Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17 - Hasbunallah...

Azrina terperanjat dari tidurnya. Napasnya tersengal, bulir-bulir keringat mengucur dari dahi, pelipis hingga lehernya.

Berulang kali ia beristighfar, mengatur napasnya sembari mengusapkan tangan ke dada. Lalu menyeka matanya yang juga basah.

Sejak keluar dari rumah sakit, ia selalu seperti ini. Mimpi buruk selalu mengisi malamnya. Mimpi yang sama, mimpi yang akhirnya lagi-lagi melelehkan bulir bening dari matanya.

Awalnya mimpi itu biasa saja.

Ia melihat sosok lelaki dengan tuksedo yang berdiri di ujung jalan yang menjurus ke padang ilalang, seperti menunggu seseorang. Tapi saat lelaki itu menoleh, wajahnya tidak jelas terlihat sampai Azrina terbangun dari mimpinya.

Di mimpi berikutnya, Azrina semakin mendekat ke arah lelaki yang kini mengulurkan tangannya dengan senyum simpul di bibirnya.

"Kau cantik sekali, Bidadariku," ujar lelaki itu saat Azrina hampir mencapainya. Mengenakan gaun pengantin muslimah yang sempurna membalut tubuhnya mungilnya. Berbahan satin berlapis brukat warna broken white, dengan sentuhan kristal swarovski sebagai hiasan. Kerudungnya yang dilapisi kain tutu berwarna senada dibiarkan menjuntai.

"Oppa ..." Azrina menyambut uluran tangan suaminya, dengan senyum yang lebar sekali.

"Oppa kemana saja? Aku menunggu lama sekali ... "

Jun Ki tersenyum sekali lagi, dengan lembut ia mengusap tangan istrinya, mengecupnya. Mengecup keningnya juga. Namun seketika ia melepas genggaman istrinya dari tangannya kemudian berbalik memasuki padang ilalang yang lebat dan tumbuh menjulang, sesekali bergoyang oleh hembusan angin segar. Ia meninggalkan istrinya sendirian.

Mimpi berikutnya, Azrina kebingungan. Suaminya pergi tanpa sepatah kata. Ia menyusulnya, tapi Lee Jun Ki seolah menghilang. Jilbabnya terkepak-kepak oleh angin yang semakin kencang.

"Oppaaaaaaaa..."
Azrina mulai berteriak memanggil-manggil suaminya sambil berlari kecil mencarinya. Beberapa kali ia mendapati sosok suaminya di kejauhan, namun tak kunjung ia menggapainya sebab Jun Ki terus melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.

"Oppa, jangan pergi ... Aku takut ..."  tangis Azrina sudah pecah sejak tadi.

Ia mulai kelelahan, seluruh tubuhnya terasa perih. Ilalang yang ia lewati ternyata berduri tajam sekali. Entah bagaimana ilalang dalam mimpinya ini memiliki duri yang sanggup melukai dengan sekali goresan dan sayatan pada permukaan gaunnya. Sekujur tubuhnya terluka. Membuat gaun broken white nya kini berhias noda darah hampir di setiap bagian. Azrina terus berlari menahan rasa sakitnya, disingkapnya gaunnya agar bisa berlari lebih kencang, memperlihatkan kakinya yang entah dimana ia menanggalkan wedges nya. Hanya kaos kaki yang tidak lagi sempurna menutupi kakinya

Jeritnya kini menjadi rintih, jatuh bertumpu pada kedua lututnya, mengumpulkan sisa tenaga untuk sekali lagi meneriakkan nama suaminya. Namun lelaki yang mendengar sayup-sayup dari pantulan suara istrinya itu tak juga menghentikan langkahnya.

Azrina menolak untuk mempercayai mimpi itu sebagai isyarat terjadinya sesuatu yang buruk di dunia nyatanya. Bagaimanapun, mimpi hanyalah mimpi. Bunga tidur yang segera akan ia lupakan. Bahkan mimpi itu terlalu mengerikan untuk sebutan bunga.

Sayangnya, mimpi itu menyambanginya terus menerus. Seolah meyakinkan bahwa ia harus percaya--- sesuatu yang buruk terjadi dalam pernikahannya.
Puncaknya adalah malam ini, ketika ia terbangun dengan kondisi memprihatinkan. Wajahnya pucat, napasnya memburu. Suhu tubuhnya meningkat, detak jantungnya berpacu tak menentu. Dalam kesendirian, ia menangis tersedu.

Mimpinya berlanjut lagi, kali ini menayangkan dirinya dengan sisa-sisa daya, kembali bangkit dan melanjutkan langkah. Terseok, tersungkur, bangkit dan berjalan lagi. Begitu seterusnya hingga jaraknya dengan sosok Jun Ki tersisa hanya beberapa langkah.

"Oppa ... Oppa mau kemana? Oppa jangan tinggalkan aku sendiri ..."

Lelaki itu menoleh, tersenyum sinis lalu bergeser sedikit ketika tangan istrinya hendak menggapainya. Membuat istrinya terjerembab tepat dihadapan seorang wanita yang muncul entah dari mana.

Wanita yang wajahnya tidak asing.
Wanita yang senyumannya sontak memecahkan tangis Azrina. Lagi.

Itu sahabatnya, yang dicarinya sejak lama.
Tapi mengapa sahabatnya itu kini merangkul lengan suaminya dan tersenyum saling tatap?

Apa?
Apa yang ia lewatkan?

Belum sempat ia menelaah apa yang dilihatnya, suami dan sahabatnya itu mulai beranjak tanpa menjelaskan apa-apa. Lagipula, bahasa tubuh mereka sudah menerangkan segalanya. Jadi, apa peran Azrina disini? Perempuan lemah yang bodoh? Atau perempuan baik hati yang lemah fisiknya, hingga terpaksa harus berbagi?

Beberapa saat ia menatap punggung dua orang yang ia sayangi. Lirihnya tak cukup terdengar untuk membuat mereka berbalik menjemputnya. Satu goresan luka di pipinya dirasa semakin perih.

Seolah tak cukup dengan kekejaman itu, darah segar mengalir di sepanjang kaki Azrina. Membuat ujung gaun dan kaos kakinya sempurna memerah. Sepertinya bukan darah dari luka sayatan duri ilalang, tetapi luka yang lebih besar. Luka dari lubang di hatinya, menembus lapisan penjaga segumpal daging yang baru saja ditiupkan ruh di dalam perutnya.

Azrina terisak tanpa sudah. Mimpinya kali ini benar-benar membuat ngilu hatinya. Seolah segala yang dicintainya terenggut paksa.
Tepat dihadapannya, suaminya pergi bersama sahabatnya. Mungkin ia sanggup untuk merelakan hal itu bahkan di dunia nyata. Tetapi ketika ia pun harus kehilangan janin dalam kandungannya, ia tidak akan bisa. Hal itu terasa sangat pedih sekali meski hanya di dalam mimpi.

Azrina mengusap lembut perutnya dengan kedua tangan. Sudah lebih empat bulan usia kehamilannya kini, tapi perutnya masih belum terlihat membuncit. Justru tubuhnya juga semakin mengecil saja.

"Kita solat dulu ya, Nak ... Doakan Ayah agar selalu dijaga Allah ..."

Bagi Azrina, makhluk kecil yang jantungnya mulai berdetak dalam perutnya ini lah sumber kekuatannya saat ini. Apapun itu, dirinya harus bertahan demi buah hatinya. Setidaknya sampai ia terlahir dengan selamat dan sehat sempurna.
Ah ... Bahkan membayangkan kehadirannya sejak berupa dua garis positif waktu itu saja mampu membuat Azrina seketika lupa akan mimpi buruknya tadi. Buah cintanya itu, juga sumber bahagianya. Senyumannya mengembang kini, sedang jemarinya masih asyik membelai-belai permukaan perutnya.

Di heningnya akhir sepertiga malam ia berdiri, rukuk dan sujud, memanjatkan doa dengan isaknya. Mimpinya tadi---mau tidak mau--- telah berhasil menguras energi dan juga pikirannya. Dalam shalatnya, ia terus meminta agar dijauhkan dari prasangka sesuai isyarat mimpinya, namun apa yang bisa ia percayai jika suaminya saja tidak berada di sisinya saat ini? Pergi meninggalkan sejuta tanya membuat ia tergoda untuk mempertanyakan siapa dan apa peran dia sesungguhnya dalam hidup lelaki itu?

Selepas memuraja'ah hafalannya, Azrina terpekur beberapa waktu menunggu waktu subuh tiba, saat itulah ia menyadari sesuatu yang mungkin tanpa sengaja ia lewatkan.

Namira.
Bukankah informasi terakhir yang didengarnya, sahabatnya itu sedang di Korea?

Lalu Lee Jun Ki yang mendadak berangkat ke Korea dengan alasan yang tak dimengertinya, seolah memaksa dirinya untuk menerka-nerka sesuatu yang tidak seharusnya---kecuali jika ia ingin terluka.

"Astagfirullahal'adziim ... Apa yang sedang kupikirkan ..."
Azrina membenamkan wajah pada kedua telapak tangannya dan menggosoknya pelan, berharap semua pemikiran buruk yang muncul di benaknya menghilang. Berusaha agar tidak lupa, bahwa ada Allah bersamanya. Allah yang mengatur segalanya, berbaik sangka pada Allah itu sudah cukup menenangkan hatinya.

Tetapi, hati dan otaknya sepertinya tidak selaras untuk saat ini. Otaknya terus saja menggaungkan sesuatu seperti, "suaminya bersama Namira disana," meski hatinya berusaha meyakinkan bahwa menyimpulkan hal itu adalah kebodohan. Korea tidak sesempit itu untuk mempertemukan mereka tanpa terencana.

Tapi, bagaimana jika memang direncanakan?
Bagaimana jika suaminya memang lagi-lagi memberi jawaban dengan kebohongan? Bukankah selama ini Jun Ki memang penuh rahasia?

Bagaimana jika ... 

Bagaimana jika Allah memang mengaturnya demikian?

Nalar Azrina berakhir pada keputusan untuk memastikan sendiri apa yang mengganjal di hatinya.

Diraihnya ponsel di atas nakas yang masih terhubung dengan kabel pengisi daya. Azrina mencabutnya setelah melihat daya sudah terisi penuh, lalu segera mengetuk-ngetuk layar ponselnya dengan kedua ibu jarinya.

Assalamualaikum, Oppa. Hubungi aku segera setelah Oppa menerima pesan ini.
Aku menunggu.

Meski Azrina yakin Lee Jun Ki sudah terjaga saat ini, ketika subuh hampir berlalu dari langit Jakarta. Di Hannam-dong seharusnya Jun Ki sedang khusyuk dalam shalat malamnya.

Seharusnya.

Akan tetapi, sulit bagi Azrina untuk mempercayai apapun tentang suaminya kali ini, entah mengapa.

*****

Kim Hyung Sik masih duduk melamun di kursi bar mini yang menghadap langsung ke dapur rumah ini.

Malam ini, tidak ada aktifitas disana.
Tidak seperti malam-malam sebelumnya, setelah ia menangkap basah seseorang yang melakukan sesuatu diam-diam di dapurnya ketika semua penghuni rumah sedang tidur.

"kh..hh..hh.." Hyung Sik mengekeh kecil mengingat kejadian itu.

Malam itu, ia resmi menjadi koki untuk perempuan aneh itu. Perempuan aneh yang sangat terobsesi pada Korea tetapi tidak suka makanan Korea.

"Siapa itu?!" ujarnya dengan suara keras ketika seseorang memulai aksinya di dapur yang gelap tanpa menyadari adanya Hyung Sik yang menunggu disana.

Sudah beberapa hari, setiap pagi buta Hyung Sik mendapati dapurnya yang berantakan, padahal ia yakin ia meninggalkan dapur dalam keadaan bersih. Ia tak tahan lagi dengan kondisi ini. Terlebih dapur yang diacak-acak pencuri ini bukan dapur untuk meja utama. Melainkan dapur miliknya, dapur tempatnya melatih kemampuan memasaknya sebagai mahasiswa jurusan culinary arts sesuai impiannya menjadi chef handal dunia.

Untuk itu di dapurnya tidak boleh ada jejak tangan siapapun kecuali miliknya. Apalagi jejak seorang pencuri, sekalipun itu seekor semut kecil.

"Yaaa! Sudah lama aku menunggu waktu untuk menangkapmu, Pencuri Kecil! Setidaknya jika kau ingin mencuri, jangan tinggalkan jejak! Bodoh! Aaaarrrrgghhhhmmpp!!!!"
Umpatannya berganti teriakan yang segera dibekap dengan tangannya sendiri ketika ia menyalakan lampu dapur dan melihat sosok yang dianggap pencuri olehnya. Sosok itu juga sama terkejutnya.

"Ya! Apa yang kau lakukan disini!?" hardik Hyung Sik.

Perempuan yang masih menggenggam sehelai roti gandum dan krim keju di kedua tangannya itu mematung, menunduk malu.

"Jawab!" Pekikan Hyung Sik selanjutnya berhasil membuat tubuhnya tersentak.

"A---aku ... Aku l---la---lapar ... " Setelah hening beberapa detik, perempuan itu bersuara. Ini kalimat pertama dari mulut perempuan berjilbab itu yang benar-benar ditujukan untuknya. Sejak pertemuan pertama mereka kemarin, saat wanita ini datang bersama hyeong nya. Masih terhitung jari berapa kali ia mendengar suaranya.

Malam ini waktu yang pas untuk mengeksekusi gadis yang sejak awal memang tidak disukainya itu. Perbuatan gadis itu bisa saja dijadikan perkara besar untuk menguntungkan Hyung Sik. Mungkin bisa membuat gadis itu terusir dari rumah. Pikiran jahat Hyung Sik yang membuat bibirnya menggaris senyum licik sontak buyar saat gadis dihadapannya itu menitikkan airmata.

"H--hey, kau ... Kau kenapa? Omo. Kkkau menangis?"

*ceritanya gak nyangka Namira bakal nangis

Namira, perempuan yang kata ibunya merupakan istri hyeong nya itu justru kini semakin terisak.

"Sssshhhh!" Hyung Sik menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.

"Tidak seru! Sangat tidak seru! Aku belum mulai mengadilimu, kau sudah menangis?!" ocehnya dalam hati. Beruntung Hyung Sik selalu tidak tega melihat wanita menangis. Apalagi yang menangis ini adalah istri Jun Ki hyeong. Dia sedang dalam bahaya sekarang.

"sssshhhhh!!!" Hyung Sik berdesis sekali lagi, lalu meraih sebuah pan yang menggantung di sudut kitchen set nya. Meletakkannya di kompor listrik empat tungku yang tertanam di meja dapurnya. Mengambil panci berukuran sedang lalu mengisi duapertiga bagiannya dengan air dan meletakkannya diatas kompor yang sudah dinyalakan terlebih dulu.

Lengan kirinya lalu bergerak mengambil sesuatu di lemari es. Mencucinya, mengiris dan memotong-motongnya dengan cepat dan sangat terampil, sementara kakinya dengan lincah membuka pintu lemari bagian bawah, seperti sudah hapal dimana letak barang-barang seisi dapur ini, ia mengambil sesuatu seperti lidi dari dalam sana, lalu memasukkannya ke dalam panci yang mulai mendidih airnya, dengan teknik indahnya. Dan tangannya satu lagi sibuk mengaduk-aduk tumisan bawang putih dengan minyak zaitun diatas frying pan.

Melihat aksi Hyung Sik yang memancarkan aura menawan membuat Namira yang tadi mengisak kini mengamatinya takjub.

Namira tidak pernah melihat seorang pria memasak semenakjubkan ini. Iya. Selama ini dia hanya melihat chef-chef tua di televisi, ataupun mas-mas pecel lele yang menggoreng pesanan pelanggannya dibawah lampu temaram tenda di pinggir jalan.

Tontonan gratis!

Batin Namira lagi-lagi menggila.

Tak lama kemudian, Hyung Sik mengangsurkan piring cembung berisi hasil masakannya ke hadapan Namira.

Spaghetti Aglio e Olio yang masih mengepulkan asap panas terlihat begitu menggoda. Wanginya dengan kurang ajar segera menggelitik perut Namira yang kelaparan karena sejak pagi tadi belum terisi karena bibi Sung hanya menghidangkan makanan Korea dan ia tidak sanggup menelannya meski sudah memaksa diri.

Namira makan dengan lahapnya, lalu berterima kasih tanpa henti.

Ini awalnya mengapa Hyung Sik akhirnya menjadi koki khusus untuk Namira, yang bersedia memasak untuknya disetiap malam saat yang lain terlelap sambil bertukar cerita, meski lebih sering bertikai panjang.

Hyung Sik juga heran sendiri, mengapa ia dengan baik hati bersedia memasak untuk Namira setiap hari. Entah untuk menjadikannya korban yang harus mencoba apapun yang dimasaknya saat latihan, sekalipun tak enak rasanya. Atau karena kasihan pada gadis itu sebab sedikit sekali makanan yang cocok di lidahnya, termasuk sulitnya mencari makanan yang halal untuknya di negeri non-muslim ini, sementara Hyung Sik memiliki kemampuan untuk mengetahui hal itu, dan mudah baginya untuk menemukan bahan makanan yang halal dari teman-temannya, atau di toko Asia yang tak jauh dari kompleksnya.

Mungkin karena memang dirinya sebaik itu?
Tidak juga.

Atau segalanya tidak diberikan pada Namira secara gratis? Lalu apa yang diinginkanya sebagai bayaran?

Hyung Sik tak tahu. Bisa saja niatnya adalah untuk mengorek informasi dari gadis itu, seperti sekarang ini. Ketika ia merasa begitu yakin bahwa Namira bukanlah istri Jun Ki. Andai Jun Ki adalah suami Namira, untuk apa dia kelaparan dan bersedia makan dengannya di dapur, setiap tengah malam?

Yang Hyung Sik tahu, sesuatu mulai merambat di hatinya setelah melewati malam-malam anehnya dengan Namira---perempuan yang tak kalah anehnya itu.

"Yeogiseo mwohae? Apa yang kau lakukan disini?" Hyung Sik melonjak dikagetkan oleh sebuah suara dari belakang.

"Kkamjagiya! Aa--Hyeo-oong!" Jun Ki tertawa mengejek melihat Hyung Sik menggerutu sambil mengurut dadanya.

"Kamu, kapan kamu akan berhenti melamun? Itu tidak berguna. Roh jahat menyukai tubuh orang yang sering melamun. Raaaawwrrrr!" Hyung Sik menepis tangan Jun Ki yang menggodanya seolah akan mencakar tepat di wajahnya. Matanya memicing sengaja dibuat seram, namun Jun Ki justru terbahak dibuatnya.

"Tidak lucu, Hyeong! Sana pergi!"

"Kau mengusirku?! Whaaaa ... Aku seperti anak tiri di rumah ini. Eomma... Tolong maafkan Hyung Sik kecil kami, Eomma. Cegahlah neraka menghukumnya," gurau Jun Ki dengan kepala sedikit mendongak, seolah berbicara pada mendiang ibunya.

"Ehe. Hyeong ... Hehe ... Bukan begitu, maksudku ... Aah, kau ingin makan sesuatu, Hyeong? Akan kubuatkan, tunggu sebentar, oh?"

Yaaa.. Jun Ki suka jika Hyung Sik mulai membujuknya. Artinya, ketentramannya di rumah ini terjamin untuk beberapa hari.

Jun Ki tersenyum lebar, "tidak usah, aku hanya datang untuk minum. A matta! Namira keluar besok, semoga kau tidak lupa."

Meski belum bersepakat dengan Hyung Sik, sepertinya Jun Ki mulai mengkonfirmasi kebenaran tentang Namira sesuai dugaan Hyung Sik. Dan Hyung Sik, entah mengapa dia senang mendengar hal itu. Ia lalu melompat dari kursi tempatnya duduk, menyambar sebuah gelas lalu mengisinya dan memberikannya pada Jun Ki dengan senyumnya yang mengembang. "Baik-baiklah padaku, Hyeong!" Begitu kira-kira makna yang tersirat dari senyumannya.

Jun Ki menahan tawanya melihat wajah Hyung Sik dengan senyum memelasnya. Ia menerima gelas air mineral yang disodorkan Hyung Sik, meneguk airnya lalu melangkah kembali ke kamar.

Dilihatnya layar ponselnya menyala, memberi tanda satu pesan baru saja masuk kesana.

Pesan dari permaisurinya.

Dug!

Entah hawa mencekam apa yang ikut terbawa bersama pesan yang baru dibacanya ini. Mendadak ia ragu menekan tombol bergambar telepon di layar sentuh ponselnya. Tidak bersemangat seperti biasa ketika ia rindu ingin mendengar suara istrinya itu.

Benar saja.
Bukan kata-kata rindu yang mereka ucapkan kali ini. Melainkan sesuatu yang seolah mengadili Jun Ki.

"Oppa, Namira disana, ya? Namira ada sama Oppa?"

Tak pernah diduga Jun Ki sebelumnya bahwa Azrina akan menanyakan pertanyaan keramat ini.

Bagaimana ia harus menjawabnya?

Ck! Mengapa Azrina harus mengintrogasiku disaat aku baru saja memutuskan untuk menjemputnya? Sedikit lagi!
Seharusnya sedikit lagi, aku berhasil menyelesaikan semuanya tanpa dicurigai.

Jun Ki meremas rambutnya keras. Mengutuk dirinya berkali-kali. Menggosok wajahnya dengan kasar. Jika memungkinkan ia pun akan menggali lubang mengubur dirinya saat ini juga.

Oh, beginikah rasanya dilabrak istri saat sedang bersama selingkuhan?
Hey, Man! Jaga omonganmu. Tidak ada yang berselingkuh disini.

"Oppa ... Oppa mendengarku?"

Ouch!

Suara Azrina menyadarkan lamunannya.

"Darimana kamu tahu, Sayang?"

"Aku tidak ingin mendengar pertanyaan juga, Oppa. Jawab saja, Namira disana, tidak?" Azrina bersuara datar sekali. Jun Ki bisa membayangkan wajah istrinya itu sama datarnya. Non ekspresi.

"Sayang ... Dengarkan ... Namira, dia memang disini, tapi aku bisa jelaskan ... "

Sesungguhnya, keberanian Azrina menanyakan hal itu adalah karena tersisa harapan di hati kecilnya bahwa suaminya---lelaki yang sangat mencintainya itu tidak akan mungkin sanggup melukainya dengan membiarkan wanita lain tinggal bersamanya, tanpa sepengetahuan istrinya. Jikapun benar demikian, dia tentu punya alasannya.

Tetapi, alasan apa yang paling bisa diterima Azrina dengan lapang dada? Sebagai seorang istri yang hanya percaya saja pada apa yang dikatakan suaminya. Lalu pada kenyataannya segala yang dipercayanya adalah kedustaan. Suaminya, yang ia harap menjadikan dirinya sebagai tempat bersandar dan mengungkapkan duka sambil berdekapan saling menguatkan, justru terasa asing dengan berbagai rahasia yang disimpannya sendiri.

Sementara, sahabatnya yang terseok-seok dicarinya justru berada disana, di rumah suaminya.

Andai dengan wanita lain, mungkin akan berbeda. Permasalahannya, ini Namira. Perempuan itu memiliki peran dalam masa lalu suaminya, sebelum melafazkan ijab kabul meresmikan cintanya. Azrina tahu betul kenyataan itu.

Tidak ada yang salah jika Jun Ki tidak berdusta.

Azrina bahkan memaklumi kejadian surel-surel mesra mereka yang dibacanya waktu itu. Azrina bahkan mencari Namira tanpa berpikir untuk menyerah sebelum berhasil menemukannya.
Yang Azrina tidak bisa terima adalah, mengapa Jun Ki tidak mengatakan apa-apa bahkan setelah tumbangnya dia karena mencari Namira yang ternyata ada bersama Jun Ki?

Namira kah urusan penting bagi Lee Jun Ki?

Sepenting itu hingga meski istrinya jatuh sakit, Jun Ki tak berpikir untuk segera kembali?

Lalu semua kata-kata manisnya lewat telepon selama ini? Bualan saja, kah?

Dada Azrina bergemuruh. Sering ia merasa sesak di dadanya, tapi tak pernah sesesak ini.
Untuk pertama kalinya, ia kecewa. Dikecewakan oleh orang yang paling dicintainya. Manik air mata mencelos dari matanya. Sebesar itu. Sebesar itu ia terluka. Sebesar itu dia merasa terkhianati.

Untuk pertama kalinya, ia mengizinkan segala bisikan-bisikan buruk menghasutnya; Membenarkan bahwa mimpinya di malam-malam lalu memang bukan sebuah isyarat, tetapi sebuah firasat yang seharusnya membuat dirinya mencari tahu sejak dulu. Menambah luas lukanya yang mulai berdarah.

"Terima kasih karena Oppa sudah jujur, meski harus didesak ..."

"Sayang, aku akan jelaskan. Kamu percaya padaku, kan?"

"Maaf, Oppa... Aku ada kelas pagi. Aku pamit ke kampus. Assalamualaikum"

Suara istrinya yang terdengar mulai bergetar kini menghilang seiring terputusnya sambungan telepon mereka.

Bodoh. Bodoh. Bodoh. Tamatlah kau Jun Ki!

Ia tahu. Istrinya kecewa, sekecewa-kecewanya.
Perempuan berhati mulia itu marah semarah-marahnya, untuk pertama kalinya.

Kerja bagus! Lee Jun Ki! Wanita sesabar itu kau lukai lagi.

Iya. Kali ini, Lee Jun Ki memang bersalah.

*****

Ingin sekali Azrina berbesar hati menerima kenyataan ini. Ia sadar, tidak seharusnya ia bersikap seperti ini.
Namun hatinya tak sekuat itu.

Ditambah saat ini kondisi hatinya sedang tidak stabil. Begitulah, ibu hamil terkadang jauh lebih sensitif dibandingkan dengan wanita di hari pertama datang bulannya.

Azrina memilih kalah saat ini.

Membiarkan kekhawatiran, prasangka, kebingungan, kekalutan dan kekecewaannya tumpah semua menjadi tangis sepuas-puasnya. Biarlah, kali ini ia menumpahkan segalanya sebelum kemudian ia kembali meng-upgrade keyakinannya.
Bahwa percaya pada manusia, memang hanya akan kecewa pada akhirnya.
Bahwa memang bukan manusia tempat bergantung yang semestinya.
Bahwa bukan pada manusia kita seharusnya bersandar dan berkeluh kesah.

Adalah Allah.

Hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan dalam luruh sujud menyembah.

Adalah Allah.

Kekasih sejati, pendengar setia segala keluh dan kesah.
Rengkuhan kasihnya menurunkan berkah.
Pertolongannya disempurnakan oleh cinta yang bercurah-curah.

Azrina hampir lupa akan hal itu.

Bahwa cukup baginya Allah.

"Hasbunallah..."

"Cukuplah Allah bagi kami ... Kepada-Nya kupasrahkan segala..."

Lirihnya bersama wirid dzikir paginya. Berharap semoga Allah senantiasa memberinya kekuatan untuk tetap bertahan...

**********

Bersambung dulu ya.
Hope you like it guys.

Mohon koreksiannya kalau kalian menemukan kesalahan/kejanggalan.

Ayo berteman! 😊

Part ini aku hadiahkan buat faacloud yang skripsinya udah acc. Cieeee cieeee...

Selamat ya. Aku tahu perjuanganmu tidak mudah. Tapi bersiaplah, untuk ujian yang lebih berat setelahnya. Tetap kuat dan istiqomah yaa.

Hasbunallah!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro