Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8 - METIS SOURDREAM SCONE

~~~

Ava jelas kaget dengan reaksi yang ditampilkan Moga. Kebingungannya berlipat dengan pertanyaan Moga, padahal tujuannya datang ke Metis Patisserie sudah jelas untuk urusan pekerjaan, yang sama sekali tidak relevan dengan preferensi personalnya.

"Nggak perlu saya ingatkan bahwa tujuan utama saya ke sini adalah atas nama Lemongrass Magazine, kan?"

Jawaban itu sepertinya tidak cukup membuat Moga puas karena terlihat dari eskpresi yang belum berubah. Diikuti sikap diam, Moga terlihat memproses balasan Ava sebelum akhirnya bersuara.

"Boleh saya tahu alasannya?"

Pertanyaan tersebut ditanggapi Ava dengan defensif. Bukan karena kata-kata yang terucap, tetapi cara Moga menyampaikannya. Ava merasa dipandang sebelah mata hanya karena dirinya mengatakan tidak begitu menyukai makanan manis. Seolah hal tersebut mewakili semua yang berkaitan dengan dirinya.

"Apakah rasa nggak suka setiap orang perlu dijelaskan?" tanya Ava balik. "Sometimes people just don't like something simply because they don't like it."

"In your case, an explanation is needed."

"Apa yang membuat ketidaksukaan saya atas makanan manis berbeda dengan rasa tidak suka yang lain?"

Senyum yang ditunjukkan Moga saat ini tidak lagi dianggap Ava sebagai pemanis. Dia menganggap Moga meremehkannya. Terlebih setelah pria yang duduk di depannya ini mengedarkan pandangan ke setiap sudut Metis Patisserie yang dapat dijangkau penglihatannya sebelum kembali menatap Ava.

"Karena kamu bekerja di food magazine. Sesederhana itu."

Mulut Ava terbuka, menganga tidak percaya. Dia menyangka jawaban yang akan didengarnya lebih punya bobot, tetapi yang dia dapat justru alasan yang sungguh dangkal. Tawa kecil Ava lolos dari mulutnya karena merasa ucapan Moga begitu absurd.

"Apakah kemudian saya nggak boleh menyukai makanan tertentu hanya karena pekerjaan saya berkaitan dengan makanan? Majalah saya saja nggak pernah punya aturan tertulis tentang itu." Ava menyibakkan rambutnya dengan santai. "Berdasarkan pengalaman saya yang sudah lima tahun bekerja di food magazine, tidak semua orang punya kewajiban menyukai semua yang mereka liput. Food, at the end of the day, is still about preference. Apakah kamu merasa lebih tahu tentang dunia food magazine dibanding saya?"

"Lalu, bagaimana kamu bisa menulis artikel yang obyektif dan nggak bias jika kamu bahkan nggak menyukai apa yang kamu makan?"

"Apakah kamu sekarang mempertanyakan keprofesionalan saya dalam bekerja?" sahut Ava cepat dan tegas.

Ava mengabaikan fakta bahwa pertanyaan yang diajukannya tersebut terdengar lebih seperti tuduhan. Selain komentar mengenai kegemaran merapikan meja kerja yang sering dialamatkan kepadanya, Ava memang sensitif setiap kali keraguan akan etos kerjanya dikemukakan. Baginya kerapian dan profesionalitas adalah dua prinsip yang digenggamnya dengan erat dan enggan dia kendurkan. Terlebih jika ucapan tersebut datang dari orang yang baru dia kenal dan tidak mengetahui track record pekerjaannya.

"Saya hanya penasaran dengan cara kamu meyakinkan pembaca ketika kamu sendiri nggak menyukai satu hal. Buat saya, terasa seperti sebuah pembohongan publik."

Tawa kedua Ava meluncur begitu saja tanpa bisa ditahan. "Sejak kapan media selalu menyajikan berita yang faktual tanpa diselipi kebohongan? Kamu naif sekali kalau berpikir bahwa setiap berita yang kamu baca adalah kebenaran mutlak. Apalagi Lemongrass adalah sebuah majalah, bukan surat kabar. Kenapa kamu peduli sekali dengan fakta bahwa saya nggak suka makanan manis?"

Ava menyaksikan Moga diam sebelum pria itu menyatukan dua tangannya di atas meja dan mencondongkan sedikit tubuhnya. Sepasang mata biru cerahnya mendarat dengan cepat pada wajah Ava yang masih tampak ingin mengaum hebat.

"Karena saya peduli dengan tempat ini. Setiap sudut, setiap gram gula dan tepung yang digunakan untuk membangun Metis, penting bagi saya. Saya mau setiap publikasi tentang Metis dilandasi kebenaran, bukan dugaan, apalagi kebohongan. That's not how I built this place for."

Otak Ava dipenuhi berbagai cara demi membalas kalimat yang diserukan Moga. Namun dia akhirnya menemukan satu yang pasti akan menyinggung ego pria yang duduk di depannya. Saat ini Ava memerlukan pelampiasan, dan jika yang disajikan kepadanya adalah berdebat dengan co-owner sekaligus Head Pastry Chef sebuah patisserie, dia tidak peduli.

"Lalu apa pendapat Anda mengenai kontribusi makanan manis yang Anda ciptakan terhadap jumlah penderita diabetes di Indonesia yang terus meningkat?" tantang Ava. Dengan cepat dia meraih tablet dan mengetikkan 'data diabetes di Indonesia' pada mesin pencarian. Begitu menemukan artikel yang dicarinya, Ava melafalkannya dengan cukup lantang. "Indonesia menempati urutan ke-5 dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia. Pada tahun 2020, penderita diabetes di Indonesia mencapai angka 18 juta, meningkat 6,2% dibanding tahun 2019. Diprediksi bahwa pada tahun 2030, jumlah tersebut bisa meningkat dua sampai tiga kali lipat." Ava lantas memandang Moga selepas mengutarakan statistik tersebut dengan senyum merekah. "Anda yakin tidak punya andil akan itu dengan mendirikan Metis?" Ava bahkan dengan sengaja kembali ke mode formal dengan menyebut Moga dengan 'Anda' dibandingkan 'kamu' seperti sebelumnya.

"Oh please, don't lecture me with that elementary bullshit."

Senyum Ava semakin lebar karena tahu dia sudah menyenggol ego seorang Kastra Moga. "Anda menyebut saya nggak profesional hanya karena saya nggak suka makanan manis. Apakah salah jika kemudian saya menguraikan fakta tentang penyakit yang salah satu penyebabnya adalah konsumsi gula yang berlebihan, yang pastinya menjadi salah satu bahan utama untuk semua kue yang ada di sini? Apa bedanya?"

Mereka berdua lantas memasuki kontes saling pandang dengan Ava yang merasakan ruang kosong yang menjembatani keduanya pekat oleh rasa enggan untuk mengalah. Ava jelas tidak akan membiarkan pria seperti Moga mencemooh profesinya—apalagi majalah tempatnya bernaung—hanya karena preferensinya tidak sejalan dengan artikel yang dia tulis. Jika pria itu bisa melontarkan pendapat serupa, Ava tidak melihat alasan dirinya harus menahan diri.

Sedetik kemudian, Moga bangkit dari duduknya. Dengan cepat dia meninggalkan Ava yang mulutnya menganga kaget. Dia terkejut mendapati ternyata Moga tidak berani beradu fakta dengannya. Ava tersenyum puas.

Namun tidak lama Moga kembali menghampiri mejanya membawa sesuatu di tangannya. Begitu pria itu mendekat, Ava menyadari bahwa yang ada di tangan Moga tampak seperti satu buah scone. Senyum di wajah Ava melemah sebelum hilang ketika Moga meletakkan scone tersebut di hadapannya setelah dia menempati kursi yang sempat ditinggalkannya.

"Bukti bahwa nggak semua yang ada di tempat ini punya tendensi membuat orang terkena diabetes," jelas Moga ringan. "Saya menyebut ini sebagai Metis Sourdream Scone, karena terbuat dari sourdough starter, dengan sedikit campuran rosemary dan parsley. Asal Anda tahu, gula diperlukan di setiap resep yang Anda temui di setiap toko kue, nggak peduli hasil akhirnya nanti adalah chocolate cake atau scone. Baking is science, and not everything is centered around sugar.Rasanya pengetahuan Anda mengenai baking masih sangat mendasar sampai nggak mengetahui bahwa setiap resep memerlukan gula, bahkan makanan Indonesia yang penuh rempah sekalipun." Menyandarkan punggungnya, Moga seolah ingin menunjukkan fakta yang ditumpahkannya sulit dibantah. "Apa yang Anda harapkan dari sebuah patisserie? Makanan yang nggak penuh dengan gula?" Pertanyaan itu diikuti Moga dengan sebuah tawa kecil. "If so, then how naïve you are."

Tarikan napas Ava tidak hanya berisi oksigen, tapi juga berbagai kata-kata pedas yang sekuat mungkin dia simpan demi menghindari pertengkaran di tempat umum. Situasi di Metis memang tidak ramai, tapi satu yang paling dibenci Ava adalah memancing keributan. Dia mengembuskan napasnya perlahan dan satu per satu, memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

Ava harus mengakui Moga dengan cerdik menyenggol egonya. Hanya saja Ava malas menanggapi setiap ucapan pria yang tampak sangat angkuh jika tidak ingin timbul masalah di antara mereka atau buruknya, efek dari dirinya yang tidak mampu menahan emosi, menjadi lebih panjang.

"Selamat siang dan terima kasih."

Dengan itu, Ava tidak hanya menjauh dari meja yang sedetik lalu masih dijadikannya tempat menyandarkan siku, tapi juga dari pandangan Kastra Moga yang ikut terseret dengan setiap langkah yang diambil Ava.

Menyadari dia diperhatikan, membuat Ava mempercepat ayunan kaki supaya bisa melampiaskan kekesalannya di dalam mobil. Ini adalah jenis emosi yang tidak bisa dia tahan sampai tiba di rumah nanti.

Begitu bunyi beep terdengar, Ava membuka dan menutup pintu mobil dengan tenaga yang lebih besar hingga menimbulkan suara berdebum ringan. Begitu yakin sabuk pengaman telah terpasang sempurna, Ava memukul kemudi sekuat tenaga.

"Apa sih maunya orang itu?" serunya dengan mengerahkan seluruh energi yang disisihkannya khusus untuk tujuan ini. "Seenak jidatnya sendiri nganggep aku naif. Dikiranya aku bodoh apa? Aaaargggggh!"

Tidak cukup memukuli kemudi yang tidak punya satu kesalahan pun, Ava juga mengentakkan kaki berkali-kali sementara mulutnya masih meracau. Ketika ponselnya berdering, Ava hanya mengucapkan, "Siapa sih?"

Begitu mendapati nama Brama, kekesalan Ava menjadi semakin bertumpuk. Tanpa mengangkatnya, Ava bertanya kepada kekosongan yang ada di sekelilingnya, "Mau apa lagi ini orang satu? Belum cukup kamu bikin hidupku sengsara?"

Tentu saja tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan tersebut selain Ava sendiri karena mustahil baginya mendengar respon dari yang bersangkutan.

~~~

Halo semua,

Seru nggak perdebatan Ava sama Moga? Sama-sama nggak mau ngalah, hahahaha.

Anyway, saya pengen posting aja di tengah minggu. Semoga ke depan bisalah dua kali seminggu posting-nya.

Semoga suka bab ini!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro