32 - RAINY MOUSSE
***
Hari-hari Ava terasa begitu menjemukkan karena dia hanya mengisinya dengan pekerjaan. Rida bahkan sempat mengingatkan kebiasaan Ava tinggal di kantor melebihi jam kerja sudah melampaui batas normal. Ava tentu saja bersikap tidak acuh. Bagi Ava, pekerjaan adalah topeng sempurna demi menutupi kegundahan hatinya. Tidak ada yang mencurigai bahwa Ava telah menyayat hatinya sendiri dengan sebuah keputusan tergesa-gesa.
Di luar kantor, dia lebih sering menghabiskannya di rumah sambil sesekali mengiyakan ajakan Sabrina makan di luar meskipun harus dipaksa. Ada kekosongan yang menolak beranjak, tidak peduli betapa keras usaha Ava menutupinya. Kerinduannya dengan Moga yang dibarengi perasaan bersalah terkadang mencuat, dan yang bisa dilakukan Ava hanyalah mengalihkannya dengan melakukan hal lain.
Mendung seharian serta gerimis yang bertahan dari pagi membuat Ava enggan pergi ke kantor. Dia menuntaskan seluruh pekerjaan dari rumah dan ketika malam menjelang, dia pun bermalas-malasan di sofa sembari menikmati Pride & Prejudice yang entah sudah ditontonnya berapa kali. Sabrina mengirimkan banana bread hasil percobaannya dan memaksa Ava untuk mencicipinya. Dia tidak pernah tahu bahwa sahabatnya itu berminat dengan baking. Andai Moga masih ada dalam kehidupannya, dia pasti akan meminta pendapat pria itu.
Ponselnya berdering, dan ketika melihat nama Sabrina di sana, Ava langsung menjawabnya seraya mengecilkan volume televisi.
"Enak nggak banana bread-nya?"
Ava menggeleng pelan, tidak heran dengan sikap Sabrina yang lebih peduli dengan banana bread dibandingkan menanyakan kabar. "Enak-enak aja. Emangnya harus kayak gimana sih rasanya? Ya bolu pisang kan gitu-gitu aja rasanya."
"Jauh nggak rasanya kayak banana bread buatan Metis?"
"Bri, please."
Satu hal yang diminta Ava dari Sabrina adalah untuk tidak menyinggung soal Moga atau Metis Patisserie, tapi tentu saja Sabrina mengabaikannya. Ava sejujurnya sebal, tapi sejak dulu Sabrina memang jarang menuruti kemauannya untuk alasan yang Ava gagal pahami.
"Cuma pengen tahu perbedaannya. Siapa tahu punyaku lebih enak dari buatan Chef Kastra."
Ava membuang napas kesal. Entah kenapa, semakin dia menunjukkan ketidaksukaannya, Sabrina justru semakin gemar menggodanya.
"Udah ngejeknya?"
"Kok ngejek, sih? You should thank me, Ava."
"Berterima kasih buat apa?"
"Kita sahabatan udah lama banget, dan aku tahu, kamu selalu berusaha ingin menghindari sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman. Dulu kamu nggak nyaman tiap kali aku bahas soal Charlie, sekarang kejadian yang sama keulang dengan Chef Kastra. Yang kamu masih belum juga sadar, menghadapi ketakutan itu adalah salah satu cara buat cepet move on. Atau dalam kasus ini, belum terlambat buat minta maaf ke Chef Kastra."
"Bri, let's not talk about this again, shall we?"
"Anyway, besok jadi kan ya aku jemput jam 10?"
Ava sebenarnya malas bepergian, terlebih jika cuaca besok akan seperti hari ini. Namun dia sudah berjanji menemani sahabatnya itu ke Ubud, dan jika Ava membatalkannya, Sabrina akan tetap datang ke rumah dan menyeretnya keluar dari kamar.
"Iya, jadi."
"See you tomorrow, Ava!"
"Bye!"
Begitu menutup panggilan, Ava memakan kembali banana bread yang dari tadi belum juga tandas. Entah karena teringat ucapan Sabrina, atau karena memang memorinya kembali bekerja, ada rasa lain yang dikecap lidahnya.
Ava memasukkan lagi satu suapan, dan kali ini dia berusaha mengidentifikasi semua yang bisa dirasakannya. Aroma kayu manis tercium cukup jelas, tapi tidak menyengat, kemudian banana bread-nya sendiri tidak terlalu manis, bahkan Ava yakin Sabrina mengurangi takaran gulanya agar tidak menutupi manis yang keluar dari pisangnya. Teksturnya cukup lembut yang membuat Ava yakin bahwa bahan basah yang digunakan tidak hanya telur dan mentega cair. Ava mengecapnya, dan meksipun samar, dia bisa merasakan sedikit asam. Tidak diragukan lagi bahwa salah satu bahan yang digunakan adalah yogurt. Kemudian ada potongan cokelat, bukan chocolate chips yang umum dipakai.
Bukan bermaksud merendahkan kemampuan baking Sabrina, tapi Ava percaya pengetahuan sahabatnya mengenai bakingbelum sedalam itu.
Sebuah percakapan dengan Moga kembali mampir dalam pikiran Ava ketika pria itu sedang membuat banana bread dan kebetulan Ava mampir ke vilanya.
"Aku selalu pakai yogurt buat banana bread karena biar manisnya enggak terlalu kuat. Yogurt juga bikin hasil akhirnya nanti lebih lembut. Banyak yang enggak tahu bahwa sebetulnya, baking itu science karena ada beberapa bahan yang memang enggak bisa dicampur karena menimbulkan reaksi berbeda."
Ava menurunkan kedua kaki yang sebelumnya dia selonjorkan. Dia tertegun ketika menyadari bahwa banana bread ini bukanlah buatan Sabrina melainkan dari Metis Patisserie. Ava segera meraih ponsel dan mengirimkan pesan ke Sabrina.
Bri, this banana bread is from Metis.
Kamu nggak bikin sendiri, kan?
Pesan tersebut terkirim, tapi setelah menunggu sekitar lima menit dan juga belum ada balasan, Ava memutuskan untuk menelepon Sabrina. Namun panggilannya tidak dijawab. Hal itu justru semakin meyakinkan Ava bahwa dugaannya benar.
Di saat seperti ini, dia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dan menduga alasan Sabrina melakukannya. Sahabatnya itu memang punya cara yang tidak biasa untuk menyadarkan Ava, dan ini kemungkinan adalah salah satunya.
Ava bangkit dari sofa dan masuk ke ruang kerjanya, mengambil jurnal yang selalu dibawanya dan kembali ke ruang tengah. Di sana dia membuka kembali daftar mimpi yang selama ini dijadikannya tujuan hidup. Ada banyak yang masih perlu dia raih, tapi kalimat dari Syeila mencuat dalam ingatannya, terutama mengenai banyak kejadian yang tidak masuk dalam rencana dan bagaimana manusia harus menyikapinya. Ava belum bisa berkompromi dengan mimpi-mimpinya, tetapi ada satu hal yang masih bisa dilakukannya.
Dengan keyakinan yang sama, Ava bangkit dari duduknya dan tergesa-gesa menyambar kunci mobil. Dia juga tidak peduli jika hanya mengenakan celana pendek yang selama ini tidak pernah meninggalkan rumah dan kaus yang usianya mungkin sudah lebih dari lima tahun. Rambutnya hanya dikuncir asal, dan tidak ada make-up yang menghiasi wajahnya. Namun Ava tidak peduli.
Ava mengarahkan mobilnya ke Metis Patisserie, meninggalkan egonya di rumah dan membawa harapan untuk memperbaiki hubungannya dengan Moga. Jika itu sudah tidak memungkinkan, setidaknya mereka bisa berpisah dengan cara yang baik-baik, seperti yang pernah diutarakan Sabrina. Sepanjang perjalanan, senyum Ava bercampur dengan tangis bahagia. Dia akhirnya melakukan sesuatu karena memang menginginkannya, bukan demi tujuan hidup atau mimpi-mimpinya.
Gerimis mulai turun sedikit lebih deras, seperti menemani Ava dan menghujaninya dengan restu untuk memperbaiki kesalahannya.
*** TAMAT ***
Halo semua,
Akhirnya selesai juga perjalanan Ava dan Moga di Wattpad. Leganya nggak bisa diungkapkan. Seperti saya bilang di awal, karena ini merupakan bagian dari project nubar bersama Karos, maka ketika sudah selesai akan dibukukan.
Mungkin ada yang bertanya, "Kok kayak gantung gitu endingnya?" Sengaja sih biar nanti pada beli bukunya. Jadi buat tahu apakah Moga memaafkan Ava, atau malah pas Ava ke Metis, Moga udah pulang? Jawabannya ada di buku tentunya.
Versi buku nanti pasti akan berbeda dengan versi Wattpad. Tentu dengan tambahan bab dan perbaikan sana-sini. Kapan terbitnya? Untuk itu kalian harus tungguin, ya. Saya pribadi nggak mau menerbitkan buku kalau kualitas tulisannya belum layak buat dibaca. Jadi proses menulis tambahan bab serta editingnya akan makan waktu. Mohon bersabar ya.
Terima kasih sudah mengikuti cerita ini dari awal, untuk komentar dan juga vote-nya. Terima kasih banyak.
Semoga saya bisa menulis lebih baik lagi ke depannya. Kapan ada cerita baru? Ditunggu saja, ya. Yang pasti saya mau break dulu. Nanti kalau ada cerita yang memang layak untuk dibaca, pasti saya posting di sini.
Sampai jumpa semua!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro