24 - Menjemput Bidadari
Mohon maaf sebesar-besarnya karena ngerasa nyesek di part sebelumnya. Sebagai gantinya, beberapa part dari sini, surga buat Az-Ki couple. *cie spoiler*
But, setelah itu. Bersiaplah untuk nyesek-nyesek yg lebih dahsyat. Uhuyehet.
Yang udah gak sabar mana suaranyaaaaaa?!
Vote dan komen jangan lupa!!!
*****
🍁🍁🍁
Sebelum terlalu jauh berprasangka, Azrina segera menelepon Namira dan menjelaskan kejadian sebenarnya.
"Kok bisa gitu sih Aaaz? hahahaha kocak!" Namira heboh sendiri setelah mendengar cerita tentang Furqon dan Azrina.
"Iya, aku juga kadang bingung sendiri, ada orang bentukannya seperti Furqon. Ya, hampir sama lah bentuknya seperti kamu, Mir."
"Kok jadi aku? Berarti aku aneh dong?"
"Emang kamu nggak nyadar? Kamu sama Furqon itu beda tipis, tolong deh," terang Azrina.
"Jangan-jangan aku jodohnya Furqon, Az?" Dan kedua sahabat itu benar-benar terbahak setelah kalimat terakhir yang dilontarkan Namira. Jelas itu hanya sebuah spontanitas. Tapi, siapa yang menduga ketika Namira mengucap kalimat itu, malaikat sedang lewat lalu mengaminkan. Oh, sebuah keberuntungan bagi Namira.
"Baiknya kamu langsung konfirmasi ke Jun Ki Oppa aja, mudah-mudahan bisa reda-in marahnya. Sumpah ... Serem banget tadi Oppa. Cemburu berat kayaknya."
Jun Ki Oppa
Nampaknya Azrina harus mulai terbiasa mendengar seseorang memanggil suaminya dengan sebutan yang sama seperti panggilan darinya.
Rasanya hanya sedikit menggelitik.
Namun bisa berubah nyeri ngilu ketika Azrina mengingat-ingat yang lalu-lalu. Jauh sebelum ia mendapati Namira sedang bersama Lee Jun Ki nun jauh disana, ketika Azrina bertanya harus memanggil apa pada lelaki yang baru saja memasuki kamar pengantinnya itu.
"Panggil seperti biasa aja."
"Biasanya kan Dokter."
Apa yang Azrina lewatkan?
Kenyataan bahwa yang lebih dulu terbiasa memanggil suaminya dengan sebutan Oppa adalah memang Namira.
Sungguh. Itu terasa ngilu.
Terlebih saat kata cemburu diucapkan Namira. Seolah gadis itu yang paling mengerti bagaimana sakitnya rasa sesak yang menghimpit di dalam hati itu.
Bukankah seharusnya Azrina juga tahu rasanya? Bahkan hingga kini dirinya pun masih berusaha berdamai dengan gejolak hatinya.
Usai menutup sambungan telepon dengan Namira, Azrina kemudian menghubungi suaminya.
Sementara sang suami hanya melihat saja ponselnya berdering dan bergetar diatas meja. Tak berniat menyentuh apalagi menjawabnya.
Sebenarnya, besar sekali dorongan untuk segera mengangkat telepon itu, seperti biasanya dia selalu bersemangat ketika istrinya menelepon. Tetapi ketakutannya pun jauh lebih besar. Tak siap jika ia akan mendengarkan sesuatu yang tak ingin dia dengar dari istrinya tercinta. Maka, ia memutuskan untuk diam, kemudian menyerah setelah mengabaikan panggilan ke sekian kalinya.
"Hmmm ... " Banyak hal pertama bagi Jun Ki sejak tsunami di hatinya terjadi. Termasuk pertama kali menjawab telepon istrinya dengan begitu malasnya.
"Assalamualaikum, Oppa."
"Alaikumsalam, kenapa?"
"Lagi tidur, ya?"
"Hm ... "
"Kenapa, Oppa? Oppa sakit?"
"Hm."
Sakit karenamu.
"Apanya yang sakit?"
"Hatiku! Hatiku yang sakit!"
Niat Lee Jun Ki hanya ingin memekik dalam hati, apa daya mulutnya ikut bersuara. Membuat Azrina terkikik seketika. Dan Lee Jun Ki masih menganga tak percaya dengan apa yang barusan dia katakan.
Musnahlah kau Lee Jun Ki!
"Oppa, mau mendengar sesuatu?"
"Hm ... "
"Jangan hm hm terus, Oppa. Jadi seperti Shah Rukh Khan."
"Siapa lagi itu? Ada Furqon, ada lagi Shah Rukh Khan? Apa aku harus ganti nama jadi Jun Kan juga?"
Mati aja kau, bang!- sorry author out of control.
"Oooh, jadi karena Furqon. Hmm," ujar Azrina dengan nada menggoda.Sesungguhnya ia sedang menahan tawa, gemas sekali dengan sikap suaminya.
Lee Jun Ki menghela napas berat mendengar sang istri menyebut nama laki-laki lain padanya dengan begitu entengnya. Ia melupakan fakta tentang hubungan dirinya dan perempuan lain bahkan lebih jauh dari ikatan halal yang menghubungkan Azrina dan Furqon. Seolah Azrina sedang melakukan kesalahan besar.
"Oppa, mau dengar sesuatu?"
Lagi-lagi hanya suara napas dari Jun Ki yang terdengar.
"Kalau Oppa hanya ingin diam-diam saja, lebih baik aku tutup teleponnya, ya? Sayang pulsanya."
Satu
Dua
Masih tak ada suara.
"Baik, Oppa. Aku telepon nanti lagi, ya? Mungkin sekarang Oppa belum mau mendengar, apalagi mempercayaiku."
Tiga...
"Assalamualaikum."
"Bukan aku tidak mempercayaimu, Azrina. Ini tentang aku ... Aku yang tidak percaya pada diriku sendiri. Menjadi pendampingmu— kurasa aku tak sesempurna itu."
Kalimat panjang nan merendah itu akhirnya meluncur juga. Dengan suara bergetar, tercurahlah isi hati Lee Jun Ki yang sesungguhnya.
Sejak saat ketika ia mengetahui kebenaran pernikahannya dengan Azrina adalah tidak lepas dari campur tangan sang ayah, itu membuat Lee Jun Ki benar-benar merasa kecil hati. Azrina yang sempurna, bukankah selayaknya ia mendapatkan suami yang jauh lebih baik dari dirinya? Keegoisannya dan kebahagiaan memiliki Azrina yang selama ini membuat Lee Jun Ki menutupi rasa itu di hatinya. Dengan segenap husnuzzhan, ia berusaha untuk tidak berpikir bahwa dirinya memang bukanlah takdir Azrina.
Pernikahan mereka adalah sebuah kesalahan.
Sungguh, membayangkan itu Lee Jun Ki tak berani.
Tapi serentetan kejadian yang terus datang membawa pilu seakan meyakinkan mereka bahwa mereka memang bukan untuk disatukan.
Bahwa Lee Jun Ki memang tidak layak untuk seorang Azrina.
Bagaimana Azrina harus menjawab?
Sementara dirinya pun telah lebih dulu diliputi keraguan. Meski hanya sekejap, lalu keyakinannya bertambah berlipat-lipat.
Lee Jun Ki adalah nama yang tertulis sejak dulu di Lauh Mahfuzh sebagai jodohnya, itu realitanya. Dan keragu-raguan yang timbul sebagai dampak dari ujian dalam pernikahan tentunya hanyalah bagian dari tipu daya syaitan laknatullah.
"Bukan tentang layak atau tidak layak, bukan tentang siapa yang lebih baik. Tapi siapa yang namanya telah tertulis di Lauh Mahfuzh lebih dulu, jauh sebelum kau mengharapkan diriku, atau aku yang meminta dirimu, Oppa," jawab Azrina pelan, namun tegas dan sanggup merubuhkan sebuah dinding yang terbangun di dalam diri Jun Ki entah sejak kapan.
"Namamu, Oppa. Yang ditulis Allah bersanding dengan namaku, sejak dulu, bertahun-tahun sebelum kita bertemu. Itu faktanya ... " Azrina diam sejenak, menghela napas panjang lalu melanjutkan, "terkadang, keraguan memang meliputi, seringkali menyerah seolah menjadi sebuah solusi. Tapi jangan pernah meragu, bahwa Allah menjodohkan kita tentunya adalah bersebab kau baik untukku, dan aku baik untukmu. Itu saja. Terlepas dari bagaimana kita dipertemukan, tidak akan ada yang bisa mengubah apa yang telah Allah tuliskan ... Sekalipun kau merasa bahwa seseorang yang lain lebih layak untukku dibandingkan dirimu, malaikat pun tahu, kau yang tetap akan memenangkan hatiku."
"Maafkan aku ... " Lee Jun Ki tercekat. Ia hanya sanggup melirihkan kalimat singkat yang nyaris tak terdengar. Ia memang mengharapkan hal seperti ini diucapkan Azrina, hanya saja ia tak menyangka Azrina meyakinkannya dengan cara seindah ini, mencipta haru yang memenuhi dadanya bersama segenap rasa bersalah.
"Bahwa kesempurnaan hanya milik Allah. Aku tak sesempurna yang kau bayangkan, Oppa. Dan kau pun tentu tak sebaik yang aku harapkan. Tetapi, janji Allah adalah kepastian. Dijodohkan denganmu, bukan sebuah kesalahan melainkan memang karena dirimu pantas untuk memimpinku dalam perjalanan menuju Tuhan."
Runtuh sudah segala dinding keraguan yang kokoh menyelimuti hati Lee Jun Ki. Kalimat demi kalimat yang dilontarkan Azrina terasa seperti timah panas yang meleburkan seluruh partikel keras yang menghinggapi dirinya.
"Kuharap, kita bisa selalu saling mengingatkan. Bahwa jodoh yang paling pas untukku, memang hanya dirimu, Oppaku sayang."
"Maafkan aku, Azrina ... Permataku, aku terlalu sering menyia-nyiakanmu. Aku hanya terlalu takut, seseorang seperti Furqon bisa saja membuatmu—"
Azrina tertawa kecil, dan kembali menjelaskan, "jangan pernah berpikir seperti itu, Oppa. Rasa cintaku padamu datang karena cintaku pada Rabb-ku dan juga Rabb-mu. Dan ketakutanku mengkhianati-Nya jauh lebih besar dibandingkan dengan rasa takutku menyakiti hatimu, meski kemurkaanmu pun akan mengundang laknat dari-Nya untukku ... Furqon bukan seseorang yang harus Oppa khawatirkan, karena dia memang bukan penghalang kebahagiaan pernikahan kita, mungkin saja dia justru akan menambah manisnya rumah tangga kita."
"Menambah manis, seperti menimbulkan tsunami di hatiku, maksudnya?"
"Hahaha. Jadi segitunya?"
"Iya-lah. Kau pikir aku masih bisa bernapas melihat seorang laki-laki membagikan foto dengan menggenggam tangan istriku? Andai aku masih seperti dulu, laki-laki bernama Furqon itu mungkin sudah melayang."
"Hus. Oppa, omongannya. Lagipula siapa yang suruh Oppa percaya begitu saja dengan apa yang hanya terlihat oleh mata? Kenapa tidak mencari kebenaran? Setidaknya menelisik lagi, apa yang memang seharusnya istrimu ini jaga. Apa Oppa lupa, bagaimana aku menjaga diri? Bahkan tanpa Oppa minta, adalah kewajibanku untuk menjaga kehormatan, apalagi ketika suamiku sedang berada jauh dariku. Seharusnya Oppa bisa berpikir lebih dulu, istrimu ini tidak akan mungkin serta-merta menyerahkan diri pada lelaki selain suaminya. Jikapun suatu hari Oppa melihat atau mendengar kabar yang tidak-tidak tentangku, kemungkinan besar itu hanya fitnah, maka mengkonfirmasi langsung padaku jauh lebih baik dibandingkan dengan ngambek seperti ini ..."
Deg.
Salah besar, kau salah besar, Lee Jun Ki!
"Furqon bukan sesuatu yang harus Oppa singkirkan seperti itu, aku serius. Dia kakakku. Bukan seperti yang Oppa sangka. Bahkan melalui Furqon-lah Allah menitipkan karunia sehingga aku bisa hidup sampai sekarang."
Azrina pun mengulang apa yang sudah diceritakannya pada Namira tadi, kali ini kepada suaminya.
Dan Lee Jun Ki, seketika merasa menjadi laki-laki tak berguna, manusia bodoh dengan sumbu pendek, mudah terbakar meski terpercik api yang kecil.
🍁
"Namira, ikut aku." Lee Jun Ki dengan raut wajah yang jauh berbeda dari wajah seramnya pagi tadi sedang menghampiri Namira yang mengobrol bersama Bibi Sung di dapur. Wajahnya sumringah penuh kebahagiaan.
"Kemana? Jangan bilang kau akan mengajakku ke Arab juga."
"Temani aku saja, tidak usah banyak bicara." Hampir saja Jun Ki kembali khilaf menarik lengan Namira, jika tidak mengingat apa yang dirinya dan Azrina baru saja bicarakan.
"Iyaa! Huh. Diktator sekali!" gerutu Namira sambil mengekor Jun Ki.
Bibi Sung yang melihatnya hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum lalu membalas pamitan Jun Ki dengan anggukan dan lambaian tangan.
"Kau tahu, aku benar-benar sangat bahagia karena istriku adalah Azrina," ujar Lee Jun Ki ketika mereka berdua masing-masing telah duduk dalam mobil.
Sejujurnya mendengar hal itu, sebagian besar hati Namira turut bahagia. Ini kabar bahagia, bukan? Setidaknya untuk dua orang yang Namira cintai. Iya benar, sebagian kecil di hatinya masih menyisakan rasa pada lelaki yang mengemudi disampingnya ini. Mengakibatkan sesuatu yang nyeri dirasanya ketika Lee Jun Ki menyatakan hal itu padanya.
"Oh Tuhan. Haruskah aku yang berada disini dan mendengar semua ini?"
Namira menjerit dalam hati. Ia hanya membalas pernyataan Lee Jun Ki dengan senyum tipis bersama sedikit desahan berat terdengar dari napasnya. Tentu saja Lee Jun Ki tak peduli, laki-laki itu bahkan terus berbicara.
"Aku tak tahu bagaimana hidupku jika bukan Azrina yang dipilihkan Tuhan untukku."
Lee Jun Ki benar-benar tidak lagi mengingat bahwa Namira dulunya merupakan seorang gadis yang menaruh harapan penuh pada dirinya. Yang ia tahu, kini Namira adalah adik kecil yang bisa mendengar semua isi hati yang akan diceritakannya. Ia merasa, Namira pun telah menganggapnya sama seperti dirinya menganggap Namira. Sayangnya, Namira tidak.
Yang bener aja!
Move on kalau tetap dekat-dekat kamu sih, namanya one step closer.
Begitulah kira-kira protes Namira setiap kali mengingat Lee Jun Ki memintanya untuk melupakan masa lalu dan yang harus diingatnya hanyalah kenyataan bahwa Lee Jun Ki saat ini benar-benar sudah berbahagia dengan sahabatnya sendiri, maka Namira pun berhak untuk berbahagia bersama mereka. Hingga suatu hari nanti pun ia menemukan seseorang yang membuatnya begitu gembira menyatakan bahwa ia beruntung dipertemukan dengan orang itu.
Sayangnya, membayangkan itu Namira masih tak mampu. Apa yang diharapkan dari seseorang yang masih menyimpan sosok lelaki impiannya di hati meskipun ia menyadari bahwa tidak ada lagi kemungkinan bagi dirinya?
"Iya, aku tahu. Dia gak ada apa-apa dengan Furqon."
"Loh? Bagaimana kau tahu? Ah! tidak seru lagi!"
"Azrina bilang padaku lebih dulu, tolong ya. Jangan sombong."
"Terserah, yang jelas aku akan pergi menemuinya, lalu mengajaknya pulang. Jangan cemburu, jangan berulah."
Namira mencebik. Tak percaya Jun Ki akan mengatakan itu. Tentu saja Jun Ki hanya bercanda, tetapi bagi Namira itu benar-benar terdengar seperti peringatan.
"Apa yang akan kita lakukan disini?" tanya Namira ketika Lee Jun Ki memarkir mobilnya di depan toko bunga besar di pinggir jalan.
"Temani aku, memilih bunga untuk Azrina."
Yang benar saja!
Menurut Jun Ki, Seoul - Mekkah berjarak seperti Seoul - Incheon apa? Beli bunga tentu saja akan layu sebelum ia tiba disana.
Ah... Budak cinta, berpikir logis pun tak bisa.
"Bunga jenis apa yang Azrina sukai?"
"Bagaimana? Apakah ini bagus?"
Namira menggeleng.
"Menurutmu Azrina suka ini?" Namira lagi-lagi menggeleng.
"Kau kan suaminya, masa tidak tahu. Selama ini kau tidak pernah memberinya bunga? Hah! Aku jadi khawatir jika dalam pernikahan kalian, yang bahagia cuma kau, Oppa. Azrina justru menderita."
"Kau! Kau ingin aku menaburi bunga diatas pusaramu hah? Asal kau tahu saja, aku memberi Azrina sesuatu yang lebih besar dari sekedar bunga dan tentu saja dia bahagia," sergah Jun Ki dengan senyum membanggakan diri memaksa Namira memasang ekspresi jijik.
"Sudah bantu aku memilih saja. Yang seperti ini bagaimana?"
"BIG NO!!! Azrina tidak suka sesuatu yang berlebihan, Oppa. Dan itu, aigooo.. Jinjja, apa kau benar-benar harus memakai topi jelek itu? Kau terlihat seperti malaikat pencabut nyawa, tahu."
"Ya! Kau benar-benar ... Apa seaneh itu?" Tadinya Jun Ki hendak memprotes, tapi setelah melihat dirinya di depan cermin, ia lalu berkaca dengan tetap bertanya pada Namira.
"Tentu saja! Aku bahkan tak bisa menemukan alasan apa yang membuatmu mengenakan itu. Tidak cocok sekali!"
"Ini agar mata-mata kesulitan mengintaiku, tahu!"
"Hegh! Hanya artis-artis Korea yang cocok melakukan penyamaran dengan penampilan seperti ini, Oppa. Kau ... Sama sekali tidak."
"Yaaaa... Mengajakmu benar-benar tidak berguna!"
"Ck! Sudah diberitahu, tidak bersyukur. Pakai saja itu bertemu Azrina, ku jamin dia menolak pulang dan memeluk Furqon seerat-eratnya karena ketakutan."
"Yaaaa! Kau benar-benar ingin memesan karangan bunga untuk pemakamanmu?!"
Namira langsung menutup mulut rapat-rapat. Ternyata mood baik Jun Ki hari ini sama sekali tidak mengurangi keganasan mulutnya.
"Oppa, dengar ya. Azrina tidak suka sesuatu yang berlebihan. Bunga sebanyak itu, bukannya akan membuat Azrina senang, justru dia akan kesulitan. Lagipula, apa kau serius akan membawa bunga hidup dalam perjalanan berpuluh jam? Kau yakin bunganya tidak keburu layu?"
"Lebih baik hadiahi dia perhiasan. Yang mahal tapi tidak mencolok, kau kan banyak uang. Masa cuma kasih bunga. Atau makanan! Ahh tidak ada hadiah terbaik selain makanan," lanjut Namira.
"Itu sih kamu yang suka," sindir Jun Ki yang membuat Namira refleks menyengir.
Dan perdebatan mereka berakhir dengan keputusan Lee Jun Ki membeli beberapa tangkai bunga yang diawetkan dan dihias dengan indah.
🍁
Dewi fortuna sedang berpihak pada Jun Ki kali ini. Saat Paman Kim mengkonfirmasi ia dapat berangkat ke Saudi sore ini. Hanya saja, visa kerja yang didapatnya membuatnya harus sedikit lebih lama tiba ke Mekkah karena pesawatnya harus transit ke Riyadh lebih dulu, lalu ke Jeddah, kemudian melakukan perjalanan darat menuju Mekkah.
Namun setelahnya, detik jam terdengar seperti bunyi detak jantung Lee Jun Ki ketika Azrina mengabari dirinya tengah melaksanakan thawaf wada'. Thawaf terakhir dan menjadi akhir dari rangkaian umrahnya selama beberapa hari ini, kemudian Azrina mulai bersiap untuk kembali ke tanah air melalui bandara internasional King Abdul Aziz di Jeddah.
Semoga masih tersisa sedikit waktu untuk Jun Ki bisa tiba disana sebelum Azrina lebih dulu pulang ke Indonesia.
Iya ...
Lee Jun Ki ingin memberi kejutan.
Namun dirinya yang lebih dahulu dikejutkan.
Dengan segenap harap, ia terus merapal doa selama penerbangan. Bahkan untuk bernapas pun terasa begitu berat karena rasa was-was yang menyesakkan dadanya.
Azrina, jangan pulang dulu!
🍁🍁🍁
To be continued.
Karena aku gak bisa ngetik lagi tapi gak sabar pengen up.
Apalagi setelah aku liat lagi outline buat part ini masih panjaaaang banget bisa buat dibagi jadi dua part.
Yaudah aku update setengah dulu tanpa konflik dan kejadian yang berarti. Wkwkwkwk.
Jadi, kira-kira Oppa keburu gak yaaaa nyampe sebelum Azrina pulang duluan?
Atau jadinya pake plan B, ngaku aja kalo dia otw biar Azrina tungguin?
Tapi gak seru lagi dong.
Hahahaha.
Ditunggu aja ya.
Azrina dan Jun Ki akan baik-baik saja, selama kalian percaya.
Selama kalian setia
.
.
.
.
Membacanya.
Jadi, tetap setia ya.
Walau daku sering muncul semaunya. Huehehehe
Annyeong! 💓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro