19 - Berpasrah atau Memaksa?
Bismillah!
Assalamualaikum, chingudeul!
Kembali kita bertemu di hari minggu yang semoga tidak sendu.
Ehe.
Kurang lebih 4 hari lagi ramadhan. Rasanya senang tiap kali menyambut ramadhan. Tapi tahun ini tuh, senengnya kaya berbalut duka gitu ya. Di tengah pandemi yg entah kapan usainya... Semoga saat angin segar ramadhan datang, pandemi juga seketika terhempas dari bumi. Amiiin ya Allah...
Oke lanjut ya! Coba mana bintangnya duluuu...
🍁🍁🍁
"Abi, kenapa Abi jadi nggak izinin Azrina berangkat?" Azrina membuka pintu ruang baca ayahnya tanpa mengetuk lalu langsung mengurai pertanyaan tanpa awalan.
"Kesehatanmu, Nak. Abi khawatir. Kamu lagi hamil ... Kalo kenapa-kenapa, Abi yang menyesal nanti." Prof Ali yang tadinya terkejut tetap memberi jawaban dengan tenang setelah mendengar komplain dari putrinya. Memang sudah diduganya, istrinya pasti sudah menyampaikan kepada sang putri tentang pembatalan dirinya ke tanah suci.
"Abi ... Kenapa Abi jadi su'uzhon begini? Abi yang ajarin Azrina untuk selalu berbaik sangka. Selalu melihat sisi positif segala sesuatunya. Abi juga yang ajak Azrina umrah tadinya..."
"Itu sebelum Abi lihat kamu belakangan ini down banget. Kamu kenapa, sih? Itu suami kamu kapan pulangnya?" Ummi yang tiba-tiba berada ditengah-tengah mereka juga bicara. Dan akhir kalimatnya sukses membuat kedua mata Azrina memanas.
"Iya, Sayang. Lihat sisi positifnya. Kamu batal pergi, biar kesehatanmu tetap terjaga. Itu positif, kan?"
"Abiii ... Nggak begitu ... Siapa bilang Azrina sakit? Azrina nggak sakit. Azrina kuat!"
Prof Ali tersenyum, putrinya yang kuat itu tak pernah mengeluhkan penyakitnya. Dia diketahui sedang sakit hanya ketika sakitnya benar-benar tak dapat ditahannya, atau seperti waktu itu, ketika dia tumbang tiba-tiba.
Itu yang ditakutkan prof Ali, jika Azrina bersikeras ingin berangkat ke tanah suci selama beberapa hari. Sementara Prof Ali tahu betul Azrina tidak mungkin kuat menunaikan ibadah umrah dengan kondisinya saat ini.
"Kamu kenapa Ummi tanya? Dari kemarin sedih melulu, matanya bengkak terus, makan sedikit, ngerjain tugas nggak berhenti. Kalo nggak sayang sama Ummi Abi, nggak apa-apa. Tapi sayangin itu yang diperut. Gimana bisa kuat kalo nggak dijaga."
Azrina tertohok.
Memang benar, sejak Jun Ki membenarkan dugaannya soal Namira, Azrina belum sepenuhnya pulih dari rasa sedihnya. Sesungguhnya, hatinya hancur. Terlihat dari caranya menghabiskan waktu beberapa hari ini. Abi dan umminya dibuat khawatir. Tak pernah putrinya berbuat sedemikian zalim pada tubuhnya seperti sekarang ini.
Pasti ada yang mengganggunya. Seperti Azrina biasanya, ia akan seperti ini jika sesuatu mengganggu pikirannya.
Masalahnya, saat ini dia tidak sendiri. Ada satu nyawa yang membutuhkan gizi yang cukup di dalam tubuhnya. Berlaku egois dengan tidak memikirkan kesehatan tubuh dan janin itu, zhalim.
Azrina tertegun lama. Hanya pipinya yang mulai menganak sungai.
Ummi benar.
Belakangan ini dia lepas kendali.
Tapi siapa yang bisa mengerti perasaannya?
Kesedihannya, tidak mungkin diceritakan pada orang tuanya. Bagaimanapun, ini soal suaminya.
Sebesar apapun peran seorang suami dalam rumah tangga, namun ketika membuat putri seseorang menangis, tentu orang tuanya tidak akan tinggal diam.
Azrina menghindari konflik itu.
Sayangnya, sang ibu bisa merasakannya.
"Suamimu kenapa belum pulang? Tahu nggak sih dia itu, istrinya lagi hamil ini loh ... Nggak peduli dia?"
Kata-kata Ummi justru semakin membuat dada Azrina sesak.
"Ummi, tenang. Tahan ucapannya," Prof Ali menenangkan.
Memang sudah lama orang tua Azrina mempertanyakan kepergian Jun Ki yang tak kunjung pulang, namun mereka memilih untuk berbaik sangka. Selama putrinya tidak kenapa-kenapa.
Namun sekarang ini, ummi sepertinya akan berhenti berprasangka baik terhadap menantunya itu. Putrinya dalam masalah, dan nyawanya dipertaruhkan.
"Ummi ... Kenapa jadi bawa-bawa Oppa? Oppa nggak tahu apa-apa dan gak ada hubungannya ... Azrina cuma mau umrah, itu aja."
"Jelas ada. Udah berapa bulan dia terlantarin kamu disini? Dalam keadaan hamil. Padahal dia tahu istrinya gak boleh hamil!"
"Ummi ... Oppa nggak tahu Az hamil ... Oppa belum tahu," sanggah Azrina.
"Nah ini. Abi, denger kan? Anaknya ini loh ... Ngeyel-nya masya Allah! Bisa-bisanya dia begini. Ummi gak ngerti lagi deh ... Ya Rabb ... Nggak ada sayang-sayangnya dia sama Ummi ... "
"Ummi ... Jangan ngomong gitu, Miii... YaAllah, jangan murkai Azrina, Ummi ..." Tangis Azrina semakin menjadi. Umminya pun tak kuasa menahan airmata. Sesungguhnya, ummi hanya lelah melihat ketegaran putrinya yang sebenarnya rapuh itu.
Tak ada orang yang paling mengerti Azrina selain ibunya, bukan?
Ummi yang paling tahu kondisi Azrina sebenarnya.
Bahkan kehamilannya, bukan kabar baik bagi kedua orang tuanya. Karena mereka tahu, hal itu membahayakan nyawa putrinya, sementara mereka belum sanggup kehilangan putri kesayangan mereka.
Sudah cukup Azrina boleh mempertahankan kandungannya dengan catatan harus menjaga kesehatan tanpa berkegiatan. Awalnya, Azrina menurut. Tapi kemudian, perempuan itu justru kembali aktif berkuliah bahkan mencari Namira. Itu membuat kesehatannya menurun, dan Ummi gemas melihatnya.
"Udah ya, Ummi nggak mau panjang lebar. Azrina pilih umrah atau bayinya?"
"Astagfirullah, Ummi! Kenapa jadi kejam begini? Ini cucu Ummi, mungkin akan jadi satu-satunya cucu Ummi. Tega Ummi suruh Azrina memilih?"
"Terus? Tega kamu sama Abi sama Ummi? kehilangan cucu ummi gak apa-apa dari pada harus kehilangan cucu sekaligus anak ummi satu-satunya. Ummi nggak bisa!"
Sebelum tangis Ummi semakin menjadi-jadi, wanita paruh baya itu berlalu meninggalkan Azrina dan ayahnya yang mengambil langkah mengusap punggung Azrina yang semakin basah seluruh wajahnya.
"Sudah, Sayang. Maafkan Ummi, ya?. Ummi tidak bermaksud seperti itu. Kamu tahu itu, kan?"
Hanya terdengar isakan dari Azrina.
"Kamu tahu, Sayang? Abi sama Ummi takut kehilangan kamu. Sejak dulu, bertahun-tahun Abi Ummi berjuang agar kamu bertahan. Bisakah kamu sedikit mengerti? Ummimu ... Ummi hanya sedih, semua yang sudah diperjuangkannya, kamu sia-siakan begitu saja. Hanya demi janin yang seharusnya——"
"Seharusnya apa, Bi? Seharusnya tidak pernah ada? Ya Ilahi ... Seharusnya Abi yang mengerti, seberapa cintanya Abi sama Az? Seperti itu juga cintanya Az sama titipan Allah dalam perut Az ini, Bi. Sejak saat Az merasakan kehadirannya disini. Bahkan sejak sebelum Az menatap wajahnya. Cinta Az sebesar itu untuknya, Abi. Sekalipun harus ditukar nyawa, Azrina rela."
"Mencintai dan memaksakan kehendak itu beda, Nak. Kamu tahu, kondisimu tidak mungkin mampu. Bahkan sebelum bayimu terbentuk sempurna, bisa saja kamu lebih dulu dipanggil-Nya. Jika begitu, segala yang Abi usahakan menjadi tidak berguna."
"Kenapa Abi jadi jauh memikirkan yang tidak seharusnya? Abi yang ajarin Azrina untuk berpasrah pada ketetapan Allah. Berbaik sangka. Melapangkan dada jika kita diuji dengan sesuatu yang tidak kita harapkan. Lalu kenapa Abi justru ketakutan jika harus kehilangan Azrina?"
Untuk pertama kalinya, Azrina membalikkan kata-kata sang ayah kepadanya. Tak pernah ia membantah ayahnya kecuali dalam hal ini. Sejak awal ia bersikeras mempertahankan kandungannya.
"Berpasrah dan memaksa itu tidak sama, Azrina. Dalam hal ini kamu tahu resikonya. Abi bukannya takut, tapi Abi berusaha menjaga kehidupan yang sudah ada."
"Tapi tidak dengan mengorbankan sesuatu yang sudah dipercayakan Allah. Kehidupan lain sedang tumbuh didalam sini, Abi. Az akan menjaganya sekuat tenaga. Meski harus berjuang sendiri, Az bisa. Allah bersama Az. Allah yang titipkan dia dalam perut Az. Amanah ini, Allah yang kasih, Bi ... Allah percaya Az bisa. Kenapa Abi nggak?"
Jika sudah begini, Prof Ali tak bisa lagi berkata-kata. Azrina--- sejak dulu anak itu, ketika merasa benar siapapun tak bisa mematahkan argumennya. Termasuk sang ayah. Pernah suatu hari saat Azrina bersikeras pada sesuatu dan orang tuanya pun berkeras tidak setuju, yang terjadi adalah Azrina sesak napas dan dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat.
Segawat itu kondisinya.
Hanya Azrina saja yang sengaja tidak peduli lalu berusaha terlihat kuat.
Begitu sabarnya Prof Ali dan istri menjaga putrinya. Bahkan kondisi hatinya harus stabil agar tak berakibat buruk.
Untungnya Azrina tumbuh menjadi gadis yang taat beragama. Jadi arah hidupnya lurus-lurus saja.
"Abi tahu ini nggak mudah, Nak. Tapi jaga kesehatanmu, ya? Abi tidak mau liat kejadian seperti ini lagi. Kasihan Ummimu ... Kamu sayang sama janin ini?" Prof Ali mengusap perut putrinya lembut. "Kamu jaga? Belakangan ini kamu yakin kamu gak zhalim sama dia? Kasihan loh ... Kalau Umminya sedih, dek bayinya ikutan sedih ..."
Ummi.
Mendengar kata itu, sekujur tubuh Azrina menghangat. Beberapa bulan lagi, ia akan menyandang gelar itu.
Ya Allah, lancarkanlah hingga hari itu tiba.
"Lagian kamu kenapa, sih? Belakangan ini seperti bukan Azrinanya Abi ... Kalau ada masalah, cerita dong ... Nggak sama Abi, sama Ummi, atau ya sama Allah. Nggak biasanya Azrina kalah..."
"Maafin Az, Bi ... Az salah ... Tapi, makanya umrohnya jangan dicancel ya? Az butuh cerita sama Allah, langsung disana. Masalah Az berat,"
Azrina mengangkat kepalanya yang tertunduk sejak tadi, menatap wajah ayahnya dengan wajah memelas, lalu menghapus sisa airmata di wajahnya.
"InsyaAllah, kalau Abi doain Az kuat, gak akan ada apa-apa sama Az disana."
"Masalahnya berat, sampe ngalahin berat badan kamu tuh. Makan yuk ... Kalau kamu kurus, biarin aja. Tapi Abi nggak mau cucu abi kurang gizi karena dikasih airmata terus sama Umminya," Prof Ali mengembalikan suasana ceria dengan memulai lelucon renyahnya sambil mengajak putrinya menuju meja makan
"Ih Abiii... Suapin tapi yaaaa?"
Tetap saja, manjanya Azrina tak juga hilang meski sebentar lagi menjadi ibu.
"Malu ih. Ibu hamil makannya masih disuapin Abinya."
"Biarin," Azrina memajukan sedikit bibir bawahnya. "Cucunya yang minta ini ... Mau disuapin Abinya tapi Abinya nggak ada ... Jadi disuapin Jaddi aja," kalimat Azrina membuat tangan Prof Ali yang sedang mengaduk nasi dan sup dalam mangkuk jadi terhenti.
"Hahaha. Jaddi, ya. Abi geli dengarnya. Rada aneh gitu, mungkin belum biasa, ya," sahut Prof Ali dengan tertawa kecil sembari menyuapi Azrina.
Azrina ikut tertawa dengan pipinya yang menggumpal karena makanan di dalam mulutnya.
"Ya dibiasain, dong. Itung-itung doa."
"Iya juga, ya ... " sambil meletakkan telapak tangannya pada permukaan perut Azrina, Prof Ali mulai berbicara "Assalamualaikum cucu jaddi ... Enak nggak makanannya? Ini jaddah yang masak, loh. Makanan terenak seduniaaa... Tapi Ummimu suka males makannya, kenapa, ya?"
"Hahaha. Abi apaan deh. Garinggg"
Prof Ali ikut terkekeh menyadari kekonyolannya berbicara dengan perut. Ini mengingatkannya pada puluhan tahun lalu, ketika Azrina berada di perut istrinya. Betapa seringnya ia mengajaknya bicara. Dan sekarang, ia menyebut dirinya Jaddi.
Kakek dari cucunya.
Sebagai doa, semoga Allah benar-benar perkenankan dirinya menimang cucunya, dan mendengar panggilannya
"Jaddi ... "
Diam-diam, Ummi Azrina mengintip dari pintu kamar. Dengan senyumnya yang mengembang.
Lelaki dan putrinya itu selalu klop ketika bersama. Memang Azrina jauh lebih dekat dengan ayahnya, meskipun juga dekat dengan ibunya, tapi hubungan antara ayah dan anak perempuan seperti Azrina dan ayahnya memang selalu membuat iri siapapun yang melihatnya. Bahkan Jun Ki juga.
Lelaki yang hingga saat ini kian memburuk hubungannya dengan sang ayah.
🍁🍁🍁
Asyik asyik nulis ternyata udah jam 1 malam.
Hoks.
Ini saatnya TBC dulu ya gaeeessss...
But, don't you worry
Karena aku udah siapin spoiler buat next part...
Apa yaaaaa.....
Ada yang bisa tebak gak next part nya ada apa?
Uhuuu yeeeaaaahhh
Ohooooraaattt...
Ada cast baruuuuu....
Siapa yaaaa???
Ada yang kenal mamas ini?
Woyajelaaaassss
Yaps!
Dia adalah Hamas Syahid
Si Mas Gagah.
Uhuk...
Next part ada dia.
Jadi apa?
Tunggu ajaaaaaa... Wkwkwk
Bocoran namanya aja ya,
Hamas Syahid as Furqon Azizi
Seorang Hafizh Quran, Mahasiswa Universitas Islam Madinah.
Kyaaaaa kyaaaaaaa...
Lamar aku akaaaaang...
*Plaks!
Udah dulu yaaaa.. Byeeeee 👋
Love,
Azrina yang sedang bahagia karena dibolehin umroh💓
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro