12 - Pulang
Assalamualaikuuum!
Masih pada betah dirumah kaaan?
Stay safe everyone! Selain jaga diri dari covid, jaga diri juga dari hoax ya!
Okey, lanjuts!
Dont forget bismillah, lalu klik bintangnyaaa.
----
🍁🍁🍁
Subuh waktu Itaewon sekitar tiga puluh menit lagi. Namira baru saja selesai mengemasi barang-barangnya yang tidak terlalu banyak.
Meski dihatinya masih tersisa sedikit kegelisahan, bagaimana ia akan bereaksi saat bertemu Azrina lagi nanti, tapi setidaknya ia bisa sedikit bernafas lega sebab akhirnya drama-drama ini akan usai segera.
Akhirnya, ia benar-benar akan kembali pada realita hidupnya. Semalam ia sudah bicara pada Jun Ki. Bagaimanapun ia memang tidak mungkin akan selamanya berada di rumah ini.
"Aku akan pulang."
"Ya, sebaiknya begitu. Oke, Kim ahjussi akan mengurus semua yang kita butuhkan untuk kembali ke Jakarta."
Kita?
Tidak. Jangan kita.
Berat. Kembali pulang bersamamu, itu berat.
Harus terikat denganmu lagi, aku tak akan kuat.
"Mm. Maaf, Jun Ki-ssi sebaiknya aku pulang sendiri. Anda tak harus meninggalkan urusan anda disini,"
Jun Ki mengernyit.
"Kau tidak berpikir aku juga ke Jakarta cuma ingin mengantarmu, kan? Ayolah. Istriku menunggu disana."
Bolehkah aku mengumpat?!
Sengaja banget bikin aku baper?!
Namira membatin.
"Tapi, sebelum kembali aku harus bertemu presdir dulu. Boleh, kan?"
Jun Ki yang tertawa, tercekat oleh kalimat Namira barusan.
"Ada kepentingan apa kau dengannya? Kau bukan bagian dari keluarga ini, dan kau tidak perlu mencoba masuk kesana," ujar Jun Ki sangat tidak ramah dengan matanya yang melotot seperti akan menelan Namira dalam maniknya.
Namira tidak menduga respon Jun Ki akan semenyeramkan itu hanya karena ia ingin bertemu presdir.
"Sekedar berpamitan. Apa salahnya?!" Suara Namira ikut meninggi.
"Entah apa masalahmu dengan AYAH KANDUNGMU sendiri itu, dan aku tak tertarik untuk tahu ataupun terlibat dengan drama kalian. Tapi bagaimanapun presdir sudah banyak menolong selama aku disini. Setidaknya, aku tahu terima kasih meskipun aku tidak lahir dan dibesarkan olehnya dengan sebutan anak!"
Bukan Namira jika tidak membalas seseorang yang menyinggung perasaannya.
"Kau tahu apa?!" Emosi Jun Ki tersulut. Kalimat-kalimat tajam Namira itu tepat sasaran.
Tak disangka, mereka yang pernah saling mencintai dengan sangat romantisnya kini berakhir dengan pertengkaran sengit seperti ini.
Oh tidak, tidak tepat jika dikatakan saling cinta, sebab diantara mereka memang ada cinta, namun tidak bertemu tepuk yang sama.
Cintailah, sekedarnya.
Bisa saja cintamu berubah benci suatu hari nanti.
Dan benarlah sabda rasul ini.
"Doryeonim, sudah waktunya berangkat"
Kim ahjussi menghampiri, seolah melerai perseturuan yang hampir menjadi-jadi.
"Baik, ahjussi. Tunggu sebentar."
Jun Ki berjalan menuju kamar Tiffany, menekan gagang pintunya yang tak terkunci. Ia hanya akan melihat-lihat sebentar, lalu pergi.
Kamar adiknya itu masih sama, seolah Tiffany benar-benar masih menghuni kamar ini. Hyung Sik menjaganya dengan sangat baik. Barang-barang peninggalan Tiffany sekecil apapun itu, takkan diizinkan keluar dari kamar ini. Padahal sudah puluhan tahun berlalu, Hyung Sik masih saja mempertahankan itu sebagai pengobat rindu.
Dan, alasan Hyung Sik mempertahankan kondisi kamar Tiffany tetap seperti dulu itu akhirnya diapresiasi ketika Jun Ki menemukan kotak obat-obatan Tiffany. Adik kesayangannya yang ruang geraknya terbatas karena penyakit jantung dan sedang menunggu donor jantung sebagai harapan untuk sembuh. Ingatannya kembali pada masa remajanya bersama Tiffany, kotak obat-obat ini menjadi teman sehari-hari mereka. Jun Ki yang terlibat di berbagai bentuk kenakalan remaja di luar rumahnya, justru adalah yang paling lembut pada adiknya, terlebih karena seolah di dunia ini mereka hanya memiliki satu sama lain karena ayahnya yang tidak begitu peduli.
Kemasan obat-obat itu membuat matanya memanas.
"Sudah lama oppa tidak menyiapkan obat untukmu, Tiffany-ya."
Dan gerak jarinya terhenti pada satu kemasan obat yang seharusnya tidak berada di kotak obat Tiffany. Obat itu tidak seharusnya dikonsumsi oleh penderita gagal jantung karena dapat memperburuk kondisi jantungnya. Tapi bagaimana obat itu ada diantara obat-obat Tiffany?
Ia segera memanggil Hyung Sik.
"Aku tidak tahu, Hyeong. Tapi obat-obat itu tidak pernah berpindah atau bertambah sejak terakhir kali eomma membereskannya. Aku yakin."
Sung ahjumma tergopoh-gopoh datang dari dapur, ia terperangah saat Jun Ki menjelaskan apa yang terjadi. Kim ahjussi dan Namira sudah bergabung sejak pertama kali Jun Ki berteriak memanggil Hyung Sik dengan suara bergetar.
"Jika obat ini dikonsumsi Tiffany sejak dulu, itu artinya seseorang sengaja memperburuk kondisinya. Siapa diantara kalian yang melakukan ini?! Katakan!" Hyung Sik berusaha menekan kekesalannya dengan mengepalkan tangannya kuat. Kim ahjussi menunduk penuh sesal. Namira mengikuti suasana tegang dan mencekam dalam kamar Tiffany. Sung ahjumma menangis tanpa henti.
"oh. Sesange ... " lirih Bibi Sung dalam tangisnya. "Sudah kuduga ada sesuatu yang tidak beres tentang ini. Aigoo... Bagaimana aku bisa begitu lalai? Bagaimana aku mempertanggung jawabkan tugasku saat bertemu nyonya nanti? Aigoooo..."
Sementara Jun Ki berusaha mengontrol dirinya yang dari dalam sana sesuatu seolah mengutuknya.
Ini salahmu! Ini salahmu! Kau sama sekali tidak memperhatikan adikmu! Ini salahmu! Ini salahmu! Kau menyuapinya dengan sesuatu yang justru mempersingkat hidupnya!
Ia meremas kemasan obat ditangannya. Penuh amarah, nafasnya memburu, dadanya bergemuruh. Dari matanya terpancar kilau yang sanggup membunuh.
Tidak! Ini bukan salahku!
Ayah.
Ya!
Dia yang bertanggung jawab atas ini.
Aku bersumpah! Dia benar-benar akan membayar segala kekacauan ini dengan kehancurannya! Aku bersumpah!
Jun Ki bangkit dari duduknya. Mengusap sisa airmatanya dengan pangkal telapak tangannya.
"Kim ahjussi, batalkan penerbangan. Aku harus mendengar penjelasan presdir tentang ini,"
"Doryeonim, tenanglah. Kita bisa cari tahu ini tanpa melibatkan presdir..."
"Mengapa kita harus membuang waktu sementara dalang dari semua masalah ini masih menikmati puncak kejayaannya dengan sangat bahagia? Tidak. Kupastikan ia benar-benar berakhir ditanganku kali ini!"
Namira terperanjat. Dilihatnya Jun Ki berubah sangat menyeramkan. Aura dendam mengitarinya. Sangat menakutkan.
"Tuan muda, jangan bertindak gegabah..."
"ahjussi! Jika paman tak ingin mengantarku, berikan saja kunci mobilnya," kunci mobil yang dipegang Kim ahjussi sudah berpindah tangan sebelum pria itu sempat menghindar.
Jun Ki meninggalkan kamar Tiffany dengan tergesa-gesa. Membuka pintu mobil lalu memacunya kencang. Ia tak memedulikan apapun kecuali segera tiba di rumah ayahnya.
🍁
Sementara itu, di kediaman presdir. Nyonya Choi Mi Ran terlihat begitu gelisah dalam kamar riasnya. Kegelisahan yang terus menghantuinya sejak kemunculan Jun Ki di Korea lagi.
Nyonya Choi Mi Ran menjadi sibuk dengan pikiran dan terkaannya sendiri.
"Apa yang direncanakan bocah itu? Tidak. Dia belum cukup kuat untuk bisa menyingkirkanku!
Apa dia sudah mengetahui semuanya? Maldo andwae.
Apa yang diinginkannya dengan kembali kesini?
Tidak. Apapun yang ia cari, akan kupastikan dia takkan mendapatkannya.
Aku harus membereskannya, sebelum segala yang hampir kugenggam sepenuhnya, beralih ke tangannya.
Dalam hati ia terus berdialog dengan dirinya sendiri. Dari wajahnya jelas nampak raut kegusarannya.
Tangannya lalu terburu-buru meraih ponsel dari meja dan menelepon seseorang.
"Urus mereka," ucapnya tenang tapi cukup tegas, seolah memberi perintah algojo untuk mengeksekusi tawanannya.
"Mereka dijadwalkan akan segera kembali ke Indonesia hari ini, Nyonya. Apa yang harus kami lakukan?"
Dari ujung telepon terdengar suara lawan bicaranya.
"Pastikan mereka takkan kembali lagi, singkirkan mereka jika perlu"
"Ye, algesseumnida."
Nyonya Choi menutup teleponnya bersamaan dengan gebrakan Jun Ki di pintu masuk ruang kerja ayahnya.
"Aku ingin anda menjelaskan tentang ini!" Desaknya tanpa memedulikan sapaan presdir yang tetap tenang meski Jun Ki datang secara tiba-tiba menawarkan ketegangan, bahkan mungkin perselisihan.
Sebagai presdir yang berpengaruh, beliau tentu telah terbiasa bersikap tenang bahkan dalam kondisi yang sangat terdesak sekalipun.
Jun Ki sekali lagi menggebrak meja kerja presdir. Kali ini dengan meninggalkan barang bukti 'pembunuhan' Tiffany yang ia duga kuat telah terencana. Entah siapa yang merencanakannya, Jun Ki tetap menyalahkan ayahnya, meski didalam hatinya ia menerka bukan ayahnya yang melakukan itu, tapi ketidak-pedulian presdir pada keluarganya yang membuatnya bersalah. Ketidak-peduliannya yang menghancurkan segalanya dan membunuh ibu dan adiknya. Itulah dendam Jun Ki sebenarnya. Jika ayahnya sedikit peduli saja pada mereka, ibunya takkan berakhir penuh derita, Tiffany takkan kehilangan nyawa, dan dia takkan bertahan hidup dengan hasrat pembalasan dendamnya. Hidupnya akan lebih bahagia, setidaknya.
Begitu ia menjadikan ayahnya sebagai pembunuh. Pembunuh kebahagiaannya. Pembunuh hidupnya yang indah.
"Jelaskan padaku, apa yang Anda lakukan dengan ini!" Jun Ki membentak presdir. Suaranya keras namun lirih. Seluruh wajahnya begitu panas ia rasa. Bukan kali pertama ia dan ayahnya berhadapan dengan kondisi seperti ini. Seringkali, ia melawan presdir tanpa rasa takut. Sesering itu pula ia diusir karena hal itu. Namun kali ini entah mengapa Jun Ki begitu sedih. Kenyataan bahwa hidup adiknya direnggut secara paksa, bukan karena penyakit yang masih belum sanggup ia terima. Dan kini, ia berhadapan lagi dengan ayahnya. Setelah sekian lama. Setelah keislamannya. Ada yang berontak di hati kecilnya, terlebih saat menatap lekat wajah ayahnya. Semakin tua, wajah itu pernah menjadi wajah pahlawan berhias senyum yang selalu dirindukannya. Bahkan hingga kini. Ia rindu. Sesuatu dalam hatinya mendesak agar segera mendekap lelaki tua yang darahnya mengalir di tubuhnya itu, namun egonya masih terlalu dikuasai amarah dan kekecewaan, kanvas kerinduan itu musnah oleh api dendam yang melahapnya dalam sekejap.
"Apa ini?" Presdir menatap Jun Ki tak mengerti.
"Anda tak perlu berpura-pura. Saya seorang dokter sekarang. Bukan gangster remaja yang hanya bisa berbuat onar saja." Presdir Lee tersenyum kecil, Jun Ki semakin kesal karenanya.
"Obat ini sengaja diresepkan untuk memperburuk kondisi Tiffany! Ini pembunuhan berencana!"
Ekspresi Presdir Lee berubah. Terlihat jelas ia terkejut mendengar pernyataan Jun Ki. Namun terkejut karena apa, hanya presdir yang tahu.
Bisa saja ia terkejut karena tindak kriminalnya telah terungkap.
Atau mungkin saja ia sama terkejutnya dengan Jun Ki mengetahui kenyataan putri kesayangannya menjadi korban perebutan kekuasaan yang kini berada dalam genggamannya.
"ck! Anda terkejut, bukan? Anda tertangkap basah, Tuan! Katakan padaku siapa saja yang terlibat. Segera aku akan menyeret kalian ke penjara!" Jun Ki membenarkan terkaannya sendiri melihat perubahan ekspresi presdir dan kemudian diam tanpa pembelaan diri.
"Jun Ki-ya, tenang dulu. Jangan bertindak gegabah. Tindakanmu akan berakibat buruk untuk perusahaan dan semua yang berada dalam naungannya." Presdir membuka suara.
"A-aah. Kekuasaan dan kemewahan ini, apa Anda takut kehilangan semua ini? Arasseoyo. Saya bisa mengakhiri Anda sekaligus bersama segala yang anda cintai ini, saat ini juga. Dengan senang hati."
"Lee Jun Ki!" Presdir pun tersulut emosi. Watak Jun Ki yang keras, tentu saja dia dapatkan dari ayahnya.
Hampir saja Jun Ki membuat amarah presdir semakin memuncak namun Kim ahjussi tiba-tiba mengabarkan sesuatu terjadi pada Namira dalam perjalanan menuju bandara untuk kembali ke Indonesia.
"Kecelakaan mobilnya cukup parah sepertinya. Sopirnya meninggal ditempat. Nona Namira sedang dalam perjalanan ke rumah sakit,"
Inikah akhirnya?
Inikah waktunya Namira akan pulang?
Pulang, ketika tak ada lagi tempat untuknya di dunia.
🍁🍁🍁
To be continued~~~~~
Okeee...
Sampai sini, kalian mulai memihak siapa, gengs?
Semoga suka yaa!
Salam dari Jun Ki oppa 💓
See you on sunday! InsyaaAllah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro