Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31 - KLAPA PAVLOVA

***

Ada bagian dari diri Ava yang berharap Moga akan mengiriminya pesan sekalipun keinginan tersebut sangat mustahil. Lagipula, pesan seperti apa yang harus ditulis Moga ketika Ava yang justru mengakhiri kebersamaan mereka? Keputusan Ava secara jelas telah menutup semua celah bagi Moga untuk kembali. Dia harus berdamai dengan konsekuensinya meskipun hatinya sakit bukan main.

Ketika pikirannya dipenuhi skenario yang justru membuatnya semakin terpuruk, Ava perlu bertemu dengan Syeila. Dia membutuhkan opini dari pihak yang tidak mengetahui tentang Moga hingga bisa memberikan penilaian obyektif. Bercerita ke Carina, Lyra, atau Sabrina hanya akan menguatkan sesal yang menggerogoti Ava dan dia belum siap mendengarnya.

Duduk berhadap-hadapan dengan Syeila, Ava mengamati kartu-kartu yang telah terbuka. Hanya ada satu kartu yang dia paham artinya karena ketika pertama kali melihatnya, dia ketakutan setengah mati. Beruntung Syeila menenangkannya bahwa kartu tersebut biasanya punya arti yang berbeda.

"Kamu nggak lagi takut dapet kartu ini, kan?" tanya Syeila sembari menunjuk kartu bertuliskan Death.

"Tapi aku nggak pernah dapet kartu ini dalam posisi kebalik, Mbak."

Senyum Syeila tampak tulus dan tidak menghakimi. "Jika kartunya tegak, kamu tahu artinya bagus. Ada sesuatu dalam hidup kamu yang harus berakhir, ada sesuatu yang baru, atau perubahan akan terjadi. Karena letaknya terbalik, artinya juga berbeda." Syeila mengangkat kartu tersebut. "Kamu masih berpegangan pada sesuatu yang bikin kamu nyaman, Ava. Kamu masih takut dengan perubahan padahal kamu tahu ada yang harus diubah."

Sebetulnya Ava berharap kartu Death adalah representasi keputusannya mengakhiri kebersamaan dengan Moga. Sesuatu memang harus selesai demi tujuan yang lebih baik. Syeila bahkan tidak menyinggung soal pria, tapi lebih ke hidup Ava. Dia menelan ludah sembari memperhatikan kartu lainnya yang juga terbalik.

"Sedangkan ini," ucap Syeila mengetukkan ujung jari telunjuknya di atas kartu bertuliskan The Sun. "Jelas sekali bahwa ada yang membuat kamu sedih, padahal biasanya tiap kali kamu dapet kartu ini, posisinya selalu tegak." Tatapan yang diberikan Syeila seolah sanggup menembus pertahanan yang dibangun Ava. "Kamu nggak perlu cerita, Ava, tapi dari raut muka kamu aja, aku bisa bilang kamu memang lagi down." Perempuan berusia 47 tahun tersebut lantas menunjuk kartu dengan simbol pria dan wanita yang tampak bergandengan tangan bertuliskan The Lovers. "Menarik ada kartu ini lagi sekarang karena terakhir kita ketemu, kartu ini juga muncul." Senyum Syeila tersungging. "Aku ngebaca ini bukan kamu akan ketemu seseorang, tapi udah ketemu dengan seseorang. Orang ini adalah sosok yang selama ini kamu cari. Jarang sekali satu kartu muncul dua kali dalam rentang waktu yang cukup lama. Cuma satu yang bisa aku bilang, koneksi kamu dengan orang ini sangat kuat. Bahkan bisa jadi dia adalah twin flame kamu."

Twin flame adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dua individu yang memiliki hubungan jiwa yang sangat kuat. Bisa diartikan juga sebagai belahan jiwa meski definisinya tidak terbatas pada kekasih, tapi juga bisa sahabat atau mentor. Ava hanya bisa menelan ludah karena tidak ada pria lain yang memiliki koneksi kuat dengannya selain Moga.

Kartu selanjutnya adalah Justice yang juga dalam posisi terbalik dan Syeila berujar, "Hmmm, aku ngeliat bahwa kedua kartu ini," dia mengangkat kartu Justice dan The Lovers berbarengan, "saling berkaitan. Ada ketidakjujuran di sini hingga membuat banyak hal terlihat kabur." Syeila kembali memandang Ava. "Ada yang harus kamu tanyakan ke diri sendiri, Ava, apakah ada keputusan yang membuat kamu sedih karena kamu membohongi diri sendiri?"

Ingin rasanya Ava mengangguk dan menceritakan semuanya kepada Syeila, tetapi dia menahan diri. Syeila selalu berpesan bahwa tarot dan astrologi tidak bisa dijadikan acuan mutlak melainkan digunakan sebagai pedoman ekstra. Tidak semua masalah hidup bisa diselesaikan melalui sederet kartu yang dipilih secara acak.

"Sepertinya aku memang udah ambil keputusan yang didasari nafsu, Mbak," aku Ava, mulai menyadari keputusannya tentang Moga mungkin adalah keputusan terbodoh yang pernah dia ambil. "Dan meski tahu konsekuensinya, aku tetep nekat karena merasa itu yang terbaik."

"Apakah kamu nyesel ambil keputusan itu?" tanya Syeila.

"Aku nggak tahu, Mbak. Mungkin penyesalan itu datengnya nggak sekarang."

"Nggak ada penyesalan yang datengnya di depan Ava," balas Syeila sambil tersenyum tipis. "Aku percaya apa pun itu, kamu pasti udah pikirin mateng-mateng."

Ava mengangguk pelan. "Mbak Syeila, aku mau nanya sesuatu, tapi ini nggak ada kaitannya dengan tarot atau astrologi, tapi murni pengen tahu pendapat Mbak Syeila aja."

"Go ahead."

"Menurut Mbak, salah nggak sih kita berpegang teguh sama rencana hidup yang kita punya?"

Sejak kemarin, Ava sengaja menyimpan pertanyaan tersebut untuk Syeila. Dia tidak ingin mengajukannya kepada orang-orang yang mengenalnya dengan baik karena mereka pasti meyakinkan Ava bahwa tidak ada yang keliru dengan tujuan hidupnya. Ava memerlukan opini lain.

"Nggak ada yang salah, kok. Sah-sah aja menurutku berpegangan sama rencana yang kita buat. But there's just one thing, Ava," balas Syeila. "Hidup ini penuh dengan kejadian yang nggak masuk dalam rencana dan di luar jangkauan kita. Semuanya tergantung bagaimana reaksi kita menghadapi semua yang nggak terduga itu. Apakah kita marah, sedih, kecewa, seneng, bersyukur ... it's up to us. Nggak seru juga kan misalkan hidup kita isinya sesuai dengan apa yang semua kita mau? Tarot dan astrologi juga fungsinya bukan buat tahu masa depan kita kayak apa karena nggak ada yang tahu kecuali Tuhan. Ini," kata Syeila sambil mengangkat tumpukan kartu di tangannya, "hanyalah sebagai bantuan ekstra. Tanpa ini pun, aku percaya kamu udah tahu harus ngapain."

Sekalipun tidak panjang, tetapi kalimat Syeila menohok Ava. Selama ini keyakinan Ava berpedoman pada tujuan hidup yang sudah direncanakannya adalah mutlak. Dia berpikir bisa mengontrol jalan hidupnya. Hanya saja, Ava lupa bahwa ada lebih banyak yang tidak bisa dia kendalikan. Mungkin Sabrina, Carina, Lyra, bahkan orang tuanya sering mengingatkan Ava tentang hal itu, tapi dia bersikeras bahwa dialah yang punya kendali atas takdirnya.

Ava menunduk malu. Bukan kepada Syeila atau orang lain, tapi kepada dirinya sendiri.

***

Ava masih merasakan genggaman tangan Sabrina yang kuat sementara dia menceritakan semua yang belum tertumpah. Mulai dari pertemuan dengan Charlie, kemudian mengenai The Platter, kegagalannya untuk maju ke tahap interview selanjutnya, dan keputusan mengakhiri kebersamaan dengan Moga. Ditemani air mata yang masih mengalir, Ava berusaha mengurangi beban yang mengimpit dadanya sejak meninggalkan Metis Patisserie malam itu.

"I made a stupid mistake, Bri, but I couldn't take it back," keluh Ava. "Aku seharusnya jujur ke Moga tentang The Platter, dan dia pasti akan ngerti, tapi aku terlalu gengsi buat mengakui bahwa aku gagal meraih impianku, dan menjadikan Moga sebagai pelampiasan. Buat apa? Buat bikin aku ngerasa lebih baik. Tapi apakah aku ngerasa lebih baik?" Ava menggeleng kuat. "Aku justru ngerasa makin nggak adil sama Moga dan itu bikin hatiku sakit, Bri."

Menyeka pipinya yang basah sepertinya sia-sia karena air mata Ava masih terus mengalir. Dia beruntung Sabrina tidak sekali pun memotong curahan hatinya. Sahabatnya tersebut hanya mendengarkan, sesekali mengelus pundaknya dan meminta Ava untuk minum agar sedikit lebih tenang. Salah satu alasan persahabatan mereka masih terjalin hingga saat ini adalah karena Sabrina tahu waktu yang pas untuk menyampaikan pendapatnya dan tahu kapan harus diam.

"Sekarang aku harus ngapain? Aku udah ngelepasin cowok baik, Bri. Cowok yang punya potensi buat jadi pasangan seumur hidup cuma karena aku gagal lanjut interview di The Platter."

"Oke, kalau kamu siap, kita bisa bahas satu-satu." Saat Ava mengangguk, Sabrina menarik napas panjang. "Kita mulai dari Charlie. Gimana perasaan kamu waktu tahu Charlie udah nikah?"

Menyeka hidung, Ava berusaha mengingat perasaan yang muncul ketika dia dan Charlie mengobrol. "Meski tahu aku dan Charlie nggak akan balikan, ada sedikit rasa sakit yang sulit aku jelasin," balas Ava ketika tangisnya benar-benar sudah reda dan dia bisa menguasai emosi. "Aku dan Charlie bisa aja udah nikah sekarang misalkan saat itu aku mau ikut dia ke UK, dan bayangan itu sempat terlintas dalam pikiranku. Ada banyak gambaran soal aku dan Charlie, Bri. But at the end of the day, I was happy for him. Hubunganku dan dia memang udah berakhir lama, tapi baru pas di Singapura itu, aku bener-bener ngerasa punya closure sama Charlie."

"Terus gimana perasaan kamu sekarang? Setelah sekian minggu berlalu dan kamu bisa berpikir lebih jernih."

"Aku lega, Bri. Aku sekarang ngerasa nggak punya lagi ganjalan soal Charlie. Aku bisa sepenuhnya move on. Kamu bener waktu bilang bahwa hubunganku dan Charlie memang udah selesai, tapi masih ada kecewa yang belum aku sembuhkan. Meeting him was a way to heal that wound."

"Kita nggak harus bahas soal The Platter kalau memang kamu belum siap. Aku tahu kekecewaanmu besar banget karena nggak bisa lanjut."

"The more I talk about it, the less I feel sad, Bri," ungkap Ava jujur. "Meski masih berat, aku merasa mungkin memang aku belum siap untuk kerja di sana. Bukan cuma soal The Platter, tapi juga tinggal di New York karena itu sepaket. Aku akan coba lagi nanti kalau ada kesempatan. The Platter masih jadi impian terbesarku, dan ini baru usaha pertamaku. I'll keep trying."

"That's my girl!" seru Sabrina dengan senyum di wajah. "Bagus kalau kamu udah bisa ngeliat soal The Platter ini dari sudut itu. Mungkin memang belum waktunya, Ava, tapi bukan berarti kamu gagal."

Ava mengangguk mantap. "I know."

Sabrina menggeser posisi duduknya hingga dia merasa nyaman karena pembahasan berikutnya adalah mengenai Moga. "Soal Moga, gimana perasaan kamu sebenernya sama dia, Ava? Dari cerita kamu, aku bisa nebak, tapi jatuhnya jadi asumsi nanti."

"I like him, Bri. I like him a lot," jawab Ava jujur. "Berat banget buat bilang ke Moga kalau kami nggak bisa ketemu lagi karena aku tahu, dia nggak pantes dapetin itu. Makanya aku bilang ke dia, ini bukan salah dia, tapi semuanya karena aku."

"Tapi kamu nggak kasih dia alasan yang jelas, Ava. Aku nggak akan kaget misalkan detik ini juga, dia masih berusaha mencari tahu alasan kalian udahan. Bukan bermaksud ada di sisi Moga, tapi aku bisa paham jika dia ngerasa kayak gitu."

"Karena kalau aku jujur di depan Moga, aku yakin bakal nangis, Bri. Aku nggak mau Moga lihat aku nangis." Ava membuang napas. "Nggak ada lagi yang bisa aku lakuin, Bri. Semuanya udah terlambat."

Sabrina hanya bergumam pelan. "Belum telat misalkan kamu mau minta maaf, Ava. Bukan minta kalian balikan lagi, tapi seenggaknya minta maaf ke dia, dan berharap kalian bisa pisah baik-baik."

Mendengar itu, Ava menggeleng. "Aku nggak ngerasa ada perlunya melakukan itu, Bri. Aku harus nanggung konsekuensinya."

"Sekalipun itu menyakiti diri kamu sendiri?"

"It's the risk I'm willing to take."

Sabrina tampak akan mnegatakan sesuatu, tetapi dia mengurungkannya. "Jadi sekarang apa yang ingin kamu lakukan?"

"Bekerja keras," balas Ava singkat. "Nggak ada yang bisa aku lakukan selain itu. Aku harus upgrade skill menulis dan kalau waktunya pas, mungkin cari kesempatan di tempat lain jika memang posisiku di Lemongrass nggak berubah. Selebihnya ... aku nggak tahu." Ava tertawa kecil begitu kalimat terakhir itu meluncur dari bibirnya. "Aku ngerasa bukan Ava karena nggak punya rencana jelas selain soal pekerjaan."

"Ava, kamu nggak harus ngambil keputusan-keputusan penting sekarang ketika kamu masih belum sepenuhnya tenang. Just take your time."

"Aku bahkan nggak tahu apakah aku masih punya itu, Bri. Time seems to betray me, over and over again."

"Mungkin ini saatnya kamu jujur dengan diri kamu sendiri, Ava. Have a conversation with yourself. Lupakan sejenak soal to-do-list yang harus kamu raih dalam hidup. Pikirkan apa yang memang benar-benar kamu inginkan."

Ava sudah bersiap membalas kalimat Sabrina ketika dia tiba-tiba ingat dengan ucapan Syeila. Dalam hidup, banyak kejadian tidak terduga, dan semuanya kembali ke cara kita bereaksi atas semua kejadian tidak terencana itu.

Menarik napas panjang, Ava akhirnya mengangguk. "Ada banyak pertanyaan yang jawabannya cuma aku yang tahu. Dan aku harus mengidentifikasi itu semua. Satu per satu."

Ava tahu apa yang harus dilakukannya demi menemukan semua jawaban itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro