27 - Dunia yang berbeda
Huehehe.. Gimana part kemarin? Membosankan tidaaa? Wkwk.
Untuk part ini, jangan berharap banyak ya.
Palingan anda-anda sekalian cuma akan membaca kisah tercheesy romantis ngegantung gitu deh.
Krn ternyata, nulis part romance itu gak semudah ngebayanginnya, guys. Hiks....
And yas... Im so sorry karena kemaren-kemaren update nya ngadat, soalnya aku lupa hari melulu. Wkwk
Malah curhat....
Okelah sila dibaca aja.
Jangan lupa bismillah, dan vote komen ya!
🍁🍁🍁
Entah bagaimana Namira mengartikan gemuruh yang berlangsung di dadanya. Sejak ia masuk ke kamar, dalam hening di kesendiriannya seusai menandaskan makanan bersama Hyungsik tadi, sampai subuh hampir menjelang ia hanya berguling-guling saja di kasurnya. Berkali-kali berganti posisi, namun tak juga nyaman menghinggapi.
Di benaknya, tertayang adegan-adegan yang dialaminya seharian tadi. Namun yang terus menjadi objek utama adalah kedatangan Azrina dan wajah gembira Jun Ki saat mengumumkan kehamilan Azrina. Malam ini, rona bahagia di wajah Jun Ki yang berulang kali ia lihat, seolah membayar wajah sendu yang kerap dipamerkan laki-laki itu semenjak Namira berada disini.
Membayangkan bagaimana ia akan bersikap kepada dua orang itu kedepannya, apalagi menghabiskan hari-hari dengan Azrina yang mengandung darah daging Jun Ki, lalu memperkirakan kebahagiaan mereka ketika bayi itu hadir di tengah-tengah mereka. Mungkin takkan ada tempat lagi untuk Namira di dunia mereka. Selamanya.
Semakin tidak nyaman saat mengingat malam ini untuk pertama kalinya, mereka bertiga berkumpul dalam satu atap yang sama, namun Jun Ki dan Azrina sekamar berdua, sedang dirinya lagi-lagi harus berdamai dengan hening.
Namira tak ingin membayangkan terlalu jauh, apa yang dua sejoli itu lakukan di kamar mereka saat ini. Namun semakin berusaha untuk mengenyahkan pikiran-pikiran kotornya itu, gemuruh di dadanya terasa semakin menggebu. Membuat tidurnya terasa tidak nyaman, sekalipun ia telungkup, duduk ataupun meringkuk.
Membawanya menuju pergolakan batin yang lagi-lagi harus dihadapinya seperti yang lalu-lalu.
Siapa aku?
Atas alasan apa aku berhak merasa seperti ini?
Dan untuk apa aku tetap disini?
Nyatanya, aku ada namun tak terlihat. Aku dibutuhkan, namun tak diinginkan.
Benar kan?
Dan sekalipun saat fajar menyingsing, ketika Namira mantap memutuskan untuk menjalani perannya sekarang ini sebagai seseorang yang hanya akan membantu mengurusi segala kebutuhan Azrina, seperti tugasnya semula, sejak dulu kala.
Kemantapan yang baru saja ditekadkannya itu harus menguar begitu saja bersamaan dengan ketukan Azrina di pintu kamarnya.
"Shalat subuh berjamaah, yuk?"
Kikuk, Namira mengangguk lalu mohon diri untuk membasuh wajahnya dengan air wudhu dahulu. Beberapa kali ia masih menguap, karena semalaman ia sama sekali tidak tidur barang semenit saja.
Terbesit sedikit rasa kecewa pada Namira mendapati sosok yang mengetuk pintu kamarnya adalah Azrina.
Sebenarnya, sejak Jun Ki memproklamirkan diri sebagai penanggung jawabnya di negeri ginseng ini, sejak itu pula setiap memasuki waktu subuh, laki-laki itu rutin mengetuk pintu Namira, membangunkannya subuh. Meski tidak shalat bersama karena Jun Ki akan shalat berjamaah di masjid yang tidak jauh dari rumah mereka, dan akan kembali setelah berlari pagi saat langit mulai cerah.
Rasa kecewa itu, ia abaikan saja. Toh kali ini, pertama kalinya ia akan ikut shalat berjamaah diimami Jun Ki.
Bertiga, dengan istrinya.
🍁
Jun Ki melewati paginya hari ini dengan tidak biasa.
Sejak membuka mata ketika adzan subuh hampir berkumandang, sosok yang membangunkannya membuat senyumnya terukir begitu saja, meski matanya masih mengerjap-kerjap. Kelelahan dan percakapan panjang menjelang tidur membuat mereka nyaris melewatkan tahajud malam ini. Beruntung mereka masih mendapatkan cukup waktu meski hanya untuk witir tiga rakaat saja.
Itu shalat jamaah mereka berdua lagi setelah beberapa lama. Dan berefek pada suasana hati yang seolah merasa sedang berada dalam musim semi, sekalipun suhu pagi hari ini lebih dingin dari malam tadi.
Tidak banyak yang berubah sebenarnya, hanya saja sepulang Jun Ki berlari pagi seperti rutinitasnya belakangan ini, sudah ada Azrina yang menyambutnya dengan secangkir teh lemon hangat.
Hanya dengan itu saja, Jun Ki merasa rumah ini seperti surga. Sesederhana itu.
Ketika Jun Ki menerima cangkir yang diulurkan Azrina, dan dibalas kecupan di keningnya yang entah ke berapa sejak mereka membuka mata.
Menghadirkan senyum malu-malu Azrina karena tak biasa bermesraan di depan orang lain, dan Jun Ki yang tak peduli pada siapapun yang menyaksikan mereka.
Ada Namira, Hyung Sik dan pelayan-pelayan yang sedang menjalankan tugas rutin mereka masing-masing. Ikut tersipu melihat tingkah majikannya.
Melihat itu, Hyung Sik berceracau tanpa henti seolah Jun Ki mempertontonkan hal yang melukai perasaan para tuna asmara di rumah ini. Berusaha mengajak Namira membenarkan, tapi Namira justru tidak merespon apa-apa.
Sesuatu mengganggunya.
Sesuatu yang ia pun mempertanyakan apa yang terjadi pada dirinya, sebenarnya.
Kenapa mendadak ia tidak suka dengan sikap Azrina pagi ini?
Padahal Namira juga sadar, yang dilakukan Azrina bukan kesalahan. Tapi memang sebuah kewajiban.
Tapi mengapa, hatinya terasa tidak nyaman begini?
Seharusnya pagi ini, seperti yang sudah-sudah. Sejak Namira ada disini, ia sudah terbiasa membantu Bibi Sung mempersiapkan sarapan.
Setiap Jun Ki selesai berolah raga, Namira yang menyambutnya. Tidak seperti Azrina, tentunya. Tidak ada secangkir teh lemon hangat juga.
Namira hanya membantu menata mini bar yang biasa mereka pakai untuk sarapan, memeriksa kotak roti dan selai berbagai rasa, juga madu dan buah-buahan. Meletakkan cangkir-cangkir kosong, teko air panas, teh siap seduh, susu, kopi, dan lainnya yang akan memudahkan siapapun untuk bisa membuat minumannya sendiri.
Itu yang merusak pagi Namira ini.
Karena Azrina, yang menghampiri dan 'menjalankan kewajibannya' sebagai istri.
"Hai, selamat pagi!" sambut Namira riang.
"Pagi. Masya Allah, dingin ya," balas Azrina.
Namira mengangguk, "ini belum seberapa, kemarin waktu suhunya -18 sampe semua badan aku nggak bisa gerak. Meringkuk di kamar aja seharian. Padahal rumah ini udah ada penghangatnya loh," begitu Namira terus berceloteh, kemudian menceritakan setiap detail rumah milik keluarga Jun Ki ini, tentang cuaca Korea yang terkadang ekstrim seolah dia sudah menetap disini bertahun-tahun lamanya.
Azrina mengulas senyum.
"Alhamdulillah, kamu seneng ya disini. Aku ikut seneng dengernya"
Hanya dengan satu kalimat itu, Namira sontak membungkam. Dia tahu Azrina tidak bermaksud. Hanya saja, itu terdengar seperti...
Bagus ya. Kamu seneng-seneng disini, padahal aku nyari-nyari kamu kesana kemari.
Seperti itu perasaan Namira. Dan memang hanya perasaannya saja. Azrina tidak mungkin akan mengatakan itu padanya, meski dalam hati sekalipun.
Berlanjut ketika ia basa basi pada Azrina agar tidak canggung saja. "Mau minum? Susu? Teh?" Azrina menggeleng disertai senyuman. "Ooh untuk Oppa? Jangan kuatir, ini udah disiapin. Kamu nggak perlu repot-repot."
Mengikuti arah yang ditunjukkan Namira, mata Azrina membulat. "Cangkir kosong?" tanyanya. Dibalas anggukan mantap Namira. "Biasanya, Oppa cuma minta disediain cangkir kosong sama air panas. Nanti dia bikin sendiri minumannya."
Azrina tersenyum lagi. Kali ini bahkan terdengar tawa kecil dari jalur pernapasannya, lalu tangannya dengan cekatan melakukan tugasnya. Menuang air panas ke cangkir, mencelupkan teh, mencari sesuatu dalam keranjang buah dan mengambil lemon dari sana, mengirisnya hingga terbagi beberapa helai lalu dicelupkan pula ke dalam cangkir teh. Terakhir ia tuangkan beberapa tetes madu sebagai pemanisnya.
Mencelos batin Namira ketika Jun Ki menerima cangkir teh yang diangsurkan Azrina itu, saat Jun Ki terang-terangan memuji Azrina dan teh lemon hangatnya.
"MasyaAllah ... Nikmat sekali. Sudah lama aku tidak minum teh senikmat ini, itu pasti karena dibuatkan istri."
"Ih, manja! Biasanya juga bikin teh sendiri," komentar Namira.
"Kalau ada istri yang bisa melayani, kenapa harus bikin sendiri?" jawab Jun Ki cuek.
"Maaf, Tuan! Istri dinikahi bukan untuk menjadi pelayan. Apalagi saat hamil ... Suami mana yang tega ..."
"Oho! Kau tidak tahu seninya rumah tangga, ya?" Lee Jun Ki buru-buru menginterupsi pernyataan Namira sebelum gadis itu selesai bicara. "Ya wajar sih ... Kau kan belum menikah, tapi seharusnya kau perlu belajar. Ini, bergurulah pada istriku."
Namira refleks mendengus mendengar kalimat terakhirnya. Entahlah, sejak dulu dia memang terbiasa dibanding-bandingkan dengan Azrina, dan itu tidak masalah baginya karena kesadaran diri, sahabatnya itu memang jauh lebih baik darinya. Tapi mengapa saat Jun Ki yang mengatakannya terdengar sangat ngilu di telinga bahkan menembus hingga ke dada.
"Bukan manja, Namira. Tapi saling membagi kasih sayang. Seorang istri melayani suaminya bukan karena sang suami tidak mampu melakukan segalanya sendiri, tetapi sebagai wujud pengabdian tulus seorang istri, sesuai janji yang diikrarkannya dihadapan Allah. Sesuai jaminan rasa aman dan tentram yang akan muncul dalam rumah tangga jika keduanya saling memuliakan," jawab Azrina mantap. "Memuliakan suami, salah satunya dengan cara ini," lanjutnya.
"Dan suami pun wajib memuliakan istrinya, dengan cara seperti ini." Jun Ki mendaratkan kecupan lagi di puncak kepala Azrina. Membisikkan kata terima kasih disana, dengan dibubuhi kalimat cinta. Membuat persendian Namira melemas tiba-tiba.
"Setelah ini, kewajibanku adalah memastikanmu aman dan kebutuhanmu terpenuhi. Aku akan selalu disisimu, aku janji," tegas Jun Ki pada Azrina.
Lalu beralih pada Namira dan Hyungsik lagi
"Kau pasti iri, kan? Makanya. Menikah!" Namira dan Hyungsik sontak memutar matanya bersamaan.
"Heol! Kau pikir menikah semudah itu, Hyeong?!" tukas Hyungsik tak terima. "Kalau menikah itu mudah, kau tidak akan menunggu lama, membangun karir sampai setua ini baru menikah. Masih bagus ada gadis polos yang mau dinikahi olehmu."
Mata Jun Ki melotot karena ucapan Hyungsik, tapi pemuda itu mengabaikan dan terus saja berkicau.
"Yaaa ... Sekalipun aku berpikir kau menikah karena berhasil membodohi gadis polos dan suci ini, tapi kalau masih ada gadis yang seperti ini tersedia, aku pesan satu ya, Hyeong! Hahahaha."
"Itu, ada satu. Tepat disampingmu. Yaaa sedikit berbeda kemasannya, tapi semua kriteria yang kau pesan tadi, ada juga kok di Namira."
"YAAAA!!!" Namira memekik murka.
"Ommaya! Maldo andwae. Yang benar saja, Hyung! Choltae andwae! Bahkan jika seluruh dunia hanya tersisa dia saja, aku lebih baik sendiri seumur hidup!"
"Siapa juga yang mau denganmu, Tuan tukang jajan sembarangan di klub malam!"
"Heh! Kalau tidak tahu apa-apa, diam saja! Kau. Kau itu terlalu sering menonton drama, tahu!"
Jun Ki terkekeh geli menyaksikan adu mulut dua orang itu lagi.
"heing! Kau senang sekali, Hyeong?! Hh! Jinjja, kenapa istrimu harus muncul dan menggeser posisi Namira kalau sekarang perempuan absurd ini disasarkan padaku?"
"Ya! Jangan besar kepala!" Namira geram bukan main. Bahkan sampai tak tahu harus berkomentar apa. Hanya tangannya yang terangkat hendak melayangkan tinju pada Hyungsik dengan mulut lemasnya itu.
"Eits! Jangan menyentuhku. D-O-S-A!" berkilah dan berlindung dibawah aturan yang selama ini sering ia dengar dari Namira sendiri.
"Ggggrrrhhhhhhh! Mitcheonnam!" gemeretak gigi Namira menahan amarah. Tangannya yang sudah terkepal ia hentakkan ke meja.
Jun Ki terbahak oleh aksi mereka, apalagi Azrina. Ia benar-benar sangat terhibur. Tak pernah paginya terasa begitu hidup sejak vonis penyakitnya akan segera memisahkan nyawa dan jasadnya. Namun hari ini, gelak tawa dan candaan mereka membuat Azrina sejenak lupa akan hal yang paling menakutkan itu, dan mulai menikmati kebahagiaan yang nyaris sempurna bersama orang-orang yang dicintainya, suami dan sahabat terbaiknya. Jika orang tuanya pun ikut serta, mungkin bahagianya akan sangat sempurna dan membuatnya bisa bernapas lebih lama lagi.
Sejak pagi ini, harapan itu kembali bertumbuh. Harapan untuk berbahagia seutuhnya. Mereguk cinta dari segala arah, jikapun usianya akan terhenti dalam waktu yang tidak lama lagi, ia akan pergi dengan senyuman keikhlasan.
"Hyungsik-ah! Jaga ucapanmu! Namira juga adikku, kalau kau lupa. Dia masih tanggung jawabku! Perlakukan dia dengan baik! Mengerti?"
"Kenapa sekarang semuanya jadi berlindung dibawah ketiakmu, Hyeong?! Jika kau bersikap seperti ini, tiba-tiba aku merasa kau tidak benar-benar rela melepaskan status palsumu dengan Namira," terka Hyungsik dengan mata yang memicing menggoda Jun Ki. Dua wanita diantara mereka pun tercengang dengan ucapan Hyungsik.
"anigodeun! Enyahkan pikiran burukmu itu! Aku hanya sedang menjalankan tanggung jawab dengan baik," Jun Ki menjawab lantang.
"Siapa juga yang menyuruhmu betanggung jawab? Kau menghamili nya?" ketus Hyungsik refleks membuat Namira tersedak makanannya.
"YAAAA! HYUNGSIK-AH!" pekiknya masih dengan terbatuk-batuk. Azrina pun membelalak, tapi Jun Ki santai saja, mungkin karena terbiasa dengan sifat Hyungsik yang ceplas ceplos. Lagipula, apa yang dikatakan Hyungsik memang tidak benar, kan? Meski agak sedikit sensitif tapi itu tidak mengganggunya. Berbeda dengan Namira,
"Musnah saja kau dan mulut berbisa mu itu!"
Namira sepertinya benar-benar marah sampai mengucapkan kalimat seperti itu. Hyungsik bahkan terkejut mendengarnya dan memasang ekspresi kebingungan dan melirik ke arah Jun Ki seolah di wajahnya tertulis "Salah apa aku?"
Namira lalu berdiri, dan meninggalkan mereka. Mengakhiri sarapannya yang baru saja ia mulai. Hyungsik turut membuntuti, menagih penjelasan mengapa Namira bereaksi berlebihan terhadap guyonannya kali ini. Sementara Jun Ki dan Azrina saling pandang, masing-masing mengerutkan dahi. "Kenapa jadi mereka yang bertengkar?"
Keduanya tertawa pelan, "kasihan Namira, Oppa."
"Kenapa? Hyungsik kan cuma bercanda."
"Tapi sebagai perempuan, Namira pasti tidak nyaman dengan candaan seperti itu."
"Oh begitu, ya?" Azrina mengangguk.
"Yasudahlah, Namira juga tidak bisa marah lama-lama kok. Iya kan?" lanjut Jun Ki lagi.
"Hmmm ... Sudah kenal Namira dengan baik, ya. Oke." tukas Azrina. Senyumnya mengejek.
"Salah lagi, ya? Kok kamu jadi begini, sayang? Efek hamil ya?" Jun Ki melirik perut Azrina lalu bicara ke arahnya "Gongju-nim... Jangan mengubah Umma-mu jadi menyeramkan dong, Cantik."
Azrina mendesah kesal, "Jadi aku menyeramkan?"
"Bukan. Maksudku. Jadi sulit ditebak. Perempuan dan semua teka-tekinya itu kan, seram. Selama ini kau tidak begitu," Jun Ki mencoba meluruskan.
"Intinya aku seram, kan? Ya sudah. Jangan dekat-dekat." Azrina pun berdiri. Dan melangkahkan kaki ke arah kamar Namira.
"Eh, ngambek?"
"Tidak. Aku seram."
Jun Ki tergelak sesaat. "Mau kemana?"
"Mau ke Namira. Menakutinya, mungkin. Biar tidak marah lagi."
Tawa Jun Ki berderai. Ya Allah. Istrinya itu ... Bagaimana Jun Ki tidak gemas?
"Cantik ... Sayang ..." Azrina tetap berjalan.
"Istriku, Cantik deh kalau ngambek... Hauraaab... Ummaaa ..." goda Jun Ki dengan intonasi suara yang pelan, halus, tapi sanggup membuat Azrina merinding.
Sekilas mengulum senyum, Azrina berbalik. "Tidak dengar. Aku pakai masker." Ekspresi wajahnya yang sengaja diseram-seramkan justru semakin terlihat lucu dan menggemaskan.
Tawa Jun Ki meledak lagi. Ini yang paling ia suka dari Azrina. Perempuan serius itu, kalau bercanda selalu berhasil menyentuh titik terlemah Jun Ki dan membuat suaminya itu terpingkal-pingkal hingga perutnya terasa kaku.
Atau mungkin selera humor Jun Ki yang levelnya terlalu rendah?
Siapa yang tahu.
"Kalau kau begitu terus, jangan salahkan aku jika tiba-tiba aku menggotongmu ke kamar, ya. Ahgassi"
Bergidik dengan ancaman suaminya, Azrina mempercepat langkahnya menuju Namira.
Ternyata di depan pintu kamar Namira, Hyungsik pun masih berdiri mengetuk dengan keras.
"Heh! Beruang Kutub! Kau kenapa? Buka!" perintahnya.
Hyungsik sepertinya sangat yakin kalau Namira tidak marah hanya karena gurauannya tadi. Sekalipun jika Namira marah, dia tidak akan pergi begitu saja. Bukan gaya Namira yang seperti itu. Namira, yang Hyungsik kenal... Akan membalas ejekan dengan ejekan yang lebih sengit.
Apa dia jaga image?
Di depan siapa?
Hyeong?
Maldo andwae.
Azrina?
Sesama wanita?
Omona.
Bulu kudukku mendadak merinding.
"Yaaaa! Beruang Kutub! Kau benar-benar ingin mengabaikanku? Baiklah! Jangan datang padaku saat kau lapar, ya!!" Hyungsik menyerah. Sebenarnya, mudah saja membuat Namira berhenti merajuk. Tapi dia sedang tidak ingin repot-repot melakukan itu, ditambah karena dia memang merasa tidak bersalah.
"Yaa, memang seperti itu cara meminta maaf yang benar? Kau bahkan memanggilnya Beruang Kutub, seriously?" Lee Jun Ki yang juga sudah berada disana langsung mengkritik.
"Siapa yang minta maaf? Aku tidak melakukan sesuatu yang mengharuskanku meminta maaf pada Beruang Kutub itu, Hyeong"
"Lalu apa yang kau lakukan disini?"
"Ini baru saja aku mau pergi. Cerewet!"
Hyungsik buru-buru pergi padahal Jun Ki baru saja akan menggodanya.
"Lucu ya mereka," ujar Azrina setelah meredakan tawanya. Jun Ki mengangguk membenarkan.
"Memang Hyungsik seperti itu orangnya, Namira apalagi. Kalau bertemu seperti kucing dan tikus. Anehnya mereka seolah saling terikat."
"Ya Allah, semoga Hyungsik bisa memaafkan Namira kalau sikapnya kurang berkenan ..." Azrina termangu.
"Santai saja, Sayang. Hyungsik itu baik hati. Walau sikapnya kadang menyebalkan, tetapi sebenarnya dia itu menyenangkan."
Menepis kekhawatiran istrinya, Jun Ki menghibur. "Aku juga heran, semenjak bertemu Namira, aku melihat Hyungsik seperti melihat dirinya di masa lalu ketika bermain bersama Tiffany, adikku. Dia memperlakukan Tiffany persis seperti Namira saat ini. Entah memang begitu cara Hyungsik bersikap pada semua wanita, atau karena Tiffany dan Namira sama-sama mengisi ruang yang besar di dirinya."
"Maksud Oppa, Hyungsik ... "
"Ah, sudahlah. Tidak usah dipikirkan. Lebih baik kita pikirkan urusan kita saja. Hmm?"
Alis Azrina terangkat sebelah, tidak mengerti apa maksud suaminya.
"Ke kamar yuk, aku mau mandi," ajak Jun Ki.
"Mandi?" alis Azrina berkerut sebentar. "Mandi, tinggal mandi saja. Kenapa aku juga harus ke kamar?"
"Haruskah ku perjelas, Sayang? Jangan menyesal, ya."
"Duh Oppa, sepertinya otak aku beku... Tidak bisa berpikir ... " Otak Azrina yang dirasanya beku, seketika meleleh oleh Jun Ki yang mendekatkan wajahnya ke telinga Azrina dan berbisik disana. "Aku mau mandi yang wajib. Bisa?" Mendelik Azrina tiba-tiba.
Demi apapun, ini masih terlalu pagi untuk memikirkan kegiatan 'itu'.
Apakah melihat Azrina disekitarnya saat ini membuat Jun Ki sesulit itu untuk berpikir jernih?
"mwoyaaaa..." tersipu-sipu Azrina mencubit kecil pinggul Jun Ki dan dibalasnya dengan kecupan, lagi dan lagi. Dan tawa mereka terdengar begitu renyah diantara kicau burung di langit Itaewon pagi ini.
Membuat Bibi Sung yang datang dari dapur mau tidak mau langsung menggoda mereka.
"Aigoooo... Lihatlah sepasang kekasih ini... Rasanya ingin kembali menjadi muda juga, ah... Menyenangkan sekali..."
Azrina semakin malu, wajah putihnya terlihat jelas berubah menjadi merah.
"Kenapa kau malu? Dengar kan? Bibi bilang, ini wajar dilakukan sepasang suami istri."
"Geurae, mattji. Itulah mengapa bibi selalu merasa aneh saat Tuan Muda mengatakan Namira Ahgassi adalah istrinya. Tapi mereka tidak pernah terlihat seperti ini, atau begini." Bibi Sung memperagakan pose layaknya sepasang kekasih dengan tangannya sendiri. "Ah, ternyata memang hanya istri palsu. Syukurlah... Kukira Tuan Muda tidak bahagia dengan pernikahannya"
Banyak hal yang muncul dalam pikiran Azrina disebabkan oleh ucapan panjang lebar Bibi Sung, salah satunya adalah, darimana Hyungsik mewarisi sifat ceplas ceplosnya.
"Benarkah Bibi sebegitu khawatirnya padaku? Yaaaaahhh... Ibuku pasti tidak menyesal meninggalkanku bersamamu" dipuji Jun Ki, sang Bibi malah menjadi salah tingkah. "eish! Anak ini!" ucapnya sembari mengepalkan tangannya lalu mendaratkannya pelan ke bahu Jun Ki.
Begitu perbincangan mereka berlanjut hingga memanjang, sesekali membuahkan derai tawa yang terdengar sangat renyah. Sudah sejak lama rumah ini sepi dari suasana semacam ini.
Tanpa mereka sadari, kenop pintu kamar yang menjadi tujuan mereka tadi sudah terbuka, dan seseorang mengintip dari sana. Tepatnya hendak keluar tapi mendengar perbincangan hangat sepasang kekasih dan Bibi Sung tidak jauh dari pintu kamarnya membuatnya urung. Apalagi beberapa kali ia mendengar namanya disebut Bibi Sung dan membandingkannya dengan Azrina. Ia bisa merasakan wanita setengah baya itu tidak mengatakan hal yang baik tentangnya, sekalipun ia tidak sepenuhnya mengerti arti bahasa Korea dan aksen Bibi Sung.
Terhanyut dengan pikirannya sendiri, Namira semakin tidak enak hati.
Seolah kehadirannya di rumah ini benar-benar tidak ada artinya sama sekali. Sempat ia berpikir untuk pulang saja, tapi mengingat permohonan Azrina kemarin, ia pun tak tega. Maka dengan menekan keras rasa malu dan kecanggungan yang menggerogoti hatinya, ia memilih untuk membuat dirinya berarti selama disini. Setidaknya, sampai ia tidak dibutuhkan lagi, ia harus melakukan tugasnya dengan sempurna, menjadi manfaat bagi orang lain tentu tidak ada ruginya. Hanya saja, terkadang hati harus terpaksa berdamai dengan keadaan.
Entah siapa yang memulai hingga obrolan Azrina dan Bibi Sung sampai pada kesadaran wanita itu bahwa Azrina lah bayi milik seorang ibu muda, istri dari sahabat keluarga majikannya yang bertahun-tahun lalu pernah ia bantu merawatnya karena kondisinya yang begitu menyedihkan. Bibi Sung tidak henti-hentinya mengucap takjub pada keajaiban garis hidup mereka. Dan tentunya pada kesehatan Azrina yang mampu bertahan hingga saat ini.
Beruntung saat membahas topik ini, Jun Ki sudah undur diri lebih dulu, laki-laki itu benar-benar ke kamarnya hendak membersihkan diri. Jun Ki sudah mengajak istrinya, tapi Azrina bilang masih ingin mengobrol dengan Bibi. Tak disangka mereka ternyata bisa cepat akrab. Mengingat mereka sama sekali tidak terkendala miss komunikasi karena perbedaan bahasa. Azrina sudah mahir berbahasa Korea karena belajar tanpa henti dan langsung praktik sejak menikah dengan Jun Ki, Dan Bibi Sung yang mengetahui latar belakang Azrina pun menjadi semakin menyayangi nyonya mudanya itu.
Tidak ada niat sama sekali untuk melupakan Namira. Gadis itu pun sudah menyambung ikatan erat pada orang kepercayaan keluarga Jun Ki ini. Namun dengan gelagatnya seolah berpihak pada Azrina, maka semakin terdepaklah posisi Namira.
"Bibi, boleh aku minta satu hal?" ujar Azrina pelan dan sedikit ragu.
"Tentu saja! Kalau kau butuh apapun, mintalah pada Bibi, oke?"
"Aku ingin Bibi menjanjikan sesuatu, bisakah?" kali ini raut wajah Bibi Sung berubah serius mendengar kalimat Azrina.
"Maaf kalau aku lancang, atau berlebihan. Tapi aku benar-benar memohon bantuan Bibi untuk hal ini" ujar Azrina lagi. Bibi Sung semakin kebingungan. Saat ini benar-benar hanya mereka berdua yang saling mendengar. Namira yang sempat menguping tadi sudah menutup rapat kembali pintunya, sedang Jun Ki belum kembali dari kamarnya.
"Bibi tidak mengerti...." ujar Bibi tergagap
"Tidak apa, Bi, soal keadaanku saat bayi dulu, dan mengapa aku berada di sini saat itu, kuharap Bibi bisa merahasiakannya dari siapapun termasuk Lee Jun Ki. Dia tidak tahu hal itu."
Terperanjat Bibi Sung mendengarnya, tapi kemudian mengangguk saja.
"Mohon bantuannya, Bibi. Aku hanya tidak ingin membuat suamiku khawatir. Lagipula sekarang aku sudah jauh lebih sehat."
Bibi Sung menatap Azrina lembut, lalu meraih tangannya perlahan dan menggenggamnya. Meski tanpa kata-kata, wajahnya mengisyaratkan pada Azrina sebuah keyakinan bahwa dirinya bisa dipercaya.
"Sehatlah selalu, Nona. Kehadiranmu yang membuat Tuan Muda kembali berbahagia setelah sekian lama. Saya melihat itu..."
Kalimat Bibi Sung sukses membuat tubuh Azrina bergetar dan matanya memanas. Ia menghambur ke arah Bibi dan memeluknya. "Sebentar, Bi. Aku ingin sebuah pelukan seorang ibu yang hangat..." lirih Azrina sembari diam-diam mengusap airmatanya.
Entahlah, kalimat Bibi Sung tadi itu seolah menyuntikkan cairan pekat dan panas yang langsung menyebar ke seluruh ruang hatinya. Membuat Azrina seketika menjadi lemah, bagaimana ia bisa memberi kebahagiaan bagi Jun Ki jika saja sebentar lagi.....
"Aigo... Anda pasti merindukan ibu, kan? Tidak apa, tidak apa... Ada Bibi disini..." Bibi Sung mengusap-usap lembut punggung Azrina.
"Oho. Sedang apa kalian?" Lee Jun Ki muncul tiba-tiba dan merusak kesyahduan Bibi Sung dan Azrina yang saling berangkulan. Laki-laki itu kini sudah rapi dan wangi dengan pakaian santai yang hangat.
Azrina bertaruh dalam hati, lamanya Jun Ki di kamar tadi karena kebingungan memilih pakaiannya sendiri. Tapi itu tidak sia-sia. Pilihan busananya menambah ketampanannya beberapa kali lipat.
Bibi Sung melepas tautan tangannya pada Azrina, lalu menyengir lebar pada Jun Ki.
"Ahjumma! Kau apakan istriku?" seru Jun Ki saat melihat wajah sembab Azrina.
"Hanya curahan hati antara ibu dan anak, iya kan Nona?" Azrina tersenyum geli tapi mengangguk membenarkan.
"Seharusnya kau cerita padaku saja, aku kan suamimu." protes Jun Ki. "Terkadang ada sesuatu yang tidak bisa diceritakan pada suami, Tuan Muda. Kau seperti tidak mengerti saja."
"aaah... Tentang seberapa baiknya aku sebagai suami? Itu bakat alami, asal Bibi tahu."
Bibi Sung dan Azrina terkekeh dan mencibir di waktu yang sama. "Terserah padamu saja!" Lee Jun Ki pun ikut tertawa akhirnya.
"A matta! Bagaimana aku bisa lupa..." Bibi Sung menepuk keningnya karena baru mengingat sesuatu. Refleks Azrina dan Jun Ki menoleh padanya.
"Ada apa, Bi?"
"Aku kemari ingin bertanya pada Nona, tentang selera makan Nona, anda suka makanan apa, Nona?"
"Apa saja, Bi. Aku bisa makan apa saja, asalkan halal."
"Benarkah?" Bibi Sung terlihat sangat terkejut, sempat membuat Azrina bingung, sebelum Bibi Sung kembali meneruskan ucapannya. "Baguslah kalau begitu, kupikir Nona juga seperti Nona Namira. Susah sekali membuat makanan yang cocok di lidahnya, kasihan."
"Maaf sudah merepotkan, Bibi." Azrina merasa tidak enak.
"Aniyo, gwaenchanhayo. Sama sekali tidak merepotkan. Bahkan Bibi senang sekali, sudah lama sekali sejak terakhir kali rumah ini terasa hidup kembali... Bibi sangat berterima kasih."
"uljima, ahjumma" sambar Jun Ki.
"Siapa yang menangis? Aku tidak." sergah Bibi Sung
"Biasanya begitu, terharu sedikit saja, pasti menangis. Itu! Benarkan? Ah Bibi... Berhenti menangis" Lee Jun Ki mendekati Bibi Sung ketika wanita itu mulai terdengar menarik napas basah dari hidungnya. Menepuk-nepuk pelan bahunya, mengucapkan kata-kata yang mungkin bisa menghibur sang Bibi. Namun pengasuhnya itu justru semakin deras menangis. Azrina pun turut hanyut dalam haru.
"Ttwaesseo. Aku tidak apa-apa. Aku akan memasak. Jadi kalian ingin makan apa?" Kata Bibi Sung usai menyeka matanya yang basah.
Azrina dan Jun Ki saling pandang, "Oppa mau makan apa?" Tanya Azrina
"Kamu" Jawab Jun Ki singkat. Tangannya masih merangkul Bibi Sung yang duduk di sampingnya.
"Aku, apa saja yang dibuatkan Bibi, tidak masalah. Jadi Oppa mau apa?" Azrina menjawab lagi. Rupanya jawaban Jun Ki tadi disangkanya sebagai pertanyaan, namun sekali lagi Jun Ki menjawab... "Kamu"
Menimbulkan kerutan di dahi Azrina.
Jun Ki tersenyum jahil, lalu memberi isyarat Azrina mendekat ke arahnya. Bibi Sung sudah kembali ke dapur, setelah berpesan untuk menyusul ke dapur saja jika ingin dibuatkan sesuatu.
"Aku cuma mau kamu hari ini" Bisik Jun Ki pelan namun penuh penekanan. Mata Azrina membulat seketika, namun berusaha bersikap tenang. Segaris senyum terbit di wajahnya.
"Oooh, mau aku yang memasak? Okeee... Aku susul Bibi ke dapur, ya. Sekalian lihat, apa yang bisa dimasak disana. Daaah, Oppaaaa.." Mengedipkan satu matanya sekilas, lalu segera berlari kecil menyusul Bibi Sung sembari tersenyum lebar seolah berhasil mengerjai suaminya.
"Chagiyaaaaa! Yaaaa! Awas yaaaa!!"
Azrina semakin tertawa puas mendengar pekikan kesal Jun Ki dari ruang tengah, tapi langkahnya terus diayunkan menuju dapur rumah megah keluarga suaminya ini.
🍁
Setelah menyampaikan pada Bibi bahwa dirinya yang akan memasak untuk hari ini, meski sebenarnya ia tidak berniat sama sekali, namun sikap Jun Ki memberinya ide cemerlang itu.
Daripada dia diam di kamar sampai waktu makan siang? Tidak mungkin ia bisa menghindar lebih lama. Ayolah... Siapa yang bisa.
Ternyata idenya itu disambut baik Bibi Sung, karena mendadak ia harus pergi ke suatu tempat untuk urusan yang baru saja diingatnya.
"Maaf Bibi harus pergi, Nona."
"Tidak apa-apa, Bibi. Sudah, Bibi siap-siap saja. Aku pinjam dapurnya, yaaaa," seru Azrina riang.
"yee... yee... Terima kasih, Nona."
Sekarang, Azrina sedang sibuk melihat-lihat sekeliling dapur rumah ini. Membuka lemari pendingin, memperhatikan isinya. Membuka satu persatu pintu kitchen set yang kokoh berwarna putih tulang dengan desain klasik yang menjelaskan seberapa lama umur dapur ini, namun tetap terasa nyaman dan sangat lapang.
Namira muncul dari arah ruang tengah. "kamu disini?" ucapnya tanpa ba bi bu. Ditanggapi senyum simpul oleh Azrina sambil tetap melakukan kegiatannya.
"Udah ngambeknya?" tanya Azrina iseng.
"Aku gak ngambek, tau. Cuman emang kesel aja sama Hyungsik. Biar dia tau kalau aku juga punya hati."
"Utukutuk ... Sini... sini hatinya dipeluk dulu. Kasian udah banyak baret-baret nya." ujar Azrina usil. Wajahnya sengaja di imut-imutkan, dan merentangkan tangannya berharap Namira menyambutnya hangat. "Apaan sih! Lebay." Gadis itu justru menepisnya. Namun keduanya tertawa kemudian.
"Jadi, kamu ngapain disini, Nyonya Jun Ki?"
Tidak salah, kan? Namira menyebut Azrina dengan sebutan seperti itu? Tapi mengapa sesuatu di hatinya seperti baru saja tercubit keras?
"Oppa mau dimasakin, kebetulan juga Bibi mau pergi, jadi ya udah ..."
"Manja banget sih itu ahjussi. Udah tau istrinya lagi hamil malah disuruh masak," cerocos Namira tidak terima.
"Nggak papa, Mir. Namanya juga kangen," Azrina membela.
"Kalau kangen, sana. Ngedate berdua. Bukan malah minta dimasakin."
"Hehehe ... Kamu gak berubah ya, Mir ... Aku kangen banget ..." kalimat Azrina menggantung. Bagaimanapun, hubungan mereka berdua masih menyisakan sedikit banyak rasa canggung yang membuatnya tidak lagi sama seperti dulu.
"Jadi, mau masak apa? Aku bantu ya!" seru Namira.
"Syukrooon ... Tapi aku bingung nih mau masak apa. Kamu ada ide?"
"Aku sih lagi kangen banget sama Nasi Briyani nya Ummi. Kamu bisa gak masaknya?"
"Mmmm ... Bisa sih. Tapi ada bahannya, nggak? ... Kita perlu beras basmathi dan daging kambing juga, ini daging-daging disini halal beneran nggak?" tanya Azrina yang kini berdiri di depan pintu lemari freezer yang terbuka.
"Bibi bilang sih, halal. Sengaja dibeli di halal market. Nggak jauh dari sini. Apa mau belanja dulu aja kesana biar lebih afdhol?"
"Woooh, okeeee! Kamu tau jalan kesana?"
"Tau lah, aku kan sering ikut Bibi kesana."
"Okedeh, jadi Briyani yaaa. Yuk kita belanja bahan dulu aja."
"Ayo go goooo ... Eh tapi, aku mandi dulu sebentar ya?" Namira menyengir kuda pada Azrina. Membuat sahabatnya itu geleng-geleng kepala.
"Kebiasaan deh, masih suka mandi telat," omelnya.
"Biarin, belom ada suami ini, yeeeee." Gadis itu langsung mengacir dan segera menghilang bersama bayangannya. Sedang Azrina masih melihat-lihat bahan apa yang kira-kira harus dibelinya, atau apa yang sudah ada di dapurnya.
Ketika sedang serius mengamati wadah-wadah kedap udara berisi berbagai macam bumbu masakan, seseorang menghampirinya dari belakang nyaris membuatnya terlonjak. Siapa lagi kalau bukan suaminya.
"Hai, Cantik. Sendirian aja," bisik Jun Ki sembari melingkarkan tangannya di pinggang istrinya.
"Oppa. Bikin kaget ih."
"Hukuman untuk perempuan usil yang melarikan diri setelah menggoda suaminya."
"Ya habisnyaaa— Eh, Oppa! Geliii," satu kecupan lagi mendarat lembut di pipi Azrina. "Oppa. Nanti dilihat orang."
"Tidak ada siapa-siapa disini. Jam segini, pelayan sudah pulang. Tenang saja, sudah kuperintahkan semua orang untuk tidak ke dapur selama beberapa jam." Azrina menggeliat, berusaha melepaskan diri dari lingkaran tangan kekar Jun Ki. "Bahkan jika kita melakukannya disini, aman."
"Hus! Sembarangan!"
Jun Ki tertawa kecil. Tubuh Azrina diputarnya hingga kini keduanya berhadapan. Tanpa jarak. "Eh, serius. Kau mau coba?" Azrina bergidik ngeri lalu segera melepaskan diri ketika ada celah untuk itu.
"Oppa ke kamar saja dulu, ya. Aku mau masak."
"Siapa yang menyuruhmu memasak? Aku tidak lapar."
"Memang bukan sekarang. Untuk nanti siang. Memasak kan butuh waktu lama ... "
"Tapi sekarang aku butuh kamu ... "
"Oppaaa..."
"Itu. Itu! Kau sengaja menggoda dengan wajah seperti itu, tapi menolak disentuh. Wah! Sempurna sekali permainanmu, duhai wanita!"
Azrina terkekeh tak tertahankan. Lalu terjadilah aksi kejar-kejaran yang tentunya tidak seperti film india karena di dapur mereka tidak ada pohon-pohon besar atau lembah dan gunung dengan angin yang bertiup kencang.
"Ayolah, kasihani pria yang sudah lama berpuasa ini ..."
"Kenapa puasa? Anda kan punya istri selama disini, iya kan?"
"Oho! Jadi anda mengizinkan, Nyonya?" Azrina belum menjawab ketika tangan Jun Ki lebih dulu menggapainya, menggelitik sekitaran panggulnya. Menggemakan gelak tawa Azrina yang tidak tertahankan.
"Jangan mengalihkan isu, ya! Selagi aku masih bersabar, jangan coba-coba menggoda singa yang lapar jika kau belum siap dengan hidangannya." Jun Ki memperingatkan. Azrina mengulum senyum, menahan tawa yang masih tersisa bekas jemari Jun Ki yang menari di tubuhnya tadi.
Diam-diam di pintu yang menghubungkan dapur dengan ruangan lain, Bibi Sung dan Hyungsik berdiri mematung disana. Turut menahan tawa menyaksikan aksi sepasang suami istri yang baru bertemu kembali itu. Tidak ingin mengganggu, tapi juga sayang untuk dilewatkan. Jadilah mereka menonton saja tanpa suara.
Tidak lama kemudian, Namira bergabung bersama mereka. Menyapa sekedarnya, lalu melanjutkan langkah menuju Azrina dan Jun Ki. Keduanya sontak melepaskan tautan setelah sadar seseorang menerobos memasuki daerah yang kata Jun Ki sudah dipesannya untuk beberapa jam kedepan.
Bukan main malunya Azrina. Bahkan Jun Ki pun terlihat kikuk dan mati gaya.
"Hadeh ... Yang lagi dimabuk cinta mah bebaaass," goda Namira. Mencoba menutupi kekalutan yang melandanya akibat pemandangan yang dilihatnya tadi.
"Iya dong. Kan halal," ujar Jun Ki setelah mampu menguasai diri.
"Jadi?" tanya Namira pada Azrina yang kemudian mengangguk. "Tapi aku masih perlu melihat-lihat apa yang dibutuhkan."
"Rempah-rempah disitu," tunjuk Namira pada bagian yang sudah dijelajahi Azrina tadi.
"Iya, aku sudah lihat. Tapi kita butuh lebih banyak, jadi harus beli lagi kayaknya." Namira manggut-manggut saja.
"Oh iya. Panci untuk memasak nasinya, ada?"
"Oh panci ya? Di atas situ, biasanya panci-panci yang agak besar ditaruh disitu." Namira menunjuk ke salah satu sisi lemari yang tergantung diatas mereka.
Azrina membuka pintunya, tapi tidak sampai menjangkaunya. "Tinggi ya? Sebentar aku ambil tangga dulu, ya."
Lee Jun Ki yang ternyata masih berada disana segera mengambil posisi tepat dibelakang Azrina dan tangannya bergerak keatas meraih panci yang dimaksudkan sebelum Namira tiba dengan tangganya.
"Kalau ada suami yang bisa diandalkan dalam segala hal, untuk apa tangga? Iya kan?" ujar Jun Ki menyombongkan diri sembari menyerahkan alat masak yang besar itu pada istrinya. Azrina berterima kasih dan mengangguk berulang kali, tidak lupa dengan senyum lebarnya bersenti-senti.
Namira mendengus tidak percaya apa yang disaksikannya barusan. Seolah usahanya sama sekali tidak berarti bagi mereka.
"Mau pergi? Ayo. Aku antar." Namira bahkan tidak lagi mendengar tawaran Jun Ki padanya dan Azrina. Perasaannya lagi-lagi teraduk oleh sesuatu yang tidak juga dipahaminya.
Sampai Azrina meraih lengannya, "ayo, Mir."
Ia mengikuti langkah Azrina gontai. Namun sebelum keluar dari dapur, Bibi Sung mencegatnya.
"Bibi mengatakan ini bukan untuk melukai perasaanmu, tapi justru agar kau tidak terluka lebih dalam. Bibi tahu kalian bertiga terlibat hubungan yang rumit, tapi setelah melihat Azrina dan Jun Ki ... Bibi mengerti, dunia mereka sangat indah dan bahagia. Namun tidak ada kau didalamnya.
Cobalah untuk menjaga jarak dari mereka."
Kalimat Bibi yang tajam menghujam tepat ke ulu hatinya, membuat Namira urung ikut serta dalam rencana belanja Azrina. Menuruti ucapan Bibi Sung, ia biarkan Azrina pergi ditemani suaminya.
Hanya mereka berdua, tanpa dirinya sebagai orang ketiga.
🍁🍁🍁
To be continued dulu, ya.
Btw, guys!
Selamat lebaran!
Taqabbalallahu minnaa wa minkum shalihal a'maal.
Ja'alanallahu minal 'aidin wal faizin.
Mohon dimaafkan segala kesalahan diriku dan semua keterbatasanku, ya. Hiks..
Semoga seusai merayakan hari yang Fitri, hati kita kembali bersih, dosa kita terampuni, dan Bumi pun segera sembuh dari pandemi.
Amiiin.
Salam untuk keluarga, ya!
Dariku dan segenap #teamtakbalikkampung.
Buat kalian yg lebaran tanpa keluarga, sabar ya. InsyaAllah ada hikmahnya.
💓💓💓💓💓💓😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro