dan semua gurauan yang dilontarkannya tadi memang hanya gurauan belaka.

Namun, tidak dengannya. Azrina serius mengangkat persoalan ini. Mencoba mencari titik terang yang mungkin akan sedikit membuatnya lega jika suatu hari dirinya tak lagi mampu menjadi permata kebanggaan yang bersinar bagi Lee Jun Ki.

Lensanya kini membentuk kristal-kristal lembut, bersiap meloloskan diri dari kedua kelopak matanya.

Tidak
Jangan disini.
Jangan merusak suasana.

Percuma. Sebelum ia berhasil mensugesti diri, tetesan hangat itu lebih dulu membasahi pipinya.

"Aduh, istriku yang lembut hatinya ... Sampai terharu begitu. Bersyukurlah, Sayang. Karena suamimu adalah lelaki yang konsisten pada satu pilihan. Setidaknya, kamu akan terbebas dari ancaman poligami yang menjadi mimpi buruk sebagian istri."

Azrina tertawa kecil.

"Kenapa tiba-tiba jadi poligami?"

"Tadi siapa yang mulai ya? Please deh."

"Aku cuma tanya-tanya soal Namira. Bukan soal itu."

"Ihiy. Takut, ya?"

"Oppanyaaa... Jangan-jangan Oppa juga mau kan? Iya kan? Ayo ngaku!"

"Ahh ... Seharusnya ini kesempatan emas, selagi kamu memberi lampu hijau. Ck! Sayang sekali ... "

Azrina memicingkan mata, jarinya bersiap menyerang titik kelemahan Jun Ki di antara tulang rusuk dan pinggulnya.

"hahaha. Gogjongma, mama. Aku sudah bilang tadi. Mimpi buruk itu tidak akan terjadi pada kita, insya Allah."

"Kenapa Oppa seyakin itu?"

"Karena aku sudah bertekad dan berjanji pada diriku sendiri, jauh sebelum ini," jawab Jun Ki mantap.

"Oh ya? Seniat itu?" ujar Azrina penuh ketakjuban.

"Setidaknya, sebagai anak korban poligami. Aku tidak akan membuat anak-anakku kelak merasakan penderitaan yang sama denganku dulu," ungkap Jun Ki santai sambil terus berjalan mengitari area toko dengan barang belanjaannya.

Dalam diam, Azrina membenarkan. Sembari mengucap lafaz penuh kesyukuran, betapa dirinya benar-benar beruntung dipertemukan dengan lelaki yang kini berstatus sebagai suaminya dan menjalankan perannya sesempurna yang ia bisa. Meski memang tak ada manusia yang sempurna, namun masa lalu yang kelam membuat Jun Ki menancapkan tekad kuat dalam dirinya untuk tidak mengulangi kesalahan orang tuanya dulu kepada anak-anaknya di masa depan.

Masa depan....
Masih adakah aku di masa depanmu, Sayang?

Azrina membatin dalam haru, sedu sedan. Langkah kecilnya sedikit berlari agar sejajar dengan langkah kaki Jun Ki yang besar-besar.

Sekuat tenaga ia berusaha melupakan. Faktanya, ancaman bahwa masa depan mungkin tidak akan ia jumpai terasa begitu nyata.

Sampai aku melahirkan bayiku, Rabb... Sedikit lagi, biarkan aku bertahan sebentar lagi.
Hanya sampai saat itu ...
Aku mohon ...

Batinnya menjerit, tanpa suara.

🍁

"Sudah lebih baik?" tanya Hyungsik pada Namira, mobil mereka masih melaju tanpa tujuan yang jelas.
Namira mengucek kedua matanya lalu mengangguk.

Tersenyum disertai tawa yang lirih. Hyungsik ikut tersenyum melihatnya.

"Aku jahat, ya, kalau terus seperti ini? Ibarat sepatu, aku hanya flat shoes, tapi memaksa untuk hak yang tinggi. Akhirnya keseleo."

Di titik ini Namira menyadari, dirinya kalah telak pada pertempurannya sendiri.

"Jangan melihatku seperti itu, Sik! Aku merasa menjijikkan. Aku tahu, aku jahat ... Tapi bisakah kau sedikit prihatin? Aku juga korban disini ..."

"Aku tidak mengatakan kau jahat. Seseorang tidak bisa diberi cap penjahat hanya karena rasa yang salah tumbuh tanpa aba-aba di dalam hatinya," Namira mengulum bibir mendengar pembelaan Hyungsik. Gadis itu tahu, ia sedang dihibur.

Sepenuhnya dia memang salah, sebab rasa yang tumbuh di tempat yang tidak seharusnya, tidak akan mungkin bisa disalahkan sekalipun hal itu memang kesalahan. Pemiliknya lah yang kemudian menjadi sasaran semua tuduhan dan rasa sakitnya.

Namira menyadari hal itu. Ini saatnya ia mengucap salam perpisahan pada nama yang enggan beranjak dari ruang hatinya, dan sekali lagi menyambut rasa sakit yang akan menemani harinya entah sampai kapan. Mungkin ini balasan untuknya karena tetap memaksa, meski kemungkinan itu sama sekali tidak ada.

"Kau tidak jahat, Nami. Kau tidak salah." Seperti tahu apa yang memenuhi benak Namira, Hyungsik kembali angkat bicara. "Kau hanya terlalu fokus pada titik itu. Titik yang sebenarnya sudah pergi dari hatimu dan hanya meninggalkan bekasnya saja. Bekas yang cukup dalam sampai membuatmu tidak melihat titik lain di sisimu yang mungkin lebih besar. Cobalah membuka hatimu, berbenah dan mulai mengisinya kembali dengan sesuatu yang mungkin berada dekat denganmu." Kata-kata Hyungsik yang sangat tidak biasa. Juga tatapan matanya pada Namira yang seolah menyorotkan harapan, redup, lembut namun terasa hangat.
Namira bahkan terpaku, seolah tersihir mendengarnya. Tidak ada perlawanan, atau pembelaan. Sebuah ruang kecil di hatinya seolah baru saja menumbuhkan tunas baru, terlalu kecil hingga hampir tidak terasa meski diraba.

Setelah beberapa saat, barulah ia kembali pada fokusnya, "woooh, Hyungsik-ssi, baru kali ini ucapanmu bermakna, daeeebak!" menyodorkan acungan dua ibu jarinya ke arah Hyungsik, serta senyum yang kembali cerah, menjadi tanda dirinya sudah baikan, dan itu membuat Hyungsik lega.

*yihhiiiiii... Mulmed nya di play ya geeengsss

Hyungsik menghentikan mobilnya pada sisi jalanan yang agak luas.
"Ayo turun," ajaknya sembari membuka sabuk pengaman.

Kening Namira mengkerut, saat ini ia berada di keramaian tengah kota yang biasa ia lihat dalam drama ketika sepasang kekasih pergi berkencan. Namira ingin protes awalnya, tapi menurut saja. Jiwa dan raganya hari ini sedang sangat lelah untuk memberontak.

"Kau butuh sesuatu yang manis untuk mengembalikan dirimu seperti semula. Tunggu disini," Hyungsik menyuruhnya duduk pada satu bangku di sebuah kedai eskrim yang terlihat sangat menggiurkan.

"Serius itu orang ngajak makan es krim di musim dingin?" gumam Namira, tapi selanjutnya ia senyum-senyum sendiri. Ia juga heran, mengapa Hyungsik berubah manis hari ini? Padahal tadi pagi mereka masih bertikai tanpa sebab. Mungkin langit sedang baik padanya. Memberi pelangi ditengah dukanya.

Tidak lama, Hyungsik datang dengan dua buah es krim di genggamannya.

"Hm." Hyungsik menyodorkan satu cone es krim vanilla pada Namira.

Nyaris terbahak Namira melihatnya. Seingat Namira, kacamata hitamnya itu, tadi tidak ada. Oh ya! Namira lupa kalau Hyungsik adalah seorang yang fashionable dan sok superstar. Namira sering mengejeknya seperti itu, karena ketika keluar rumah, banyak atribut yang sengaja dipakainya agar tidak dikenali. Padahal dia juga tidak terkenal, karena dia hanyalah seorang mahasiswa seni kuliner, bukan personil boy group kegemaran Namira.

"Kau tertawa?" telisik Hyungsik.

Namira menggeleng, "tidak" tapi justru semakin tidak kuasa menahan tawanya. "Kau tidak salah membeli es krim di musim dingin?" tanya Namira serius.

"Memangnya ada aturan kalau makan es krim harus di musim panas? Kalau seperti itu, kenapa kedai ini tetap buka? Dasar bodoh! Sudah makan saja! Jangan menolak gratisan, itu bukan gayamu."

Namira diam saja tanpa merespon.

"Kenapa? Kau salah tingkah karena duduk bersama pria yang lebih tampan dari siapa itu, idolamu? Sehun?"

"Fiuhhh! Jauh! Telingaku sampai berdengung mendengarnya, tahu! My baby Sehun tidak boleh nista karena disejajarkan denganmu!"

"Oho! Ahjumma ini, bahkan Sehun lebih muda darimu!"

"Berarti kau lebih tua! HA RA BEO JI!"

"Heh ... Begini-begini pesona Jun Ki hyeong juga kalah denganku. Hanya dia sedikit lebih kaya saja."

"Tapi, kekayaan tidak selalu menjamin kebahagiaan, menurutku."

"Assa! Aku suka jawabanmu, persis seperti orang yang baru saja turun pangkat dari nyonya besar Tuan Muda Lee Jun Ki menjadi gadis tuna wisma yang sedang menumpang," kekehan Hyungsik hampir-hampir membuat Namira menimpukkan es krim ke wajahnya. Sayangnya, ia baru saja menghabiskan es krim di tangannya. "Apa tidak sebaiknya kau pindah dari kamar hyeong ke kamar pelayan di belakang?" puas sekali Hyungsik tertawa mengejeknya.

"Yaaa! Aku ini masih tamu mereka, tahu! Tamu spesial!"

"M-m-m ... " Hyungsik menggelengkan kepala, juga jari telunjuknya yang teracung dengan gerak ke kanan kiri,"... tamu tidak tahu diri yang berniat berganti posisi dengan pemilik rumahnya"

"Ck! Kenapa juga aku ikut denganmu sekarang? Kalau tahu hanya akan dibully," wajah Namira cemberut.

"Omona! Es krim mu sudah habis? Dasar beruang kutub! Tadi saja mempertanyakan es krim dan musim dingin, ternyata kau makan es krim seperti menenggak air dingin di musim panas," mendengus kesal, Hyungsik berdiri lagi memesan es krim ke dua untuk Namira.

"Lah? Siapa yang minta tambah?" celetuk Namira pada dirinya sendiri, tapi tentu saja dia tidak akan menolak rezekinya kali ini.

"Ayo, pulang. Tuan Muda dan istrinya pasti sedang mencarimu," ajak Hyungsik. "Kau mau es krim untuk dibawa pulang?"

"Mmmmm ... Bolehkah? Aku ingin membawa beberapa sebagai seorang tamu yang baik."

Keduanya tergelak di mejanya.

"Siapa yang bayar?" tanya Hyungsik lagi.

"Kamu, lah. Siapa lagi. Aku mana ada uang," jawab Namira mengendikkan bahu.

"Heeesyyy!" Hyungsik hampir mengumpat.

"Apa tidak sebaiknya kau memasang tarif untuk waktumu selama menjadi tamu mereka disini?"

"Usul bagus! Haruskah aku begitu? Ah. Rasanya tidak perlu ... Bahkan tanpa uang pun, aku masih bisa makan."

"ITU KARENA AKU YANG MEMBERIMU MAKAN, BODOH!"

"Permisi, Tuan. Sesama orang bodoh tidak perlu saling menghina. Kau sendiri yang mau membuat makanan untukku, kalau kau lupa," Namira sekarang berdiri dan berkacak pinggang.

"BERARTI KAU HARUS MEMBAYARKU MULAI SEKARANG"

"Eh? Ehe. Hyungsik Oppa... Jui-nim... Omoooo... Kau tampan sekali hari ini..." mendadak Namira memuji Hyungsik habis-habisan. Biar pemuda itu senang dan melupakan soal tarif memakan masakannya.

Mereka tiba di rumah setelah Azrina dan Jun Ki selesai dengan makan siang mereka. Azrina berhasil memasak Nasi Briyani khas timur tengah itu meski tanpa bantuan siapa-siapa. Kecuali suaminya yang sesekali merecokinya.

Sempurna, Jun Ki makan dengan lahap dan tak henti memujinya.

Namira datang dengan wajah riang gembira tanpa beban. Tidak tahu bahwa ia telah membuat dua orang mengkhawatirkannya sejak tadi.

Jun Ki langsung meloncat ke arah mereka dengan introgasi yang membuat Namira memutar mata, lelah.

"Kan bisa mengabari dulu!" Protes Jun Ki.

"Katanya kau tadi sakit! Kenapa malah keluar rumah?! Kau tidak tahu sejak tadi sudah membuat khawatir?"

Meski tanpa mengungkapkannya, Azrina bisa melihat kekhawatiran Jun Ki lebih besar darinya ketika tahu bahwa Namira tidak di rumah padahal tadi sedang sakit katanya.

Diam-diam Azrina menatap suaminya yang sedang mengomeli Namira itu, ia tahu. Ada rasa sayang yang besar untuk Namira disana. Meski berbeda dengan rasa sayang yang Jun Ki curahkan untuk dirinya, namun entah mengapa Azrina merasa itu tidak wajar. Ego nya seolah menolak jika suaminya juga menunjukkan rasa sayang pada Namira, meski ia tahu betul, rasa sayang itu banyak bentuknya.
Entahlah. Azrina mendadak tidak suka.
Bahkan dirinya pun keheranan. Berulang kali ia beristighfar dalam hati, memohon ampun atas prasangka buruk dan menyesali kekeruhan hatinya karena mendadak berubah posesif.

Entah oleh karena seolah-olah ia ingin memiliki suaminya, utuh, Hanya untuk dirinya saja. Atau karena terbiasa menjadi satu-satunya orang yang peduli pada Namira, hingga ketika semua orang memberi perhatian pada gadis itu, Azrina merasa terabaikan dan tidak lagi berarti untuk Namira. Dan Azrina tidak suka itu. Karena takut benar-benar kehilangan sahabat terbaiknya, satu-satunya.

Azrina ikut menghampiri. "Sudah baikan? Ayo makan dulu ... Itu obatmu, tadi Oppa belikan."

Namira jadi merasa bersalah telah membohongi mereka.

"Ah! Oppa! Ini, aku bawakan ini untukmu, katamu kau suka, kan?" Namira menyodorkan sekotak es krim berbentuk kue pada Jun Ki. "Anggap saja itu permintaan maaf untukmu, jangan marah, ya?" tambahnya. Kepercayaan dirinya kembali seperti Namira biasanya.

"Apa itu? Es Krim?!" suara Azrina meninggi. Namira sampai tersentak mendengar Azrina seperti itu.

"Jangan dimakan, Oppa!" cegah Azrina sedang Jun Ki memang sudah memperlihatkan ekspresi kecewa sejak awal Namira menyodorkan kotak eskrim nya. Hyungsik hanya menikmati kebingungannya dalam diam.

"Kenapa? Ini halal kok. Tidak beracun juga." Namira juga meninggi.

"Bisa jadi racun kalau Oppa yang makan," tukas Azrina. Namira sontak menutup mulutnya dengan kedua tangan. Meraih bungkusan es krim itu, Azrina meletakkannya di atas meja.

"Kalau tahu Oppa alergi dingin, kenapa kamu belikan es krim?"

"Oh?!" Namira terpaku dalam keterkejutan.

Tidak. Dia tidak tahu fakta itu.

"A ... Aku ... Aku tidak tahu ... Yang kutahu, Oppa justru sangat suka es krim," tergugu, Namira mencoba menjelaskan. Sesungguhnya dirinya begitu malu saat ini. Niat awalnya ingin memperlihatkan pada Azrina bahwa dia pun tahu segalanya tentang Lee Jun Ki, akhirnya harus berakhir seolah Azrina sedang menuntutnya di persidangan.

"Waktu itu, Oppa tidak menolak saat ku ajak makan es krim, dan tidak ada reaksi apa-apa," rupanya Namira masih memiliki kekuatan untuk membela dirinya.

"Itu karena aku minum obat setelahnya," jawab Jun Ki ragu-ragu, Namira semakin terperangah.

Bagaimana bisa ia melewatkan satu hal besar yang bisa berakibat fatal?.

"Kau alergi dingin, Hyeong? Sejak kapan? Sepertinya dulu tidak."

Hyungsik juga sama terkejutnya. Dibalas anggukan kepala Jun Ki. "Sejak aku berlari di bawah hujan salju tanpa baju pelindung," jawab Jun Ki, tatapannya menerawang jauh pada masa itu.

"Oooh! Waktu kau pergi dari rumah presdir dan memutuskan untuk kembali kesini, ya? Aku ingat itu! Waaaahhh ... Hari itu padahal sedang terjadi badai salju," Hyungsik segera mengatupkan bibirnya setelah mendapatkan isyarat dari Jun Ki untuk tetap diam. Cerita bagian ini, tidak ada yang tahu dan sepertinya Jun Ki tidak ingin siapapun tahu.

Azrina menatap Jun Ki, menuntut penjelasan, dan dibalas kedipan mata Jun Ki yang dipahami Azrina sebagai janji, Jun Ki akan menceritakannya nanti.

"Tapi, dulu Oppa bilang, Oppa sangat suka es krim ... " kalimat Namira menggantung. Dulu yang dimaksudnya adalah dulu, saat mereka masih aktif berbalas pesan dalam hubungan palsu mereka.

"Itu ... " ragu-ragu Jun Ki melirik Azrina, "itu karena kupikir semua gadis pasti menyukai eskrim atau bunga. Jadi kukatakan saja aku suka. Agar komunikasi lebih lancar."

Ketiga orang yang mendengarnya langsung menangkap maksudnya. Sebab ketiganya memang sudah tahu soal chatting salah alamat itu.

"BHAK! Hyeong! Ternyata kau juga penebar modus ke setiap wanita!" Hyungsik yang pertama merespon. Azrina dan Namira masih berusaha merangkai satu demi satu kalimat Jun Ki hingga akhirnya menyoroti Jun Ki dengan tatapan mata tajam.

"Eh ... Tidak ya. Aku hanya modus pada satu orang. Itu juga karena saat itu kupikir modus pada calon istri tidak ada salahnya," gantian kini Jun Ki yang menjadi terdakwa di persidangan.

"Salahnya adalah, kau salah menyangka orang lain sebagai calon istrimu, hyung! Hahaha," Hyungsik tak bisa menahan tawanya. Ia terbahak sampai memegangi perutnya.

Azrina mengulum bibir, Jun Ki tak tahu bagaimana nasibnya sehabis ini. Sedang Namira terlalu merasa jengah hingga kehilangan muka dan memisahkan diri dari kericuhan yang dibuatnya sendiri.

"Bagaimanapun, modus dengan apapun alasannya memang tidak pernah dibenarkan." Suara Azrina, terdengar pelan tapi tegas. Membuat Jun Ki menelan ludah berat. Ia tahu, ada rasa kecewa yang ikut keluar bersama kalimat istrinya itu.

Ya, mau bagaimana lagi.

Kenyataannya, yang berlalu tak bisa diulang kembali.

Kedatangan seseorang membuat Jun Ki terbebas dari kecanggungan kali ini. Ia berjanji akan berterima kasih pada Ji Young yang muncul tanpa diundang di waktu yang tepat seperti ini.

"Ji Young-ah, wasseo?"

Bahkan Ji Young sendiri terkejut mendapatkan sambutan seperti itu dari Jun Ki. Biasanya pria itu selalu dingin padanya meski ia sudah bersikap seramah mungkin.

"Tumben kau menyambut baik, Oppa. Biasanya kau akan berkata "untuk apa kau kemari, bla bla bla"" sindir Ji Young. Jun Ki keki sendiri.

"Mmm ... Kau ingin apa kemari?" ketus Jun Ki mengulangi sambutannya.
Terlambat, semuanya sudah terlanjur tertawa.

"Hyungsik menjanjikan akan memasak menu istimewa untukku, aku datang menagih itu."

"Ah! Nuna, mian. Aku tidak memasak hari ini. Tapi kau datang di waktu yang tepat, hari ini ada hidangan istimewa dari istrinya hyung," Hyungsik menjawab cepat-cepat.

"Istri hyung? Istri palsunya maksudmu?" tanya Ji Young setengah mengoreksi. Dia belum tahu kedatangan Azrina yang memang mendadak. Dan setelah menoleh pada Jun Ki, baru saat itu ia sadar yang dimaksud Hyungsik adalah benar-benar istrinya Jun Ki, karena sosok asing yang baru pertama kali dilihatnya berdiri disisi Jun Ki. Sementara Azrina sepertinya sudah terbiasa mendengar semua orang menyebut Namira sebagai istri palsu dari suaminya. Dan itu tidak membuatnya terkejut lagi, karena sudah diakui Jun Ki lebih dulu.

"Aaah ... Ini yang namanya Azrina..." gadis itu mengulurkan tangan mengajak Azrina berkenalan. Azrina menyambutnya dengan senyum mengembang.

"Baek Ji Young, teman kecilnya Jun Ki."

"Teman kecil~~~" Hyungsik bersenandung menggoda. Tapi cepat-cepat dibungkam oleh Ji Young dengan menggigit bibir bawahnya dan mempelototkan matanya galak.

"Selamat datang, ya. Pastikan untuk selalu berbahagia bersama Oppa," pesan Ji Young tulus. Melihat istrinya Jun Ki adalah Azrina, perempuan anggun yang terasa hangat bahkan hanya ketika ditatap saja, Ji Young menyerah seketika itu juga. Seakan menyetujui bahwa hanya Azrina-lah wanita yang pantas menjadi bahagia dan membahagiakan Lee Jun Ki-nya. Bukan dirinya, apalagi Namira.

Mereka kini berpindah ke meja makan. Azrina dan Jun Ki hanya ikut duduk saja sambil sesekali menjelaskan apa yang dimasak Azrina siang ini.

Hyungsik juga berulang kali memuji masakan Azrina, padahal dirinya juga pandai memasak. "Enak sekali, ini lezaaat sekali! Aku pernah mencoba masakan seperti ini dari temanku di kampus, tapi tidak selezat ini! Wah!!" ia menyendokkan nasi ke mulutnya lagi dan kembali mengoceh sambil mengunyah nasinya. "Bagaimana caramu membuatnya, Kakak ipar? Boleh aku minta resepnya? Mmm? Mmm? Please..."

"HEH, JOROK. SELESAIKAN DULU MAKANANMU SEBELUM BERBICARA." lagi-lagi Hyungsik terkena omelan sang Tuan Muda.
Hyungsik mendelik lalu cemberut.

Ji Young terkekeh pelan lalu kembali mencuri-curi pandang ke arah Azrina. Tidak butuh waktu lama baginya untuk terkagum-kagum pada sosok Azrina. Dalam hati ia merasa lega. Akhirnya, Jun Ki yang malang menemukan bahagianya.
Itu membuat Ji Young turut gembira, meski bahagianya Jun Ki tak pernah datang dari dirinya.

Tidak lama, Namira muncul di tengah-tengah mereka. Rasa lapar dan bayangan Nasi Briyani yang idenya tercetus olehnya membuat Namira harus memutuskan urat malu untuk kembali bergabung bersama orang-orang ini lagi.

Namun menyadari kehadiran Ji Young, Namira mendadak malas. Apalagi setelah Ji Young melihatnya, "Ah, Namira. Kau masih disini? Kukira kau sudah pergi karena istri yang asli sudah kembali," Ji Young mengatakan itu dengan nada mengejek disertai tawa sinis yang menyebalkan sekali menurut Namira.

Demi apapun, hasrat Namira untuk merobek mulut nyinyir perempuan itu sama sekali belum hilang.

"Hati-hati dengannya, Az. Dia terlihat lembut seperti kapas, tapi mulutnya lebih tajam dari gigi-gigi piranha," Namira memperingatkan Azrina. Azrina justru tertawa. Meski tidak tahu ada masalah apa Ji Young dan Namira, Azrina bisa menebak keduanya tidak saling bercocokan.

"Hey hey. Sesama perempuan yang telah dicampakkan, kalian berharap apa bertengkar dihadapan sang permaisuri? Berharap menjadi selir?" Hyungsik dengan mulut yang tak kalah julidnya.

Azrina tertawa lagi, meski nampak jelas gurat kebingungan di wajahnya. Jun Ki menggenggam tangannya lembut, "Jangan dengarkan, tidak perlu dipedulikan. Mereka memang seperti itu kalau bertemu."

Namira misuh-misuh sendiri lantas segera mengambil makanannya dan makan dengan lahap. "Ya Allaaaah... Baru kali ini rasanya aku benar-benar makan makanan yang wajar," ucapnya syukur. Mulutnya masih penuh dengan butir-butir nasi yang berbentuk agak memanjang, khas beras basmathi, beras untuk makanan-makanan Timur Tengah, India dan sekitarnya yang dimasak dengan rempah dan daging kambing atau ayam.

"By the way, aku adalah dokter spesialis kandungan. Mungkin kalian sedang mencari program kehamilan yang baik dan terjamin keberhasilannya. Kalau mau, boleh datang ke rumah sakit tempat praktikku untuk konsultasi," Ji Young memperkenalkan diri sekali lagi.

"Pfft. Pencitraan," ketus Namira sinis yang ditanggapi Ji Young dengan picingan mata yang tak kalah sinis, "Apa masalahmu?!" begitu kira-kira kalimat yang keluar dari mata tajamnya.

Mata Azrina berbinar mendengar Ji Young menawarkan konsultasi padanya. Ia senang, sebab ia tak lagi harus kebingungan mencari dokter kandungan untuknya selama di Korea. Terlebih Ji Young adalah dokter kandungan wanita dan teman Jun Ki pula. Ini dirasa seperti rezeki bagi Azrina.

"Kau, kau tidak akan malpraktik jika pasienmu adalah istriku, kan?" tatapan Jun Ki menyorot Ji Young serius.
Baru saja Ji Young hendak menyangkal tuduhan Jun Ki, ponsel suami Azrina itu berdering, dan ia mohon diri menjawabnya. Tersisa Namira, Hyungsik, Ji Young dan Azrina di meja makan. Namun yang asyik mengobrol hanya dua dari mereka. Sesekali Hyungsik menyela, tapi Namira sama sekali tidak tertarik untuk ikut serta. Apalagi sebagian besar percakapan mereka masih tidak dimengertinya.

"Kakak Ipar sudah mengandung, Nuna. Kau terlambat." Hyungsik berujar malas.

"Oh ya?!" Jawab Ji Young antusias. "Chukkae! Sudah berapa usianya?"

"Sekitar 20 minggu."

"Kau beruntung bertemu denganku! Oh ya ampun, ini seperti jodoh! Sesuatu mengajakku kesini untuk menemui takdirku," Ji Young heboh sendiri. Hyungsik mengulangi ucapannya tanpa suara tapi dengan bibir yang dimiring-miringkan.

"Heu. Kau berlebihan." sela Hyungsik lagi.

"Terserah. Pokoknya, aku tunggu di tempat praktikku, ya!"

Azrina mengangguk riang. Sama riangnya dengan Ji Young yang entah mengapa jadi mudah sekali akrab dengan Azrina. Hyungsik juga masih berusaha meminta resep Briyani nya. Namira di sudut meja makan tertegun sendiri.

Lagi, untuk kesekian kali semua orang akan lebih menyukai Azrina dibanding dirinya. Ia sudah terbiasa...

🍁

"Tuan Muda, Dokter Han sudah berhasil kami temukan. Kemarin malam sudah tiba di Korea. Kalau bisa, anda mendengar penjelasannya sendiri terkait kasus Nona Tiffany."

Suara Paman Kim terdengar dari speaker ponsel Jun Ki.

Jun Ki tersadar kini, ia harus segera kembali pada pertarungannya mencari kebenaran, kehadiran Azrina sempat membuatnya lupa penyebab dirinya tetap berada di Korea sampai saat ini.

"Baik, Paman. Besok pagi kita menemuinya. Terima kasih atas kerja keras Paman."

Usai mohon diri, Jun Ki memutus sambungan teleponnya.
Sekarang ia bdrpikir bagaimana menyampaikan hal ini pada Azrina. .Besok pagi, ia mungkin akan sibuk dan tidak di rumah seharian.

Ji Young dan Azrina masih mengobrol ketika Jun Ki menghampiri mereka lagi. Sepertinya obrolannya semakin asyik seputar kehamilan dan bayi.
Secercah senyuman tergambar di wajah Jun Ki. Setidaknya tidak seperti dengan Namira, Ji Young menyambut baik istrinya.

"Sayang, nanti malam kita keluar, yuk," ajak Jun Ki pada istrinya.

"Kemana?" tanya Azrina. "Jalan-jalan saja, ke tempat wisata mungkin?" jawab Jun Ki lagi.

"Hyungsik, kau juga ikut ya. Double date!" gurau Jun Ki di akhirnya.

"Double date? Siapa?"

"Aku dan kau, siapa lagi."

"Hyung ... Aku masih normal ... Dan kau, itu. Kau memiliki istri, bahkan istrimu sedang hamil, tahu. Sempat-sempatnya berpikiran aneh." Hyungsik merengut. Ji Young terbahak.

"babo ya! Dasar bodoh. Maksud Oppa itu, double date, dia dan istrinya" jelas Ji Young, dihadiahi pujian dari Jun Ki, "Cerdas!"

"Lalu kau dan ... Siapa Oppa? Naega? Sirheo!" Ji Yeong terang-terangan menunjukkan ekspresi enggan jika disuruh berkencan dengan Hyungsik.

"Heing! Na do sirheo! Geundae, nugu-rang, Hyeong?" tanya Hyungsik penasaran seusai mengklarifikasi bahwa dirinya pun enggan dipasangkan dengan Ji Young.

Jun Ki mengendikkan dagu ke arah Namira, Hyungsik, Ji Young dan Azrina sontak menoleh kesana juga. Sedangkan Namira melihat mereka bergantian satu persatu dengan wajah polos tidak mengertinya.

"Astaga! Hyeong! Lebih baik kalian pergi berdua saja sana!"

"Tidak perlu malu, anak muda. Cukup ulangi saja apa yang kalian lakukan tadi siang. Kalian berkencan, kan?"

Kali ini Namira yang bereaksi, memekik keras dengan suara melengking. "TIDAK MUNGKIN, LAH! AKU MASIH WARAS!"

Semuanya tersentak kaget dengan sanggahan Namira.
Tentu saja, Azrina dan Jun Ki tahu hal itu tidak mungkin. Toh, Hyungsik dan Namira tidak berada pada satu frekuensi yang sama yang bisa mempermudah mereka saling terhubung bahkan jikapun mereka mulai tertarik satu sama lain. Dan Namira masih cukup waras dengan jati dirinya sebagai seorang muslimah. Apa maksudnya kencan-kencan itu? Kekanakan sekali candaan Jun Ki tersebut. Namira, tidak bisa menerima.

"Haha, iya maaf maaf. Aku hanya bercanda. Pokoknya nanti malam kita keluar, ya! Semuanya harus ikut!"

"Ji Young-ssi, kau mau bergabung?" Azrina mengajak Ji Young serta. Sebenarnya Ji Young dengan senang hati ingin ikut, tapi malam ini ia masih memiliki jadwal praktik jadi dengan berat hati Ji Young pamit pulang saja.

"Kau bisa kan, Sayang?" tanya Jun Ki lagi memastikan pada Azrina. Azrina mengangguk meyakinkan. Meski sebenarnya ia sangat lelah, tapi binar bahagia dan antusias yang tergambar di wajah suaminya membuatnya tidak kuasa menolak karena takut akan membuat dia kecewa.

"Maaf ya, karena besok aku akan sibuk sekali seharian. Jadi aku bayar dengan bersenang-senang malam ini. Oke?"

"Call!" seru Azrina mantap yang berbuah pelukan erat kesenangan dari suaminya.

🍁

Setelah berdiskusi panjang sebelum berangkat, mereka akhirnya memutuskan tujuan mereka adalah Namsan Seoul Tower. Namira bersorak antusias. Ini akan menjadi kunjungan keduanya ke ikon wisata di pusat kota Seoul itu. Dulu bersama teman-teman rombongan kampusnya sempat dibawa kesana oleh guide tour mereka. Dan Namira selalu menyukai salah satu Landmark negara Korea Selatan yang seringkali dilihatnya dari layar kaca itu.

Seoul Tower berjarak sekitar 1,3 kilometer dari Itaewon. Tidak begitu jauh dari rumah mereka menuju kesana dengan mobil.
Saat tiba disana, mereka akan disuguhi pemandangan indah kota Seoul di malam hari dari puncak menara. Ada pula museum Teddy Bear yang membuat Azrina tidak berhenti tersenyum senang.

Di tempat inilah, banyak sepasang kekasih memasang gembok yang bertuliskan nama mereka di pagar-pagar menara. Hyungsik dengan ahli berlari kesana kemari, menunjukkan beberapa gembok yang pernah ia kaitkan disana. Ada banyak, dengan nama perempuan yang berbeda-beda.
Maksudnya, dia ingin menyombongkan diri di depan Namira bahwa dia memiliki mantan pacar berbaris-baris. Sayangnya Namira justru melihatnya sebagai playboy tidak bermodal yang kencannya ke satu tempat saja.

Dan tanpa bermaksud apa-apa kecuali iseng saja Jun Ki menulis namanya dengan Azrina pada satu gembok yang ternyata sudah dia siapkan. Sejak dulu, dia membayangkan melakukan ini dengan kekasihnya nanti. Tapi Jun Ki tidak pernah berpacaran serius hingga ke tahap saling mengikat janji di gembok cinta ini.

Ya. Biasanya langsung ke hotel, kali.

Jun Ki juga memberi satu gembok pada Azrina, dengan mata yang bersinar-sinar, Azrina juga menulis di gemboknya. Lalu meraih lengan Namira dan mengajaknya mengaitkan gembok bersama. Ternyata, Azrina tidak menuliskan nama Jun Ki seperti Jun Ki menulis namanya, tetapi justru nama Namira yang ditulis bersama namanya disana.

Seolah menegaskan bahwa Namira, masih tidak tergantikan di hati Azrina.

Mereka benar-benar menikmati jalan-jalannya malam ini. Sesekali tingkah konyol Hyungsik dan Namira membuat mereka bergelak tawa.

Setelah puas berkeliling dan kenyang dengan makan malam, mereka akhirnya sepakat untuk pulang.
Mereka berjalan menuju tempat Jun Ki memarkirkan mobilnya sambil mengobrol panjang.

"Kau senang, Sayang? Apa Gongju-nim nya appa juga senang?" Jun Ki berseru sambil mengusap perut istrinya.
Meski benar-benar lelah, Azrina berusaha menyembunyikan kelelahan di wajahnya dengan senyuman selebar mungkin.

"Senang sekali, Oppa. Tempat ini sangat indah. Aku menyukainya."

"Benarkan? Seseorang berkata, bahkan jika kau meninggal setelah berwisata di Seoul Tower, arwahmu akan pergi dengan tenang tanpa penyesalan."

"Hahaha. Ada-ada saja. Siapa juga yang akan mati setelah kesini?" Azrina tertawa, padahal hatinya mendadak dirundung resah.

"Tentu saja itu hanya kiasan, Sayang."

"Tapi, Oppa, jika aku akan meninggal dalam waktu dekat, apa Oppa akan bersedih?" Azrina langsung menanyakan hal itu ketika merasa menemukan celah karena sesuai topik mereka.

"Pertanyaan macam apa itu?" jawab Jun Ki merengut.

"Cuma bertanya saja. Oppa sedih tidak? Atau jangan-jangan langsung menikah lagi?" Azrina bertanya lebih lanjut, di akhir kalimatnya sengaja dibuat bernada seolah merajuk.

Memberi ide Jun Ki untuk menjawabnya dengan bergurau, "Sedih lah. Aku akan menangis, tentu saja."

"Syukurlah ... "

"Tapi di hari kematianmu saja, kan? Besoknya aku langsung menikah lagi."

"Ih Oppaaaaa!" Azrina langsung menyerang Jun Ki dengan cubitan-cubitannya, Jun Ki tertawa kegelian.

"Lagian, kamu aneh-aneh aja. Pertanyaannya yang masuk akal saja makanya. Jangan bertanya sesuatu yang sudah jelas jawabannya."

"Jawabannya?"

Jun Ki mengangguk. "Suami manapun pasti akan merasa kehilangan separuh dirinya jika ia kehilangan istrinya."

"Lalu, mereka yang menikah lagi?"

"Itu pilihan mereka agar tetap sanggup melanjutkan kehidupan."

"Jadi kalau aku mati, Oppa akan memilih hal yang sama?"

"Tentu saja tidak."

"Loh, kenapa?"

"Karena aku pasti mati lebih dulu," jawab Jun Ki mantap.

"Jangan memastikan sesuatu yang masih menjadi rahasia Allah, Oppa."

"Ya habisnya, kamu aneh sekali. Tidak ada yang akan meninggal dalam waktu dekat ini, oke? Langit masih ingin melihat kita bersenang-senang untuk waktu yang lama."

Azrina terhenyak. Ada rasa yang hendak meluap dari dalam dirinya. Sesuatu yang besar, seperti bersiap memporak-porandakan seluruh raganya.

"Oppa, kalau aku pergi lebih dulu ...
Jangan bersedih terlalu lama, ya?"

Terdiam lama, Jun Ki memilih menghentikan langkahnya. Tangannya yang semula menggenggam tangan Azrina kini beranjak meraih kedua sisi bahu istrinya itu hingga berhadapan dengannya. Dengan sedikit membungkukkan tubuhnya, wajahnya kini sejajar dengan wajah Azrina. Lee Jun Ki mendekatkan wajahnya hingga berjarak sedikit sekali dan matanya menatap dalam pada kedua mata Azrina. Lalu kedua tangannya menangkup wajah mungil istrinya, "Hey, istriku ini kenapa sih? Oke ... Dengar baik-baik, ya ..."

"Kalau kau mati, aku juga mati. Duniaku berhenti saat itu juga. Jadi, jangan pernah pergi dariku. Dan jangan coba berpikir aku akan mendua, bahkan setelah kau tiada.
Karena dirimu satu-satunya, hingga akhir usia. Sampai kita bertemu kembali di surga."

Kalimat Jun Ki tegas dan merasuk dalam. Membobol pertahanan Azrina, airmatanya berderai saat itu juga.

Wanita itu tak kuasa mengontrol dirinya hingga tubuhnya melemah, matanya berkunang-kunang sampai tak mampu membuka. Napasnya memburu lalu akhirnya menyerah dan terjatuh dalam dekapan suaminya.

Azrina

Kehilangan

Dirinya.

🍁

Azrina terbangun pada sebuah ruangan serba putih yang pertama kali ia tangkap dalam lensa matanya. Bau obat dan alkohol menyengat penciumannya. Suara dari monitor alat-alat penunjang kehidupan terdengar nyaring di telinganya. Ia segera bangkit dan berdiri pada sisi ranjang pasien yang tadi ia tempati ketika merasa tubuhnya segar kembali.

Dari luar seseorang terlihat membuka pintu ruangan dan masuk dengan pakaian steril. Wajahnya lesu seperti tidak ada semangat disana.

Itu suaminya.
Lee Jun Ki berdiri lemas tanpa tenaga.

Dalam hati Azrina merasa bersalah, pemandangan itu yang ia khawatirkan jika suaminya mengetahui tentang penyakitnya.
Percuma. Semua yang susah payah disembunyikannya telah terungkap hari ini.

"Oppa ... " dengan senyum terkembang, Azrina menyapa suaminya ketika manik mereka bertemu. Berusaha menghilangkan kesedihan yang menggelayut di wajah suaminya dengan menunjukkan dirinya sudah kembali sehat.

Lee Jun Ki berjalan ke arahnya, tanpa ekspresi. Semakin dekat, hingga tak berjarak. Namun laki-laki itu melewatinya tanpa berkata apa-apa. Dari pintu ruangan, muncul pula beberapa orang tak dikenal. Semuanya memakai pakaian sama seperti Lee Jun Ki tadi. Terakhir ada Ayah Azrina dan Ibunya juga. Azrina melonjak dan memekik riang, berlari menuju kedua orang tuanya. Namun justru tangis meledak pada kedua orang tersayang Azrina itu.

Azrina kebingungan. Ia dapati sekelilingnya mengeskpresikan hal yang sama. Kesedihan yang mendalam.

Ia berbalik, menoleh pada suaminya yang kini menjatuhkan tubuhnya merangkul seseorang yang terbujur diatas ranjang pasien di hadapannya. Azrina kesulitan melihat wajahnya karena tertutupi oleh Jun Ki.

Ia mulai menerka-nerka. apa yang terjadi, siapa yang berbaring disana dan sedang diguncang-guncang tubuhnya oleh suaminya yang mendadak menjerit itu.

Perasaannya mulai tidak tenang. Ia berjalan mendekat. Tim dokter mulai melepas alat-alat medis yang menempel di tubuh orang itu. Jun Ki meraung, meronta seperti kehilangan seluruh dunianya.

"Andwae! Andwae!!! Jangan lakukan ini! Ireona! Jaebaaall ... Ireonaaaa ...! Bangun! Ayo bangun!!! Jangan lakukan ini padaku!"

"Waktu kematian ... "

"TIDAAAAK!!!! AYO BANGUN! KUMOHON! BANGUNLAH! DOKTER! DIA MASIH ADA! MASIH!! LAKUKAN SESUATU!"

Seisi ruangan semakin riuh menangis tertahan.

Hanya Jun Ki yang terlihat menggila.

Dokter kembali mengulangi kalimatnya, "Waktu kematian, Jum'at pukul 20:30..."

"TIDAK! JANGAN KATAKAN ITU, DOKTER! BELUM. BELUM SAATNYA."

Ayah Azrina mendekati Jun Ki mengusap pelan punggungnya. Menenangkannya. "Ikhlaskan, Jun Ki .. Ikhlaslah ..." ujarnya sambil sesekali mengusap kedua matanya yang juha basah. Namun tangisnya tak sehebat ibu Azrina yang terdengar begitu pilu.
Azrina berhasil melihat siapa sosok yang membuat Jun Ki meronta sekeras itu ketika dokter hendak menutup seluruh tubuh itu dengan kain tipis berwarna putih.

"Sayang! Banguuuunn! Yeoboooo! Sayang! Jangan tinggalkan aku! Kau sudah berjanji, Sayang. Bangunlah! Kumohon ... Jangan begini padaku...!!!"

Itu...

Dirinya ...

Tubuh itu adalah jasadnya.

Itu, Azrina!

Azrina meluruh.
Tersungkur seketika mendapati jasad yang terbujur kaku disana adalah dirinya.

Bagaimana ini terjadi?

Inikah saatnya, ia benar-benar mengucap perpisahan pada dunia?

Ketika nyawanya, terlepas dari jasadnya.

Azrina merintih.
Menangis tanpa air mata.

Lee Jun Ki pun semakin keras meraung.

"Ayo bangun, Sayang. Kau bercanda, kan? Kau sudah berjanji ... Kita akan membesarkan putri kita bersama. Mendidiknya menjadi wanita shalihah sepertimu. Kau tidak lupa kan, sayang? Kau tidak akan menyerah seperti ini. Ayo ... Bangunlah ... Jangan meninggalkanku sendirian."

"Sayaaang! Ajak aku bersamamu! Azrinaaaaa!!!"

Semua menghitam.

Gelap.

Lee Jun Ki tersungkur kehabisan daya.

🍁

Oppa...
Jika aku pergi lebih dulu,
Maukah kau mengantarku dengan ridha yang sempurna?
Ridha seorang suami yang akan mengantar istrinya langsung ke pintu surga.
Agar kepergianku tenang tanpa penyesalan yang mendalam.

Oppa...
Jika aku pergi lebih dulu,
Aku mohon kau menjanjikan satu hal padaku.

Menikahlah dengan Namira.

Dan lanjutkan hidupmu dengan penuh bahagia.

Aku, dan buah hati kita juga akan turut bahagia, kami tidak jauh. Kami disini, melihatmu dari tempat yang berbeda.

Terima kasih, untuk segalanya, Kekasihku...

Untuk segala cinta yang telah kau curahkan meski dalam waktu singkat.

Untuk menjadikanku ratu di istana hatimu.

Untuk segala harapan kebahagiaan setiap kali ku buka mata dan kudapati dirimu tersenyum dan mengecup keningku.

Aku mencintaimu, sepanjang hidupku.
Sampai akhir usiaku.

Aku pergi, Oppa ... Bahagialah untuk waktu yang lama.

🍁🍁🍁

********* THE END **********


















BENAR BENAR END!

























JANGAN BERHARAP LEBIH, KAWAN.


























BIARKAN AZRINA BERISTIRAHAT DENGAN TENANG.




























HUWAAAAAAAAAA!!!!!!













GAK KUAAAATTTTTT 😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
















YANG TABAH, YA.... JUN KI OPPA...








DAN PARA READERSKU TERSAYANG........







































TERIMA KASIH SEBESAR BESARNYA DAN SETULUS TULUSNYA UNTUK KALIAN YANG SUDAH MEMBACA DAN MENUNGGU DENGAN SETIA, MESKI SERINGKALI TER PHP OLEH PENULIS AMATIR INI, KALIAN DENGAN BAIK HATI TETAP MENCET BINTANG BINTANGNYA DAN KOMEN JUGA. HUHUUUUU...

AKHIRNYA, ADA SESUATU YANG LEBIH BERAT DARI RINDU, YAITU PERPISAHAN.




BERAT UNTUK MENGATAKAN SELAMAT TINGGAL, TAPI BERPISAH ADALAH SEBUAH KENISCAYAAN.

MAKA LEBIH BAIK KUKATAKAN,

SAMPAI JUMPA LAGI....













SAMPAI KETEMU DI NEXT PROJECT.







AKU AKAN ADA DI swp_writingproject INSYAA ALLAH,
DOAIN YA.

TENTUNYA GAK NGAJAK JUN KI AZRINA DAN NAMIRA.

KARENA MEREKA SUDAH BERAKHIR

DISINI.

KKKKKKEEEUUUTTTTT!


*KETCUP BASAHHHHH*

MAKASIH YAAAA SEMUANYAAAA.... LOPE YOU PUOOOLL AAAALLLL








PLEASE, JANGAN HAPUS STORY INI DULU DARI LIBRARY KALIAN, YA.









DAN TETEP PROMOSIKAN STORY INI KE TEMEN-TEMEN KALIAN.

WALAUPUN KISAHNYA SUDAH BERAKHIR, TAPI TETAP MASIH BISA DIBACA LAGI, KAN?

HEHEHEHEHHEE.....












POKOKNYA MAKASIH DEH.

YA ALLAH....

JADI TERHARU SENDIRI. HIKZZZZ....








MAAF ATAS KETERBATASAN SAYA YA, PEMIRSAHHHHH.....

TAPI YA SAMPAI SINI AJA AKU BISANYA....

TOLONG HARGAI DAN MAKLUMI YA, SAYANG SAYANGKUW.



JANGAN LUPA VOTE, COMMENT DAN SHARE, TAPI JANGAN PLAGIAT, YA.









JANGAN LUPA BAHAGIA.








SEMOGA KABAR BAHAGIA SEGERA MENGHAMPIRI KITA SEMUA.



AMIIIN.



DADAH DADAH DULU SAMA BIDADARINYA OPPA, NIH....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro