FTLOF - 3 - Kere
Question of the day: absen coba yang batak
vote, komen, & follow akun WP ini + IG & X & Tiktok @akudadodado. Thank you
🌟
"Lo bayangin, gue harus bayar setiap makan. Ompu mana yang nagih uang dari cucunya buat makan?" Aku berjalan dengan langkah besar. Cukup dua saja untuk tiba dari satu dinding ke dinding lain. Tapi kakiku tidak dapat berhenti bergerak untuk melampiaskan emosi karena berteriak tidak mungkin dilakukan di malam hari. Selain tidak sopan, aku merasa Ompu tega untuk melempar koperku keluar rumah.
"Kita nggak punya Ompu buat jadi perbandingan," jawab Ende, adikku. "Tapi seriusan lo sampai disuruh bayar?"
Aku mengangguk cepat, lalu sadar kalau Ende tidak dapat melihatnya. "Iya. Gue kirimin fotonya." Ponsel yang menempel di telingaku terlepas selama tiga detik sebelum kembali ke sana. "Lo lihat. Gue juga disuruh bayar biaya sewa kamar per bulan. Dan lo tahu gue Cuma dikasih duit berapa sama Papi? Sejuta. Freaking a million Rupiah. Bagaimana gue bisa bertahan sebulan kalau makan seharinya saja 95.000. Sebulan perlu ..." aku menggunakan fungsi kalkulator di ponsel karena perhitunganku seburuk itu, "2.850.000. Lo bayangin. Gue bahkan cuma bisa makan enam setengah hari dengan uang yang Papi kasih."
Perutku bernyanyi untuk mengingatkan kalau aku belum makan malam karena aku terlalu terkejut tadi.
"Gue mau bantuin lo, tapi gue juga dapat ultimatum dari Papi kalau transfer duit ke lo, uang kuliah gue nggak dibayarin lagi."
Adikku masih kuliah. Perbedaan usia kami yang tidak jauh—dua tahun—membuat kami sangat dekat sejak kecil. Kami berbagi banyak rahasia di tengah teriakan karena dia yang mencuri bajuku atau aku yang membaca buku hariannya. Kami berdua senang berada di personal space satu sama lain. Saat kami harus berjauhan, aku sedikit kangen akan adikku yang suka terbangun tengah malam, masuk ke dalam kamarku, dan memaksaku untuk membuka mata untuk mendengarkan hal yang mengganggunya hingga tidak bisa tertidur.
"Papi serius banget mau bikin hidup gue susah."
"Bukan Papi yang bikin hidup lo susah, tapi lo sendiri."
Kalau aku memerlukan reality check, aku tidak perlu mencari orang lain. Ende akan dengan senang hati melakukannya setiap hari, bahkan tanpa aku minta. Dan aku tidak bisa mengomeli atau marah kepadanya karena aku tahu dasar dia melakukan itu adalah karena dia menyayangiku, meski dia tidak ingin mengakuinya secara langsung. Tapi aku tahu karena saat orang lain tersenyum di depanku, mereka bergosip saat aku berbalik. Ende akan melemparkan semuanya langsung ke wajahku tanpa basa-basi.
"So, apa kita punya Ompu Doli(4) atau Ompu Boru(5) aja?"
"Boru aja kayaknya. Gue nggak lihat orang lain selain Tulang Domu sama Ompu."
Ende mengesah panjang. Secara praktis aku dapat mendengar roda di kepalanya berputar kencang. "Gue iri banget lo bisa ketemu Ompu."
Aku ingin bersimpati, tapi dengusan tidak dapat aku tarik keluar begitu saja. "Sori. Gue beneran mau menghormati lo yang nggak pernah ketemu sama Ompu dari Mami, tapi ini bukan jenis Nenek penuh cinta yang lo lihat di film-film. I'm sorry I ruined your sweet dreams, tapi ini lebih mirip nenek lampir. Penyihir jahat dari Hansel dan Gretel yang kanibal."
Amarah kembali menggelegak did alam dadaku. Yang mimpi indahnya kandas begitu saja bukan hanya milik Ende, tapi juga milikku. Aku tadi sempat berpikir kalau akan ada pertemuan penuh haru dan pelukan hangat di pertemuan pertama, juga Ompu yang menghubungi Mami untuk mengomelinya karena menghukumku. Tapi tidak ada satu pun yang terjadi. Aku kecewa, tapi lebih ke alasan yang pertama. Aku sungguh-sungguh ingin mengadu dan menceritakan banyak hal. Merasakan nenek yang akan memihakku mau aku senakal apa pun.
Aku tidak pernah mengatakan langsung kepada Mami, tapi dulu aku sempat iri dengan teman-teman sekolahku yang memiliki kampung untuk pulang dengan cerita nenek mereka. Semakin besar, yang membuatku iri adalah kuliner yang dapat mereka rasakan karena aku sadar nenekku tidak akan ada dalam foto-foto keluarga yang kami ambil setiap tahun atau foto liburan.
Jadi, berada di sini hanya membuatku merasa kesepian, padahal itu satu-satunya emosi yang tidak pernah aku bayangkan akan hadir saat berada di rumah keluarga Mami.
"Tetap aja, gue kepingin ketemu sama keluarga. Papi anak tunggal, Ompu dari Papi juga udah nggak ada keduanya, jadi kita nggak pernah ke acara keluarga. Kita berempat doang. Mentok-mentok ke parsautaon(6) yang kenal juga kaga. I crave some family time."
"No, you crave the drama. Buat bahan novel lo."
Ini tepat sasaran karena Ende selalu mengatakan betapa dia butuh konflik keluarga dan drama yang ikut serta di dalamnya untuk kebutuhan tulisan. Biar greget katanya. Juga biar tulisannya lebih dekat dengan narasi keluarga bapak itu ngeselin dan keluarga ibu itu keren.
"Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Memangnya nggak ada yang bagus di sana? Country boys biasanya hot."
"Dude, country boys yang lo baca di novel itu riding horse. Di sini naikin kerbau yang ada. Di depan rumah Ompu bahkan lewat banyak kerbau sore-sore. Dan lo mesti tahu kalau babi di dunia nyata nggak seimut di film Babe. Mana gede banget lagi."
Aku jadi teringat saat tadi aku mencoba keluar dari kondisi syok dengan berjalan-jalan, tapi karena aku sedang mau menjelajah, aku keluar dari pintu belakang. Ada rumah kayu tersendiri dengan jembatan kecil untuk menuju ke sana, serta tangga kecil untuk turun. Aku sedang ingin keluar rumah ini, jadi aku memilih turun dan langsung disapa dengan suara gerombolan bebek yang lari ketakutan saat aku mendekat. Di belakang rumah ada empat kandang berjejer dengan hewan besar berwarna cokelat muda di dalamnya.
Di sana, empat babi yang tingginya sepinggangku dengan lingkar tubuh jauh lebih besar dariku. Kedua tanganku bahkan tidak akan sanggup memeluk tubuh gempalnya. Bukannya aku juga mau untuk mempraktikkan hal itu. Tapi babi itu sangat besar dan aku percaya dengan kisah babi yang memakan manusia. Mereka menakutkan dan wajib untuk diarsik. Atau disaksang. Atau dipanggang.
Sekarang aku kelaparan hanya memikirkan rasanya daging segar yang dimasak. Sial.
"Nggak peduli gue mereka nyeremin, asal mereka enak kalau dimasak."
"Omong-omong soal masakan, makan siang gue tadi enak banget ikan mas arsiknya. Jauh lebih enak dari buatan nyokap. Gue nggak tahu bedanya apa, soalnya gue baru mau tanya ke Ompu, tapi langsung dikasih harga."
"Bro, lo makan di tempat asalnya lapo, nggak mungkin nggak enak dan bumbu, daging, ikan, dan lain-lainnya nggak seger. Ini bisa lo pakai sebagai kesempatan buat icipin makanan dari kampung nyokap yang dari dulu lo pengin lakuin."
"Uangnya nggak ada. Gue juga lagi dihukum, bukannya lagi wisata."
"Cari duit lah. Udah waktunya juga lo terjun sebagai hamba uang setelah lulus dua tahun lalu. Hitung-hitung latihan, siapa tahu lo nggak ditarik Papi balik dan ketemu suami di sana. Lo bisa langsung menyandang gelar inang-inang."
Aku mengetuk kepalaku lalu tembok bergantian, tiga kali. "Ih, jangan sampai."
6/12/23
4. Kakek
5. Nenek
6. Perkumpulan orang batak di daerah rantau
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro