
11 - Berdamai dengan hati
Bismillah.
Assalamualaikum, naye chingu! Pakabs? Smg sehat selalu yaa. Gimana kalian selama #dirumahaja?
Ada trik buat mengusir kegabutan?
Tetap jaga daya tahan dan rajin cuci tangan ya, temans. Plis banget gak usah keluar rumah dulu kalau emang ga mendesak.
Kalau gak bisa jadi bagian yang berperang di garda terdepan, gabisa juga ikut menyisihkan sedikit bantuan, seenggaknya jangan jadi sebab pandemi ini makin melebar.
Bersama kita saling jaga, Lets fight Covid-19!
Biar gak bosen, silahkan baca ini deh...
Enjoy ya! Bintangnya mana?
🍁🍁🍁
Pagi-pagi sekali, Jun Ki menyibukkan diri dengan berlari disekitar lingkungan perumahannya. Lari memang olahraga rutinnya, namun kali ini ia berlari bukan karena rutinitas saja tetapi juga karena sesuatu mengganggu pikirannya. Apa lagi jika bukan Yoon Jae dan Ji Young kemarin.
Amarahnya masih menyala, ia hampir tak bisa berpikir panjang lalu berniat melenyapkan Yoon Jae saat itu juga. Untungnya ia berhasil menahan diri, ia berusaha mengingat hal-hal indah dalam hidupnya belakangan ini. Ia ingat istrinya yang baik hati. Ia ingat bagaimana Azrina selalu meyakinkannya tentang betapa beruntungnya dia. Siapakah yang lebih beruntung dari seseorang yang dianugerahi nikmat hidayah dari Allah? Untuk saat ini, kenyataan itu lebih dari cukup untuk menenangkan hati Jun Ki. Namun tidak memadamkan dendamnya. Baginya, dendam masa lalu dan terlahirnya ia kembali sebagai muslim adalah dua hal yang berbeda. Meski ia tahu betul bahwa seorang muslim tak boleh mendendam-- setiap muslim diperintahkan untuk saling memaafkan. Tetapi luka akibat kekejaman yang dialaminya selama ini tidak mudah dihapus hanya dengan dengan kata maaf yang bahkan tak pernah didengarnya.
Dendam pada ayahnya yang telah menerlantarkannya. Pada ibu tirinya yang berhasil memanipulasi kehidupannya. Pada Yoon Jae, kakak tirinya yang tak tahu diri telah menempati posisinya.
Orang-orang itu terlalu keji untuk dimaafkan. Mereka harus menderita di dunia, sebelum membusuk di neraka!
Karena kekacauan yang dibuat Ji Young dan Yoon Jae di awal pagi kemarin, Jun Ki seharian tidak berselera melakukan apa-apa. Ia lelah. Bukan lelah fisik, tapi lelah pikiran dan jiwanya. Seharian ia mengurung diri saja di kamar ibunya. Berusaha tidur tapi juga tak bisa. Bahkan ponselnya berdering beberapa kali pun ia tak meresponnya.
Sementara jauh di belahan negara lain, Azrina masih saja berusaha mencari jejak Namira. Meski berkali-kali diminta istirahat total karena kondisinya yang tak cukup kuat untuk mempertahankan kandungan. Tapi Azrina tak mengindahkan saran dokternya. Namira harus ditemukan. Bagaimana ia bisa hidup bahagia sedang ia tak tahu bagaimana keadaan sahabatnya itu?
Azrina tak tahu saja, Namira masih sehat, bahagia dan sekalipun tidak mengkhawatirkannya.
Dering pertama ponsel Jun Ki adalah Azrina yang hendak meminta izin untuk keluar mencari Namira. Ponselnya berdering bersamaan dengan munculnya Baek Ji Young dan Jun Ki tak mendengarnya karena memang setelannya dalam mode vibrate.
Dering kedua ponsel Jun Ki, lagi-lagi dari Azrina. Saat itu hari hampir siang. Yoon Jae dan Ji Young sudah lama pergi dan Jun Ki mulai mengurung diri. Jun Ki tak tahu, Azrina meneleponnya dengan perasaan bahagia tak terkira sebab pencariannya hampir membuahkan hasil. Ia baru saja bertemu teman sekampus Namira yang juga berangkat ke Korea dengannya. Azrina dikabari tentang keikut-sertaan Namira dalam program penelitian budaya Korea dari fakultasnya. Tapi program itu saat ini sudah selesai dan para pesertanya telah kembali ke tanah air.
"Namira harusnya udah ada di kampus hari ini," jelas teman Namira pada Azrina.
Memang tak ada yang tahu Namira masih di Korea setelah dijemput paksa Jun Ki ke rumahnya dengan alasan "melindunginya". Namira hanya mengabari rekan-rekannya ia akan pulang terpisah karena ingin liburan beberapa hari.
Azrina senang bukan kepalang. Sedikit lagi. Jika ia menunggu di kampus Namira sebentar lagi. Ia akan menemukan sahabatnya itu.
Berjam-jam Azrina menunggu. Namira tak juga terlihat. Nomor ponsel yang didapatnya dari teman Namira tadi pun diluar jangkauan. Azrina mencoba berjalan, memeriksa setiap bagian kampus Namira. Berharap tanpa sengaja ia berpapasan dengannya. Nihil. Azrina mulai kehabisan tenaga. Di terik matahari sore yang mulai bergeser menuju arah ia terbenam, adzan ashar berkumandang. Saat Azrina berniat melangkah mencari mushola di sekitarnya, ia tumbang.
Dering ketiga di ponsel Jun Ki, lagi-lagi tertulis nama Azrina. Sayangnya yang menelepon bukan lagi Azrina melainkan seseorang yang menemukan Azrina ambruk saat hendak memasuki mushola, beberapa mahasiswa menolongnya dan mencoba mengabari kerabatnya dari kontak panggilan terakhir. Berkali-kali, ponsel Jun Ki berdering tiada henti. Tapi Jun Ki tetap tak peduli. Ia masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
Begitu seterusnya, ponsel Jun Ki terus berdering dari nomer Azrina. Prof. Ali pun juga mulai menghubunginya.
Jun Ki sama sekali tidak merasakan sesuatu yang buruk terjadi. Sebab ia sendiri bahkan sudah merasa sedang mengalami hal terburuk dalam hidupnya.
Pagi ini ia baru sadar, sepulang ia lari pagi.
Banyak sekali panggilan tak terjawab dari sang bidadari.
Tanpa firasat apa-apa, ia segera menelepon bermaksud untuk meminta maaf karena tidak menjawab panggilan istrinya.
"Assalamualaikum, permaisuriku ... Tidurmu nyenyak? Mimpiin aku, nggak?" ucapnya menggoda segera setelah dirasa seseorang dari seberang telah menjawab teleponnya.
"waalaikumsalam, Nak. Ini ummi
... Azrina---" Belum selesai ummi Azrina dengan kalimatnya, seseorang merebut ponsel darinya.
"Astaga! Ummi. Aaaakkk, memalukan!"
Beberapa saat ia merasa malu sekali. Namun sedetik kemudian ia mulai merasa aneh. Tidak biasanya yang menjawab ponsel Azrina adalah umminya. Apalagi jika yang menelepon adalah dirinya. Bahkan jika ponsel Azrina sedang dipegang umminya, tidak akan dijawab sampai diserahkan ke Azrina sendiri.
"Halo, Assalamu alaikum," dari suaranya Jun Ki tahu itu adalah ayah mertuanya.
"Waalaikumsalam... Iya, Prof..."
"Kamu ini, kapan kamu akan berhenti memanggil saya prof?"
"Hehe... Maaf, Abi. Sudah terbiasa..." Jun Ki tersenyum lebar sambil menggaruk alisnya yang tidak gatal. Sedikit grogi.
"Azrina kenapa, Bi?" tanyanya kemudian setelah basa-basi.
"Begini, Azrina sedang diopname. Dia ditemukan pingsan waktu mencari Namira di kampusnya kemarin. Katanya kamu mengizinkan? Sebaiknya kalau Azrina minta izin kemana-mana untuk sementara dicegah dulu ya, kamu tahu gimana kondisinya, kan?"
Deg!
Hati Jun Ki mencelos.
Apa yang terjadi?
Aku salah dengar, kan?
Azrinaku?
Ya Allah...
"Abi yang sengaja bicara sama kamu karena Azrina gak mau kamu tahu. Sekarang anaknya sedang tidur, nanti kalau kamu telepon lagi, pura-pura aja kamu belum tahu, ya? Nanti Abi kabari lagi..."
Jun Ki tak sanggup berkata-kata. Lidahnya mendadak kelu hingga tak ingat bagaimana ia mengakhiri obrolannya dengan ayah mertuanya.
Istriku, sakit apa? Separah apa kondisinya? Mengapa prof. Ali terdengar sangat serius? Ya Allah.. Saat aku sibuk dengan dendamku sendiri, kubiarkan istriku berjuang seorang diri mencari sesuatu yang sebenarnya berada sangat dekat denganku. Jun Ki merasa seperti telah mengkhianati Azrina.
Selagi menanti kabar Azrina, Jun Ki merenung lama.
Mengapa seolah dukanya kali ini juga ditimpakan pada Azrina? Apakah Tuhan menghukumnya karena telah menjadi bagian dari hidup Jun Ki, lelaki seribu luka yang bertahan hidup dengan luapan kebencian dan pembalasan dendam?
Lalu bagaimana kondisi Azrina? Selama ini yang Jun Ki tahu, istrinya baik-baik saja. Tidak ada keluhan. Sama sekali tidak. Kecuali jika Azrina juga pandai menyimpan rahasia, seperti dirinya.
Lalu mengapa harus saat ini?
Saat ia pun harus bergulat dengan masalahnya sendiri.
Ataukah, mungkin ini pertanda dari Allah agar ia segera berdamai dengan hidupnya? Memadamkan dendam yang membara dihatinya? Mencoba fokus membangun bahagia dengan kehidupan barunya agar sembuh segala lukanya?
Ponselnya bergetar lagi. Pesan dari prof. Ali, mengabarkan Azrina sudah bangun dan segera Jun Ki menelepon lagi.
"assalamu 'alaikum, Sayang..."
Suara merdu milik bidadari terindah Jun Ki terdengar dari speaker ponselnya. Suaranya tetap lirih meski berusaha dikuat-kuatkan
"waalaikum salaam, Sayangku... Maafkan aku tidak menjawab teleponmu sejak kemarin..."
Tak kuasa Jun Ki menahan tangis. Jika saja ia tidak ingat pesan Abi tadi mungkin ia akan menangis sekeras-kerasnya.
"Oppa udah makan?" tanya Azrina, sama sekali tidak berniat membahas atau mengeluhkan kondisinya.
"Udah dong... Kamu gimana, Sayang? Tadi makan apa? Enak nggak? Pasti nggsk enak, kan? karena nggak ada aku ... " Jun Ki sedikit melucu saat mulai bisa mengontrol emosinya.
"Hmm... Narsiiis! Pengen cubit deh! Tapi iya, Oppa. Nggak ada Oppa makanannya gak enak ... Hambar."
Jelas saja hambar, makanan rumah sakit mana yang akan terasa lezat di lidah pasien? Bahkan makanan terenak sekalipun akan tetap terasa hambar.
Tukas Jun Ki dalam hati.
"Oppa sehat, kan? Alerginya nggak kambuh, kan? Katanya Korea udah mulai salju.. Make sure Oppa tetap hangat, yaaa.." Lagi-lagi hanya Azrina yang mengkhawatirkannya.
Oh Tuhan. Hukum saja aku. Aku lagi-lagi hanya menyulitkan orang-orang yang menyayangiku. Jun Ki masih mengisak dalam diam.
Ia lalu tersenyum.
"Mm... Kamu juga, ya... Jaga kesehatan... Aku akan sangat bersedih jika terjadi apa-apa padamu saat aku tak disisimu..."
"hehehe..." Azrina terdengar tertawa dari seberang telepon. "Oppa, apa yang akan terjadi padaku? Ayolah, sekalipun kita terpisah jauh, selagi Oppa mendoakan kebaikan untukku, insyaAllah aku akan selalu aman..."
"Tunggu sebentar lagi ya, Cintaku... Aku akan pulang secepatnya, setelah urusanku selesai," ujar Jun Ki setelah Azrina pamit akan menutup telepon.
"Iya, Sayang... Gak perlu terburu-buru... Fii amanillah, Habibi. Saranghaeyo..."
"Na do saranghaeyo."
Jun Ki tersenyum syahdu. Dia benar-benar akan tertipu andai ia tak tahu kondisi Azrina yang sebenarnya. Istrinya itu ternyata cukup piawai bersandiwara sehingga Jun Ki tak menyadari sesuatu yang besar disembunyikan Azrina lebih dari tumbangnya dan dilarikan ke rumah sakit kemarin. Yaitu kenyataan bahwa dirinya sedang mengandung bayi Jun Ki, dan kondisinya yang nyaris takkan mampu bertahan dengan penyakit jantung bawaan yang dideritanya.
🍁🍁🍁
Namira masih memikirkan cerita Sung ahjumma tentang keluarga Jun Ki kemarin. Mungkin suatu hari Jun Ki membutuhkannya, begitu pikirnya. Pasalnya, ia merasa ada sesuatu yang harus diluruskan agar Jun Ki kembali tersenyum dan memaafkan masa lalunya.
Bahwa segala yang terjadi adalah bukan kesalahan ayahnya.
Ya. Benar. Ayah Jun Ki tak sekejam yang diceritakan Jun Ki pada Namira ataupun yang ada dalam pikiran Jun Ki sendiri bertahun-tahun.
Mungkin cerita ini terdengar seperti omong kosong belaka jika datangnya bukan dari Bibi Sung, saksi kunci perjalanan hidup Jun Ki dan keluarganya.
"Semua ini karena wanita jalang itu! Choi Mi Ran! Dia ular berbisa!" hardik Bibi Sung.
"Choi Mi Ran? Maksud Ahjumma, Nyonya Presdir?" Namira langsung menebak.
"Jangan pernah kau sebut dia seperti itu! Ia tidak pantas menggunakan sebutan itu pada namanya. Wanita jalang yang hina itu! Aku benar-benar akan mengoyak tubuhnya suatu hari nanti." Bibi Sung berapi-api. Namira merasakan kebencian yang besar dari kalimat Bibi Sung tanpa harus mengerti kalimatnya.
"Nyonya Song adalah orang yang sangat baik. Tak kusangka ia dikhianati oleh orang kepercayaannya ...."
"Maksud ahjumma?" Namira belum mengerti.
"Kau tahu, kan? Nyonya seorang dokter. Di usia muda, nyonya menjadi kepala rumah sakit terbaik di Korea yang sejak lama dirintis oleh ayahnya. Kemudian menikah dengan presdir Lee, CEO muda pewaris tunggal perusahaan terbesar dengan kesuksesan yang gemilang. Pernikahan pasangan konglomerat ini juga menjadi pernikahan bisnis yang saling melebarkan sayap untuk semakin membesar. Grup Hanil akhirnya menyatu dengan yayasan Haesung yang merupakan tempat bernaung lembaga-lembaga pendidikan dan kesehatan seperti rumah sakit Haesung, Sekolah dan Universitas Haesung. Grup Hanil kemudian menjadi perusahaan yang berperan besar dalam kemajuan negara Korea Selatan. Kita bisa menemukan ikon grup Hanil disetiap tempat yang kita kunjungi di Korea. Perusahaan ini diberitakan akan terus berkembang, stabil dan tak tergoyahkan hingga 100 tahun kedepan."
Mendengar cerita Bibi Sung, Namira hanya melongo tak dapat membayangkan seberapa kaya Jun Ki yang dikenalnya selama ini.
"Setelah menikah, mendiang nyonya Song tetap bekerja sebagai dokter tetapi juga telaten mengurusi rumahnya dibantu oleh kami semua. Ia mundur dari jabatan kepala rumah sakit, tapi tetap bekerja sebagai dedikasi untuk masyarakat. Meski begitu, beliau tidak melalaikan tugasnya sebagai istri dan kemudian menjadi ibu bagi tuan muda dan nona Tiffany. Oooh.. Sesange.. Surga memang selalu mengambil orang yang paling baik lebih dulu," Bibi Sung terlihat sesekali mengusap matanya dengan ujung apron yang selalu dikenakannya.
"Ya Allah, tak kusangka presdir mengkhianati istrinya yang sempurna..." Namira mulai terbawa alur cerita. Ia hanya menerka kemana arah pembicaraan Bibi Sung. Beberapa kali ia salah mengerti kalimat Bibi Sung dan berujung salah sambung.
"Tidak! Sama sekali tidak! Bagaimana kamu bisa berpikiran seburuk itu?! Presdir sangat mencintai mendiang istrinya. Presdir tidak pernah mengkhianati beliau. Presdir hanya korban ... " tegas Bibi Sung penuh penekana. "... Beliau mengorbankan dirinya agar keluarganya tetap aman. Tapi Choi Mi Ran biadab itu! Bahkan ketika presdir bersedia menikahinya, dia lalu menghancurkan keluarga presdir..." Nada bicara Sung Ahjumma terdengar berubah penuh murka.
"Aku berani bersumpah, kematian nyonya Song dan nona Tiffany bukan karena penyakit yang dideritanya. Tetapi Choi Mi Ran lah yang membunuhnya. Membunuhnya secara halus tanpa meninggalkan bukti. Wanita itu, tak ada yang tidak bisa dilakukannya. Wanita jalang yang tak tahu terima kasih!"
Namira menghela napas, tanpa berniat menyela cerita Bibi Sung yang sedang seru-serunya.
"Dia datang ke rumah ini dengan wajah polosnya, bersama Yoon Jae putranya. Wanita itu menipu kami semua. Karena keprihatinan Nyonya Song lah ia bisa bekerja dan bertahan hidup di rumah ini. Dibawah pengawasanku. Awalnya memang dia begitu manis. Wanita muda sebatang kara bersama anak lelaki kecil yang entah siapa ayahnya. Ia terus menangis meratapi nasibnya yang benar-benar menyentuh hati nyonya Song yang penuh kasih. Lambat laun Mi Ran mulai menampakkan dirinya yang sebenarnya. Angkuh dan menjijikkan! Aku melihatnya sendiri. Bagaimana ia merendahkan kami, berlagak selayaknya nyonya rumah dan memerintah seenaknya saat nyonya Song sedang bekerja. Lalu berubah polos dan manis bicara saat beliau kembali ke rumah. Ch! Berulang kali kuperingatkan nyonya Song agar segera menyingkirkannya. Aku khawatir ia akan menjadi sesuatu yang menyeramkan suatu hari nanti. Dan itu benar-benar terjadi... Nyonya Song yang malang... Ia sangat mempercayai si jalang itu!"
"... Suatu hari, Choi Mi Ran yang entah mendapatkan ide dari mana menghadap kepada nyonya. Ia menawarkan diri mengantarkan makan siang untuk presdir di kantornya. Memang saat itu nyonya sedang kewalahan dengan rumah sakit dan nona Tiffany yang sakit keras hingga beberapa kali tak bisa mengontrol keperluan presdir termasuk makanan yang harus selalu disiapkan dari rumah. Saat itulah kekacauan bermula. Bagaimana kepercayaan nyonya dengan mudahnya ia hancurkan dengan fitnah yang keji. Semoga neraka menghukumnya!"
"Tuan muda masih terlalu kecil untuk mengerti permasalahan orang tuanya. Masa depan perusahaan sedang dipermainkan oleh Choi Mi Ran yang mengancam akan membocorkan bukti palsu, foto-foto aib perselingkuhan presdir dengan dirinya. Tentu saja hal itu tak pernah dilakukan presdir, namun bukti-bukti itu didukung dengan keburukan-keburukan grup Hanil di masa lalu yang jika terkuak hal itu akan mengguncang perusahaan dan menjatuhkannya dalam sekejap. Entah darimana Choi Mi Ran menemukan semua itu. Kukira dia sudah mempersiapkan segalanya dengan sempurna. Sebagai gantinya, Presdir harus menikahi Choi Mi Ran agar bukti tersebut dilenyapkan. Licik sekali ular berbisa itu! Di satu sisi, grup Hanil terancam. Disisi lain, keluarga bahagia presdir harus dikorbankan.
Aku melihat sendiri bagaimana pasangan suami istri itu menangis bersama saling berangkulan.
"jweseonghaeyo, yeobo.. Jalmothaesseoyo" Begitu Nyonya Song terus menerus meminta maaf pada presdir karena dia yang mendatangkan sumber masalah itu ke rumah mereka.
Presdir terus mendekap istrinya. Menghapus airmatanya.
"Aku yang salah... Maafkan aku. Aku akan melakukan apapun untuk memperbaiki semuanya. Jika perlu, kita lepaskan saja semuanya dan pergi jauh. Kau mau, kan?"
"Tidak. Nikahi dia. Selamatkan masa depan anak-anak kita..."
Begitulah. Choi Mi Ran lalu dinikahi Presdir. Lalu dia yang tak pernah puas sampai mendapatkan semuanya terus memukul mundur nyonya Song yang kian hari kian dihantui perasaan bersalah atas keputusannya yang salah saat meminta suaminya menikahi Choi Mi Ran. Harapannya untuk menyelamatkan keluarganya justru semakin hancur setelah Choi Mi Ran resmi menjadi istri kedua presdir. Nyonya Song lalu wafat dalam kubangan dukanya sendiri. Meninggalkan suami yang terkoyak jiwanya serta anak-anak yang terenggut kebahagiaannya. Dan Choi Mi Ran terus bergerak, melakukan segala cara demi mencapai tujuan akhirnya. Kekayaan grup Hanil sepenuhnya.
Tetapi itu belum bisa ia dapatkan hingga sekarang. Sebab Nyonya masih memiliki kekuatan untuk membangkitkan tuan muda, suatu hari nanti."
Namira tersentak.
Cerita ini. Meski tak sepenuhnya ia mengerti, tapi ia merasa sangat yakin ada sesuatu yang salah dari apa yang dipercayai Jun Ki selama ini.
Tapi apa maksudnya?
Namira terus saja mengorek informasi dari Bibi Sung, berbekal perekam suara dari ponselnya ia menyimpan semua kebenaran yang diceritakan Bibi Sung.
"Apapun inti dari kisah ini, aku akan tahu jika kuberikan kepada Jun Ki secepatnya!" Namira menggenggam erat ponselnya seperti memengang sesuatu yang sangat berharga.
Ia lalu berdiri dan segera keluar kamar, mencari Jun Ki.
Disaat yang sama, Jun Ki pun telah selesai merenungkan sesuatu, ia juga keluar kamar bermaksud untuk bicara pada Namira tentang sebuah keputusan yang baru dibuatnya.
Mereka berpapasan di ruang tengah.
Berdiri dihadapan Jun Ki yang terlihat jelas sedang diliputi kesedihan itu membuat Namira berpikir lagi,
Benarkah keputusanku ini?
Akankah bukti ini membawa kebahagiaan bagi Jun Ki?
Ataukah menambah kesedihannya?
Mendadak Namira merasa ragu.
Lalu suara Jun Ki mengejutkannya.
"Namira," ujar Jun Ki dengan suara khasnya yang pasti akan membuat setiap wanita berdecak saat disebut namanya.
"Eng? Eh?" yang dipanggil justru salah tingkah.
"Jun Ki-ssi, ada yang ingin kusampaikan," setelah agak lama memikirkan kalimat apa yang harus ia ucapkan, Namira melontarkan kalimat itu bersamaan dengan Jun Ki yang juga tiba-tiba bicara lagi, "kurasa kita harus bicara..."
Keduanya tertawa.
Setelah memahami masing-masing dari mereka akan menyampaikan sesuatu, Jun Ki lalu mengisyaratkan Namira untuk mengikutinya menuju ruang keluarga agar bisa mengobrol lebih nyaman dan santai.
"Jadi, apa yang ingin kamu sampaikan?" Jun Ki memulai pembahasan setelah menyandarkan tubuhnya di sofa yang berseberangan dengan tempat duduk Namira.
"Anda duluan saja, aku akan bicara setelah Anda," Namira mempersilahkan.
"Ayolah. Jangan malu-malu. Kalau butuh sesuatu? Katakan saja. Nanti bibi Sung siapkan apapun yang kamu inginkan. Kecuali aku, tentunya." Jun Ki sedikit menggoda Namira. Tentu saja hanya bercanda, terlihat jelas dari tawanya kemudian.
Sayangnya, candaannya itu sama sekali tidak lucu bagi Namira, tetapi justru menyentil titik sensitif di dasar hatinya. Seketika konsentrasinya buyar. Dan reaksinya sangat tidak wajar. Ia menangis!
"Namira? Kau kenapa?" Jun Ki mengangkat kedua alisnya yang membuat kelopak matanya melebar.
Tak ada jawaban. Jun Ki berinisiatif melanjutkan.
"Oke. Baiklah. Maafkan aku. Aku tak tahu bagian mana dari kalimatku yang menyinggung perasaanmu. Aku juga minta maaf tentang membawamu kemari tanpa menjelaskan apa-apa, tapi itu tak penting lagi. Sekarang, aku benar-benar harus mendiskusikan sesuatu denganmu, bisa kau dengar aku?"
Namira mengangguk pelan. Tak ada pilihan.
"Begini, Namira... Istriku ..." Jun Ki diam sejenak.
"... Maksudku... Azrina, sahabatmu. Saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Kau tahu dia dirawat karena apa?" Namira tertegun. Azrina kambuh! Tentu saja Namira tahu betul kronologi penyakit Azrina. Baru saja ia akan menjawab, Jun Ki menangkap reaksi Namira yang mulai gusar, seolah paham dengan kegelisahan Namira itu, Jun Ki langsung melanjutkan kalimatnya.
"Yap! Benar. Azrina sakit karena kelelahan mencarimu kemana-mana! Bisa kau bayangkan itu? Bagian mana dari diri Azrina yang sanggup mengkhianatimu, Namira? Kau hanya salah sangka..."
Dan Jun Ki tak menyadari, dirinya pun sedang salah sangka. Bahkan kejeniusannya tidak sanggup menyimpulkan sendiri penyakit ganas sedang menggerogoti istrinya. Atau dia terlalu takut memikirkan kemungkinan itu? Ya, bisa saja.
Sementara Namira yang menjadi sasaran, semakin terisak.
"Salahkan saja aku, Namira. Tolong... Maafkan Azrina. Dia tidak tahu apa-apa. Segalanya sudah terjadi, bisakah kau mengikhlaskannya saja? Demi Azrina. Dia takkan berhenti sampai benar-benar menemukanmu..."
Ada yang ingin berontak dari dalam diri Namira. Seakan ingin mencerca Jun Ki sepuas-puasnya.
Memang semua ini karenamu!
Lalu mengapa kau membawaku kemari?!
Mengapa kau berada disini, bersamaku saat istrimu sedang tertatih mencariku?!
Mengapa kau tak bilang padanya, bahwa aku, yang dicari istrimu setengah mati itu berada disini, di rumahmu?!
Apa yang kau rencanakan sebenarnya?!
Melindungiku? Persetan!
Kau justru menimpakan semua kesalahan hanya padaku!
Tapi di sisi hatinya yang lain, perasaan bersalah semakin meyesakkan dadanya. Penyakit Azrina kambuh karenanya. Mengapa ia tak memikirkan ini sebelumnya? Ah... Dulu ia sedemikian marahnya pada Azrina. Bahkan membayangkan Azrina tumbang karena terlalu bersedih kehilangannya, itu memang pantas untuk pengkhianat sepertinya.
Oh ya Allah.. Maafkan aku... Aku tidak sungguh-sungguh saat itu...
Tangis Namira pecah lagi.
"Namira, jadi bagaimana keputusanmu? Kamu setuju tentang sebaiknya kau pulang secepatnya, kan?" Jun Ki berbicara lagi setelah tangis Namira mulai reda. Tapi Namira belum merespon apa-apa.
"Besok aku juga akan kembali ke Jakarta. Aku tunggu keputusanmu sampai malam ini. Kau bisa pulang denganku."
Namira masih terdiam. Sisa-sisa tangisnya masih terdengar berupa isakan kecil sambung-menyambung.
Ya. Benar. Aku harus pulang. Tak ada lagi kepentinganku berada disini.
"oh, iya.. Tadi kamu mau bilang apa?" Jun Ki yang baru saja beranjak hendak meninggalkan Namira kembali lagi ke tempat duduknya.
Namun, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan bukti rekaman suara itu saat ini.
Tidak. Namira urung menyerahkan bukti itu.
Kondisinya tidak memungkinkan untuk mendengar ini sekarang.
Kalaupun suatu hari ia harus mengetahui kebenarannya, bukan aku yang berhak mengatakannya..
Siapa aku?
Kenapa aku melibatkan diri terlalu jauh dalam permasalahan keluarga orang asing?
Apa yang akan aku dapatkan dari ini?
Apa yang aku harapkan?
Namira lalu menatap kearah Jun Ki lagi.
Benarkah niatku benar-benar hanya ingin membantu?
Atau karena aku masih mencintainya?
Tapi kenyataannya aku bukan siapa-siapa dan takkan mendapatkan apa-apa.
Tidak.
Aku salah jika terus berada disini.
Memang benar,
Sebaiknya aku pergi dan tidak mencampuri urusan mereka lagi.
Meski aku mengetahui sesuatu..sebaiknya kubiarkan dia menyelesaikan masalahnya sendiri.
Dan aku harus kembali,
berusaha berdamai dengan hati...
🍁🍁🍁
To be continued...
Re-publish - Mon, 23/3/2020 - 2.30 am
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro