Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26 - PURPLE SNOWBALLS

***

"Ava, are you home?"

Mendapatkan telepon dari Moga bukan lagi sesuatu yang mengejutkan bagi Ava. Satu hal yang Ava sukai, Moga selalu mengirim pesan singkat lebih dulu dan bertanya apakah dia bisa menghubunginya. Bagi Ava, sikap Moga menunjukkan pria itu menghargai waktunya dan tidak bisa seenak hati menelepon Ava.

Moga mengiriminya pesan beberapa menit sebelumnya, dan karena Ava memang sedang di rumah, dia mengiyakan permintaan Moga untuk menghubunginya. Tidak lama kemudian, nama pria itu muncul pada layar ponselnya. Ava tentu saja langsung mengangkatnya.

"Iya, kebetulan hari ini memang aku memilih kerja dari rumah. Kenapa, Moga?"

"Fancy some desserts? Kebetulan aku baru testing satu resep lagi."

Jika tawaran itu datang lima bulan lalu, Ava dengan tegas akan menolak. Alasannya tentu saja karena dia tidak menyukai makanan manis. Mengenal pribadi Moga lebih jauh ternyata berdampak pada pandangan Ava tentang desserts atau makanan manis. Dia masih pemilih, tapi jika Moga yang membuatnya, sulit bagi Ava untuk menolak. Pria itu tahu kecenderungannya untuk memilih makanan dengan tingkat kemanisan yang tidak berlebihan.

"Apakah aku masih harus jawab pertanyaan kamu?"

Terdengar suara tawa Moga. "Apakah itu berarti kamu suka makanan manis sekarang?"

"Nggak perlu sombong, ya. Bukan gara-gara kamu pastinya," bohong Ava. "Ya udah kirimin aja. Memang kamu baru bikin apa?"

"It's a surprise, but I know you'll love it."

"I'll wait, then."

Setelah itu, Moga mengakhiri panggilan. Sebuah pesan singkat dari Moga diterima Ava, memastikan alamat yang dia miliki sudah benar. Ava melanjutkan pekerjaan sembari menunggu pesanan dari Moga datang.

Sekitar 20 menit kemudian, bel pintunya berdering. Bangkit dari kursi, Ava langsung menuju pintu dan membukanya. Namun Ava membelalak ketika menemukan Moga yang berdiri di depan pintunya, bukan driver ojek online seperti yang dia duga.

Ava mulai merutuk dalam hati karena dia hanya mengenakan celana tidur dan kaus yang lebih layak untuk terus disimpan di dalam lemari. Dia juga tidak mengenakan make-up, hanya mengoleskan sunscreen sejak pagi yang belum dia re-applykarena tidak keluar rumah sama sekali. Rambutnya pun dia kuncir asal-asalan. Sederhananya, tampilan Ava ketika menyambut Moga hanya bisa dia masukkan ke kategori kurang pantas.

"Kenapa nggak bilang kamu mau nganterin langsung? Kan aku bisa pakai pakaian yang lebih pantas," protes Ava yang justru disambut Moga dengan senyum lebar.

"Aku sengaja enggak bilang supaya kamu memang enggak perlu menyiapkan diri secara khusus buat menyambutku."

"Tapi Moga, kamu jadi harus repot-repot ke sini cuma buat—"

"Ava, I love seeing you like this," potong Moga sebelum dia menyerahkan satu paper bag kepada Ava. "Ini yang aku janjikan tadi."

Meski masih dongkol karena dia tampil seadanya, Ava menerima paper bag dari tangan Moga dan melongok isinya. Dia melihat satu kotak dengan logo Metis di atasnya. Namun Ava tiba-tiba teringat sesuatu.

"Mau masuk dulu?"

"If you don't mind."

Dengan segera, Ava membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Moga masuk. Saat pria itu mengantarkannya pulang dari Beachwalk karena ulah Sabrina, Moga menolak masuk. Namun kali ini Ava lega karena Moga mengiyakan tawarannya.

"Mau minum apa? Sorry ya berantakan."

"Berantakan?" ulang Moga. "Ava, jika rumah serapi ini kamu anggap berantakan, aku jadi ragu mengundang kamu ke vila. Kamu mungkin perlu menciptakan definisi lain dari berantakan."

Ava tergelak. "Aku sedikit control freak kalau soal kerapian. Some people find it annoying, but I find it quite satisfying." Dia tersenyum tipis. "Jadi mau minum apa?" Ava terpaksa mengulangi pertanyaannya karena Moga belum menjawabnya.

"Air putih saja cukup."

"Sayangnya memang cuma itu yang aku punya," balas Ava. "Aku nggak akan ngajak kamu ke dapur, karena aku belum siap buat dihakimi oleh seorang chef."

"Ava, I'm not going to judge your kitchen. Trust me."

"Mungkin bukan sekarang."

Dalam hitungan detik, Ava sudah menghilang ke dapur, mengambil gelas dan botol kaca dari kulkas berisi air putih. Disetir penasaran yang cukup besar, Ava juga mengeluarkan kotak Metis dari paper bag kemudian membukanya.

Keningnya sedikit berkerut menemukan enam buah bola-bola yang berlumurkan serbuk putih. Ava mengamatinya, tetapi dia tetap tidak bisa menebak komposisi dari makanan yang baru dikirimkan Moga. Dia akhirnya membawa kotak itu ke ruang tamu bersamaan dengan air minum yang diminta Moga.

"Oke, apa ini?" tanya Ava begitu dia duduk dan mempersilakan Moga untuk minum lebih dulu.

"Coba dulu, kamu akan tahu."

Dengan pelan, Ava menggigit satu bola itu dan mulutnya langsung dipenuhi rasa legit yang jelas bukan berasal dari gula. Ternyata bola-bola tersebut aslinya berwarna ungu dan serbuk putih yang melumurinya merupakan kelapa. Namun Ava masih belum bisa menebaknya karena rasanya sedikit kompleks.

"Aku tahu serbuk putih ini adalah kelapa kering. Aku nggak pernah lihat kelapa kering dihaluskan sampai sehalus ini, tapi jenius. Sedangkan bola-bolanya ini, ada rasa ubinya, tapi aku yakin ada bahan lain yang kamu masukkan di sini. Manisnya juga aku tahu bukan dari gula." Ava lantas menatap Moga. "Aku sok tahu, ya?"

"Kamu enggak salah soal ubi dan kelapa kering," jawab Moga masih memegang gelas berisi air putih yang masih setengah serta mengabaikan pertanyaan terakhir Ava. "Kelapa keringnya memang harus dihaluskan berkali-kali sampai bisa sehalus itu tanpa kehilangan cita rasa kelapanya. Sedangkan untuk bola-bolanya, bahan utamanya memang ubi ungu. Namun ada sedikit lemon dan stroberi dalam adonannya, hanya untuk memberikan rasa yang enggak dominan ubi. Just to give a hint of sourness. Menurutku takarannya sudah pas, tapi aku masih perlu mengetesnya lagi. Oh ya, dan aku enggak pakai kacang seperti resep snowballs pada umumnya."

"Moga, this is perfect!" seru Ava. "Kamu punya nama untuk ini?"

Moga mengangguk. "Purple Snowballs." Dia lantas tertawa kecil seolah yang baru diucapkannya terdengar menggelikan. "Aku tahu namanya sangat enggak kreatif, tapi aku merasa nama itu cocok merepresentasikan tampilannya."

"Terkadang kita nggak perlu nama yang fancy atau rumit, kok. Ini enak banget. Kamu tahu aku nggak akan bohong."

"Thank you, Ava." Moga lantas meletakkan gelasnya di atas meja. "Aku tahu kamu sedang kerja, jadi aku enggak akan di sini terlalu lama. Masih ada beberapa hal lagi yang harus aku selesaikan di Metis."

Sekalipun masih ingin menahan Moga sedikit lebih lama, Ava mengangguk. Begitu Moga beranjak, Ava mengekor. Mereka berdua berjalan dalam diam menuju pintu seolah diselubungi kegugupan yang seharusnya sudah luruh.

Sesampainya di pintu, Ava berhenti tepat ketika Moga membalikkan badan dengan cukup tiba-tiba. Beruntung kedua tangan Ava bebas hingga dia bisa berpegangan untuk menyeimbangkan tubuhnya. Jika tidak begitu, bisa dipastikan wajahnya pasti sudah bertubrukan dengan dada Moga. Namun entah kenapa membayangkannya justru membuat degup jantung Ava menjadi sedikit lebih cepat.

"Ava, let's not do this anymore."

Bingung dengan kalimat tersebut, Ava memandang Moga dengan kening berkerut. "Nggak lagi melakukan apa, Moga? Perasaan kita nggak melakukan sesuatu yang ilegal," candanya.

Dengan jarak yang begitu dekat—ruang kosong di antara mereka hanyalah beberapa sentimeter—Ava dan Moga saling bertatapan. Ava membasahi tenggorokan, menunggu jawaban Moga karena dia memang tidak paham dengan maksud kalimat yang diucapkan pria itu.

"Let's see each other more often," balas Moga dengan suara yang cukup lirih. "Aku enggak bisa terus seperti ini, ketemu kamu hanya ketika ada acara khusus. Aku mau kita bisa ketemu sesering mungkin." Moga mendekatkan wajahnya sebelum tangan kirinya menyentuh pundak Ava dan dengan perlahan bergeser hingga mencapai tengkuk. "Aku akan mencium kamu sekarang karena aku enggak bisa menunggu lebih lama. Ini saatnya kamu mengambil keputusan untuk membiarkanku atau menolaknya."

Jika pria yang di hadapannya ini bukanlah Kastra Moga, tidak ada keraguan dalam diri Ava bahwa mereka akan langsung berciuman. Namun karena Moga memang sejak awal menghargai Ava dan tidak akan melakukan sesuatu tanpa seizinnya, permintaan seromantis ini pun semakin menguatkan perasaan Ava tentang Moga. Semua yang sudah dia ketahui tentang pria di depannya ini meyakinkan Ava bahwa Kastra Moga berbeda dengan pria-pria yang selama ini dikenalnya.

"Apakah kamu akan selalu minta izin buat menciumku?"

"Selama kita belum punya status, aku enggak mau membuat kamu enggak nyaman. Kalau kita pacaran, tentu saja aku enggak akan minta izin. Tapi kita enggak perlu bahas itu sekarang, atau kita juga enggak perlu membahasnya sama sekali. Kita sudah sama-sama dewasa, aku rasa enggak penting buat mendeklarasikan perasaan seperti anak remaja."

Ava hanya mengangguk. "I give you the green light to kiss me, Kastra Moga."

Selepas mengucapkan itu, Ava merasakan tangan kekar Moga menariknya mendekat dengan pelan sebelum bibir mereka akhirnya bertemu. Ava membiarkan jantungnya berdegup tidak beraturan dan semua kupu-kupu di perutnya beterbangan. Sekalipun dengan tato dan pekerjaannya sebagai seorang pastry chef, Moga tidak memaksa Ava untuk membalas ciumannya. Namun tanpa Ava sadari, dia sudah mengalungkan lengannya pada leher Moga sementara dia mencium pria itu balik.

"Okay, that was ... mind blowing!" seru Moga pelan ketika ciuman mereka usai.

Ava tergelak mendengarnya. "Thank you."

"Untuk apa, Ava? Justru aku yang harus berterima kasih karena—"

"For the Ube Snowballs," potong Ava tanpa bisa menahan senyum karena tahu Moga pasti merujuk pada ciuman mereka. "Aku rasa kita nggak perlu saling berterima kasih untuk ciumannya karena aku yakin, kita akan sering melakukannya setelah ini. Don't you think so?"

"Yes, absolutely!" Selepas itu, Moga kembali mendekatkan wajahnya untuk memberikan ciuman kedua. Kali ini jauh lebih terburu-buru dibandingkan sebelumnya. "Aku harus kembali ke Metis. Aku akan kembali supaya bisa mencium kamu lagi. Sorry for sounding extremely corny."

"I'll be waiting."

Moga mendaratkan kecupan di pipi Ava sebelum dia berjalan mundur menuju motornya. "See you later."

Ava menyaksikan Moga mengenakan helm, naik ke motornya, menyalakan mesin, dan pria itu melakukan semuanya tanpa melepaskan pandangannya dari Ava. Begitu membalas lambaian tangan Moga, pria itu pun berlalu dari hadapannya sementara senyum di bibir Ava masih tersungging.

Ada bahagia yang sulit dijelaskan oleh Ava saat ini. Namun yang pasti, dia lega menemukan pria seperti Moga. Hanya waktu yang akan menunjukkan apakah Moga memang sespesial seperti yang dibayangkannya atau pria itu justru akan sama dengan pria-pria lainnya.

Ava menggeleng pelan, berusaha mengusir semua pikiran buruk yang menghampirinya. "Jangan mulai lagi, Ava," ucapnya pada dirinya sendiri, mengingatkan supaya tidak merusak moment yang baru dialaminya. "Enjoy this moment."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro