5 - TARTE TATIN
~~~
Setelah menunda pergi ke Metis Patisserie selama hampir seminggu—Ava tanpa berhenti memaki diri sendiri karena membiarkan perasaan tidak sukanya kepada Brama mengintervensi profesionalitas yang dijunjung tinggi—dia menyerah.
Pagi itu Ava menatap cermin di kamar mandi dan meluapkan semua kekesalannya, berpura-pura Brama sedang berdiri di hadapannya. Sekalipun aksi tersebut gagal mengosongkan kegundahan hati, Ava menggenggam kembali tujuan dia harus menjalankan permintaan pria itu. Maka dengan satu tarikan napas, dia lantas menghubungi Sabrina dan memaksa sahabatnya agar menemaninya ke Metis. Alasan pertama karena Ava enggan ada di tempat yang menunya tidak akan bisa dia nikmati, dan alasan kedua karena Sabrina pecinta makanan manis sejati. A win-win solution.
"Aku denger banyak opini bagus soal Metis," ujar Sabrina sembari memajukan kepalanya, memastikan dia sudah memarkir mobilnya dengan benar dari balik kemudi. "Tapi kenapa sepi, ya?" tanyanya begitu menyadari bahwa halaman parkir Metis Patisseries terlihat kosong.
"Hype doang kali," celetuk Ava setelah melepaskan sabuk pengaman. "Aku juga nggak yakin kenapa Brama kasih assignment ini ke aku."
"Sebagai tebusan rasa bersalah?"
"Kayaknya lebih pas disebut sebagai hukuman karena dia tahu aku nggak terlalu suka dessert," ujar Ava seraya mengecek kembali daftar pertanyaan yang sudah dia susun, memastikan tidak ada yang terlewat. "Udah siap?"
"Ava, emangnya kita mau perang?"
Mengabaikan pertanyaan terakhir Sabrina, dengan cekatan Ava membuka pintu mobil tanpa membawa tas. Dia hanya menenteng tablet, ponsel, dan dompet berisi kartu kreditnya karena ingin praktis. Begitu turun dari mobil, Ava langsung mengambil beberapa foto interior bagian luar Metis Patisserie yang didominasi warna hijau tua sebagai bahan referensi. Melihat bangunan ini, sulit bagi Ava untuk tidak memikirkan Paris karena arsitektur seperti Metis merupakan hal yang lumrah di setiap sudut kota itu. Dia tahu akan ada fotografer profesional yang datang untuk mengambil gambar yang jauh lebih bagus. Karena melihat Sabrina belum juga keluar dari mobil, Ava memutuskan untuk tidak menunggu sahabatnya itu.
Begitu langkah Ava mendekat, pintu di bagian depan Metis Patisserie terbuka dan selama beberapa detik, tidak ada yang bisa Ava lakukan selain menghentikan ayunan kakinya dengan tiba-tiba. Dia memandang pria berpakaian koki abu-abu muda itu sebelum matanya turun dan melihat nama yang tercetak di bagian dada sebelah kiri.
"Ava dari Lemongrass?"
Semburat garis-garis tipis muncul di kening Ava saat telinganya menangkap suara berat yang terdengar sangat Indonesia—walau logat bulenya masih cukup kental—kontras dengan warna kulit, mata, dan rambut yang menunjukkan pria di depannya seratus persen bukan orang Indonesia.
"Kastra Moga."
Hanya itu yang sanggup diucapkan Ava begitu rasa penasarannya terbayar.
"Selamat datang di Metis Patisserie. Sendirian?"
Belum sempat menjawab, suara sepatu Sabrina terdengar mendekat hingga sahabatnya tersebut berdiri di sebelahnya. "Sama temen," balas Ava singkat. "Thank you for meeting us, Chef Moga. Nggak keberatan kan saya panggil dengan nama itu?" Ava dengan anggun mengulurkan tangan yang langsung disambut Moga tanpa ragu. Ava sudah memutuskan akan memanggil pria itu dengan nama belakangnya.
"Tentu saja tidak."
"Dan ini Sabrina. Dia nggak kerja di Lemongrass, tapi saya yakin dia pasti suka dengan semua kreasi yang ada di sini."
"Senang akhirnya bisa ke sini. Saya denger banyak hal bagus tentang Metis."
"Semoga sesuai dengan harapan."
Tidak lama kemudian, Moga membimbing Ava dan Sabrina masuk ke Metis Patisserie.
Kesan pertama yang ditangkap Ava adalah understated, mewah, dan klasik. Warna senada dengan dinding di luar yang tadi dilihat Ava, menghiasi panel kayu yang ada di dalam, sementara warna krem memenuhi tembok-tembok yang mengelilinginya. Bagian dalam Metis mengingatkan Ava tentang ratusan patisserie yang tersebar di Paris. Otaknya menghitung ada sepuluh meja bundar dengan kursi kayu berwarna cokelat, serta lima meja dan sofa dengan warna senada dengan panel kayu yang merapat ke dinding. Ketika menengadah, Ava mendapati bagian langit-langit dihias mural tradisional Bali. Sebuah sentuhan yang sangat cerdas dan memberi kesan bahwa Metis tidak melupakan tempat mereka berada. A French style with Balinese touch. Ava memastikan akan menggunakan kalimat itu untuk menggambarkan Metis dalam tulisannya.
Menjorok ke belakang, terdapat showcase kaca yang menampilkan warna-warna dan bentuk menarik dari kreasi Kastra Moga. Ava melirik ke arah Sabrina yang senyumnya mengalahkan anak lima tahun yang diberi satu kardus permen. Sahabatnya itu jelas lapar mata.
Satu yang mustahil diabaikan Ava adalah aroma yang langsung menyeretnya ke sebuah pagi di Paris, bertahun-tahun lalu bersama Charlie. Pria itu dengan semangat menggandeng tangannya memasuki salah satu patisserie karena ingin Ava mencoba Infinement Vanille shortbread tarte yang merupakan signature dish dari Pierre Hermé karena terbuat dari gabungan vanila dari Mexico, Tahiti, dan Madagaskar. Baru ketika bergabung dengan Lemongrass, Ava tahu bahwa untuk menikmati makanan di sana, Charlie perlu melakukan reservasi lebih dulu, ditambah nama Pierre Hermé sendiri yang sudah melegenda di dunia restoran.
"Silakan pilih apa saja yang kalian mau. Mona akan dengan senang hati membantu kalian."
Tawaran Moga itu membuyarkan lamunan Ava mengenai pagi yang sudah lama tidak menyeruak ke permukaan ingatannya. Namun mencium aroma kopi dan pastry yang baru dikeluarkan dari oven benar-benar sudah mengacaukan fokus Ava.
"Can I?"
"Tentu saja."
Sabrina bahkan tidak menunggu Moga selesai bicara untuk menunjuk beberapa item yang diinginkannya. Dia masih berdiri tidak jauh dari Moga yang wajahnya terkena pantulan lampu yang menerangi showcase. Senyum pria itu masih terpancang kuat. Ava berdeham pelan.
"Interior dan arsitektur yang menarik, Chef."
Moga menoleh. "Bisa panggil saya Moga saja, nggak perlu pakai embel-embel segala. Anda bukan staf saya."
"Tapi saya ingin menghargai kerja keras Anda untuk sampai di titik ini, yang pastinya nggak mudah."
Sabrina dan Moga mengambil dua langkah yang berlawanan. Sementara sahabatnya semakin menebalkan jarak di antara mereka, Moga justru menghampirinya. "Panggil saya Moga saja."
Sekalipun kalimat itu diucapkan dengan intonasi yang memberi Ava izin untuk bersikap lebih santai, ada otoritas yang sulit ditepis. Layaknya sebuah permintaan yang harus dituruti, bukan dibantah, apalagi ditolak. Maka Ava pun mengangguk. "Baik."
"Saya dan Angga, partner bisnis saya, memang ingin menggabungkan Bali dan Paris tanpa harus membiarkan salah satunya lebih menonjol. Makanya kami kemudian mengubah bangunan aslinya menyerupai boulangerie atau patisserieyang ada di Paris, dan membuat mural—yang identik dengan bangunan seperti ini—bertemakan Bali. A win-win solution."
Mulut Ava sudah terbuka untuk membalas kalimat terakhir Moga, tetapi dia mengurungkannya. Ava tidak ingin memikirkan kebetulan yang mendatanginya hanya karena Kastra Moga memilih kata-kata yang tadi dia gunakan sebagai alasan mengajak Sabrina ke Metis.
"Ada alasan memilih nama Metis?"
"Apakah ada yang lebih kuat dibandingkan perempuan yang menikah dengan Zeus dan melahirkan Athena?" Ketika Ava terlihat bingung, Moga menambahkan. "Dalam mitologi Yunani, Metis melambangkan kebijakan, skill, atau kemampuan. Belum lagi menurut legenda, Zeus sampai harus menelan Metis mentah-mentah ketika Metis hamil dan ada ramalan bahwa bayi laki-laki yang dikandungnya akan jauh lebih kuat dari Zeus. Talk about male's ego, huh?"
"Brutal."
Moga mengangguk. "Kami suka filosofi yang dibawa Metis. Maka dari itu, kami memilih Metis." Sedetik kemudian, Moga menepuk dagunya dengan jari telunjuk. "Boleh saya pilihkan satu dessert buat Anda?"
"Saya yakin temen saya udah bawa banyak banget. Saya rasa nggak perlu."
"But this one's special."
Belum sempat mengutarakan keberatannya—tanpa harus menyebutkan bahwa dia tidak menyukai makanan manis—Moga sudah memanggil salah satu staf yang berjaga di balik showcase dan memintanya mengeluarkan satu kue kecil berbentuk bulat dengan potongan buah di atasnya.
"Ini tarte tatin, yang pertama kali dibuat oleh dua bersaudari Caroline dan Stéphanie Tatin di akhir abad ke-19 di Hotel Tatin. Konon, Stéphanie ingin membuat pie apel, tapi dia memasaknya terlalu lama. Dia kemudian menutup panci dengan adonan pastry dan memanggangya di oven. Tanpa diduga, banyak tamu menyukainya. And this dish was born." Moga menyodorkannya ke arah Ava. "Tapi versi yang ada di Metis, saya jamin lebih enak."
Atas nama kesopanan—dan juga profesionalitas karena Ava berada di sini untuk bekerja—Ava menerimanya. "Thank you. Saya pastikan cerita itu pasti masuk ke dalam artikel tentang Metis."
"Saya harus kembali ke kitchen, tapi setelah itu, Anda bisa tanya apa saja tentang Metis, atau pastry secara umum. Kalau perlu sesuatu, Mona akan membantu Anda dan Sabrina selama saya masih di belakang."
"Terima kasih sekali lagi."
"Enjoy the experience."
Dalam hitungan detik, Kastra Moga menghilang dari pandangan Ava. Dia bahkan tidak sadar bahwa Sabrina sudah menyikutnya pelan.
"Terpesona sama kegantengan Chef Kastra Moga?"
Mendengar itu, tawa Ava terlontar pelan. "Semoga dia nggak trauma ngundang orang dari Lemongrass setelah liat berapa banyak yang kamu ambil," kilah Ava begitu memperhatikan pilihan Sabrina. "Yakin bisa ngabisin semuanya?"
"Ava, pepatah 'There's always room for dessert,' diciptakan karena alasan yang sangat jelas. Udah ah, duduk, yuk!"
Dengan satu tarikan napas, Ava mengekor di belakang Sabrina sambil membawa satu porsi tarte tatin. Sekali dia menoleh ke belakang, berharap bisa melihat Moga. Namun dengan cepat, Ava menggeleng dan mengusir keinginan konyol tersebut.
Aku di sini buat kerja, bukan buat kepo soal Moga, batin Ava.
~~~
Halo semuanya,
Akhirnya Kastra Moga muncul juga. Apa pendapat kalian mengenai male lead ini? Kasih tahu, ya.
Semoga semakin suka dengan Foolish Games.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro