26 - Kembali utuh
"Welcome home, My Snow White,"
Begitu Jun Ki meraih genggaman tangan Azrina mendekat ke arahnya dengan kedua tangan, semakin dekat hingga mendekati wajahnya. Mengecupnya puncaknya perlahan.
"Selamat datang kembali. Di rumah kita."
"Jangan pernah pergi jauh dariku, Oppa ... " kata-kata Azrina begitu dalam. Mengisyaratkan bahwa ia benar-benar tak ingin ditinggal suaminya di tempat asing dimana hanya suaminya lah tumpuan hidupnya secara zahir.
Meski ia sepenuhnya sadar, bahwa dimanapun ia berada, Allah selalu bersamanya. Allah menjamin hidupnya. Allah tempat bergantungnya.
"Tidak, tidak akan. Insya Allah."
Azrina tersenyum lega.
"Bismillah ... "
Ketika kakinya menapak pada halaman rumah megah ini, degup jantungnya dirasa semakin kencang. Beberapa kali ia mengatur napas agar jantungnya berdetak normal. Ada yang berkecamuk dalam dadanya, entah itu apa. Ada haru sekaligus bahagia tapi juga resah membayangkan bagaimana ia akan bertemu Namira setelah serentetan kejadian yang merenggangkan hubungan baik mereka. Yang bahkan bagi Namira mungkin sengaja diputuskan, tapi masih terhubung atas izin Allah.
Bagaimana jika Namira tidak bahagia menyambutnya?
Bagaimana jika persahabatan mereka berubah menjadi hubungan canggung yang sangat tidak nyaman?
"Ayo masuk, semua sudah menunggu didalam."
Mereka tepat di depan pintu utama, Lee Jun Ki tak sabar ingin mengajak Azrina masuk. Sebenarnya Azrina juga sama, tidak sabar ingin bertemu orang-orang dekat Jun Ki yang sudah diceritakan oleh suaminya itu. Namun detak jantungnya justru semakin tidak karuan.
Apalagi, mengingat bahwa selama ini yang berperan sebagai istri Jun Ki adalah Namira. Jika tiba-tiba dirinya muncul dan mengaku-ngaku, apakah mereka bisa menerima?
Bagaimana jika...
Lamunan Azrina buyar ketika Jun Ki membuka pintu dan disambut wajah-wajah gembira para penghuni rumah. Orang-orang terdekat yang sudah seperti keluarga bagi Jun Ki.
"Hyeooong!!!"
"Eoseo Deureo-oseyo, Doryeonim."
"Selamat datang, Tuan Muda dan Nyonya muda."
Hyung Sik, Bibi Sung dan Paman Kim menyambutnya sangat ramah.
Bahkan Bibi Sung langsung menghambur ke arahnya, merangkulnya.
Ia sudah tahu bahwa istri Jun Ki yang asli adalah Azrina. Meskipun awalnya Bibi Sung sangat terkejut, tapi ketika dijelaskan ia pun bisa mengerti. Bahkan ketika saat ini ia melihat wujud Azrina yang asli, ia benar-benar terpukau. Sekalipun Bibi Sung membayangkan istri Jun Ki pasti cantik, tapi ia tak menyangka bahwa wujudnya akan secantik ini. Sangat mempesona, anggun dan
berbeda sekali dengan Namira tentunya.
Beberapa pelayan lain yang berbaris menyambut mereka pun tak kuasa menyembunyikan kekaguman.
Sudut mata Bibi Sung tak terasa sudah basah.
"Oh, Nyonya ... Menantumu datang, aigooo ... Andai anda melihatnya, Nyonya..." Bibi Sung menghirup napas dari hidungnya yang ikut berair. Mencipta suasana hening yang mengharukan.
Namun tidak bertahan lama, sebab Hyung Sik dengan barbar nya berhasil mengembalikan suasana riang.
"Oh ayolah! Ini bukan pemakaman! It's time to party!"
"Hah! Cham!"
"Selamat datang, Noona. Perkenalkan, cowok tertampan di rumah ini, Kim Hyung Sik. Panggil aku adik iparmu." Hyung Sik yang mulai sok akrab, segera diketuk kepalanya oleh Jun Ki.
"Siapa yang kau sebut noona, hah?!"
"Siapa lagi, tentu saja dia. Kakak iparku, iya kan, Kakak Ipar?" matanya kini ditujukan pada Azrina sambil menaik turunkan alisnya.
"Tidak usah sok imut begitu, Sik-ah. Kau lebih tua darinya. Dia dongsaeng mu, tahu!" ketus Jun Ki disusul gelak pelan Azrina.
"Jinjjaro?! Maldo andwae!"
"Berhenti bersikap berlebihan. Sekarang bukan kau lagi maknae di rumah ini."
"Tidak mungkin, Hyeong. Kalau kau menikah dengan perempuan yang lebih muda dariku, itu berarti kau menikah dengan gadis dibawah umur, Hyeong!"
Lee Jun Ki menyeringai, "ch, kau akan kaget kalau tahu Namira bahkan lebih tua darinya."
"HEOLLL! Maldo andwae! Kau seorang pedofil!"
Beralih dari keterkejutan Hyungsik yang masih menerka-nerka berapa sebenarnya usia Azrina, di belakang kerumunan orang yang menyambut istri sah Lee Jun Ki itu seseorang berdiri mematung dengan pipi dan ujung kerudungnya yang basah.
Ketika manik matanya bertemu dengan milik Azrina, keduanya menghambur tanpa aba-aba, menyatu dalam dekapan yang menerjemahkan sejuta rasa dalam hati mereka. Air mata telah mengambil bagian besar diantaranya.
"Ma—af ... "
Begitu keduanya bersuara diantara derai isaknya.
Tanpa mencari tahu siapa yang bersalah dan siapa yang terluka, keduanya memilih untuk saling menyembuhkan dengan kata maaf yang lebih dulu dilontarkan, dan pengampunan yang menghapus kesalahan bahkan sebelum adanya pertemuan.
Azrina menggeleng kuat, dagunya bertumpu pada bahu Namira. Isaknya semakin menderu sedang Namira masih terus mengulangi permohonan maafnya meski terbata-bata.
Lee Jun Ki memberi kedua sahabat itu kesempatan untuk saling melepas rindu dan saling membalut luka tanpa mengambil bagian di dalamnya. Bagaimanapun, Jun Ki menyadari persahabatan Azrina dan Namira lebih kuat dan lebih lama dari pernikahannya dengan Azrina.
Sekalipun ikatan pernikahan mereka memiliki kekuatan tersendiri karena ditautkan langsung dari arasy Ilahi, namun untuk saat ini, mengalah untuk waktu yang tidak lama bukan masalah bagi Jun Ki.
Sampai persahabatan mereka kembali utuh, toh keuntungannya juga akan berdampak pada ketentraman hati Lee Jun Ki. Mengingat penyebab keretakannya tak lain adalah karena Lee Jun Ki sendiri.
Bibi Sung dan yang lainnya pun sudah kembali ke kegiatan mereka masing-masing. Waktu makan malam sudah berakhir sebelum Jun Ki dan Azrina tiba. Jun Ki memang sudah mengirim pesan bahwa mereka tidak akan ikut makan malam di rumah.
Dan kemudian tidak ada seorangpun yang makan di ruang makan. Bibi Sung dan Paman Kim makan di tempat mereka sendiri, sementara Namira, paling-paling baru akan makan di akhir malam di dapur Hyungsik dengan resep baru masakan mahasiswa seni kuliner itu. Seperti biasa.
Atau mungkin melewatkan makan malam saja demi waktu berkualitasnya dengan Azrina setelah sekian lama.
Seperti sekarang, saat Namira benar-benar tidak merasakan apapun kecuali rasa bahagia dapat berjumpa lagi dengan sahabat terbaiknya itu.
Rasa murka atas kekecewaan terkhianati oleh Azrina, justru berubah menjadi rasa bersalah ketika dia menyadari bahwa Azrina memang tidak tahu apa-apa tentang hubungan Jun Ki dan dirinya. Lalu kemudian segalanya menguap bersama rasa malu sebab kenyataannya adalah dirinya tidak pernah dianggap oleh Jun Ki kecuali sebagai Azrina.
Di pertemuan yang merekatkan kembali persahabatan mereka kali ini, Namira yang banyak berbicara. Berusaha mengklarifikasi, berusaha meminta maaf lagi akan kesalahan besarnya. Meski sudah berulang kali, bahkan sebelum mereka bertemu disini, Namira tetap merasa berkewajiban untuk menuntaskan segalanya.
Dengan segenap penyesalan, dan tetap mencoba menghibur diri. Sesekali menggelayut manja di lengan Azrina, dan diakhiri dengan janji bahwa ia tak akan mengganggu rumah tangga Azrina lagi.
Lalu memohon izin, setelah ini dia akan kembali ke Indonesia. Melanjutkan hidupnya yang normal kembali, seperti dulu-dulu, jauh sebelum Jun Ki hadir mengisi kekosongan hatinya.
Meski segalanya tidak akan pernah sama, karena yang telah terjadi tak akan pernah bisa diulangi. Dan sosok Jun Ki telah banyak mengubah dirinya hingga menjadi seperti sekarang ini, sementara tanpa Azrina di Indonesia, Namira tahu betul hal itu akan tidak mudah.
Namun mungkin saja, tetap berada disini akan lebih membuatnya sengsara.
"Jangan!" sergah Azrina tiba-tiba. Namira bahkan belum menyelesaikan kalimatnya. "Aku baru tiba, masa kamu tega langsung pergi gitu aja?"
Namira tergugu. Ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu.
"Aku butuh kamu disini, Mir," tegas dan penuh penekanan, Azrina meyakinkan.
Entah bagaimana menafsirkan kalimat yang penuh arti dan harap itu, seolah tanpa Namira, tidak ada keutuhan di dirinya.
"Tapi ..."
"Nanti kita bicarakan ini lagi, ya. Untuk sekarang jangan pulang dulu. Aku akan minta Oppa untuk membolehkanmu tinggal lebih lama."
Seperti tahu apa yang mengganjal hati Namira, Azrina langsung memberi saran cemerlang. Jika Jun Ki mengizinkan, Namira boleh tetap disini, sebagai sahabat dari nyonya rumah tentunya. Bukan lagi sebagai 'nyonya rumah', identitas palsunya.
Di bagian belakang rumah, Paman Kim, Bibi Sung dan putra mereka juga masih membicarakan Azrina.
Tepatnya Bibi Sung yang masih terkejut dengan kehadiran satu lagi perempuan cantik yang dinyatakan sebagai istri sang tuan muda. Sementara selama beberapa bulan ini dia dengan setia melayani seorang perempuan muda yang diperkenalkan juga sebagai istri Lee Jun Ki.
"Ah ibu ... Namira itu hanya istri palsu. Harus berapa kali dijelaskan agar ibu mengerti?"
"Maksudku ... Kenapa harus memalsukan identitasnya? Kalau tuan muda memiliki istri asli dan sah, bahkan sangat mempesona ... Kenapa dia harus repot-repot datang kesini dengan memperkenalkan istri palsunya?"
"Pe-nya-ma-ran! Tahu tidak, Bu? Seperti di film-film laga. Ah ibu tidak akan mengerti karena hanya menonton drama romantis yang tidak logis."
Paman Kim hanya tersenyum sambil menggeleng pelan. Meski pria paruh baya itu tahu segalanya, tapi menurutnya sang istri tidak perlu tahu, lagipula sekalipun dijelaskan panjang lebar Bibi Sung juga tidak akan mengerti, kecuali hanya segera menangisi lagi nasib buruk keluarga majikannya yang sudah sangat terikat dengannya untuk waktu yang lama.
"Apapun itu, kehadiran tuan muda disini bersama istrinya membuatku merasa lega. Setidaknya, ada satu orang yang bisa mendatangkan bahagia dalam hidupnya yang penuh derita."
"Istrinya sangat cantik, kan, Bu? Wah! Awalnya aku kecewa karena hyung menikahi wanita seperti Namira. Aku merasa bersalah pada Tiffany, tapi setelah melihat Azrina. Daebak! Sekarang aku justru merasa iri."
Paman Kim meng-antuk kepala Hyungsik dari belakang.
Hyungsik meringis, mengusap kepala belakangnya "Ah! Appa! Wae?!!" protesnya tidak terima dipukuli sang Ayah hanya karena omongannya barusan.
"Memangnya wanita seperti Namira itu apa? Kau ini selalu merendahkan sesuatu dari penampilannya saja. Apa yang salah dengan Namira? Menurut Ayah, dia gadis yang menyenangkan."
"Bukan merendahkan, Ayah! Hanya membandingkan saja. Ayah saja yang tidak tahu standar perempuan yang layak untuk Jun Ki hyung. Kalau menurut Tiffany, Ji Young Noona saja tidak layak, tidak mungkin Namira memenuhi syarat. Bahkan mendekati pun tidak."
"tto! Tto! Kau menghinanya lagi! Jangan macam-macam kau ya. Namira itu sekarang putri Ayah, tahu!"
"Hol! aku bahkan harus berjuang keras mengalahkan jutaan sperma menuju sel telur ibu agar bisa terlahir sebagai putra Ayah, sekarang dengan mudahnya Ayah menyebut orang lain sebagai anak?! Ch! Sulit dipercaya!"
"Ya! Berhenti bermain drama! Kau mengikuti audisi pemeran pembantu saja tidak pernah lolos!" kali ini Bibi Sung yang menggeplak kepala putra sok imutnya itu.
Di luar kamar yang didalamnya ada Namira dan Azrina, Lee Jun Ki tampak mondar-mandir gelisah. Ia baru saja selesai membersihkan diri, mengganti pakaian dengan setelan santai untuk tidur, dan sekarang sepertinya laki-laki itu tak tahu harus melakukan apa, sedangkan jiwa lelakinya sejak tadi terasa berkecamuk seolah tahu bahwa seseorang yang bisa menjinakkannya sedang berada dekat sekali dengannya. Disini. Di balik pintu kamar ini.
Sayangnya, orang yang dimaksud sepertinya tidak sedang berpikiran sama. Dia lebih mementingkan melepas rindu dengan sahabatnya, dibandungkan dengan mengecap sedikit kenikmatan surga bersama suaminya.
Tidak.
Jun Ki tidak tahan lagi.
Katakan dia maniak, atau apapun yang lebih hina.
Siapapun takkan bisa mengerti rasanya menahan sesuatu dalam waktu yang sangat lama, sedang seharusnya bisa tersalurkan dengan halal dan diridhai saat itu juga.
Tok
Tok
Suara ketukan itu membuat dua sahabat yang baru saja bergelak tawa terkesiap tiba-tiba.
"Ch! Pangeran datang ... " ujar Namira lesu setelah memastikan siapa yang mengetuk di balik pintu itu.
"Azrina, belum tidur kan?" tanya Jun Ki hati-hati dari balik pintu kepada Namira yang juga dapat didengar jelas oleh sang istri.
"Belum. Tenang saja. Belum juga jam 12, belum waktunya Cinderella pulang."
Pintu ditutup lagi. Meninggalkan Jun Ki yang terpaku di depan pintu.
Ia mengumpat dalam hati. Kenapa tadi dia tidak berterus terang saja?! Kenapa harus basa-basi?
"Ck! Baiklah, kita coba lagi," ucapnya pada dirinya sendiri. Lalu mulai mengetuk pintu lagi. Jun Ki menertawai dirinya sesaat ketika menyadari tindakannya ini hampir menyerupai adegan dalam film animasi yang sering ditonton Azrina di apartemennya dulu. Ketika seorang putri kecil mengetuk pintu kamar kakaknya, mengajaknya bermain, membuat boneka salju. Tapi tak ada sahutan dari dalam kamar.
Bedanya, saat ini Jun Ki mengetuk untuk mengajak istrinya bermain, membuat boneka sungguhan, yang bisa hidup dan bernafas, mungkin.
Jun Ki semakin tertawa geli membayangkannya.
Putri? Atau Pangeran?
Atau dua-duanya?
Bagaimana cara membuatnya agar menjadi dua?
Lamunan indahnya terbuyarkan ketika muncul wajah Namira dari balik pintu lagi.
"kkamjagiya!" Jun Ki mengurut dada. Sejenak lupa apa yang akan dikatakannya setelah mengetuk tadi.
"Eng. Itu. Anu ... Azrina... Sepertinya belum sholat. Katakan padanya untuk segera ke kamar, aku menunggu untuk sholat berjamaah."
"Sudah, dia sudah sholat tadi. Barusan."
"Ck! Kenapa kamu terus yang jawab, sih?! Menyingkir! Biarkan aku masuk dan bicara langsung dengan istriku."
"jogiyo! Ahjussi galak! Ini juga dijawab karena disuruh istrimu. Ish! Kalian kenapa, sih?! Istrinya malu-malu kucing begitu, suaminya tidak tahu malu. Melelahkan."
"Kau tahu lah, emergency!" ujar Jun Ki berbisik. Membuat Namira berpikir keras. "Ah! Sudahlah. Kau tidak akan mengerti! Mana istriku, yeobooooooo... Chagiyaaaa ..." Jun Ki lalu berteriak-teriak seolah sedang mencari istrinya yang kabur dari rumah.
Azrina tertawa sampai wajahnya memerah.
Entah kapan terakhir kali kegembiraannya terasa begitu utuh seperti saat ini. Ia lalu berdiri, dan berjalan menghampiri suaminya kemudian mohon diri pada Namira.
"Udah sana, hus hus!" Namira mengantar dengan menampakkan senyum terlebarnya.
Apapun yang dirasakan dalam hatinya saat ini, ketika melihat Azrina bersandar mesra dalam rangkulan sang suami, ia anggap sebagai rasa bahagia yang membuat sesak dadanya karena terlalu penuh.
Dan dua sejoli itu berjalan lurus menuju kamar yang berhadapan dengan kamar tempat Namira. Tidak begitu jauh, tapi cukup untuk membuat Jun Ki yang jenius menjadi idiot seketika.
"Aku sudah solat, Oppa. Maaf."
"Aku juga. He he"
"Loh? Terus?"
"Aku memanggilmu untuk beristirahat, apa lagi?"
Tatapan mencurigai terlempar dari mata Azrina, membuat Jun Ki semakin tidak bisa menahan diri. Itu, menggemaskan sekali!
Tidak. Tidak. Bersikaplah se natural mungkin.
"Coba lihat, bahkan pakaianmu belum diganti. Ayo sana, bersih-bersih dulu."
Azrina mengangguk syahdu dengan mengulum senyum. Jemarinya yang sejak tadi bergerak membuka pengait jilbabnya kini beralih melepas pelapis hijab dan memperlihatkan mahkota hitamnya yang indah dengan sempurna.
Bahkan hal kecil seperti aktifitas Azrina melepas jilbab pun sangat dirindukan Jun Ki. Aktifitas yang selalu dilihatnya selepas Azrina pulang kuliah atau sepulangnya mereka dari suatu acara. Azrina akan sibuk melepas pengait-pengait jilbabnya sambil mengobrol juga. Yang paling Jun Ki sukai adalah bagian akhir ketika rambut lurus istrinya yang dikuncir itu bergoyang-goyang lembut saat terlepas dari tutup kepalanya.
Jun Ki masih asyik memperhatikan gerakan perempuan di hadapannya ini hingga ia memasuki kamar mandi seusai menyiapkan peralatan kebersihan tubuhnya. Bahkan kehadiran sosok jelita di kamar yang semula hening sepi dengan kesendiriannya itu lebih dari cukup untuk menghangatkan musim dingin tahun ini.
Tak ada yang bisa mencegah Jun Ki melompat ke arah istrinya sekeluarnya ia dari kamar mandi dengan hanya mengenakan mantel mandi dan handuk yang melingkar di kepalanya. Aroma wangi khas istrinya seketika menyeruak memenuhi kamar. Menyentuh ujung hidung Jun Ki dan meresap hingga ke pembuluh darahnya.
Tak menunggu diizinkan, lengan Jun Ki bergerak melingkari pinggang Azrina dari belakang ketika istrinya itu sedang membungkuk mengambil pakaian dari kopernya. Sontak tubuh Azrina menegak. Tanpa sengaja memberi kesempatan Jun Ki untuk menjelajahi leher putihnya yang mulus. Menyesap aroma kulit Azrina yang telah lama dirinduinya. Menimbulkan cipratan dari dalam tubuh Azrina yang seketika menghangatkannya.
"Hmmmm... Kau selalu wangi. Sudah lama aku tidak merasakan aroma ini," ujar Jun Ki berbisik, tanpa menjauhkan wajahnya dari leher Azrina. Membiarkan uap dari napasnya berembus mengitari leher jenjang sang istri. Sesekali mencuri cumbu disana. Sementara Azrina tak bisa melakukan apa-apa selain juga menikmatinya.
"Parfum kamu apa, sih? Aku sudah mengelilingi semua toko parfum disini mencari aroma yang sama dengan milikmu, tapi tidak ketemu."
Kini kepala Jun Ki ia tumpukan pada bahu Azrina masih dengan posisi memeluknya dari belakang. Azrina tersenyum kecil. Pertanyaan terkonyol di situasi seperti ini, bukan?
"Padahal maksudku, menghirup aromamu saat tak ada kau disampingku bisa sedikit meredakan rasa rindu," lanjutnya sedih. Azrina justru tertawa.
"Pasti Oppa cari di toko parfum mahal, iya kan? Ya tidak ketemu lah."
Ia berhasil melepaskan diri dari tangan Jun Ki yang menyergap tubuhnya tadi.
"Ya, pasti mahal kan? Seperti produk-produk perawatan tubuh kamu itu."
Azrina menggeleng sambil menahan tawa yang hampir meledak. "Oppa kan tau, aku bukan orang yang memilih barang karena harganya. Tapi kualitasnya. Mau barangnya dijual di pasar tradisional, kalau aku suka dan barangnya memang bagus, kenapa tidak? Iya kan?"
"That's my wife! My truly queen."
"Ini," Azrina memperlihatkan botol pewangi nya pada Jun Ki. "Ini parfum aku sejak masih santri. Belinya di Saudi kalau umrah atau titip orang yang kebetulan ke sana. Nggak mahal, kok. Cuma sekitar sepuluh Riyal. Di toko-toko kecil di sepanjang pasar Madinah dan Mekkah atau Jeddah juga banyak."
Jun Ki dibuat melongo dengan penjelasan panjang istrinya.
"Oho! Kamu pakai minyak wangi sejak santri? Berarti aku bukan laki-laki pertama yang mencium aroma ini?"
"Laki-laki siapa maksud Oppa? Abi? Pastinya. Kan Abi yang sering belikan."
"Bukan, maksudku ... Laki-laki yang kebetulan menghirup wangi ini kalau kamu lewat."
"Na'uzubillah. Oppa. Pasti tahu kan perempuan tidak diperkenankan mengenakan minyak wangi lalu tercium oleh para lelaki.
Minyak wangi sebenarnya halal, jika dipastikan wanginya tidak tercium oleh laki-laki yang bukan mahram.
Ataupun bagi istri untuk menyenangkan hati suaminya.
Oppa lupa ya? Dulu pesantrenku isinya semua perempuan. Parfum bukan barang langka yang diharamkan. Dengan syarat, tidak dipakai diluar. Atau di tempat yang ada laki-lakinya."
"Oh. Maaf. Yang ini aku tidak tahu. Sungguh ... Keseharianku bahkan setelah menjadi muslim dan berinteraksi dengan perempuan-perempuan muslim, diantara mereka banyak yang masih beraroma wewangian. Kupikir itu memang dibolehkan. Apalagi setelah menikah denganmu, kau selalu wangi."
"Itu karena aku sudah jadi istri oppa. Coba ingat-ingat, sebelum pernikahan kita, pernah ketemu denganku dan mencium aroma ini? Tidak kan?"
Jun Ki mengingat-ingat. "Entahlah. Aku lupa, lagipula kamu memakai wewangian atau tidak menurutku sama saja. Selalu memabukkan."
"Ih. Apa sih, Oppa."
"Dahaengida. (syukurlah)"
"Kenapa?"
"karena kamu tidak masalah dengan barang-barang murah. Berarti kamu tidak akan kenapa-kenapa kalau suatu hari aku menjadi miskin dan tidak memiliki apa-apa."
"Ehm.." Azrina mengulas senyum "Asalkan bersama denganmu, aku siap hidup dalam keadaan apapun. InsyaAllah."
Rumah tangga mereka memang antimainstream. Ketika seharusnya suasana romantis sudah tercipta. Mereka malah mendiskusikan harga parfum dari pasar Arab Saudi dan mengapa perempuan tidak boleh memakai wewangian. Tidak heran jika pasangan yang baru menikah sedang berbahagia dengan bulan madu mereka, Azrina dan Jun Ki harus rela terjerat dalam badai pertama pernikahan mereka.
Sebab mereka memang berbeda.
"Yah! Kenapa dipakai bajunya?" protes Jun Ki saat Azrina mulai mengganti mantel mandi dengan setelan tidurnya yang sejak tadi tertunda karena Jun Ki terus mengusiknya.
"Tidak mungkin tidur dengan jubah mandi, kan?"
"Kan bisa tidur tanpa baju," Jun Ki mengedip-ngedipkan matanya jahil.
"Terus besoknya langsung flu. Begitu?"
Kode pertama, gagal.
"Ini panas, lho. Kalau pakai baju setebal itu, kau bisa kegerahan."
"Ini tidak tebal, Oppa. Ini bahannya tipis. Mana bisa aku tidur dengan baju tebal di suhu 49 derajatnya Mekkah. Sepertinya Oppa sudah mengantuk. Ayo sini tidur."
Kode kedua, gagal total.
Entah Azrina benar-benar tidak mengerti atau pura-pura saja. Ia sama sekali tidak menggubris kode-kode yang dilemparkan suaminya. Ia justru mulai merebahkan diri ke kasur dan mengajak Jun Ki serta. Dengan langkah gontai, Jun Ki mendekati ranjang dan menghempas tubuh lesunya berbaring disamping istrinya. Dengan mata terpejam, senyum Azrina terkulum ketika merasakan kasurnya berguncang oleh gerakan Jun Ki disampingnya yang gelisah berulang kali membenarkan posisi tidurnya.
Bagaimana ia bisa menemukan posisi yang pas jika yang diharapkannya adalah posisi yang berbeda?
"Jadi ini kamar Oppa? Tidak terlihat seperti kamar seorang pria ..." Pandangan Azrina berkeliling mengitari setiap sudut kamar yang ia tempati.
"Bukan. Ini kamar Ibu. Kamarku yang dipakai Namira sekarang."
"Kenapa Oppa tidak disana?"
"Ya karena ada Namira disana. Memangnya boleh aku sama Namira disana?"
"Eh. Tidak. Maksudku ... Aku pikir ..."
"See? ini tidak seperti apa yang kau pikirkan. Sudah berapa kali aku meyakinkan."
"Habisnya ... "
Mereka akhirnya melewati malam hanya dengan sesi pillow talk. Dimana hanya Azrina yang banyak berbicara. Sedang Jun Ki sibuk memikirkan cara bagaimana dia bisa segera melumat bibir ranum yang bergerak tanpa henti seolah sengaja menggodanya itu.
Kalau dipikir-pikir, kenapa Jun Ki tidak langsung menerkam saja? Bukankah tidak ada larangan?
Ah ... Dia bukan suami jenis seperti itu. Sebesar apapun hasratnya, ia pun masih mempertimbangkan kondisi istrinya dan tidak akan melakukannya jika istrinya memang tidak mau. Sekalipun ia punya hak penuh akan hal itu, malaikat berpihak padanya kalau-kalau istrinya menolak, laknat akan jatuh padanya.
Itu yang coba dimengerti Jun Ki. Mungkin istrinya lelah.
Dan sangat tidak adil jika harus menanggung murka Allah karena kelelahan.
Dengan pasrah hati, setelah mengecup sekejap kening Azrina, dan mengucapkan selamat beristirahat, Jun Ki membalik badannya memunggungi Azrina. Beralasan akan segera tidur karena besok ia akan sibuk dengan Paman Kim.
🍁
Malam sudah berlalu setengahnya. Ketika pasangan suami istri ini masih sibuk meredam gejolak di hati masing-masing. Mencoba mengatasi rasa rindu ingin bercumbu dengan pejaman mata dan embus napas berat yang beradu. Entah apa yang menghalangi mereka sampai harus bersusah payah menahan hasrat jiwa. Padahal, andai satu dari mereka memulai pergerakan yang lebih intens, maka segala yang tertahan akan meledak lebih dari perkiraan.
Sementara di luar kamar, dua orang lagi-lagi sedang bergerilya di tempat mereka biasa menghabiskan malam. Tidak tahu hubungan apa yang terjalin diantara mereka. Bersikap seolah tidak peduli, tapi diam-diam saling memberi. Berlagak saling antipati, namun nyatanya saling mencari.
"Geuraesseo, dengan kedatangan sahabatmu itu, apa yang berubah?"
Hyungsik menarik kursi bulat dari meja di mini bar dekat dapurnya setelah meletakkan semangkuk masakan dari resep barunya dihadapan Namira yang duduk berlawanan arah dengannya.
"mwo ... Mungkin terlihat tidak ada yang berubah. Tapi disini," Namira menunjuk ke dadanya. "Disini, jadi terasa lega. Karena aku sudah berhasil menuntaskan segalanya."
"Kau yakin?" Hyungsik mengangkat satu alisnya.
"musun mariya?" sedikit canggung Namira menarik mangkuk makanan di hadapannya lalu mulai menyendoknya. Malam ini Hyungsik memasak makanan sejenis ramyeon tapi dengan modifikasi racikan bumbu yang bisa diterima oleh lidah Namira.
"Mmm, masittda! Wooo ... Hyungsik chef-eu-nim daebak!"
Hyungsik membusungkan dada oleh pujian Namira. Mereka berdua seolah sedang memainkan peran saling menguntungkan. Dimana Namira bisa makan dengan gratis tanpa takut makanannya tidak sesuai seleranya. Dan Hyungsik yang akhirnya memiliki penggemar untuk setiap masakan baru dari eksperimennya.
Entah Namira yang terlalu receh, atau tangan Hyungsik yang berubah ajaib ketika memasak untuk Namira, padahal ketika Bibi Sung atau Jun Ki yang mencobanya, keduanya kompak menyemburkannya lagi.
Diam-diam Hyungsik menangkap gelagat aneh pada Namira. Sesuatu seperti mencoba tetap tersenyum meski hatinya terluka. Tapi Hyungsik tidak berani mengangkat hal itu menjadi topik mereka. Tanpa diberitahu, Hyungsik mengerti luka itu tersebab apa. Lebih mengerti dari Namira sendiri yang tidak menyadari bahwa hatinya kini lagi-lagi sedang berdarah.
"Mereka serasi, ya," ujar Hyungsik memecah keheningan. Namira terbatuk pelan tersedak saat menyeruput kuah ramyeonnya.
"ah? apanya? Oh. Jun Ki dan Azrina? Hm. Tentu saja. Mereka Best couple ever."
"Mungkin hanya perasaanku saja, tapi sepertinya kau mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan hatimu."
"Mm. Mattjo! Itu perasaanmu saja. Bukankah sudah kubilang hatiku terasa lega."
Kena kau!
"Aku tidak mempertanyakan bagian itu, Nami. Maksudku, ramyeon dengan iga sapi. Serasi, kan? Lagipula untuk apa membahas mereka yang sedang bulan madu didalam sana? Bahkan mengingat kita juga tidak ... " Lalu seolah terperanjat, Hyungsik menutup mulutnya dramatis, "sseolma, kau cemburu pada mereka?! Hey ... Nappeun yeoja! Sebaiknya kau menyerah."
"Naega wae?! Kau tahu apa?"
"Eng! Majayo, nim-a. Aku tidak tahu apa-apa. Tapi setidaknya aku tahu bagaimana makan dengan benar" ketus Hyungsik menyindir.
"Kenapa? Apa yang salah dengan cara makanku?" menyeruput ramyeonnya kasar hingga kuah-kuah yang menetes dari sela-sela mie nya terciprat berceceran. Namira sengaja membuat Hyungsik semakin kesal.
"Yaaaa! Bahkan anjing bisa lebih beradab daripada caramu makan! Semuanya menempel di mulutmu, Itu. Disitu, sssshhhhh! Menjijikkan sekali." Hyungsik meraih tisu yang tak jauh darinya, bermaksud mengulurkannya pada Namira. Tapi ditanggapi berbeda oleh gadis itu.
"Jangan berani-berani menyentuhku, ya!"
"Ch!" Hyungsik mendecak. "Tidak tahu terima kasih! Siapa juga yang mau menyentuhmu, dasar ratu drama!"
"Kau, kau pasti sengaja mencari kesempatan kan?! Tidak akan pernah!"
"Omo. Jinjja! Berhenti menonton drama bersama ibuku. Khayalanmu itu terlalu mengada-ada. Kau pikir aku tertarik dengan gadis barbar sepertimu? HAH! bahkan jika kau meregang nyawa karena terpeleset dari Namsan Tower pun aku tidak akan menyentuh dan menolongmu."
"Aku juga tidak berharap kau yang menolongku."
"Lalu siapa?! Jun Ki hyung?" Hyungsik tertawa mengejek.
"Berhenti membodohi dirimu sendiri!" tegas Hyungsik.
"Memperjuangkan sesuatu yang sama sekali tidak pernah berbalik menoleh padamu itu hanya akan menghabiskan seluruh waktumu yang berharga. Bahkan kesempatan untuk menemukan sesuatu yang lebih baik justru kau tutup rapat-rapat. Pada akhirnya kau tidak akan mendapatkan apa-apa selain kesengsaraan diatas kebahagiaan orang lain," lanjutnya memberi saran.
🍁
Mempertahankan sesuatu yang tidak pernah berbalik menoleh ke arahmu hanya akan menyakiti dirimu sendiri.
Baek Ji Young mengembus napas berat. Tangannya memutar-mutar gelas kaca berisi minuman beralkohol dengan beberapa butir batu es, ia mendesah lagi sebelum meneguk habis isi gelas yang entah tuangan ke berapa itu.
Malam ini pikirannya terganggu. Entah mengapa tiba-tiba ia teringat masa lalu ketika ia begitu tergila-gila pada Lee Jun Ki.
Kalimat itu, kalimat dari Yoon Jae yang membuatnya menyerah saat itu. Pikirnya dengan menyerah dan tidak lagi mengejar Jun Ki yang tak pernah menanggapinya akan membuatnya merasa lebih baik. Sayangnya, keputusannya untuk menyerah dan memilih untuk mengikuti Yoon Jae membalaskan dendamnya pada Jun Ki menimbulkan penyesalan yang besar hingga hari ini.
Sampai mereka semua mendewasa dengan karir cemerlang masing-masing. Pada suatu waktu yang hening, Ji Young, wanita independen itu membuka sisi rapuhnya. Sesosok wanita lemah yang masih sangat merindukan Lee Jun Ki. Seperti saat remajanya dulu.
Kegundahan hatinya kali ini bukan tanpa sebab. Ini sudah malam ke sekian ia dilanda gundah. Mungkin sejak dia tahu bahwa Jun Ki benar-benar tidak akan berbalik padanya, meski baru saja harapan itu kembali bertumbuh lantaran kemunculan Jun Ki secara tiba-tiba setelah menghilang bagai ditelan segitiga bermuda.
Bukan lelucon rasa gembira yang bersorak di hatinya ketika mendengar kedatangan Jun Ki. Bahkan ketika ia menemui lelaki itu yang didapatkannya hanya respon dingin dan terusir untuk ke sekian kali. Sekalipun ia harus berpura-pura bersikap seolah ia telah melepaskan Jun Ki dari hatinya sejak lama.
Tidak mengapa. Asalkan ia bisa melihatnya, lagi.
"Haruskah aku menyerah. Atau terus bertahan saja?" lirihnya yang terdengar seperti ceracau akibat mabuk.
Wanita itu, baru saja merasa kembali utuh setelah bertahun lamanya menjalani kepura-puraan demi melindungi Jun Ki dari keegoisan dan manipulasi Yoon Jae.
Ji Young bukan tidak tahu, semua keributan yang memusatkan Jun Ki sebagai pelaku pada masa-masa sekolah dulu, Yoon Jae lah otaknya. Segala hal kotor dilakukannya, demi memfitnah dan memperburuk nama Jun Ki untuk mengambil posisinya.
Ji Young tahu. Tapi terus berada di sisi Jun Ki, bertahan membelanya seorang diri tidak dapat membantu banyak. Terlebih ketika Yoon Jae mulai mengancam bahwa Jun Ki akan lebih menderita jika Ji Young tetap di sisinya.
Ji Young menyerah. Begitu kelihatannya.
Namun nyatanya, ia sedang melindungi Jun Ki dengan cara yang berbeda.
Dan ketika derai airmata yang tumpah sesaat setelah ia menyatakan untuk tidak lagi peduli pada Jun Ki, dimanfaatkan Yoon Jae sebagai senjata untuk kembali menyerang Jun Ki dengan keroyokan membabi buta. Alasan klasik karena membuat Ji Young menangis.
Hari itu, Ji Young tak pernah lupa.
Tangisannya yang membuat Jun Ki babak belur penuh luka, tepat di hari ulang tahun adiknya.
Luka yang lebih besar menimpanya kemudian, atas kepergian adiknya untuk selamanya.
Butuh waktu lama bagi Ji Young untuk kembali pulih setelah saat itu, pulih dari perasaan bersalahnya. Andai ia tidak menyerah saat itu, andai dirinya tidak menangis kala itu.
Mungkin Jun Ki tidak akan menderita lebih banyak. Mungkin ... Tiffany masih bisa hidup lebih lama.
Ji Young.
Wanita yang tengah mabuk kini, tahu segalanya.
Yang tak diketahuinya adalah, ancaman Yoon Jae untuk Jun Ki adalah gertakan saja. Yang sebenarnya diinginkannya adalah Ji Young. Ji Young agar mencintainya saja. Bukan Jun Ki.
Tapi siapa yang bisa mengatur rasa hati?
Andai Ji Young bisa, sudah lama ia menghapus Jun Ki dari hatinya. Menggantinya dengan banyak nama.
Yoon Jae misalnya.
Yoon Jae kala itu kerap merasa dengki, karena segalanya berpihak pada Jun Ki. Sendok emas yang dimilikinya sejak lahir, itu yang berusaha direbut Yoon Jae darinya. Bahkan ketika semuanya telah berhasil dia renggut dari saudara tirinya itu. Satu-satunya yang tersisa pun tidak dibiarkan begitu saja. Karena yang tersisa itulah yang sebenarnya paling berharga — Ji Young dan ketulusannya.
Yoon Jae bisa merasakan itu. Jun Ki yang bodoh, terlalu bodoh untuk menyadari betapa cinta Ji Young untuknya teramat murni.
Tetapi lagi-lagi, saat itu Jun Ki sedang berada pada titik terendah hidupnya. Sekalipun segala bahagia diulurkan, jangankan untuk menanggapi tulus cinta Ji Young, untuk mencintai dirinya sendiri bahkan ia tidak tertarik. Ia lupa bagaimana cara bahagia.
Dan kini, keutuhan yang baru dirasa Ji Young, dengan sangat terpaksa harus terpecah lagi.
🍁
"Menurutmu, mereka berdua sedang melakukan apa di kamar?" Hyungsik bertanya usil. Namira menghentak meja dengan sendok ramyeonnya.
"Ya!!!" hardiknya.
"Kau mau bertaruh? Berapa ronde yang mereka mainkan?"
"Ch! Mittcheon-nam!"
"Ough! Membayangkan ganasnya hyung menghabisi istrinya malam ini membuatku merinding. Lihatlah, besok pagi Azrina pasti tidak akan bisa bangkit dari tempat tidurnya."
"Yaaaa! Shikkeureo! Biarkan aku menghabiskan makananku!"
Kali ini sendok ramyeon Namira tidak lagi terhentak di atas meja. Tapi di kepala Hyungsik yang terdiam seketika. Antukan sendok dari Namira cukup keras sampai menyangka ia akan amnesia karenanya.
🍁
"Ya Allah! Aku hampir lupa!"
Jun Ki yang tak berselera lagi merespon Azrina tidak mengubah posisinya memunggungi Azrina meski ia merasakan Azrina berangsur duduk di sampingnya.
"Oppa sudah tidur?"
"Mm?" Jun Ki merespon dengan mengeluarkan suara pura-pura terbangun dari tidur.
"Tolong buka bajunya, Oppa," tangan Azrina menggoyangkan tubuh Jun Ki pelan.
Mendengar kalimat sakti itu, Jun Ki sekejap saja langsung berubah posisi menjadi duduk. "Hey, kau anak kucing yang pemalu tapi selalu ingin langsung ke inti," dengan senyum kemenangan penuh semangat Jun Ki menuruti permintaan sang istri.
Azrina hanya berdehem pelan, melihat suaminya setengah polos, menunjukkan dada bidangnya dan kotak-kotak kecil yang terbentuk di bagian perutnya. Otot bisepnya tampak membusung meski sepenglihatan Azrina suaminya sedikit lebih kurus dari terakhir mereka bertemu. Hati kecilnya diam-diam mengakui bahwa dirinya pun memang sangat-sangat rindu bersandar manja pada tubuh itu.
Tapi bukan itu yang sebenarnya menjadi fokus Azrina melainkan bintik merah yang menyebar hampir ke seluruh permukaan kulit Jun Ki. Azrina berdiri, merogoh sesuatu dari tas nya.
Di belakangnya Lee Jun Ki sibuk mesem-mesem geli atas sikap istrinya yang seolah sedang bermain tarik ulur dengannya.
Oke, girl. Aku ikuti permainanmu.
"Apa aku juga perlu membuka celana?"
"Boleh kalau ada di kaki juga," jawab Azrina tanpa menoleh. Matanya sibuk mencari sesuatu dalam kotak berisi obat-obatan yang harus selalu dibawanya kemana saja.
Lee Jun Ki seketika berdiri dan bersiap menanggalkan celana panjang yang dikenakannya.
"Ketemu!" tersenyum lega, Azrina membalikkan badan "Ayo, Oppa. Tiduran."
"Langsung?" Jun Ki justru menggamit tangan istrinya hingga terbekap diantara lengan dan dadanya. "Tidak pemanasan dulu?" Kembali Jun Ki membubuhi napas hangat dari mulutnya di sekitar leher Azrina dan berakhir dengan menggigit kecil ujung telinga istrinya itu.
"Eeeh! Jangan pengalihan isu! Ini loh badannya Oppa, memangnya tidak gatal?" Azrina menepuk dada Jun Ki. Meski sebenarnya ia berniat untuk mencubit saja suaminya tadi.
"Siapa yang mengalihkan siapa?! Kau menyuruhku membuka baju, untuk apa lagi kalau bukan untuk ..."
"Untuk diolesi salep, Oppa! Ya ampun..." cepat-cepat Azrina menyela. Agak ngeri jika harus mendengar lanjutan kalimat suaminya yang terkadang harus disensor karena terlalu vulgar.
Wajah Jun Ki tertekuk sekali lagi. Hilang sudah sumringahnya yang baru terbit tadi. Seolah ia baru saja diajak melambung tinggi namun dihempaskan ke kubangan kotoran babi.
Sungguh mengesalkan. Dengan lemas ia membetulkan kembali letak celana panjangnya yang sudah turun setengah tiang.
"Kapan terakhir kali alergi Oppa kambuh?"
"...." membelakangi Azrina, Jun Ki memilih fokus mengenakan kembali pakaiannya.
"Oppa ... "
"Hm ... "
"Maaf ya ... "
"Mmmm ... Lain kali tidak usah berbelit-belit dan penuh teka-teki agar tidak menimbulkan salah paham."
"Maaf, karena meminjamkan mantel Oppa tadi padaku, alergi Oppa jadi kambuh."
Lee Jun Ki hampir tidak percaya mendengar Azrina meminta maaf oleh sesuatu yang sebenarnya bukan hal yang mengecewakan hatinya saat ini. Bahkan, alergi dingin yang menimbulkan rasa gatal di tubuhnya sejak tadi tidak terlalu mengganggunya sebab ia lebih terganggu oleh sesuatu yang menuntut di dalam dirinya.
"Oppa sayang ... Dioles salep dulu, ya? Yuk ... "
"Tidak perlu. Nanti juga sembuh." malas-malas Jun Ki menjawab.
"Oppa jangan begitu. Terakhir kali Oppa cuma minum air dingin dan langsung sesak napas. Sedangkan tadi. Oppa berjalan di cuaca dingin tanpa mantel penghangat."
"Tadi sudah minum obat."
"Maafkan aku karena tidak peka."
"Hm ... Kau memang benar-benar tidak peka."
Azrina tersenyum kikuk. Lalu pelan-pelan melangkah mendekati Jun Ki yang masih membelakanginya hendak mengenakan lagi kausnya.
Tangan Jun Ki yang terangkat keatas saat memasukkannya ke lengan baju berhenti dan seakan seseorang menekan tombol jeda. Jun Ki terdiam seperti itu selama beberapa sekon karena tangan mungil diam-diam dengan cepat melingkari pinggangnya. Bahkan pemilik tangan itu juga menyandarkan kepala hingga rasa hangat dari wajahnya menempel di punggung tegap Jun Ki.
"Yah ... Appa bilang, Ummi tidak peka, Nak. Padahal dokter bilang kamu belum boleh bertemu appa, kan, Nak? Coba tolong buat Ayahmu mengerti, Sayang."
Berbeda dengan musim dingin Korea yang tidak membuat aktifitas warganya terhenti, atau melambat. Kalimat Azrina barusan seakan-akan membuat dunia Jun Ki melambat. Ia sedang mencerna kalimat itu baik-baik.
Appa.
Ummi.
Anak.
Dokter.
Dan Azrina yang kini senyum-senyum centil dengan mengusap-usap puncak perutnya.
Apakah ini artinya...
"Kau ..."
Azrina mengendikkan dagu setengah mengangguk. Senyum tak lepas dari wajahnya.
"Benarkah?" Jun Ki yang hampir kesal tadi langsung berubah sumringah lagi. Antara ingin bersorak tapi masih harus memastikan, "ini. Disini. Benarkah ada seseorang disini?" dengan tangan bergetar ia letakkan tangannya bersama tangan Azrina di perutnya.
Azrina mengangguk meyakinkan. Senyumnya mengembang lebih lebar dari sebelumnya.
"Allahu Robbi ..." sepasang mata itu kini berkaca-kaca. Tak menunggu lama segera ia menangkup wajah istrinya dengan kedua tangan, menghujaninya dengan kecupan-kecupan hangat nan syahdu. Keningnya, kedua matanya, puncak hidungnya, kedua pipinya lalu ke bibir. Dan beralih ke perutnya, mengecup bagian sana beberapa lama, kemudian mengusapnya lembut.
"Halo, Sayang. Ini Ayah."
Kini Jun Ki kembali tegak lagi. Menatap istrinya seusai mengusap ujung matanya yang mulai basah.
"Kau! Sudah berapa lama? Kenapa tidak pernah bilang?"
"Oppa tidak pernah bertanya," jawab Azrina santai. Tentu saja bercanda. Jun Ki lalu mendekap Azrina lagi.
"Aku serius, kita sudah lama tidak bertemu. Kalau kau tiba-tiba hamil kan sedikit mencurigakan ..." ucap Jun Ki tanpa melepaskan rangkulannya, kepalanya sedikit mencondong agar bertatapan dengan istrinya.
"Oppaaaaaa!" rajuk Azrina, mencubit pelan lengan suaminya.
"Makanya, dijawab dulu, dong. Sejak kapan? Kau bahkan tidak terlihat seperti wanita hamil. Bahkan lebih kurus. Apa bayiku hidup dengan baik di perut ibunya selama ini?"
"Kalau terus bicara tanpa jeda, Oppa hitung sendiri saja."
Jun Ki terkekeh.
"Kalau dihitung-hitung sejak terakhir kita melakukannya, sekitar empat bulan, ya? Apa aku benar?"
Azrina lagi-lagi mengangguk membenarkan.
"Eh? Itu berarti tidak lama setelah hari pernikahan kita? Oh ya Allah, selama ini kau menyimpannya sendiri? Ah! Rasanya aku seperti dikhianati."
"Tidak bermaksud untuk merahasiakannya, Oppa. Hari saat aku melakukan tes, adalah hari itu. Hari dimana laptop Oppa ketinggalan di rumah dan ya..."
"Shhhh ... Shhh ... Jangan dilanjutkan. Jadi sejak itu?! Aduh, Sayang. Maafkan aku. Aku bukan suami yang baik ... Aku bahkan tidak bisa merasakan ada yang berubah denganmu."
"Jadi, siapa yang tidak peka?"
"Aku! Iyaaa aku! Tapi seharusnya kau membiarkan aku tahu."
"Kalau tahu juga bisa apa, Oppa? Oppa keburu pergi dan tidak kembali lagi. Aku bahkan hampir mempersiapkan diri menjadi orang tua tunggal."
"Kau baru bertemu Namira lagi, sudah terpengaruh drama darinya ... Mana mungkin aku tidak segera pulang kalau tahu kau mengandung?"
"Ya ... Kupikir, ada yang lebih penting disini."
Jun Ki tahu betul yang dimaksudkan Azrina dengan kalimatnya itu. Tapi dia acuhkan saja. Tak ingin kebahagiaannya terusik oleh sesuatu yang tidak sepenting perkiraan Azrina.
Alih-alih mempersoalkan hal itu, Jun Ki justru mengajak Azrina, menarik gagang pintu dan keluar dari kamar.
Di tengah keheningan rumah saat penghujung malam, bahkan sebagian lampu sudah dimatikan. Sorakan Jun Ki menggemparkan seisi rumah.
"Ahjussiiiiiii ... Ahjummaaaaa... Hyungsik-aaaahhhh ... Namiraaaaa"
"Oppa. Apa yang Oppa lakukan? Jam berapa ini?"
"Tenang saja, mereka pasti belum tidur."
Benar saja, sesaat kemudian nama-nama yang terpanggil sudah berkumpul di hadapan Jun Ki.
Bibi Sung bahkan berjalan panik dengan penutup mata yang masih menempel di wajahnya. "Ada apaaa? Ada apa? Kenapa denganmu, anakku? Munje isseo?"
Paman Kim menyusul terakhir seusai menutup teleponnya.
"ye. Presdir. Tuan Muda dan istrinya sudah tiba. Dia terlihat bahagia. Sekarang sepertinya terjadi sesuatu dengan mereka. Saya akan mengabari anda secepatnya, Presdir."
"Hyung! Ini belum pagi! Kau sadar tidak?" cerocos Hyungsik yang tadi dibuat tersedak oleh suara menggelegar Jun Ki ketika ia hendak memakan ramyeonnya. Namira masih terkekeh di sampingnya.
"Aku tahu. Tapi aku tidak sabar menunggu pagi untuk menyampaikan kabar gembira ini. Kalian tahu apa?"
Semua orang saling melempar tatap, bertanya-tanya.
"Mana aku tahu hyung! Paling-paling karena kau baru saja melakukan 'itu' kan? Hah!"
"Istriku, hamil! Dia mengandung anakku! Aku - akan - menjadi - ayaaaaaahhh!!!"
Bibi Sung terperanjat, mata Paman Kim membulat, Namira berhenti bernapas. Sedangkan Hyungsik terlihat sangat syok. "Mereka melakukannya seberapa banyak sampai bisa hamil secepat itu?" maksudnya Hyungsik berbicara dengan Namira, tapi yang diajak bicara sudah berpindah tempat ke samping Azrina dan bersiap memberinya ucapan selamat.
"Kamu hamil? Kenapa tidak pernah cerita?"
"Hehe, mungkin aku lupa."
"Selamat ya! Aku ada disini, kalau kau butuh sesuatu."
Azrina mengangguk pelan. Dengan mengukir senyum penuh tanda terima kasih.
"Selamat, Oppa. Tanggung jawabmu kini bertambah. Semoga amanah, ya!" ujar Namira pada Jun Ki, sekedar basa-basi. Dan direspon seadanya oleh Jun Ki. "Mm, makasih, doakan ya "
"Aigoooo ... Selamat, Anakku. Selamat! Bibi turut berbahagia. Nyonya, kalau kau butuh sesuatu, katakan saja pada Bibi, ya?" Bibi Sung langsung menghambur ke arah pasangan itu, merangkul mereka berdua, dan menggenggam tangan Azrina penuh kelembutan.
"Terima kasih, Bibi. Tapi Bibi tidak perlu memanggilku seperti tadi."
"Nyonya? Apa yang salah?"
"Aku hanya lebih suka kalau bibi memanggilku ttal, saja."
"Aigo ... Tidak hanya cantik, tapi hatimu juga mulia, Putriku ... Bahkan bahasa Korea mu bagus, Bibi jadi tidak kesulitan."
Semuanya hanyut dalam tawa.
Paman Kim juga turut memberi selamat. Disusul Hyungsik yang membisiki Jun Ki dan membuatnya harus menerima keplakan sekali lagi.
"Hyung, bagaimana kau bisa menghamili istrimu dalam hitungan jam? Kau menjebolnya?!"
Hyungsik meringis kesakitan.
"Ssshhh! Ada apa dengan peruntunganku hari ini? Sepertinya besok aku harus ct-scan setelah berkali-kali terjadi benturan di kepalaku. Lihat saja! Kalau sampai ada apa-apa dengan kepalaku, aku akan menuntut kalian semua dengan pasal kekerasan dalam rumah tangga!"
"Bah! Silahkan saja. Paling-paling di kepalamu itu hanya ada cacing kecil yang memakan otakmu perlahan. Makanya tiap hari kau semakin lambat berpikir."
"Ibuuuu. Hyung menghinakuuu!"
"Berhenti bertingkah seperti itu, Hyungsik! Kau membuat ibu malu, sudah sana, pergi tidur. Jangan lupa menggosok gigi!"
Lagi-lagi mereka saling tertawa, seolah duka tak diberi kesempatan untuk sekedar lewat.
Sekarang, calon ayah dan ibu itu kembali ke tempat tidur mereka. Tangan Jun Ki tidak lepas dari perut Azrina.
"Ini sudah empat bulan? Tapi kenapa tidak besar?"
"Entahlah, dokter bilang ukurannya normal."
"Mungkin kurang asupan vitamin dari ayahnya."
"Bahkan mungkin dia tidak tahu kalau dia memiliki ayah."
"Dengar itu, Nak. Ibumu tidak sopan pada Ayah. Kau jangan begitu ya," ujarnya dengan menatap pada perut Azrina. Azrina tertawa geli, rasa haru memenuhi relung jiwanya kala merasakan sentuhan tangan Jun Ki di perutnya, untuk pertama kali sejak segumpal darah dari benih suaminya itu tinggal disana.
"Bagaimana mungkin kau ada kalau tidak memiliki ayah? Ayah disini, Sweety. Tidak akan kemana-mana. Sekarang, kau adalah prioritas Ayah."
Dalam hati Azrina mengaminkan. Semoga mulai hari ini dan selamanya, mereka tetap terjaga dalam keutuhan rumah tangga dengan permata-permata hati mereka.
Tidak main-main bahagianya Jun Ki malam ini. Begitupun Azrina. Keduanya lupa betapa duka tanpa putus asa melumpuhkan mereka bahkan hingga sesaat tadi.
Jun Ki lupa kapan terakhir kali ia merasa bahagia seutuhnya seperti ini. Mungkin di hari pernikahannya? Atau di malam pertama mereka? Atau mungkin ketika dia sedang bekerja lembur menitipkan benih pada istrinya?
Jun Ki lupa.
Yang jelas, hari ini kebahagiaannya terasa sangat sempurna. Bahkan cukup untuk melenyapkan niatannya bercinta dengan dahsyat malam ini.
"Empat bulan, belum bisa tahu jenis kelaminnya ya?"
"Belum. Mungkin bulan depan sudah bisa, InsyaAllah"
"Bulan depan kita pergi mengeceknya. Semoga seorang putri."
"Kenapa harus anak perempuan?"
"Entahlah. Ingin saja. Memangnya kau ingin laki-laki?"
"Apa saja, asalkan sehat. Selamat."
"Nah, kan. Tidak masalah. Perempuan saja, ya? Iya kan, Putri Ayah ..." lagi Jun Ki berbicara pada perut Azrina.
"Jadi Oppa mau dipanggil Ayah?"
"Kalau Appa terlalu membosankan. Kecuali kau juga ingin dipanggil eomma. Tapi itu menggelikan." Jun Ki tak bisa menahan tawanya. Membayangkan Azrina dipanggil dengan sebutan eomma, atau eomoni. Tidak cocok.
"Tapi Oppa juga terdengar aneh dengan panggilan Ayah."
"Lebih aneh lagi kalau Abi. Walaupun itu terdengar sangat keren."
"Abba? Bagaimana? Gabungan antara Abi dan Appa."
"Bagus juga ... Oke, girl. Call me Abba." sahut Jun Ki dengan wajahnya yang ditempelkan ke perut Azrina, lagi.
"Kalau begitu, kau bisa menjadi Umma. Jalan tengah dari Ummi dan Eomma."
Lalu keduanya tertawa puas, menertawai kekonyolan mereka. Ya.. Setiap pasangan yang menanti kelahiran bayinya sepertinya memang akan bersikap sama konyolnya dengan mereka...
🍁
"Iya, benar, Presdir. Tuan Muda sendiri yang menyampaikannya tadi. Istrinya tengah mengandung.
Terdengar kekehan dari seberang telepon Paman Kim.
"Putraku sudah dewasa, rupanya."
"Hehe, saya pikir juga begitu. Tuan"
"Aku senang mendengarnya, Kim Jeong. Besok pagi datanglah kemari, ajak Pengacara Park dan Pengacara Oh, aku akan bicarakan rencana pembuatan surat wasiat."
"Baik, Presdir. Apa tuan muda juga perlu hadir?"
"Tidak. Tidak perlu. Belum waktunya. Lagipula, dia pasti akan menolak, kan? Biarkan saja dia bersama istrinya dulu."
"Algesseumnida. Presdir."
Presdir memutus sambungan teleponnya. Gurat bahagia terpancar jelas di wajahnya yang tak pernah terlihat sejak beberapa tahun terakhir.
Kabar gembira yang baru saja didengarnya benar-benar membuat lelaki tua itu kembali dijalari rasa bahagia yang lama tak pernah menghinggapinya.
"Song ... Kau mengirimiku cucu. Gumawo ... Gumawo ..." senyum dari wajah keriput itu semakin lebar terukir.
Untuk pertama kalinya, sejak kekacauan yang melanda keluarga kecilnya, suka cita di hatinya dirasa penuh terisi. Dan itu karena Lee Jun Ki, buah hatinya yang diam-diam susah payah ia lindungi.
Jauh dari tempat duduknya, seseorang mengendap-endap mencuri berita dari percakapan Presdir di telepon.
Choi Mi Ran, terlihat sangat panik ketika mendengar Presdir akan segera merumuskan surat wasiatnya.
Sejauh apa yang sudah berhasil diraihnya, surat wasiat itu adalah puncaknya.
Choi Mi Ran, tidak boleh berdiam diri.
🍁🍁🍁
To be continued.
Sooo, yas. Selamat menikmati part yang saaaangat panjang ini. He hue hueeeeee.
Salam sayang,
Calon Abba dan Umma 💑
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro