30 - MERVEILLEUX
***
Sejak kembali dari Singapura, kesibukan Ava tidak mengenal tanda koma.
Selain harus menuntaskan artikel mengenai soft opening Sage Velvet dan merangkum interview-nya bersama Gerald Lesetter, Ava juga harus menyiapkan diri untuk interview bersama The Platter. Dia berhasil mendapatkan jadwal wawancara bersama The Platter! Kebahagiaan Ava begitu luar biasa sampai dia berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil.
Semua wejangan yang diberikan Sharon diikuti Ava dengan hati-hati. Dia juga membaca kembali semua artikel yang dia tulis untuk Lemongrass dari awal untuk tahu perkembangan tulisannya seperti apa. Menurut Sharon, menelaah kembali portofolio adalah salah satu cara jitu mengukur sejauh mana perubahan tulisan Ava.
Seolah belum cukup, Ava mengambil keputusan untuk merahasiakan wawancaranya dengan The Platter dari Moga dan Sabrina. Bukan karena dia enggan membaginya atau menolak dukungan dari keduanya, tetapi Ava pantang memberitahukan sesuatu yang belum pasti. Terlebih The Platter adalah mimpi terbesar Ava. Jika dia gagal, rasa kecewanya akan sangat besar, dan Ava enggan dikasihani. Maka dia menyembunyikan fakta tersebut dari Moga dan Sabrina. Selain itu, Ava pun membatasi pertemuan dengan Moga dengan dalih dikejar tenggat waktu supaya dia tidak kelepasan bicara. Beruntung Moga paham dan tidak menggali lebih dalam dengan mengajukan berbagai macam pertanyaan.
Pertemuannya dengan Charlie di Singapura juga masih disembunyikan Ava dari Sabrina. Terlalu banyak yang berkelebatan dalam pikirannya hingga tidak tersisa ruang bagi sesuatu yang bagi Ava sudah menemui babak akhir. Sabrina mungkin akan marah karena tidak diberitahu dengan segera, tetapi Ava mengambil risiko tersebut. Ada prioritas lain yang perlu dia tangani lebih dulu.
Sebuah notifikasi masuk ke ponsel dan ketika mengeceknya, jantung Ava berdegup tidak keruan karena ada email masuk dari The Platter. Waktu wawancara tiga hari lalu, Ava memang diberitahu bahwa akan ada interview lanjutan jika dia lolos tahap pertama dan Ava diminta menunggu selama kurang lebih tujuh hari. Menarik napas dalam, Ava meletakkan tasnya di atas meja makan sebelum duduk. Dia perlu berada di posisi yang enak untuk membaca email tersebut.
Dengan satu sapuan jari, Ava membuka kuncian pada ponsel dan dengan senyum lebar, dia mulai membaca isinya. Ava yakin akan lolos karena meskipun persiapannya singkat, dia memastikan persiapannya tanpa cela, apalagi ditambah poin-poin yang diberikan Sharon. Tidak mungkin kan informasi dari seseorang yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja di The Platter diragukan kebenarannya? Terlebih Sharon mengenal Nana, dan Ava yakin, Nana tidak akan mengenalkannya kepada orang yang salah.
Semangat Ava yang beberapa menit lalu bisa membakar habis seluruh keraguan, menguap dengan cepat serta bibirnya yang membentuk senyuman perlahan tapi pasti membentuk garis lurus. Matanya dengan teliti membaca lagi isi emailtersebut dari awal hingga akhir. Tangannya bergetar hebat. Perlu beberapa detik hingga akhirnya terdengar sengguk dan air mata mengalir dari kedua sudut mata Ava.
Dia gagal melangkah ke interview selanjutnya.
Meletakkan ponselnya di atas meja, Ava tersedu. Dia meluapkan seluruh sesak yang membebani dada, berharap tangisnya akan mampu melegakan sesak yang tiba-tiba menyerang. Hancur sudah mimpinya, dan seorang Auva Zavijava tidak pernah berteman baik dengan kegagalan.
Ava tidak peduli berapa lama dia menangis, tetapi setelah merasakan sedikit lapang di dada, dia menarik napas dalam sembari menghapur air matanya. Dengan cekatan, dia meraih jurnal yang tidak pernah lupa dibawanya dari dalam tas. Dia membaca lagi tujuan hidup yang ditulisnya dan ada sakit yang belum pernah Ava rasakan sebelumnya.
· Menjadi bagian dari Lemongrass Magazine
· Meraih posisi assistant editors dalam lima tahun setelah masuk Lemongrass
· Mempertahankan posisi AE selama dua tahun
· Bekerja di The Platter dan berkantor di New York
· Bertemu Henry Cavill
· Punya rumah pinggir pantai
· Menikah DAN sudah punya anak di usia 35 tahun
Tidak ada tanda check mark yang bisa ditambahkan Ava dan dadanya kembali dipenuhi sesak. Dia gagal meraih posisi assistant editor di Lemongrass tahun ini, dan mimpinya yang lain pun tidak berhasil dia wujudkan. Waktu semakin mengejar Ava sementara dia tidak bisa menggerakkan kakinya untuk maju. Dia terjebak di satu tempat tanpa bisa melangkah.
Ava memandang lagi daftar tersebut dan sebuah kesadaran menghampirinya.
Moga tidak pernah masuk dalam tujuan hidupnya. Tidak dipungkiri dia memang menginginkan pasangan hidup—yang tingginya di atas 180 sentimeter dan menikah sebelum mencapai 35 tahun—dan juga keluarga, tapi rencana tersebut seharusnya terjadi setelah semua tujuan hidupnya tercapai. Jika dia harus menikah lebih dulu sebelum mimpinya untuk bekerja di The Platter menjadi kenyataan, Ava yakin akan melupakannya. Dia bukannya berpikiran sempit dengan menganggap perempuan yang sudah berkeluarga tidak berhak berkarir, tapi akan ada kompromi yang mustahil diabaikan. Sedangkan saat ini, Ava tidak bisa berkompromi.
Mengingat kembali semua yang sudah dilakukannya bersama Moga dan kebahagiaan yang diberikan pria itu sejak mereka bersama, Ava membasahi tenggorokan. Sebuah keputusan harus diambil, dan semakin dia memikirkannya, keputusan yang memenuhi pikirannya sekarang terlihat yang paling masuk akal.
Fokusnya sempat terdistraksi oleh kehadiran Moga, dan Ava berniat mengembalikannya ke jalan yang seharusnya.
Menuju toilet, Ava membasuh muka sebelum dia meraih ponsel dan kunci mobilnya. Dia melihat arlojinya dan yakin Moga masih ada di Metis. Pria pasti belum pulang mengingat dia harus menyiapkan beberapa menu baru untuk dicoba partner bisnisnya besok. Bisa dipastikan Moga ada di Metis, setidaknya sampai tengah malam. Ava memutuskan untuk langsung datang tanpa mengabari Moga lebih dulu seperti yang biasa dilakukannya.
Sepanjang perjalanan, dia memutar otak demi menemukan alternatif. Namun Ava tersadar, tidak ada opsi lain jika itu menyangkut mimpi terbesarnya. Ava menyiapkan batin serta menyusun kalimat yang akan diutarakannya ke Moga, memastikan dia hanya melukai perasaannya sendiri dan bukan Moga.
Jantung Ava semakin kencang ketika mobilnya memasuki halaman parkir Metis. Keputusan yang terasa begitu tepat saat dia meninggalkan rumah berubah menjadi sebuah keputusan yang terburu-buru. Terlambat bagi Ava untuk mundur. Mematikan mesin mobil, dia menarik napas dalam sembari mengumpulkan seluruh keberanian dan mengesampingkan ketakutannya. Dengan gesit, Ava keluar dari mobil dan berjalan menuju Metis Patisserie.
Langkahnya memelan sewaktu mendekati pintu dan dengan hati-hati, dia memegang gagang pintu dan mendorongnya pelan. Aroma yang menyambut indra penciuman Ava selaras dengan yang memenuhi benaknya saat ini, kompleks, sehingga dia tidak repot-repot untuk menelaah satu per satu.
"Moga?" panggil Ava. Ketika tidak mendapatkan balasan, dia berjalan menuju dapur dan aroma harum yang tadi samar-samar diciumnya, semakin kuat. Telinganya mendengar beberapa alat yang dinyalakan dan suara musik. "Moga?" ulang Ava, dan kali ini, dia yakin Moga mendengarnya.
"Ava, is that you?" balas Moga dari dapur.
"Yes, it's me."
Sedetik kemudian, sosok Moga terlihat keluar dari dapur. Pria itu sudah menanggalkan pakaian kebesarannya meski dia tetap memakai celemek. Moga berhenti sebentar di ujung pintu, sebelum senyumnya tersungging lebar.
"What a surprise!" Moga berjalan mendekati Ava, tapi langkahnya terhenti ketika mendapati Ava justru menghindar. Kedua alis Moga bertaut. "Ava, ada apa?"
"Aku perlu ngomong sesuatu." Ava menelan ludah sementara pandangannya tidak beranjak dari Moga yang masih tampak bingung dengan sikapnya. Ini pertama kali Ava menyaksikan Moga dengan ekspresi ragu bercampur bingung. "Aku nggak bisa ketemu kamu lagi, Moga. Apa yang terjadi di antara kita harus berhenti sampai di sini."
Suara Ava terdengar lantang dan tegas. Dia menekan perasaan tidak rela bercampur sakit yang mengungkungnya supaya Moga tidak melihatnya. Bertemu dengan banyak orang serta harus menjaga emosinya tetap terjaga menyiapkan Ava menghadapi situasi genting seperti sekarang.
Ada bagian dari diri Ava yang ingin menambahkan bahwa dia hanya bercanda, dan menggeser langkahnya dengan cepat mendekati pria yang tampak semakin bingung untuk memberikan pelukan kuat. Namun Ava menahan diri. Keputusannya mustahil ditarik dan dibatalkan. Melakukannya kepada pria seperti Moga sungguh menimbun sesal yang teramat dalam bagi Ava.
"What are you talking about, Ava?"
"We can't see each other again, Moga. We're done."
Pandangan mereka saling bertaut. Ava tahu Moga sedang mencerna kalimat yang baru diutarakannya. Dia memang tidak ingin bertele-tele menyampaikan maksudnya karena semakin cepat dia mengungkapkannya, semakin cepat dia bisa pergi dari hadapan Moga. Hati Ava seperti terkena godam hingga perihnya sulit lagi dia tanggung, tetapi Ava tetap berdiri diam.
"Apakah aku berhak tahu alasannya?"
"Alasannya bukan kamu, Moga, tapi aku."
Moga menggeleng. "Bukan itu jawaban yang aku minta, Ava. Seenggaknya aku pantas mendapatkan penjelasan kenapa kamu tiba-tiba datang ke sini, kemudian bilang kita enggak bisa ketemu lagi ketika semuanya baik-baik saja. Did I do something that upset you?"
"Moga, aku udah bilang ini bukan kamu, tapi aku. Kamu ngerti nggak sih?" tukas Ava frustasi. Dia tidak ingin memberikan penjelasan kepada Moga karena jika melakukannya, tangis Ava akan pecah. Dia tidak bisa menangis di depan Moga saat ini. "Can you just accept that?" Suara Ava mulai meninggi karena dia benar-benar ingin Moga membencinya.
"Dan bertanya-tanya kenapa kita enggak bisa ketemu lagi?" Moga menebas jarak yang ada di antara dirinya dan Ava, tetapi kali ini Ava tidak menghindar. "What happened, Ava?" tanya Moga dengan suara yang lebih pelan walau ada perih yang mustahil disembunyikan pria itu.
Sekuat tenaga, Ava menahan kedua lengannya agar tidak terulur untuk memeluk Moga, meminta maaf, dan memohon agar Moga melupakan semua omong kosong yang baru didengarnya. Namun Ava tidak bisa.
"Aku ... aku nggak bisa bilang, Moga." Ava lantas menarik napas panjang sebelum dia kembali menatap lekat pria di hadapannya. "It's over between us."
Dengan kalimat itu, Ava membalikkan badan dan meninggalkan Moga. Dia mempercepat langkah tanpa menoleh lagi ke belakang, tidak peduli betapa dia ingin melakukannya. Tidak ada derap di belakangnya, yang berarti Moga masih terpaku di tempatnya semula.
Air mata Ava sudah mengalir bahkan ketika kakinya masih menginjak lantai Metis Patisserie. Dia berlari kecil menuju mobil dan begitu duduk di kursi pengemudi, air matanya tumpah tanpa bisa ditahan.
Ava membiarkan tubuhnya berguncang hebat sembari berusaha menyeka pipinya yang basah. Dia sadar telah menyakiti Moga dan yang tidak diduganya, sakit itu menular ke dirinya. Masih sesenggukan, Ava menyalakan mesin sebelum mengarahkan mobilnya keluar dari parkiran Metis Patisserie. Bukan hanya Moga yang ditinggalkan Ava, tetapi dia juga harus mengucapkan selamat tinggal kepada Metis Patisserie. Dia tidak mungkin menginjakkan kaki lagi di tempat itu demi menjaga perasaan Moga.
"You're doing a good job breaking a man's heart, Ava," ujar Ava kepada dirinya sendiri.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro