Bab 5
Jangan Jatuh Cinta
Neil Pov
Lalu apa yang tadi aku takutkan terjadi. 😣
Him membawaku ke restoran tanpa ada orang di dalamnya. Ini bukan restoran yang akan bangkrut. Ini adalah restoran yang mewah dan sepertinya hanya bisa di datangi oleh orang-orang kaya saja.
Saat kami berjalan dan memasuki restoran itu, kami di sambut oleh salah satu staf yang bekerja di restoran itu.
“Selamat datang Khun..”
Tentu saja itu karena ada orang kaya yang duduk di depanku. 😅
Yeah.. Ini adalah fakta karena Him menyewa satu restoran hanya untuk makan bersama-sama denganku.
Him tersenyum tanpa henti dan berbicara, seolah-olah semua orang di sini sudah mengenalnya.
“Him.. kamu tidak perlu melakukan banyak hal sampai seperti ini..”
“…”
“Kamu tidak perlu sampai menutup sebuah restoran hanya untuk kita berdua saja..”
Aku mengatakan itu kepada Him yang saat ini duduk di depanku.
“Aku hanya ingin mengajakmu makan malam tanpa ada yang menganggu saja..”
"Tapi ini sungguh keterlaluan.."
"Tidak apa-apa, Neil.."
Him membalas perkataanku dengan nada yang tenang dan tersenyum tipis lalu berkata lagi.
“Aku hanya ingin bersamamu secara private.."
“…”
"Apapun yang kamu mau katakan saja kepadaku.."
"Bukankah lebih baik jika kita ingin makan bersama-sama, kita lebih baik kembali ke dalam kamar saja?"
“Kalau kita hanya makan berdua di dalam kamar saja, aku merasa takut tidak akan bisa makan..”
“…”
Aku segera terdiam saat Him mengatakan bahwa dia takut merasa tidak bisa makan. 🙄
“Lalu bagaimana? Apakah kamu menyukai tempat ini?"
“Ya..” jawabku tulus.
Di restoran ini suasananya sangat bagus. Meja tempat kami duduk berada di lantai dua restoran. Interior restorannya terlihat cukup mewah. Pemandangan luar restoran ini adalah sungai.
Saat malam hari terlihat indah karena terlihat lampu-lampu yang menghiasi jembatan di atas sungai. Lantai dasar yang dijadikan taman untuk berfoto cukup bagus.
Ini seperti festival lampion.
“Jika aku sering mengundangmu untuk datang dan makan disini, maukah kamu ikut denganku? Chao juga bisa datang kesini..”
“Tapi kamu tidak boleh menutup restoran untuk kita berdua saja seperti ini lagi.”
"Heheheh.."
Him segera tersenyum begitu mendengar aku mengatakan hal itu. ☺️
"Apakah kamu sering melakukan hal ini?"
Aku bertanya karena merasa sangat ingin tahu. Para karyawan restoran ini sepertinya tahu selera Him.
“Yeah.. cukup sering. Aku suka menutup restoran ini..”
“Huh?!”
Him tersenyum dan berkata lagi.
“Phi Neil adalah orang kedua yang aku bawa ke restoran ini.”
Orang kedua? Siapa orang yang pertama Him bawa kesini biasanya? 🤔
“Siapa orang pertama?”
Meskipun aku tidak mempercayai kata-katanya, aku tetap bertanya kepadanya.
Ingatlah hal itu dan tanyakan apa yang masih aku curigai darinya.
"Mantan pacarku.."
Oh... saat kami bertemu Him mengatakan bahwa mantan pacarnya meninggalkan dia.
“Apakah sudah lama?”
"Apakah kamu benar-benar ingin mendengar ceritanya?"
“Yeah.. Kenapa kamu tidak bisa memberitahuku?”
“Ya, tapi aku tidak yakin kamu ingin mendengarnya..”
"Aku ingin mendengarnya."
"Jadi kenapa kamu ingin mendengar tentang mantan pacarku?"
Him menatapku dengan mata tersenyum.
“Kenapa, kita tidak bisa membicarakan mantan pacar dan teman kita?”
Him terus menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lagi dan menatap mataku dengan senyuman tidak terlihat takut. 😏
“Kita hanya berteman, apakah kamu terbiasa membicarakan tentang mantan pacarmu dengan temanmu juga?”
“Yeah.. siapa tahu kamu ingin membicarakannya denganku..”
Him lalu berhenti sejenak. Aku mengalihkan pandangan dari pria yang duduk di depanku, sebelum berkata lagi.
“Perkataan itu.. mungkin kita bisa mengulanginya untuk diri kita sendiri..”
Aku tidak bisa menahan senyumanku setelah mendengar diriku sendiri selesai berbicara seperti itu. ☺️
"Apakah kamu..."
“Ada apa?”
“Bukankah lebih enak kita membicarakan hal ini sampai larut malam..”
“Hah?!”
"Aku harus memelukmu dulu."
“…”
Aku melihat ke beberapa karyawan yang masih berada di dekat kami berdua.
"Ini adalah restoran ibuku. Karyawan disini bisa dipercaya."
“Restoran ibumu?” tanyaku penasaran.
“Ya, restoran ibuku.”
“Apakah tidak apa-apa kamu menutupnya seperti ini?”
“Menutup restoran untuk mengadakan pesta dengan calon menantu perempuannya selama sehari tidak akan merugikan restoran ini..”
"..."
Alisku berkedut saat mendengar kata-kata ‘Menantu perempuan.’ 🤨
"Ahh.."
Aku melihat senyuman Him tidak terlihat sedih atau merasa khawatir karena dia tidak sengaja mengucapkan perkataan itu. Tetapi.. wajahnya terlihat sangat senang. 🙄
“Apakah kamu merasa tidak nyaman saat mendengar perkataanku?”
Him bertanya sambil tersenyum dan tidak merasa bosan menggodaku. ☺️
Yeah.. Aku ingat bahwa Him pernah bertanya kepadaku.
Apakah aku ingin digoda olehnya?
Saat itu aku mengatakan tidak.
Saat ini aku masih ingin menegaskan dan mengatakan perkataan yang sama kepadanya. Meskipun Him sangat baik dan terlihat sangat sempurna, aku tidak ingin kami terikat secara mental berlebihan. 😔
Tetapi sangat mengejutkan bagiku bahwa aku tidak merasa risih saat mendengar dia mengatakan ‘menantu perempuan’ yang mungkin saja secara tidak sengaja Him katakan tadi.
“Tidak..”
Aku mengatakan itu lalu segera berdiri tegak dan berjalan ke arah Him.
Aku lalu segera duduk di atas pangkuan putra pemilik restoran ini dan merangkul lehernya dengan erat. Aku mengatakan dengan tegas sehingga kami berdua tersenyum..☺️
“Kita masih bisa tersenyum seperti ini meskipun kita hanya teman di atas tempat tidur..”
“Kamu sangat lucu sekali..”
Him mengatakan itu sambil bercanda dan melingkarkan tangannya di pinggangku agar aku tidak terjatuh dari pangkuannya.
“Kamu tidak membuat diriku merasa tidak nyaman saat bersama-sama denganmu saja sudah cukup bagiku..”
“Yeah.. Aku bisa menjadi apapun yang aku bisa lakukan untukmu. Tapi kamu bisa saja..”
“Aku hanya ingin dekat denganmu..”
Him mengatakan hal itu sambil menatap mataku dengan tatapan mata yang memohon setelah dia mengatakannya. 🥺
“Jadi jangan merasa bosan padaku..”
Aku mengakui bahwa Him membuat jantungku terasa berdebar-debar sesaat. 😣
Seharusnya aku tidak boleh merasa tertipu sama sekali dengan kata-kata manisnya.
“Aku tidak bisa berjanji.. mungkin saja hal itu bisa terjadi cepat atau lambat..”
“Yeah.. Tetapi tentu saja tidak sekarang..”
“Yeah.. Terima kasih banyak..”
Aku masih ingin mendengar Him mengatakan kata-kata manis itu dan aku juga masih tidak ingin dia pergi dari kehidupanku sekarang. ☺️
Tentu saja... Aku merasa yakin bahwa aku tidak akan jatuh cinta padanya. Jadi, mari kita pertahankan hubungan ini.
Him mungkin juga berpikiran sama denganku. Jika suatu saat kami sudah merasa lelah berusaha dan tidak mampu menanggungnya, aku mungkin akan memilih untuk pergi meninggalkannya sendiri.
“Ayo ceritakan kepadaku tentang mantan pacarmu..”
Aku berkata seperti itu sambil menangkup wajah Him. Him memeluk tubuhku semakin erat. 🤗
“Darimana kamu ingin aku mulai menceritakannya?”
“Mengapa kamu bisa putus dengannya?”
“Aku tidak putus dengannya.. Tetapi.. dia yang pergi meninggalkan aku..”
Him berkata sambil tersenyum dengan nada suara yang normal, tetapi matanya tidak bisa menutupi emosinya saat ini. Aku bisa melihat ada kemarahan di dalam matanya dan juga ketidak pedulian, seolah-olah dia tidak merasakan apapun.
“…”
“Apa lagi yang harus aku katakan tentang mantan kekasihku? Aku bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal atau berbicara dengannya..”
“Kisah cinta kita memang sangat mirip..”
Aku mengatakan hal itu kepada Him sambil bercanda. 😅
Yeah.. Hal itu memang benar karena Jay datang kepadaku untuk mengatakan bahwa dia ingin putus denganku karena dia sudah memiliki kekasih yang baru. Perpisahan kami ini bukan karena aku yang memutuskan untuk pergi darinya. 😔
Tetapi.. sepertinya Him sudah siap dengan hal ini meskipun kisah cinta kami sangat mirip.
“Kenapa saat dia pergi kamu masih bisa tersenyum?”
Aku mengerutkan kening ketika aku sudah berhenti bercanda dengannya dan menebak apa yang Him pikirkan saat ini. 🤨
“Apakah karena dia mempunyai orang lain?”
Aku melihat Him menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaanku itu.
“Hm…Apakah dia memergoki kamu sedang selingkuh di belakangnya?”
“Apakah kamu melihat aku orang yang seperti itu?”
Saat mendengar pertanyaan Him, aku segera menggelengkan kepalaku.
“Aku tidak pernah berselingkuh darinya..”
“Lalu kenapa dia bisa pergi meninggalkanmu?”
Aku benar-benar tidak bisa memikirkan alasannya lagi. 🙄
Him mengatakan kepadaku bahwa hal ini bukan tentang karena orang itu menyerah kepadanya tetapi tentang merelakan segalanya dan membiarkan orang itu pergi darinya.
Aku tidak bisa berpikir mengapa Him begitu keras kepala seperti itu. 🙄
“Hm.. Dia mempunyai masalah mental dan kehidupannya begitu kelam sehingga dia tidak bisa melihat apapun. Jadi dia memutuskan pergi dengan tersenyum ke dunia yang lain..”
“Apa artinya?”
“Dia sudah meninggal dan dia yang memutuskan jalan itu sendiri..”
Saat aku mendengar perkataan Him, aku sempat tertegun mendengarnya. Cerita kisah cintanya melebihi harapanku.
Him mengatakan bahwa orang itu.. memutuskan untuk pergi sendiri ke dunia lain..
Artinya orang itu lebih memilih untuk bunuh diri saat Him masih merasakan jatuh cinta padanya. 😣
Him mengatakan bahwa orang itu memiliki masalah kejiwaan dan oleh karena itu mungkin orang itu tidak bisa bertarung dengan dirinya sendiri.
Tetapi.. aku tidak pernah menyangka bahwa Him akan memiliki kisah cinta yang seperti ini.
"Maaf, aku tidak tahu..."
“Tidak masalah.. Hal ini memang bukan sesuatu yang perlu dibicarakan..”
“Aku benar-benar minta maaf karena sudah membuatmu merasa tidak enak dengan menceritakan ini semua kepadaku..”
Saat aku mengatakan hal itu, Him hanya membalasnya dengan tersenyum tipis di wajahnya. ☺️
Ekspresi wajahnya mengatakan seolah-olah hal ini bukan masalah baginya.
“Apakah kamu sudah tidak masalah kita membicarakan hal ini?”
“Iya..”
Him membalas pertanyaanku dengan tegas.
Hal ini tidak membuat hatinya memikirkan kejadian itu lagi, bukan? 🤔
Aku benar-benar sudah salah menilai Him selama ini. 😔
“Sudah cukup.. Kita tidak perlu membicarakan hal ini lagi..”
Aku mengatakan itu dan meremas lengan Him sambil tersenyum padanya. 😊
“Aku akan merasa baik-baik saja jika kita berdua merasa kenyang. Jadi jangan kamu mengatakan bahwa aku tidak baik-baik saja ok?”
Saat mendengar perkataannya, aku segera menyikutnya. 😅
“Jadi apa yang akan kita bicarakan lagi?”
"..."
Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku sebagai balasan dari pertanyaannya itu.
"Bagaimana kalau kita sekarang membicarakan tentang diri kita sendiri?"
"Kehidupan kita?"
“Hm…”
"Apa yang perlu kita dibicarakan?"
"Malam ini aku ingin tidur denganmu.."
"Sudah kubilang bahwa aku tidak akan bisa melakukannya hari ini."
"Aku hanya ingin memelukmu.." jawab Him lagi.
Tapi perkataannya tidak berhasil untuk membujukku. 😒
"Tidak!"
Aku menjawabnya dengan tegas. Hal ini karena kami berdua baru tidur bersama-sama tadi malam.
“Aku merasa sangat baik saat tidur denganmu.”
"Seberapa baik perasaanmu itu?"
"Yeah.. Aku tidak memiliki mimpi buruk saat tidur bersama-sama denganmu..."
Saat mendengar perkataan Him, aku hanya bisa tertawa kecil sebelum membungkukkan badanku untuk mencium keningnya.
Him seperti anak kecil bagiku. 😅
“Oh.. Kamu seperti anakku..”
Him bersandar padaku dan dia memelukku dengan lebih erat daripada sebelumnya, tapi tidak terlalu erat hingga aku tidak bisa bernapas. Itu adalah pelukan yang sempurna.
“Aku juga tidak akan membiarkanmu tidur lagi..” kataku sambil menempelkan pipiku ke kepalanya.
Kami masih terus saling berbicara tanpa saling memandang.
“Kalau begitu tetaplah seperti ini untuk sementara waktu.”
Aku lalu memeluknya untuk waktu yang lama.
“Seberapa lama?”
"Selama aku diperlukan.."
Aku hanya bisa tersenyum. 😊
"Sampai makanan yang kita pesan disajikan."
“Baiklah..”
Entah kenapa Him begitu pandai mengemis kepadaku. 😅
Namun ketika semua makanan sudah tersaji di meja, kami masih saling berpelukan seperti ini beberapa menit lagi. Aku melihat Him terlihat tidak nafsu makan sama sekali meski sebelumnya dia mengatakan bahwa perutnya terasa lapar karena dia belum makan.
Jadi kami terus berpelukan hingga makanan hampir dingin.
---
Neil Pov
Beberapa minggu kemudian..
Aku segera datang menemui Chao Chom dengan perasaan prihatin karena dia bilang dia sakit.
Chao Chom tinggal sendirian dan dia tidak sering sakit. Namun jika dia sakit, maka dia akan merasa seperti akan mati.
Setelah aku membeli bubur, gel antipiretik, obat antipiretik, aku langsung menuju kamar tidurnya.
Namun sebelum aku sempat menyentuh kartu kunci yang dia berikan kepadaku untuk memasuki gedung tersebut, aku mendengar suara yang terdengar cukup familiar. 🤔
Tunggu!!
"Neil...."
Aku segera berbalik dan melihat orang yang memangilku adalah Techint.
Dia berjalan mendekatiku dan menyapaku dengan sopan.
"Apa yang sedang kamu lakukan disini?"
"Aku datang menemui seorang temanku.."
"Apakah ada temanmu yang tinggal di sini?"
"Ya.." jawabku pelan sebelum bertanya kepadanya.
"Lalu apa yang sedang kamu lakukan disini?"
"Aku datang untuk menemui Cream."
"Apakah Cream tinggal di asrama ini?"
Saat mendengar perkataanku, aku melihat Techint mengangguk sebelum melanjutkan bertanya.
“Bisakah kita masuk bersama-sama? Aku tidak ingin menunggu sampai dia turun dan menjemputku.”
“Baiklah..”
Setelah berbicara sebentar, Techint dan aku memasuki gedung asrama ini bersama-sama, Techint segera menekan lift dan kami menunggu beberapa saat sampai lift itu turun untuk menjemput kami.
Kami berdua masuk dan menekan lantai yang kami tuju, Techint menekan lantai 8 sementara aku menekan lantai 10.
“Mengapa kamu memiliki kartu kunci kamar temanmu?”
Techint berbalik dan bertanya kepadaku sementara kami berdua berdiri di dalam lift.
"Temanku memberikannya kepadaku sehingga dia tidak perlu turun untuk menjemputku.."
Sebenarnya, Chao Chom dan aku sempat berpacaran saat awal tahun pertama. Tak satu pun dari kami memiliki teman dekat. Aku percaya padanya dan dia mempercayaiku.
Aku datang ke sini pada tahun kedua untuk menemui Chom dan dia terlalu malas untuk turun menjemputku dan dia memberikan kunci asramanya kepadaku.
Baik penjaga maupun manajer asramanya merupakan adalah wajah-wajah yang sudah aku kenal.
“Kalian adalah teman yang saling percaya satu sama lain..”
Techint mengatakan itu dengan tenang, masih menutupi sudut mulutnya dengan senyuman. 😏
"..."
Techint masih seseorang yang tidak bisa aku membaca apa yang dia pikirkan saat ini. Kata-katanya sepertinya tidak berarti apa-apa tetapi pada saat yang sama sepertinya memiliki makna. 🙄
“Aku jarang bertemu dengan Him akhir-akhir ini.”
“Benarkah?”
Techint bertanya, seolah-olah dia tidak menginginkan jawaban. Dia berbalik, memegangi kepalanya, bersandar di dinding lift dan menatapku mawas diri.
Selama dua minggu pertama, aku dan Him sering jalan-jalan, tapi setelah itu, kami terlalu sibuk hingga kami berpisah. yang berarti jarak fisik.
Tetapi dia masih sering meneleponku dan aku membalasnya dan terkadang tidak, terkadang tergantung suasana hatiku.
Dia bersandar di dinding lift dan menatapku sambil berpikir.
"Aku berpikir kamu sudah bosan."
“Kenapa kamu mengatakan hal itu?”
Meskipun aku tidak suka cara teman Him memandangku seperti ini. Tetapi, saat ini, aku tidak ingin menunjukkannya.
Aku menatap mata tajam itu tanpa takut. Mungkin yang terbaik adalah tidak memberi tahu Techint bagaimana perasaanku padanya.
"Entahlah, sepertinya kamu tidak ingin berhubungan dengan teman-teman Him..."
Bukan hanya karena aku tidak ingin berurusan dengan teman-temannya. Aku tidak ingin ada hubungan apa pun dengan siapa pun. Termasuk Him.
“Benarkah?”
Aku bertanya sambil tersenyum sambil melanjutkan.
"Kami masih baik-baik saja.."
Techint lalu tersenyum, tepat ketika lift di lantai delapan terbuka.
"Aku pergi dulu"
“... "
Aku tidak menjawab apa pun dan Aku hanya tersenyum enggan.
Techint tidak menungguku mengatakan apa pun. Dia keluar dari lift dan berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal.
Saat pintu lift tertutup, dia tampak lebih tajam menatapku dari biasanya saat aku menatap matanya.
Aku sedikit lega ketika pintu lift tertutup dan aku terus melanjutkan perjalanan ke lantai berikutnya.
Techint adalah orang yang sangat sulit untuk dipahami.
Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan ketika kami berbicara. Pintu lift terbuka di lantai sepuluh, jadi aku pergi ke kamar Chao Chom.
---
Kamar Asrama Chao Chom
Nail Pov
Chao Chom datang membukakan aku pintu, kondisinya sepertinya tidak terlalu baik tapi tidak terlalu buruk.
Rambut sebahunya terlihat acak-acakan, terlihat lelah, bibirnya pecah-pecah seperti tak pernah menyentuh lip balm.
“Aku bilang kamu tidak perlu datang kesini..”
Chao mengatakan itu begitu dia melihat wajahku saat dia membuka mulut untuk mengulangi apa yang dia katakan di telepon satu jam yang lalu.
“Aku harus melihat keadaanmu untuk memastikannya..”
Aku mengatakan itu sambil memasuki kamar asramanya dan berjalan langsung ke ruang tamu.
Chao segera menutup pintu, mengikutiku dan duduk di sofa empuk.
“Kenapa kamu bisa sampai sakit?!”
"Aku sudah bilang padamu, ini bukan masalah besar..."
“Aku sudah datang, apakah kamu akan pergi?”
“Ugh!”
Aku mendengar Chao mendesah malu-malu, jadi aku punya waktu sejenak untuk bertanya kepadanya.
"Apakah kamu sudah minum obatnya?"
“Belum.... Aku baru bangun, aku merasa lelah, jadi aku tertidur."
“Bukankah.. tadi kamu bilang kamu baik-baik saja?”
"Yah, ini bukan masalah besar."
Aku menghela nafas, sedikit ironis.
“Aku membelikan bubur untukmu.”
Itu saja yang kukatakan dan aku pergi ke dapur untuk menuangkan bubur itu ke dalam mangkuk.
Aku lalu berjalan kembali ke tempatku untuk duduk di samping orang yang sakit itu.
"Jangan mendekat, kamu akan demam, kamu mudah sakit dan mati."
Chao Chom mengangkat mangkuk dan duduk di sofa bersebelahan.
Benar kata dia, aku mudah sakit. Aku tipe orang yang sering sakit, tapi tidak terlalu parah, tetapi tidak terlalu sering juga.
“Setelah makan, minum obatnya juga..” perintahku.
"Ya, Bu.."
"Aku bukan ibumu."
"Yeah.. Kamu memang bukan ibuku.." dia tersenyum dan melanjutkan.
"Apakah itu ibu?"
"Itu? Aku adalah ibu baptismu dan temanmu..”
Meski akhir-akhir ini aku dan dia tidak bertemu satu sama lain, Chao masih menunggu mobilnya didaftarkan.
“Bubur itu, kamu mau makan atau aku akan menuangnya?”
Aku mengancam akan ‘menuangkan bubur padanya’
Tentu saja dia mengerti maksudku.
“Iya.. aku makan..”
keluh orang sakit dengan acuh tak acuh sebelum mencoba makan bubur dalam diam.
Aku merasa ponselku bergetar, lalu aku segera mengeluarkannya untuk memeriksa pesan Line.
Aku bersembunyi dari Chao.
Him
Apakah kamu mau menemuiku besok?
Neil
Yeah..Kita sudah lama tidak bertemu..
Aku rasa tidak masalah jika kita bertemu..
Aku menjawabnya dengan bercanda.
Neil
Orang seperti apa yang ingin kamu temui?
Him
Aku ingin menemuimu..
Aku ingin bertemu denganmu dan menyodokmu dengan keras sampai kamu tersenyum senang lalu menciummu dengan keras.
Setelah membaca pesan itu, aku menahan senyum karena takut mendengar Chao mengolok-olok diriku.
Chao sangat suka memperhatikanku saat aku membalas chat.
Namun tidak kali ini dia sedang duduk dan memakan buburnya tanpa peduli kepadaku. Chao terlihat menundukkan kepala untuk makan seolah-olah ingin bubur itu cepat habis. 😅
Aku mengalihkan perhatianku dari Chao Chom untuk menulis balasan sambil tersenyum sebelum meletakkan ponselku tanpa memperhatikannya lebih jauh.
Cium aku di seluruh tubuhku. 🥰
TBC
Vote and comment
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro