Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - SACHERTORTE


~~~

To: ava@ lemongrassasia.io

From: brama@ lemongrassasia.io

Subject: Re: First Draft

Ava,

Your first draft is not excellent yet. It lacks the 'punch' that usually comes with your writing.

See attached correction for your reference.

If needed, you can always go back to Metis Patisserie and have a deeper conversation with Chef Kastra. I heard he's quite approachable and friendly.

Let me know if you need any assistance from me.

Thank you.

Regards,

Brama


Membaca surel tersebut, Ava benar-benar menahan sesak di dada. Dia sempat memegang tetikusnya sedikit lebih erat. Dorongan bangkit dari duduknya dan meminta klarifikasi Brama mengenai maksud kalimat pria itu cukup besar. Alih-alih melakukannya, Ava memilih untuk menarik napas dalam demi menenangkan emosi.

Berkali-kali, Ava mengingatkan diri tentang posisi Brama sebagai assistant editor dan suka tidak suka, dia tetap harus melapor kepada pria itu. Sekali lagi, Ava membaca setiap kalimat yang dituliskan Brama sebelum membuka koreksi yang dikirimkan kepadanya.

Tidak perlu waktu lama bagi Ava untuk tahu bahwa catatan yang diberikan Brama sebenarnya bisa dia koreksi dengan cepat. Namun dia tentu lebih memilih opsi pergi ke Metis Patisserie daripada harus tinggal di kantor dengan perasaan sebal. Setidaknya berada di Metis Patisserie akan membuatnya lebih bisa fokus bekerja dibanding berada satu bangunan dengan pria yang masih bisa menyulut kekesalannya.

Maka Ava pun membalas surel Brama dengan pendek.


To: brama@ lemongrassasia.io

From: ava@ lemongrassasia.io

Subject: Re: Re: First Draft

Brama,

Noted for the correction.

I will go back to Metis Patisserie and then will work from home afterward.

Just let me know if you need anything from me.

Regards,

Ava


Memainkan pulpen di tangan, Ava dengan segera menyusun daftar pertanyaan lain berdasarkan catatan yang diberikan Brama. Bukan karena dia mengakui bahwa koreksi Brama benar, tapi supaya dia punya persiapan jika nanti sampai di Metis Patisserie dan bertemu Moga. Ava tidak ingin tertangkap basah pergi ke sana karena dia enggan berada di kantor. Dengan daftar di tangan, dia bisa menggunakannya sebagai tameng.

Segera setelah yakin, Ava mematikan komputer kantor dan menyambar totebag serta tas laptopnya. Berada di Metis Patisserie akan jauh lebih membuatnya produktif dibanding berada di kantor dan diingatkan tentang kegagalannya menjadi assistant editor, belum lagi keberadaan Brama yang dengan mudah mengubah suasana hatinya.

"Mau ke mana, Va?" tanya Rida ketika dia lewat kubikel rekan kantornya tersebut.

"Mau ke Metis. Brama minta aku ke sana karena dia punya beberapa catatan."

"Jangan-jangan ke sana pengen ketemu chef pastry-nya lagi."

"Very funny, Rida," balas Ava dengan sarkasme singkat. "See you tomorrow!"

Ava memang sedang malas menanggapi ucapan Rida yang seringnya berakhir menjadi gosip. Rekan kantornya itu memang baik, hanya saja hobinya membuka mulut seringkali membuat Ava jengah karena tidak produktif dan buang-buang waktu. Meskipun tidak pernah mendapatkan konfirmasi, Ava tidak akan kaget jika gosip yang sempat beredar tentang dirinya dan Brama dulu bermula dari Rida. Memang tidak disengaja atau ada niat buruk, tetapi akibatnya tetap sama.

Satu yang disukai Ava dari Bali adalah tidak adanya gedung pencakar langit seperti di Jakarta. Awal di sini dia merasa aneh, tetapi kemudian dia justru terbiasa dengan turun ke lantai melalui tangga, bukan lift dari lantai puluhan ke lobi.

Namun Ava juga benci satu hal. Jalan dari kantornya yang ada di Dewi Sri menuju ke Umalas adalah titik-titik macet di Bali, terutama pada jam-jam tertentu. Tidak peduli jalan mana yang dipilihnya, macet sudah pasti akan dialaminya. Tidak separah di Jakarta, tetapi alasan Ava pindah ke Bali adalah karena sudah lelah dengan tingkat kemacetan di ibu kota. Untuk apa pindah ke Bali kalau tetap terjebak macet?

Setelah hampir satu jam, Ava akhirnya sampai di Metis Patisserie. Meski sempat hampir menyerah karena macet yang tidak berkesudahan, Ava memantapkan diri tetap bertahan pada tujuannya. Maka begitu memarkir mobil, dia diam sejenak sebelum keluar dan mengayunkan kakinya memasuki Metis.

Ava terpejam sesaat, memanjakan hidungnya dengan aroma segar roti yang baru dikeluarkan dari oven bercampur dengan kopi. Senyumnya mengembang hingga dia tidak sadar bahwa Mona, salah satu staf yang membantu Ava saat dia datang ke sini bersama Sabrina, sudah berdiri di depannya.

"Selamat datang kembali ke Metis, Mbak Ava."

Terperanjat, Ava membuka matanya dan tampak sedikit gelagapan. Namun dengan cepat, dia menguasai diri. Ava tersenyum.

"Hi Mona. Apa kabar?"

"Baik, Mbak. Mau ketemu Chef?"

"Sebenernya nggak juga, sih," kilah Ava. "Tapi kalau Chef Kastra ada dan nggak sibuk, saya masih ada beberapa pertanyaan yang ingin diajukan."

Mona menoleh sebentar ke arah salah satu pramusaji yang sedang membersihkan meja dan bertanya dalam bahasa Bali. Tidak lama kemudian, Mona kembali memandang Ava.

"Chef lagi briefing sih, Mbak. Duduk dulu aja, nanti biar Chef yang datengin meja Mbak Ava kalau udah selesai dan punya waktu."

"Nggak apa-apa sih, Mona. Nggak urgent juga sebenernya."

"Mbak Ava mau pesen apa? Biar saya ambilin."

"Kopi aja dulu. Saya sepertinya juga mau kerja sebentar."

"Nggak mau pesen kue, Mbak?"

Ava terdiam sejenak sebelum berujar,"Surprise me."

Mona tersenyum lantas mengangguk. "Ditunggu ya, Mbak."

Setelah mengucapkan terima kasih, Ava menghampiri satu meja yang ada di sudut sebelum dia duduk dan mengecek ponselnya. Ada satu surel dari Brama, tapi Ava enggan membacanya. Dia membuka tablet dan melihat kembali daftar pertanyaan yang dibuatnya secara mendadak tadi di kantor.

Sedetik kemudian, Mona menghampirinya dengan secangkir kopi dan satu porsi kue cokelat yang tampak pekat. Tanpa sadar, dia meringis ngeri membayangkan tingkat kemanisan kue tersebut.

"Silakan, Mbak Ava. Chef Kastra sepertinya sebentar lagi selesai."

"Makasih, Mona."

Begitu Mona berlalu, Ava meriah garpu dan mengiris sedikit ujung kue cokelat yang ada di hadapannya. Dia tidak mengingkari bahwa Moga berhasil meracik sesuatu yang berbeda dengan kue cokelat ini. Ava tahu ada nama untuk kue ini, tapi otaknya sedang tidak mampu diajak berkompromi untuk mengingatnya.

Di luar dugaan, Ava tidak merasakan manis berlebihan layaknya kue cokelat pada umumnya. Ada selai jambu yang diselipkan di antara lapisan kue cokelat dan membuat aromanya tidak didominasi oleh cokelat.

Jika harus menuangkannya ke dalam tulisan, Ava mungkin akan menggunakan kalimat seperti, 'the combination of—surprise—guava jam, chocolate cake, and the chocolate icing, worked like magic, the trifecta of flavors,' demi mendeskripsikan rasa yang sedang berdansa di mulutnya saat ini. Tanpa diduga, Ava memasukkan lagi satu suapan tepat ketika Moga melambaikan tangan dan mulai berjalan ke arahnya.

"Aha, sepertinya Anda suka Sachertorte. Well, my version of it anyway." Moga mengulurkan tangan. "Anda apa kabar?"

Yes, itu namanya! Sachertorte, seru Ava dalam hati. Girang karena dia punya nama untuk mendeskripsikan kue yang tersaji di hadapannya.

Formalitas yang ada di antara mereka cukup membuat Ava tidak nyaman hingga dia lantas mengatakan sembari menjabat tangan Moga, "Can we drop the formality? Panggil saja Ava tanpa embel-embel."

Moga tersenyum sebelum mengangguk. "Jika memang itu yang kamu mau. Ava, apa kabar?"

"Saya baik-baik saja." Ava lantas mengedarkan pandangan ke beberapa sudut Metis yang tidak terlampau ramai. "Nggak sibuk?"

"Just had a briefing with the staff, and yes it's not as busy as it usually is."

"Kamu nggak harus ke sini kalau sibuk. Ada beberapa pertanyaan yang bisa saya kirim melalui email."

"Kamu sudah di sini, jadi kenapa nggak tanya langsung?"

Ava memperhatikan pandangan Moga masih terfokus pada chocolate cake yang sudah setengah tandas. Dia tidak tahu kenapa tatapan Moga kali ini mengusiknya.

"Kenapa?"

"Memikirkan waktu saya menciptakan versi Sachertorte ini." Moga tampak menerawang sebelum dia melipat kedua lengannya di atas meja. "Ini adalah salah satu kasus di mana saya mempertanyakan, apakah harus mendobrak kue yang sangat klasik dan punya sejarah panjang, atau membiarkannya seperti resep aslinya." Moga mengedikkan bahunya. "Akhirnya saya memilih untuk menyatukan visi saya bahwa semua resep yang ada di Metis harus bisa mempersatukan Indonesia dan Barat, apa pun definisinya."

Ava haya bergumam pelan mendengar penjelasan itu. Dia tidak tahu banyak mengenai sejarah sachertorte kecuali bahwa kue cokelat itu berasal dari Austria dan sempat jadi perdebatan di meja hijau mengenai siapa yang berhak menggunakan nama original sachertorte, apakah Sacher Hotel atau Demel Pastry Shop.

"Saya jujur nggak suka makanan manis. Jika bukan—"

"Wait a minute!" sahut Moga dengan pandangan bingung, seperti tidak sadar telah memotong kalimat Ava. "Apa saya nggak salah dengar?"

Dengan tenang, Ava menggeleng. "Saya memang nggak suka makanan manis. Kenapa memangnya?" Dia ganti bertanya.

"Lalu, apa yang kamu lakukan di sini kalau nggak suka makanan manis?"


~~~

Halo semua,

Semoga masih sabar nunggu cerita ini yang update-nya seminggu sekali. Maafkan ya, bisanya memang baru cuma segini, belum bisa rutin. 

Semoga tetep suka dengan Foolish Games.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro