Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 - Welcome Home

Tanpa basa basi. Langsung aja ya.

Tapi tetep dong, bismillah dan vote dulu! Eaaaa.

🍁🍁🍁

"Kamu dimana?" suara Lee Jun Ki dari speaker ponsel Azrina terdengar mendesak dan terengah-engah. Entah dimana keberadaan laki-laki itu saat ini.

"Baru sampai bandara Jeddah," jawab Azrina sesuai dengan posisinya. Rombongannya memang baru saja turun dari bus yang mengantar mereka dari Mekkah.

"Terminal mana? Gate berapa?"tanya Jun Ki lagi tak sabar.

Azrina menjawab sesuai posisinya tanpa mempertanyakan mengapa suaminya mendesaknya dengan hal itu, lalu Lee Jun Ki memutus sambungan teleponnya begitu saja. Azrina menghela napas pelan lalu tersenyum tipis. Di depannya Furqon dan beberapa pengurus travel umrahnya sedang sibuk mengatur koper-koper para jamaah.

Lee Jun Ki masih tertahan di bandara Riyadh, agak lama petugas imigrasi memeriksa visanya. Beberapa kali ia mengepalkan tangan keras-keras seperti menahan emosi yang bisa saja akan menyebabkan keributan di tempat ini.

Masih butuh waktu beberapa jam lagi untuk bisa tiba di Jeddah. Keuntungannya, Lee Jun Ki tidak perlu ke Mekkah lagi karena Azrina sudah di Jeddah. Tapi keburukannya, sudah di Jeddah artinya sebentar lagi pesawat take off menuju Indonesia. Memikirkannya membuat darah Lee Jun Ki mengalir lebih cepat.

Peraturan bagi setiap jamaah umrah yang akan kembali ke tanah air, mereka harus tiba di bandara lima jam sebelum keberangkatan. Itu untuk meminimalisir kemungkinan tertinggal pesawat karena terhambat antrian check in. Tentu, banyaknya jamaah dari setiap travel yang akan berangkat ke tanah air dalam satu maskapai membutuhkan waktu yang lama untuk diperiksa satu persatu. Maka, kebijakan berangkat lima jam lebih awal menjadi sebuah kesepakatan.

Ini mungkin membawa keuntungan bagi Lee Jun Ki yang berharap keberangkatan Azrina ditunda. Andai ia bisa tiba saat ini juga.

Azrina dan rombongan baru selesai menyantap makan siang yang disediakan pihak travel sebagai jamuan terakhir selama perjalanan umrah kali ini. Urusan bagasi sudah selesai tanpa kendala, Furqon baru saja hendak menyusul rombongan jamaahnya menuju pintu keberangkatan ketika terjadi keributan di pintu masuk khusus penumpang.

Laki-laki itu terlihat berteriak pada petugas bandara yang menahannya. Entah mengapa Furqon tergerak untuk melihatnya sekalipun ia harus keluar lagi melewati rangkaian pemeriksaan. Tidak masalah sebenarnya. Karena Furqon meski bukan calon penumpang, ia memiliki kartu pengenal yang membebaskannya melangkah ke bagian mana saja di bandara ini, bahkan hingga ke pesawat.

Laki-laki itu hampir diseret oleh pihak keamanan saat Furqon tiba disana. Memperhatikan, laki-laki yang masih berusaha agar dibolehkan masuk sekalipun tanpa tiket itu terlihat tidak asing. Bahasanya pun dicampur baurkan antara Inggris dan Indonesia.

Tunggu dulu...

Dia terlihat seperti,

Siapa namanya itu?

Laki-laki boyband di ponsel Azrina.

Suaminya?!

Ah tidak mungkin.

Hampir saja Furqon kembali ke dalam jika tidak mendengar Lee Jun Ki memekik sekali lagi, kali ini memanggil nama istrinya. Kedua mata Furqon membulat.

Furqon pun menghampiri sumber keributan itu, bercakap sebentar dengan keamanan menggunakan bahasa arab yang fasih. Entah mereka membicarakan apa hingga pihak keamanan bersedia melepaskan Jun Ki tanpa perlawanan.

"Anda mengenal saya?" Lee Jun Ki dengan nada menginterogasi tanpa berterima kasih setelah diselamatkan tadi.

"Entahlah, perasaan saya mengatakan anda orang yang saya kenal."

"Bisa bahasa Indonesia?!" Sungguh keterkejutan yang tidak penting, setidaknya saat kondisi yang genting seperti ini.

"Tentu. Saya orang Indonesia."

"Tapi tadi, anda berbahasa..."

"Ch ... Memangnya semua orang yang bisa berbahasa arab disini hanya orang arab?"

"....."

"Cepatlah, pesawatnya hampir berangkat."

"Tunggu dulu. Anda ... Kau ... Tidak salah orang, kan?"

"Lee Joong Ki kan? Aku pernah melihatmu sekali, setidaknya cukup untuk langsung mengenalimu."

Langkah Jun Ki justru terhenti. Matanya menyelidik penuh curiga pada Furqon yang tersenyum innocent di depannya.

"Aku jadi ragu, bahkan kau salah menyebut namaku." Bagaimanapun Jun Ki harus berhati-hati. Rumornya, di Saudi ini banyak oknum yang memanfaatkan kesempatan. Bagaimana jika orang ini hendak menculik laki-laki tampan nan kaya, lalu menjual organnya.

Lee Jun Ki menggeleng keras.

"Hey, apa pentingnya sebuah nama? Aku mengenalmu! Kau, suaminya Azrina, kan? Cepatlah! Azrina hampir berangkat!"

Demi diantarkan menuju sang permaisuri, Lee Jun Ki memilih diam tanpa protes lagi meskipun hatinya sibuk bertanya-tanya, siapa lelaki yang sok kenal ini. Ia memilih untuk mempercayai bahwa lelaki ini adalah uluran tangan Tuhan ketika segalanya terasa tidak mungkin. Andai Jun Ki menyadari bahwa laki-laki yang diikutinya saat ini adalah laki-laki penyebab mengapa dirinya mendadak berada di tempat ini, mungkin ia akan mengamuk sekali lagi.
Untungnya, ia sudah lebih dulu bertemu Azrina saat ia mengetahui bahwa lelaki yang mengantarnya menemui Azrina itu adalah Furqon. Jadi amarahnya terpadamkan begitu saja oleh rasa bahagia karena bisa mendekap tubuh mungil istrinya, lagi. Mungkin setelah sekitar satu bulan berpisah, atau lebih? Entahlah. Bahkan Jun Ki pun tak lagi bisa menghitungnya.

*padahal sih karena author kelamaan update. Lupa dah tuh*

"Ehm," dehaman Furqon cukup keras hingga membuat Lee Jun Ki dan Azrina melepaskan pelukan erat yang cukup lama dan syahdu. Furqon tersenyum jahil, menggoda, sementara Azrina mengusap ujung matanya yang basah oleh cairan haru dan rindu yang menyatu saat menjadi temu. Orang tua Azrina pun turut hanyut dalam suasana haru menyaksikan putri dan menantunya kembali bertemu di tempat yang tak pernah terbayangkan.

"Doa Azrina langsung diijabah Allah," begitu bisik ummi pada abi lalu keduanya pun tersenyum lega.

"Oppa! Kenapa kesini tidak bilang-bilang?" setelah puas melepas rindu, barulah Azrina melayangkan protes yang tertunda.

"Kejutan," ucap Jun Ki dengan senyum yang membuat matanya menghilang.

"Nakal!" Azrina mencubit pinggul Jun Ki pelan.

"Tapi kamu senang, kan?" bisiknya tepat di telinga Azrina. Terdengar hanya berupa desahan berat yang membuat Azrina merinding seketika, namun bahagia tak terkira.

Ini pertama kalinya Furqon melihat Azrina tersenyum selebar itu. Dan senyumnya tidak luntur sejak tadi. Matanya berbinar begitu bahagia, tak lepas dari memandang sang suami.
Furqon tahu binar itu, binar penuh cinta yang tak pernah ia temukan dari mata Azrina ketika memandang siapapun termasuk dirinya.

Furqon.

Bahagia.

Melihatnya.

Sungguh.

"Oppa, sudah kenalan sama Furqon?"

"Gak kenalan juga udah kenal kok. Satu-satunya makhluk berbentuk kaya gini di bandara ini, ya siapa lagi." kalimat Furqon yang sukses membuat mata Jun Ki melotot ke arahnya.

"Ehe, peace, Bro!" sok akrab Furqon membentuk v-sign dengan senyum selebar-lebarnya. Tapi tidak berpengaruh apa-apa pada wajah Jun Ki yang masih menahan emosi.

"Gak boleh gitu, Qon! Ayo yang bener."
Alih-alih memperkenalkan diri dengan benar, Furqon justru merangkul Azrina dengan santai.

"Perkenalkan, aku Furqon. Kesayangan Azrina."

"Oho!"

Andai tidak ingat jasa Furqon yang baru saja menyelamatkannya, mungkin Lee Jun Ki akan mengirim laki-laki itu melalui cargo ke Wakanda.

Azrina cepat-cepat menepuk tangan Furqon yang masih menggantung di bahunya. Lalu menggamit tangan suaminya.

"Maafin Furqon ya, Oppa. Dia memang sering over, sedikit tidak normal. Maklumi ya," bisiknya.

Sejenak Jun Ki lupa, ada hubungan apa Azrina dan Furqon. Tapi marah di tempat ini jelas tidak menguntungkan. Maka ketika Jun Ki ingat siapa Furqon sebenarnya, ia pun membalas dengan mengulurkan tangan kanannya, meremas erat tangan Furqon yang terulur lebih dulu, sedang tangan kirinya menarik Azrina dan membekapnya dalam pelukan.

"Lee Jun Ki, calon ayah dari anaknya Azrina."

Senyum Furqon langsung memudar. Memperebutkan Azrina tentu ia akan kalah, dia tahu itu. Bisa menjadi mahram Azrina saja sudah merupakan sebuah mukjizat yang sangat disyukurinya. Tapi, mendengar Jun Ki berkata seperti itu, entahlah. Rasanya agak ... Geli?

Namun ternyata yang senyumannya pudar tidak hanya Furqon.
Wanita mungil yang terbenam dalam dekap suaminya itu pun tercekat dalam diam.

Ayah dari anaknya Azrina.

Ia yakin, Lee Jun Ki belum mengetahui bahwa ia benar-benar akan menjadi ayah sebentar lagi.

Tapi, mendengar suaminya mengatakan itu, meski dia tahu betul ucapan itu hanya gurauan, bukan kebahagiaan yang dirasanya melainkan rasa khawatir dan ketakutan yang melanda. Sama seperti alasan mengapa selama ini ia masih menyembunyikan kabar bahagia ini. Ia terlalu takut, berita gembira ini justru datang membawa duka. Ia tidak siap. Meski ia sepenuhnya sadar bahwasanya kenyataan tak bisa disembunyikannya lebih lama lagi, tetapi tepat ketika Jun Ki telah mengetahuinya, kabar duka akan menyusul dari rahasia yang ditutupnya rapat-rapat sejak lama.

Azrina takut akan hal itu.

Mungkin tidak akan begini jika seandainya mereka saling terbuka akan rahasia-rahasia mereka sejak awal menikah.

Begitupula ketika Lee Jun Ki menyampaikan maksud kedatangannya menyusul Azrina kemari, tentu sangat mengejutkan bagi orang tua Azrina, khususnya ummi. Tapi apalagi yang bisa mereka lakukan? Lee Jun Ki punya hak penuh atas Azrina, seperti Azrina yang berkewajiban mengikuti suaminya kemanapun sang suami akan membawanya, serta mentaati perintahnya. Lagipula, akan lebih melegakan melihat Azrina bahagia pergi bersama suaminya dibandingkan melihatnya gundah gulana dalam kesendirian tanpa suaminya seperti hari-hari belakangan.

Mereka terlibat dalam diskusi panjang dan berakhir dengan Azrina meyakinkan orang tuanya bahwa putrinya akan baik-baik saja jika mereka mengirimnya pergi dengan keridhoan dan kalungan doa-doa panjang.

Tak lupa Azrina membisikkan pesan pada abi dan umminya, tentu saja pesan yang sama seperti dulu-dulu.

Jun Ki belum perlu tahu kondisi Azrina saat ini.

Meski terdengar mengada-ada. Prof Ali menurut saja, ia percaya Azrina sudah memikirkan persoalan ini matang-matang. Dan dia punya cara sendiri untuk menyampaikan pada suaminya.

🍁

Drama berkejaran dengan waktu berakhir indah. Setelah berpamitan dengan orang tua Azrina, sekaligus meminta izin untuk memboyong sang istri ikut serta ke negara asalnya, orang tua Azrina pun kembali ke Indonesia tanpa putrinya. Sebab Azrina saat ini tengah bersama Lee Jun Ki yang tak lepas menggenggam tangannya. Sedang menunggu pesawat keberangkatan menuju Bandara Incheon, Seoul. Furqon masih berada bersama mereka. Furqon juga yang mengantar mereka menuju pintu keberangkatan tujuan Seoul.

*jangan tanya gimana Azrina bisa ke Korea gitu aja. Anggap aja karena Jun Ki emang sehebat itu. (padahal ribet jelasinnya wakakaka)* --author pemalas.

Tak lama menunggu, panggilan untuk para penumpang tujuan Incheon, Korea terdengar. Jun Ki dan Azrina segera beranjak dari ruang tunggu. Tak lupa mereka melempar senyuman dan lambaian tangan pada Furqon yang berpamitan lebih dulu karena urusan lain.

Tidak ada bagasi, Azrina benar-benar ke Korea hanya membawa diri, tas kecil yang tersampir di bahunya, koper kecil beroda berisi pakaian seadanya yang sekarang sedang diseret Jun Ki dan bunga hadiah dari Jun Ki di tangannya.

Azrina sudah terbiasa dengan suami nekat dan selalu mendadak. Lagipula sejauh ini, Lee Jun Ki selalu bertanggung jawab dan melakukan tugasnya sebagai suami dengan sempurna, yaitu memenuhi kebutuhan dan memberi rasa aman dan nyaman pada sang istri ... Meski pernikahan mereka masih hitungan bulan, Azrina bisa mempercayai hal itu.

Tidak lupa Azrina mengurus surat izin terbang dalam keadaan mengandung. Ia mengkonfirmasi kesehatan dan keamanannya selama penerbangan tadi di bagian pemeriksaan yang terpisah pria dan wanita. Ini tentu menguntungkan bagi Azrina, Jun Ki tak perlu mengetahui kehamilannya sekarang.

Tidak banyak yang terjadi sepanjang perjalanan menuju Seoul. Pesawat kelas bisnis yang sengaja dipesan Jun Ki benar-benar menolong Azrina untuk istirahat total. Bahkan Jun Ki yang meniatkan hal berbeda harus menahan hasratnya karena tidak tega mengganggu tidur nyenyak sang istri. Meski wajah pulas Azrina terlihat amat sangat...

Menggiurkan.

Sabar....
Masih banyak waktu.
Setelah ini, kau bisa melakukan apapun dengannya, sesukamu.
Sadar, Jun Ki-ya.
Ini pesawat.
Setidaknya kau berpikir dengan akal sehat.

"Gzzzzz ... Satu kecupan kecil, boleh kan?" gumamnya sembari mencuri kecupan dari bibir cherry istrinya yang lembut. Sekilas saja, sebelum ia benar-benar khilaf. Kemudian ia membenamkan diri dalam selimutnya di seat sebelah Azrina, memaksa untuk ikut memejam seperti Azrina yang bahkan tidak bergerak ketika bibir Jun Ki menyentuh bibirnya.

Mereka terbangun ketika pramugari menghampiri mereka dengan nampan makanan dan beberapa kudapan.

Tepatnya hanya Lee Jun Ki yang terbangun, karena memang dia tidak bisa tidur. Ia menyantap makanannya lebih dulu, sebelum membangunkan Azrina dan menyuapinya dengan tetap setengah berbaring.

Sudah lama ia tidak melakukan ini. Menyuapi bayi kecilnya yang manja- tapi justru lebih dewasa darinya.

Azrina, masih terus sumringah. Beberapa hari lalu, ia bahkan nyaris membayangkan hal-hal kecil nan romantis yang sering dilakukan Jun Ki padanya seperti ini tak akan terjadi lagi.
Allah Maha Baik, kesempatan itu masih diberikan. Ia berjanji akan menikmatinya dengan sejuta kesyukuran, tanpa mengkhawatirkan ada kesedihan apa yang menunggunya di persimpangan jalan setelah ini, nanti.

"Terima kasih, ya Habibi ... Maaf membuat Oppa repot-repot kesini menjemputku ...."

Azrina benar-benar terharu, tapi rasa lelahnya terlalu mendominasi, setelah Jun Ki menyeka bibirnya dengan serbet, ia mohon diri untuk kembali terlelap. Jun Ki hanya tersenyum mengangguk. Lengannya terulur mengusap lembut kepala istrinya.

"Aku yang berterima kasih karena kau memaafkanku. Dan aku minta maaf lagi karena membuatmu lama menunggu."

Azrina menggeleng lembut. "Aku ... Senang," kalimatnya terputus oleh kantuk yang membuatnya menguap berkali-kali. Lee Jun Ki tertawa kecil melihatnya.

"Istirahatlah, akan aku bangunkan saat kita tiba," ucap Jun Ki dengan ibu jarinya yang masih bergerak mengelus lembut puncak kepala Azrina.

Berbahagialah, sayang.
Mulai saat ini, kita akan menghabiskan sepanjang waktu bersama.
Aku berjanji, tak akan pernah pergi lagi.
Saat-saat indah akan menjelma, selamanya.

Kecupan lembut mendarat di kening Azrina yang lelap, sekali lagi.

🍁


Beberapa jam kemudian, pesawat mereka mendarat sempurna. Suhu Incheon oleh pramugari disebutkan sekitar -7 derajat. Sedikit membuat Jun Ki panik sebab Azrina sama sekali tidak mengenakan busana apapun untuk melindungi dirinya dari cuaca dingin.

"Diluar dingin ... Kenakan ini dulu, setelah turun kita segera mencari pakaian musim dingin untukmu," usul Jun Ki sembari melepas coat nya lalu diangsurkan pada Azrina.

"Terus, Oppa pakai apa? Tidak kedinginan?" Sejujurnya Azrina ingin menolak, tapi situasinya sedang tidak mendukung hal itu. Tanpa pakaian hangat sehelaipun, ia akan mati beku tepat saat keluar dari pintu pesawat.

"Tidak apa-apa. Aku sudah biasa," jawab Jun Ki dengan mengulum senyum, tatapan matanya meyakinkan, membuat Azrina merasa lega.
Jun Ki sebenarnya sudah cukup hangat dengan baju yang dilapisi sweater turtle neck.

Bismillah...

Ya Allah, karuniakan untukku kebaikan negeri ini, kebaikan penduduknya dan segala kebaikan yang ada di dalamnya.
Dan lindungilah aku dari keburukan negeri ini, keburukan penduduknya dan segala keburukan yang ada di dalamnya.

Assalamu 'alaikum, Korea.

Begitu Azrina merapal doa tepat ketika kedua kakinya tertapak pada tanah negeri ginseng, tanah kelahiran suaminya.

Ia menggenggam erat jemari Lee Jun Ki, seolah menumpahkan segala khawatir dan resahnya disana.

Tangan Jun Ki justru bergerak melingkari pinggulnya dari belakang, merangkulnya erat. Meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja karena suaminya akan selalu ada, bersamanya, menjaganya, membahagiakannya.

Langit Korea mulai menggelap, salju tidak turun malam ini, tapi dinginnya cukup untuk membuat Azrina sesak ketika menghirup udara sesaat setelah keluar dari bandara.

Beruntung jemputan mereka sudah menunggu, jadi Azrina tak perlu lama tersiksa dengan rasa dingin yang menyengat sebab ketika ia mendudukkan diri di dalam mobil, suhu hangat dalam mobil benar-benar terasa nyaman.

"Merasa lebih baik?" Jun Ki menoleh pada Azrina ketika posisinya sempurna menduduki jok mobil.
Azrina mengangguk, senyum tak hilang dari wajahnya.

"Aku tahu ini bukan pertama kalinya bagimu, tapi ... Biar aku resmikan setelah kau menjadi istriku," Lee Jun Ki memulai obrolan yang mungkin akan lebih banyak dari ketika mereka di pesawat, banyak yang bisa mereka bahas dalam perjalanan dari Incheon menuju Itaewon di Seoul nanti, terlebih karena Azrina sudah lelah tertidur.

"Selamat datang di tanah kelahiranku," sambung Lee Jun Ki membuat mereka berderai tawa.

"Sudah lama sekali, Oppa. Apa yang bisa ku ingat di umur satu tahun? Walau bukan kali pertama, ini tetap terasa baru," dari nada bicaranya, Azrina jelas sangat gembira.

"Semoga betah ya," seulas senyum terpajang di wajah Jun Ki lagi.

Tangannya tak lepas dari menggenggam tangan sang istri. Sudah lama ia menantikan momen ini.

"Ini sopir Jang. Kalau suatu waktu kau ingin pergi ke suatu tempat, sopir Jang yang akan mengantar." Sopir Jang menunduk hormat tanda perkenalan diri sambil tetap fokus mengemudi.

"Perkenalan saja, karena pastinya akulah yang akan selalu mengantarmu, dan menemanimu kemana saja, My Queen!" seru Jun Ki antusias.

"Insya Allah, Oppa." koreksi Azrina.

Jun Ki pun mengikuti, "tapi benar kan? Kau pasti lebih nyaman diantar olehku, lagipula berdua saja pasti lebih leluasa," lanjutnya kali ini dengan berbisik halus ketika tubuhnya ia geser mendekat pada istrinya. Jemarinya bahkan ia mainkan mengitari punggung Azrina disertai kerling jahil dari matanya membuat Azrina bergidik dan refleks memberi jarak antara mereka.

"Kenapa?!" protes Jun Ki

"Malu, Oppa." Azrina mengendikkan dagu ke kursi sopir yang membuat Jun Ki ikut menoleh kesana.

Wajahnya berubah tidak senang.
"Itulah sebabnya kukatakan, berdua saja lebih baik. Lebih bebas. Benar kan?"

"Ish, mesum!"

"Tentu saja! Duduk bersama wanita secantik ini ... Mubazir sekali kalau dilewatkan," gerakan tangan Jun Ki kini lebih berani, kali ini jarinya berpindah mengusap-usap pipi Azrina yang bersemu merah.

"Yaa Hauraa ... Lama tak melihatmu, mengapa kau semakin cantik?"
Azrina tersipu. Dia selalu lemah ketika Jun Ki mulai menggoda seperti ini.

"Hey, kau mulai nakal, ya. Lihat bibirmu, Oh, ya Allah... Senyummu itu... Memanggil-manggil untuk segera disesap manisnya," sudut bibir Jun Ki terangkat setengah. Matanya memicing nakal. Membuat Azrina seperti tersengat listrik namun langsung menutup mulutnya dengan tangan.

"Jangan, Oppa. Setidaknya jangan disini," pelan ia bergumam tapi Jun Ki bisa dengar karena kepalanya hanya berjarak beberapa senti di depan wajah Azrina, bermaksud untuk melancarkan aksinya.

Jun Ki akhirnya menghempaskan diri ke jok mobil bersamaan dengan helaan napasnya yang berat mengeluarkan rasa kecewa.

Barusan aku tertolak?

Kepalanya lalu menoleh lagi ke samping kiri dimana Azrina berada. Ketika mata mereka bertemu, wajah Lee Jun Ki sengaja dibuat cemberut, bibir bawahnya dimajukan dan sengaja digetar-getarkan seperti hendak menangis.

Bukannya merasa bersalah, Azrina justru menyerangnya dengan tas kecil di tangan Azrina. "Tidak cocok, Oppa! Oppa jelek sekali kalau seperti itu."

Keduanya tergelak. Dalam hati Jun Ki bertekad.

Awas kau ya! Tunggu sampai tiba di rumah!

"Sopir Jang! Percepat mobilnya! Kita harus segera sampai di rumah."

"Ye, Doryeonim."

"Oppa, bukannya kita akan mencari pakaian musim dingin dulu?" Azrina tahu, apa yang dimaksudkan Jun Ki ketika mengatakan ia ingin segera tiba di rumah. Azrina menelan ludah dengan berat.

Bukan, bukan karena tidak ingin melaksanakan kewajibannya yang satu itu. Tapi, ia sering mendengar bahwa ketika pasangan suami-istri bertemu setelah berpisah dalam beberapa waktu. Biasanya, sang suami akan melakukan 'tugasnya itu' dengan lebih beringas dan menuntut.

Oh tidak! Membayangkan itu Azrina bergidik ngeri. Seharusnya ia bisa lebih siap jika sudah memikirkan ini dari tadi.
Bahwa ketika bertemu lagi dengan suaminya, pasti ia tidak hanya akan digenggam, dipeluk, dikecup atau sekedar bertukar cerita saja. Sesuatu yang lebih dari itu tentu akan dituntut darinya tanpa menunggu lama. Tak hanya cerita yang akan mereka bagi, air tubuh dan napas mereka pun akan saling menyatu, bersama segenap cinta dan rindu yang membuncah.

Bagaimanapun, suaminya adalah lelaki normal dan sehat, ditambah dengan lingkungannya saat ini yang bertabur wanita berkulit mengkilap dengan busana setengah telanjang serta perubahan diri Jun Ki menjadi seorang muslim yang taat, menahan hasrat karena jauh dari istri tentu bukan perkara yang mudah.

Azrina, harus mengulur waktu untuk mengumpulkan kekuatan agar siap menghadapi apapun yang akan menyerangnya sebentar lagi. Atau, mencari cara agar mereka tak perlu melakukannya malam ini?

Ah tidak mungkin.

"Besok saja, bisa? Besok kita bisa berbelanja seharian penuh."

Ayolah Azrina.
Berpikir.
Berpikir.

Sebetulnya, yang membuat Azrina sedemikian paniknya adalah bukan hanya karena takut suaminya benar-benar akan menjadi 'singa' malam ini, sejujurnya ia memang merindukan 'sentuhan' juga.
Tetapi kekhawatirannya lebih kepada, sesuatu yang sedang hidup dan bertumbuh dalam rahimnya. Dari awal dokter sudah mewanti-wanti untuk mengurangi aktifitas-aktifitas berat yang akan berakibat buruk pada kesehatan dan kandungannya. Salah satunya aktifitas senggama.

Tadinya, Azrina tidak bermasalah dengan hal itu, toh suaminya sedang tidak bersamanya.
Namun sekarang, keadaan berbalik. Sementara memaksakan diri mengikuti permainan Lee Jun Ki, bisa-bisa perutnya malah kontraksi. Atau yang lebih parah, kerja jantungnya bisa berhenti malam ini juga.

Ia tak pernah membayangkan pesanan dokter akan terasa semenyiksa ini.
Mungkin sesekali boleh saja, dengan permainan yang lebih pelan saja.

Tapi itu tidak mungkin untuk saat ini.

Sementara Jun Ki pasti tidak akan menerima begitu saja penolakan Azrina tanpa alasan.

Satu-satunya cara adalah mengakui kehamilannya dan membuat Jun Ki mengerti. Atau menghindar dan membuat malaikat melaknat karena kemurkaan suami?

Apa yang harus kulakukan?

"Oppa, aku lapar," rajuk Azrina.

"ch, tentu saja kau lapar, makanan di pesawat saja tidak kau habiskan." Azrina membalas ucapan Jun Ki dengan anggukan mantap.

"Kalau begitu, kau ingin makan apa, Nona?"

Melihat sesuatu yang menarik dari luar mobil, Azrina segera menunjuk ke arah kedai kecil di pinggir jalan yang menjajakan aneka camilan khas Korea yang asapnya masih mengepul.
"Itu! Aku sudah lama ingin mencoba eomuk, ttokbokki, dan teman-temannya langsung di tempat asalnya."

"Serius kamu menginginkan itu?"

Azrina mengangguk.

"Jangan disini, di dekat rumah ada kedai yang pemiliknya muslim. Sama enaknya, dan pastinya halal."

"Yes!"

"Kita disana saja, ahjumma pemiliknya juga sudah kenal baik denganku. Kau masih bisa tahan sampai kesana, kan? Kira-kira sekitar 15 menit lagi." Lee Jun Ki menambahkan dengan kalimat berbahasa Korea.

"Assa! Arasseoyo, Sajangnim."

"Wah! Bahasa Koreamu semakin baik ternyata."

"mullonijiii. Aku kan istrimu," Azrina membentuk fingerlove dengan menyilangkan ibu jari dan telunjuk di kedua tangannya.

"Omooooo ... Neomu kwiyeowooo ... Aku sampai kesulitan bernapas. Istri cantik ternyata juga tidak baik untuk kesehatan jantung, ya?" Lee Jun Ki menepuk-nepuk dadanya dengan kepalan tangan secara hiperbolis.

"Awas saja! Kalau aku mati karena overdosis senyummu yang manis itu, aku akan bergentayangan, menghantuimu tiap hari, biar kau tidak bisa menikah lagi."

"Oppa norak ih! Bahasannya begituan," gantian Azrina yang merajuk.

Tentu saja, itu karena Jun Ki menyentuh sisi sensitifnya.

Bagaimana mungkin aku bisa menikah lagi kalau justru yang mati lebih dulu adalah aku?

Sebenarnya Azrina ingin sekali menikmati waktu berkualitas dengan Jun Ki dan Namira sebentar lagi tanpa dihantui bayang-bayang hitam bahwa usianya mungkin saja tak lama lagi.
Sekuat tenaga pikiran itu ia enyahkan jauh-jauh.

Sebentar saja.

Ia ingin melupakan itu dan menikmati segalanya.

Sebentar saja.

🍁

"Kita sampai." Jun Ki mengajaknya turun ketika mobil mereka berhenti di dekat tenda kedai jajanan Korea yang disebutkan tadi.

Diperintahkannya Sopir Jang untuk pulang lebih dulu, karena setelah ini mereka hanya akan berjalan kaki untuk tiba ke rumah. Sebab jaraknya memang tidak begitu jauh.

Di dalam kedai, terlihat seorang ibu setengah baya dengan jaket tebal dan apron yang melingkari tubuhnya sibuk melayani pelanggan. Sekilas kedai ini tampak sama dengan kedai-kedai lainnya. Namun perbedaan mencolok akan terlihat begitu Azrina mengamatinya.

Ahjumma pemilik kedai itu mengenakan kain penutup di kepalanya. Dan sebuah tulisan ditempel di etalase kecil dekat dengan tempat transaksi, "Tidak menyediakan Alkohol. Halal 100%"

Dan memang benar, pada meja-meja kecil dan bangku-bangku yang diduduki para pelanggan sebagian besar hanya terdapat botol-botol soda. Bukan soju atau sejenisnya seperti kedai lain. Tapi itu tidak mengurangi banyaknya pelanggan yang datang.

Azrina berdecak kagum melihatnya.
Rasa tenang menghinggapinya. Sesuatu yang meyakinkan bahwa di tempat asing ini, dia tidak sendiri.

"Selamat datang!" seru bibi pemilik kedai dengan lantang, "Aigoooo ... Putraku yang tampan, aku mencarimu sejak kemarin," ia menyambut Jun Ki dengan sangat ramah.

"Duduklah ... Duduklah ... Omo ..." Tak bisa menyembunyikan keterpanaannya ketika melihat Azrina dibelakang Jun Ki. "ige nugu-ya? Siapa ini?"

"nae anae, Imo."

"Annyeonghaseyo, Imo. Azrina imnida." tersenyum ramah, Azrina memperkenalkan dirinya dengan merunduk lalu mengulurkan tangan.

Bingung antara berkenalan dengan cara Indonesia atau Korea. Dua-duanya saja.

Bibi meraih tangan Azrina, menggenggamnya tak kalah ramah lalu mendongak lagi pada Jun Ki.

"Istri?!"

"Wae geureohke nollangeoeyo?"

"Ani, kkamjagi. Ini pertama kalinya kau datang bersama wanita. Aku tak menyangka istrimu begitu cantik. Wanjon yeppeo!"

"Heeey ... Bibi meragukanku?!"

Bercandaan mereka terus berlanjut meski bibi sudah menyuruh mereka duduk ketika menangkap gestur Azrina yang kedinginan. Beberapa kali ia meniup kedua telapak tangannya.

"Sudah. Sudah. Duduklah ... Istrimu kedinginan, Jun Ki-ya. Bagaimana, sih, suaminya ini? Bahkan sarung tangan pun istrinya tidak punya."

Jun Ki pun menceritakan perjalanan mereka hingga tiba ke kedai pinggir jalan milik si bibi. Sambil bibi menyajikan berbagai macam kudapan ke meja mereka. "Jangankan sarung tangan, Bi. Tiba di rumah pun belum, ini."

"Aigooooo ... Kalian seharusnya makan nasi saat lelah seperti ini ..."

"gwaenchanhayo, Imo. Istriku ingin sekali makan ini, sepertinya dia mengidam," Bibi seketika terbahak ketika mendengar kalimat Jun Ki yang akhirannya diucapkan berbisik dekat dengan bibi.

Azrina yang tidak mendengar kalimat terakhir suaminya itu hanya ikut tertawa - tawa kecil.

"manhi mogeo! Bibi ke depan dulu sebentar," ujar bibi setengah melambai lalu berjalan keluar kedai dan terlihat menyeberangi jalanan.

"Deee, Imo. Jalmeokgesseumnida," jawab Azrina dan Jun Ki bersamaan.

"Mmm ... Kelihatannya enak!" seru Azrina kegirangan lalu mulai menyeruput kaldu odeng di depannya.

"Oppa sering ke sini? Sepertinya sudah akrab sekali dengan Bibi."

Jun Ki mengangguk dan menelan kunyahannya. "Mm. Kalau sedang tidak ingin makan sendiri di rumah, aku kesini. Setidaknya disini ada banyak pelanggan yang makan. Atau kalau sedang sepi, aku mengobrol dengan Imo," jelas Jun Ki sambil memasukkan lagi setusuk tteokbokki pedas ke mulutnya.

"Kenapa? Kau cemburu?"

"Ih. Ngaco. Tentu tidak, lah. Aku justru senang bertemu dengan Imo, orangnya menyenangkan sekali."

"Memang ... Tapi tidak banyak yang tahu bahwa untuk bisa seperti sekarang ini, Imo berjuang keras sekali. Kau tahu kan, memproklamirkan diri sebagai muslim disini masih ... Ya begitulah. Apalagi Imo sebagai pedagang kecil."

"Masya Allah ... Aku jadi ingin bertemu saudara muslim lainnya.Kapan-kapan ajak aku bertemu mereka di sekitar sini, ya, Oppa."

"Mm, nanti kita ke Sentral Mosque. Kau mungkin bisa bergabung disana, siapa tahu bisa sekalian mengisi kajian."

"Eeeh. Tidak secepat itu."

"Kenapa tidak?"

"Ya tidak saja."

"Jangan begitu, kau kan selalu bilang ... Khairun Nas, Anfa'uhum linnas."

"Oh jadi sekarang sudah bisa pakai dalil, ya?"

"Ahahaha," Jun Ki terpingkal hampir membuyarkan makanan yang di mulutnya. "Sudah, sudah. Makanlah, nanti dingin."

"Omong-omong, kenapa di rumah Oppa sering sendiri? Bukannya ada Hyung Sik? Dan... "

"Namira?"

Azrina mengangguk ragu-ragu.

"Ya ada ... Ada Bibi Sung dan pelayan lain juga. Ada Hyung Sik dan Paman Kim. Tapi mereka selalu menghilang ketika waktu makan. Paman selalu sibuk di kantor. Hyung Sik jarang di rumah, kalau ada ya dia makan denganku. Bibi Sung sudah pasti tidak mau bergabung di meja makan, apalagi pelayan lain."

"Namira?"

"Kau berpikir aku akan makan dengan Namira? Eish... Aku ini suami yang setia, tahu!" Wajah Jun Ki merengut.

"Apa yang salah dengan hanya makan bersama?"

"Hubunganku dengan Namira tidak sespesial itu, Sayang. Tenang saja. Walaupun aku dan dia memang berinteraksi cukup dekat, tapi untuk hal-hal seperti itu, dia lebih sering bersama Bibi Sung atau bahkan Hyung Sik."

"Masa, sih?"

"Hmm ... Sesekali, pernah. Hehehe," aku Jun Ki dengan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Tapi itu canggung. Dan lebih sering bersama Hyung Sik juga."

"Aku jadi nggak sabar ingin ketemu Namira, dia baik-baik saja kan, Oppa?"

"Mm Hm. Dia sehat wal afiat. Sepertinya dia tipe manusia yang bisa bertahan hidup di mana saja."

"Oppa, sembarangan!"

"Memang benar. Dia mudah bergaul, jadi dia bisa bertahan. Dengan Hyung Sik saja sudah dekat sekali, Yoon Jae juga. Apalagi Bibi Sung."

"Tapi kadang-kadang aku masih merasa bersalah padanya, Oppa. Apa keputusanku kesini tidak mengganggunya?"

"Dia cukup senang mendengarmu akan datang. Lagipula seharusnya dia yang merasa bersalah. Istriku kan, kamu. Kenapa dia yang harus merasa terganggu?"

"Hanya saja ... "

"Secepatnya kita akan mengirimnya pulang. Kalau itu bisa membuatmu nyaman."

"Bukan begitu, Oppa. Jangan. Masa baru bertemu harus berpisah lagi ..."

"Ah sudahlah. Jangan dipikirkan. Ku ingatkan sekali lagi, Kau. Dirimu. Adalah nyonya rumahnya, oke?

"Tapi ... Dia juga tanggung jawab Oppa kan?"

"Hm ... Bisakah kita berhenti membahas orang lain dulu dan mulai membahas tentang 'kita'?" Jun Ki mengalihkan pembicaraan, meletakkan sumpit dari tangannya dan mulai menggenggam tangan istrinya di atas meja.

"Seperti, kamu apa kabar? Beberapa bulan kutinggalkan, apa sesuatu telah berkembang dalam perutmu?"

Oh jelas.

Sang penebar benih, tentu memiliki firasat tentang apa yang sudah ditanamnya.

Mendengar itu, Azrina tersedak hingga terbatuk-batuk.

"E Hey! Tak perlu seterkejut itu ... Belum ya? Kita bisa coba lagi. Iya kan? Ada banyak waktu sekarang," alisnya dinaik turunkan kali ini. Tapi tangannya tetap menyodorkan gelas minum untuk istrinya.

"Duh, yaampun," Azrina menggosok wajahnya dengan tangan. "Sudah, yuk. Oppa. Kita pulang..."

"Wohooo. Jual mahal tapi langsung mengajak pulang. Aku suka gayamu, Girl!"

"Geer!" Azrina cemberut "Ibayo, Ahjussi. Sampai rumah nanti aku ingin bersama Namira sepanjang waktu. Jangan cari aku!"

"Ck! Kalau begitu kita tidak usah pulang. Di sekitar sini banyak hotel. Mudah saja."

"Aaa. Oppaaa ..."

Jun Ki tertawa pelan. "Bercanda ... Justru aku sengaja berhenti disini dan pulang berjalan kaki agar bisa berlama-lama denganmu karena aku tahu, setelah tiba di rumah nanti Namira pasti akan merebutmu dariku."

"Saranghaeyo, Oppa."

"Aku juga mencintaimu ... Dengan syarat, tidak tidur dengan Namira malam ini, ya? Please ..."

Azrina terkekeh malu-malu. Lalu mengangguk tanda setuju.

"Janji."

"call!"

Acara makan malam mereka usai, mereka lalu menghampiri Bibi pemilik kedai di mejanya dan membayar pesanannya.

"Ahgassi, terima ini. Hanya pemberian kecil, tapi mungkin akan berguna." Bibi mengangsurkan bingkisan kecil yang katanya sebagai ucapan selamat datang. "Ah. Imo.. Tidak perlu repot-repot..."

Setelah dibuka, ternyata bibi menghadiahkan sepasang sarung tangan rajut yang lucu dan pastinya akan membuat tangan Azrina hangat.
"Woooooh. Imo-nim jjang!" Lee Jun Ki terang-terangan menampakkan kegembiraannya. Dia bahkan membentuk love-sign di kepalanya dengan kedua tangan. "Saranghaeyo, Imo."

"Kamsahamnida, Imo ... Ini sangat berguna."

"Aigoo. Bukan apa-apa. Aku senang sekali melihatmu ... Andai saja kau belum menikah, aku jodohkan dengan putraku."

"Oho! Imo! Jangan macam-macam dengan istriku, oke?!"

"Hah! Cham! Ahgassi! Kalau suamimu menyakitimu, katakan padaku, ya?!"

Mereka pun pamit pulang dengan masih tawanya yang belum hilang.

"Oppa yakin kita tidak usah membungkuskan makanan untuk Namira?" tanya Azrina ketika mereka mulai jalan berdua menyusuri jalanan besar akses menuju perumahan elit dimana rumah Jun Ki berada. Jalanan ini selalu sepi pada jam-jam segini. Mungkin karena bukan jalan umum.

"Yakin. Namira tidak suka."

"Kenapa? Bukannya Namira dari dulu suka sekali dengan makanan Korea?

"Itu karena dilihat dari drama saja tanpa pernah dicobanya, benar kan?" ketika tiba disini dia tidak bisa makan makanan Korea apapun. Kecuali hanya dari masakan Hyung Sik. Ajaib kan? Bahkan seperti itu, dia masih bisa bertahan disini."

"Haha ... Ada ada saja, Namira ... Namira ..."

"Nah, iya. Temanmu itu tidak normal. Hahaha."

"Iya. Sama seperti suamiku." Baru saja Jun Ki akan melotot, Azrina buru-buru melanjutkan "Tapi anehnya, aku cinta..."

Mereka berdua tersenyum sambil saling menatap. Tatapan dalam yang sulit diartikan tapi penuh makna.

Lalu Jun Ki meraih tangan istrinya, menggenggamnya, mengaitkan jari-jarinya ke sela-sela jari-jari Azrina.

"Kata Rasulullah, genggaman tangan suami-istri seperti itu menggugurkan dosa ... " penuturan Azrina terdengar begitu menghangatkan Lee Jun Ki meskipun ia sudah sering mendengar hal itu.

"Terima kasih, Sayang. Karena bersedia menemaniku menggugurkan dosa-dosa, mengajakku bercinta dalam nikmatnya ibadah, menyertaiku dalam perjalanan ke surga."

"Terima kasih, Oppa. Karena mencintaiku atas nama Allah. Semoga Oppa meridhaiku, sepanjang usia. Sampai kita bersama-sama membuka pintu surga."

Mereka berjalan berangkulan hingga langkah mereka tiba di depan rumah yang dulu di masa lalu pernah Azrina tempati selama beberapa waktu.

Dan kedepannya, disini ia akan merangkai masa depannya bersama sang suami. Disini, ia akan membentuk surganya.

Surga mereka.
Rumah mereka.

"Welcome Home, My Snow White..."

🍁🍁🍁

To be continued.
See you on next chapter.
Semoga suka yaa.
Btw, untuk yang dibawah umur mohon kebijakannya membaca part ini gausah pake feeling ya. wkwkwk

Kamsahamnidaaaa, saranghamnidaaaa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro