13 - Siapa pelakunya?
Assalamualaikum... Annyeong, chingudeul!
Sebelumnya, thanks ya buat yang vote dan komen. Semoga cerita ini bisa berlanjut sesuai harapan yaaa..
Oke, sudah siap baca?
Bismillah dan klik bintang dulu ya. 💓💓💓
-----------
🍁🍁🍁
"Ahjussi, Sebaiknya aku tetap pulang." pinta Namira pada sekertaris Kim seperginya Jun Ki ke rumah Presdir.
"Tapi, Nona. Tuan Muda ingin membatalkan keberangkatan." sergah paman Kim
"Tolonglah, Ahjussi... Apapun yang terjadi disini, kurasa tidak ada pengaruhnya jika aku tetap disini ataupun pulang ke Indonesia. Batalkan tiket Jun Ki-ssi saja, tiketku jangan. Ya? Jaebaliyo..."
"Saya bicarakan dulu dengan Tuan Muda,"
"Tidak perlu, Ahjussi. Dia pasti mengerti."
Sekertaris Kim lalu terlihat sibuk berbicara dengan seseorang di telepon. Kemudian berkata pada Namira seusai menutup teleponnya,
"Baiklah, Nona. Anda boleh pulang," Namira seketika sumringah, "terima kasih, Paman! Paman yang terbaik!"
Paman Kim turut senang melihatnya, "tapi saya harus segera menyusul Tuan Muda. Sopir Jang yang akan mengantar anda ke bandara. Dia juga akan membantu anda nanti disana. Permisi, Nona. Saya harap kita bisa bertemu lagi."
"Ah, Paman. Terima kasih atas segalanya. Sampaikan salamku kepada Presdir dan juga Lee Jun Ki."
Sekertaris Kim mohon diri setelah menjawab permintaan Namira dengan anggukan kepala, segera pria menyusul Jun Ki ke Gangnam. Beberapa saat kemudian, Namira pun berpamitan pada Sung Ahjumma dan beberapa pelayan. Ia berterima kasih berulang kali.
Ya, ini saatnya ia kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Namira hampir tiba di bandara ketika peristiwa itu terjadi. Di jalanan lengang, beberapa mobil kebut-kebutan dan terlihat seperti mengepung mobil yang ditumpangi Namira. Sopir Jang mulai kehilangan konsentrasi, mobil-mobil itu memaksa sopir Jang untuk berbelok arah saat melihat persimpangan jalan. Dari sanalah sebuah mobil SUV melaju kencang melawan arah menuju mobil yang dikemudikan sopir Jang. Dekat, semakin dekat, semakin kencang. Sopir Jang membanting stir menghindari benturan dengan mobil yang terlihat begitu buas di depan matanya. Namun akhirnya mobilnya membentur tembok pembatas jalan.
"Allahu Akbar!! Laa Ilaaha Illallaaaah!!!" Namira tak henti meneriakkan lafadz Allah ketika mobil yang ditumpanginya berguncang hebat. Hingga kemudian, ketakutan menghilangkan kesadarannya.
🍁
Lee Jun Ki dan Presdir sudah berada di Rumah Sakit tempat Namira mendapatkan perawatan. Mereka segera bergegas dan melupakan perselisihan mereka usai mendengar kabar kecelakaan Namira.
Saat ini Namira masih menjalani pemeriksaan di Instalasi Gawat Darurat. Presdir Lee memesan kamar perawatan president suite untuknya. Daebak! Namira bahkan tidak pernah memimpikan dirawat di kamar perawatan VIP saat sakit. Gadis itu hanya butuh teh hangat sebagai penawar ketika mulai meriang, masuk angin ataupun flu. Penyakit standar.
"Tidak ada luka serius, pasien hanya syok. Tidak usah khawatir, Tuan." Dokter yang memeriksa Namira menghampiri Jun Ki mengabari kondisinya.
"Kecelakaannya tidak begitu parah. Korban yang tewas saat ini masih menjalani pemeriksaan terkait penyebab kematiannya," lanjutnya lagi.
Jun Ki berucap syukur. Namira baik-baik saja. Namun, untuk kondisi penumpang yang baik-baik saja. Bagaimana pengemudinya bisa tewas ditempat? Hal itu merupakan sebuah keanehan, sama seperti yang diutarakan dokter padanya tadi.
Di ruang perawatan setelah Namira dipindahkan, Presdir sedang berbicara dengan sekertaris Kim.
"Perbuatan siapa ini?" Tanya Presdir dengan tekanan pada intonasinya. Presdir tentu tidak senang dengan kejadian ini.
"Maaf, Presdir. Saya masih menyelidikinya. Tapi, dari kondisi mobil yang kerusakannya tidak begitu parah, sedikit mencurigakan jika sopir Jang meninggal di lokasi kejadian."
"Wanita jalang itu! Kumpulkan semua yang terdeteksi sebagai kaki tangannya. Jaminkan dengan berapapun yang mereka inginkan hingga mereka mengakuinya," titah Presdir tegas.
"Apa anda yakin, Presdir?"
"Tentu saja! Siapa lagi yang akan melakukan ini jika bukan si jalang itu. Apapun yang direncanakannya, aku yakin targetnya adalah Lee Jun Ki karena muncul kembali." Presdir Lee terlihat sangat yakin tentang oknum dibalik kecelakaan yang jelas telah dirancang ini.
"Untuk saat ini, Lee Jun Ki harus tetap berada dalam jangkauan kita. Perketat penjagaan untuknya dan orang-orang sekitarnya. Wanita itu takkan berhenti sampai benar-benar menghabisi segalanya. Bersiaplah, Kim Jeong-ah! Kita akan berperang."
Mantap, Presdir memberi aba-aba lalu bergegas meninggalkan kamar perawatan setelah memastikan kondisi Namira baik-baik saja dan masih tertidur disana.
Ini saatnya Presdir Lee menabuh genderang perang.
🍁
"BODOH! Bodoh kalian semua! Bagaimana bisa kalian begitu ceroboh!" Choi Mi Ran mencak-mencak memaki kaki tangannya melalui panggilan suara.
"Maafkan kami, Nyonya. Kami tidak menduga jika Tuan Muda ternyata tidak berada dalam mobil itu."
"HHHHH! Idiot kalian semua! Idiot!" Wanita itu benar-benar geram hingga kehabisan kata-kata selain umpatan.
"Kami mohon maaf, Nyonya. Kami pikir Tuan Muda yang mengemudikan mobilnya. Sesaat setelah kecelakaan kami menghampirinya, ternyata pengemudinya adalah sopir Jang. Dan dia masih sadar,"
"mworago?!"
"Dia melihat kami, terpaksa kami harus melenyapkannya dengan rencana kedua."
"Apa yang kalian lakukan dengannya?"
"Seperti yang Nyonya minta. Kami menyiapkan sesuatu untuk menyingkirkan Tuan Muda jika diperlukan. Suntikan racun mematikan yang sudah kami siapkan, kami gunakan untuk sopir Jang. Efeknya cepat, dan sulit terdeteksi. Tanpa autopsi mereka hanya akan mengira tewasnya sopir Jang murni kecelakaan."
"Bagaimana jika mayat sopir Jang diautopsi?"
"Tidak akan, Nyonya. Kami sudah membayar keluarganya agar tidak menyetujui permintaan autopsi."
"Bagus. Pastikan hal ini tidak terungkap! Dan jangan melakukan kecerobohan lagi atau kalian takkan mendapatkan apa-apa!" Perintahnya sebelum memutus sambungan telepon.
Wanita yang wajahnya mulai menampakkan garis-garis penuaan meski telah berkali-kali disamarkan dengan perawatan anti-aging dan riasan yang tebal itu masih sangat geram di kamarnya. Persis seperti penyihir jahat yang murka karena rencananya tidak berjalan sesuai kehendaknya. Hari ini, batu sandungan terakhir yang menghalanginya mencapai puncak kejayaan seharusnya sudah lenyap, jika orang-orang suruhannya tidak melakukan kesalahan.
"Sial!" desisnya penuh amarah dengan mata yang membelalak dan gigi-giginya saling bergemeretak. Ia menjatuhkan dirinya ke lantai dan terduduk menyandarkan kepalanya pada satu kaki meja.
"Eomoni, musun irisseoyo? Apa yang mengganggumu, Eomoni?" Jung Yoon Jae datang dan mempertanyakan keadaan kamar nyonya Choi yang seluruh barang-barang didalamnya berserakan.
Yoon Jae tidak terkejut lagi sebab ia tahu betul, ibunya akan melakukan itu ketika sedang kesal karena sesuatu tak berjalan sesuai keinginannya.
"Yoon Jae-yah ... Selangkah lagi, kita akan bisa bernafas lega ... Sedikit lagi, Putraku ... Ibumu hampir selesai mempersiapkan kerajaanmu," bisik nyonya Choi pada Yoon Jae yang mencoba membantunya berdiri. Keringat dingin bermunculan dari pori-porinya. Tubuhnya berguncang perlahan lalu semakin kuat.
"Tenanglah, Eomoni. Jangan berusaha terlalu keras. Kesehatan ibu lebih penting dari segalanya."
"Sedikit lagi, Anakku. Ibumu akan bisa menikmati hidupnya tanpa ketakutan berkepanjangan. Nyaris saja, Anakku ... Kita hampir memenangkan seluruhnya ... Tapi gagal! Ibu masih harus dihantui kekhawatiran akan kehilangan segalanya!" Nyonya Choi mulai mengisak dalam dekapan Yoon Jae. Ia kini telah berpindah ke tempat tidur dibalut selimut tebal yang lembut, bahkan kasurnya yang empuk nan nyaman ternyata tidak membuat ia bisa tidur dengan lelap. Rasa takut selalu meliputi harinya, ketakutan akan kehilangan segala yang ia miliki sekarang ini. Nyatanya, ia menyadari apa yang digenggamnya saat ini bukanlah miliknya, dan suatu hari ia akan kehilangan segalanya dalam sekejap. Jika Lee Jun Ki masih berkeliaran disekitarnya.
"Tenanglah, Eomoni, minum obat dulu," Yoon Jae meraih botol obat dari laci nakas di samping ranjang berukuran besar di tengah kamar luas nan megah yang tampak nyaman tapi begitu suram. Nyonya Choi mengambil obat anti depresan yang disodorkan Yoon Jae lalu meneguk segelas air.
"Eomoni, tidurlah. Aku akan menjaga disini." Yoon Jae mengusap lembut dahi nyonya Choi, kemudian beralih merapikan barang-barang yang diberantakkan ibunya.
Sekilas, tidak ada yang salah dari pemandangan ibu dan anak ini.
Justru siapapun mungkin akan merasa simpati bahkan iba.
Seorang ibu tunggal yang menyayangi putranya. Yang berjuang sendiri untuk mempertahankan hidupnya.
Dan seorang pemuda yang sangat mencintai ibunya, dan rela melakukan apapun demi melindunginya.
Indah. Mengharukan.
Hanya saja, mereka memilih jalan hidup yang tidak seharusnya.
🍁
"Jun Ki-yah... Untuk sementara, jangan tinggalkan Korea," Presdir memberi intruksi pada Jun Ki yang ditemuinya di parkiran rumah sakit ketika hendak kembali ke kediamannya.
Presdir memaksa Jun Ki pulang bersamanya, seperti saat berangkat tadi. Jelas Jun Ki menolak. Kesediaannya untuk duduk satu mobil dengan ayahnya tadi tidak lain karena kepanikan. Bukan memaafkan. Itu jelas berbeda.
Jun Ki memilih tetap di RS, menemani Namira, setidaknya sampai ia sadar.
Ngapain juga Jun Kiiiii.. Bikin baper anak perawan doang 😏. (-authorbacot)
Ia hanya menyusul Presdir untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di mobil itu.
"Jun Ki-yah. Ayah tidak sedang ingin berdebat denganmu. Dengarkan, keselamatanmu dalam bahaya..." Presdir membujuk Jun Ki lagi, kali ini dengan penekanan melihat ekspresi Jun Ki yang tak berniat untuk meresponnya.
"Ch! Sejak kapan anda peduli? Sejak saya menumpang mobil Anda? Mohon maaf, Presdir. Seharusnya tidak semudah itu anda menjadi dekat dengan orang Asing." Jun Ki tertawa kecil dengan nada mencibir.
"Jun Ki-yah. Kita bicarakan ini nanti. Ayah tunggu dirumah. Pastikan dirimu tetap aman, jangan pergi tanpa pengawal. Jika memungkinkan, persiapkan istrimu untuk berangkat ke Korea, dia akan jauh lebih aman jika berada disekitarmu."
"Maaf, Presdir. Sepertinya anda lupa bahwa kita tidak begitu dekat untuk saling mengkhawatirkan keselamatan. Biar saya ingatkan, kita tidak berada dalam perahu yang sama untuk berbagi dayung."
"Jun Ki-yah, kita memang tidak berada dalam perahu yang sama. Karena Ayah menggunakan kapal, bukan perahu! Dan ayah sedang menawarimu bergabung, agar kau tak tenggelam lagi. Atau setidaknya memberimu pelampung."
"Ch!" Potong Jun Ki. "Anda tak perlu repot-repot, Presdir. Dan saya, tidak begitu tertarik menjadi bagian dari konspirasi anda. Ah, terima kasih atas kamar perawatan kelas presiden yang anda pesan untuk istri saya."
Presdir terkekeh mendengarnya.
"Ayah tahu, Namira bukan istrimu. Kau tidak bisa membohongi Ayah."
Lanjutan kalimat Presdir kini membuat Jun Ki melongo.
Hah? Sejak kapan dia tau? Jadi sandiwaraku selama ini? Sia-sia?
"Kau pasti bertanya-tanya bagaimana Ayah tahu, kan? Itu tidak sulit," tawa Presdir semakin renyah melihat Jun Ki yang masih memasang wajah tololnya.
Lee Jun Ki kesal tidak terima ditertawakan seperti itu, namun faktanya Jun Ki memang benar-benar tidak mengerti maksud ayahnya.
"Sudah. Ayah menunggumu dirumah, kita bicarakan lebih lanjut, ayah cukup lelah hari ini. Ayah pergi, ya!" Presdir menutup pintu mobilnya. Namun beberapa saat ia menurunkan kaca jendela mobil, "kecelakaan Namira hari ini, memberi kejelasan bahwa sampai saat ini hanya ayah yang tahu tentang istrimu yang asli. Tapi cukup mudah untuk orang lain menyelidikinya lalu membahayakan istrimu disana. Akan lebih baik jika dia menyusulmu kesini. Menurutlah kali ini, setidaknya demi istrimu."
Mobil Presdir berlalu dan menghilang dari pintu keluar rumah sakit. Meninggalkan Lee Jun Ki yang masih mencerna kalimat-kalimat mengejutkan dari Presdir tadi.
Bagaimana Presdir mengetahuinya?
Sesaat kemudian, ponselnya berbunyi. Pesan dari Azrina melalui whatsapp.
Sebuah foto.
Foto yang lebih mengejutkan Jun Ki dari pernyataan ayahnya tadi.
Potret bahagia dua keluarga yang terlihat begitu akrab.
Dua pasang suami istri, satu anak lelaki kecil, satu balita perempuan dan satu bayi perempuan di pangkuan seorang ibu yang Jun Ki kenal betul wajahnya. Wajah ibunya.
Foto siapa ini?
"Apa kabar, Pengantin Priaku?😚 time flies but memories last forever... Nggak nyangka yaaaa. Allahu Akbar. 💓💓💓"
Caption yang disertakan Azrina bersama foto itu menjawab segalanya. Potongan kenangan masa kecil yang sempurna dilupakan Jun Ki kini perlahan jelas dalam ingatannya.
Foto itu, sekitar dua puluhan tahun yang lalu. Saat perayaan ulang tahunnya yang ke 6 atau 7.
Foto dirinya dengan kostum pangeran di negeri dongeng, bersama orang tuanya dan Tiffany yang masih balita. Dan satu keluarga lagi yang ikut berfoto disana, Dokter Ali, istrinya dan bayi perempuan dalam pangkuan ibu Lee Jun Ki? Yang tangannya tak pernah lepas digenggamnya? Yang dengan lantang ia tetapkan sebagai pengantinnya?
Azrina!
Sungguh, terkadang Allah menuliskan jalan hidup seseorang dengan begitu lucu.
Seperti sepasang suami istri ini. Yang ternyata telah lebih dulu saling bertemu dan membuat memori indah di masa lalu.
🍁🍁🍁
Bersambung dulu yeaaaaaaa
Penasaran gak sih gimana Azrina bayi bisa ketemu keluarga Jun Ki?
Ada yang bisa nebak? Ohoooo..
Salam,
Namira yang belum juga siuman.
Stay safe everyone! Semoga tetap sehat selalu dan betah #dirumahaja
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro