Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22 - KOUIGN AMANN


***

"Ava?"

Spontan Ava mengangkat wajah mendengar panggilan tersebut dan sedikit terkesiap menemukan Moga berdiri di hadapannya. Perlu beberapa detik bagi Ava menyadari bahwa dia memang sedang tidak bermimpi. Moga memang nyata ada di depannya.

"Hi, Moga," balas Ava ringan menutupi keterkejutannya seraya memamerkan senyum. "What a coincidence!"

Ava sedikit meringis begitu menyadari bahwa responnya terdengar terlalu antusias. Dari semua tempat yang ada di Bali, dipertemukan di salah satu kafe favorit Ava memang merupakan sebuah kebetulan yang menurut Ava persentasenya kecil untuk terjadi.

"Did I interrupt you?"

Jika saja yang ada di depannya bukanlah Moga, yang akan diberikan Ava pastilah jawaban yang mustahil disalahartikan. Koreksi, jika ini terjadi di awal perkenalan mereka, Ava pasti langsung memuntahkan jawaban ketus. Namun ini pertemuan pertama mereka setelah makan malam di Settimo Cielo dan Ava sedang mengerjakan satu artikel yang tenggatnya semakin mepet. Ava lantas memutuskan untuk mengesampingkan pekerjaannya, sesuatu yang hampir tidak pernah dia lakukan sebelumnya.

"Lagi ngerjain sesuatu, tapi nggak urgent, kok," kilahnya.

"Boleh duduk?"

Menunjuk kursi di seberangnya yang kosong, Ava mengangguk. "Sering ke sini?" tanya Ava saat memperhatikan Moga mengedarkan pandangan ke penjuru sudut Coffee & Me yang memang sedang sepi.

"This is my first time." Moga lantas menyesap paper cup yang Ava duga berisi kopi hitam tanpa gula. "Aku sering melewati tempat ini, tapi enggak pernah berhenti. I decided to stop by."

"Bukan karena lihat mobilku parkir di luar, kan?" canda Ava.

Moga menanggapi gurauan Ava dengan gelak. "Nanti aku hafalin nomor mobil kamu beserta modelnya." Pria itu terlihat menggeser posisi duduknya. "Kamu sering ke sini?"

"Nggak bisa dibilang sering, tapi ini salah satu kafe favoritku di Bali. Aku selalu ke sini tiap kali perlu tempat kerja yang bukan kantor atau rumah. Hampir semua staf di sini kenal denganku—dan aku nggak bermaksud buat nyombong," jelas Ava singkat. "I like it here. Nggak terlalu besar, tetapi tetap cozy. Entah berapa banyak artikel yang udah aku selesaiin di sini."

"I can see that." Moga kembali menyesap kopinya. "Apa kabar, Ava?"

"Sedikit lebih sibuk, tapi masih bisa aku handle. Selain soal pekerjaan, kabarku baik-baik aja." Ava menyilakan rambutnya sehabis menanggapi pertanyaan Moga. "Kamu sendiri gimana?"

"Sedang menyusun beberapa resep baru." Ada senyum lebar yang merembet dari bibir Moga ke sepasang mata birunya."Rasanya seperti bermain, tapi dengan tanggung jawab. But it always excites me nonetheless."

"Berapa lama biasanya sampai jadi resep beneran?"

Moga mengedikkan bahu. "Tergantung seberapa kompleks aku mau resepnya seperti apa. Bisa berbulan-bulan, belum lagi nanti kalau sudah dalam tahap mencoba. It's fun, and I enjoy the process."

Passion Moga jelas terdengar dari cara dia menjawab pertanyaan Ava: mantap dan tanpa keraguan. Bagi Ava, salah satu faktor penting yang bisa membuatnya sangat tertarik dengan seorang pria adalah passion. Sebagian besar pria yang ditemuinya memiliki ambisi, tapi tidak mengantongi passion. Menurut Ava, kedua hal itu saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Ava menemukan passion dalam diri Moga yang bisa mengusik rasa ingin tahunya, tetapi ambisi pria itu belum tampak di mata Ava.

"Aku nggak pernah tahu butuh waktu selama itu untuk membuat menu baru."

"Tiap chef berbeda, tentu saja. Aku enggak akan menjual sesuatu yang enggak sempurna," tukas Moga. "Ada banyak trial dan error, dan aku lebih sering bekerja sendiri karena jika ada kesalahan kecil, enggak ada orang lain yang bisa aku jadikan sasaran kekesalan." Moga tertawa kecil selepas mengucapkannya. "Seperti aku bilang, menciptakan resep baru itu sama kayak bermain, tapi harus ada hasilnya."

"Memang udah dapet berapa?"

Moga melipat kedua lengannya di atas meja, sehingga tato di lengan kirinya terlihat lebih jelas. Hal itu sempat membuat Ava salah tingkah hingga dia berdeham sembari menggeser duduknya. Ava melakukan semua itu dengan sangat halus hingga dia yakin Moga tidak akan memperhatikannya.

"Baru dua, dan aku masih akan terus mengolahnya sampai yakin bahwa komposisinya benar. There's no room for errors. It has to be perfect."

Ada bahagia yang menyusupi Ava mengetahui bahwa Moga pun seorang yang perfeksionis seperti dirinya. Dari semua pria yang pernah dia kencani—dia tidak mau mengelompokkan Moga ke dalam kategori itu karena memang mereka tidak pernah mengungkapkannya—perfeksionisme Ava sering dianggap sebagai deal breaker. Dia seharusnya sudah bisa menduga Moga adalah sosok perfeksionis, tapi mengetahui pria itu mengakuinya sendiri memantapkan kesan yang terbentuk dalam benak Ava.

"Aku juga nggak akan kasih draft kalau nggak sempurna." Ava melipat lengannya di atas meja. "Kita berdua sama-sama perfeksionis."

"And it's not something bad, is it?"

Ava menggeleng. "Tentu saja nggak." Dia mendengus pelan. "Aku belum pernah liat proses chef nyoba resep baru."

"Mungkin kamu bisa datang ke Metis nanti misalkan aku sudah ada di tahap akhir? Aku enggak akan mengundang kamu sekarang karena aku masih di tahap awal. Aku enggak mau kamu trauma datang ke Metis gara-gara melihat aku frustasi dan marah-marah sendiri."

Binar di mata Ava tiba-tiba berubah menjadi lebih cerah. "I'd love that. Kalau memang nggak mengganggu."

Moga menggeleng. "Sama sekali nggak. I invited you, didn't I?"

"Biasanya dapet ide resep dari mana? Kalau kamu nggak keberatan jawab."

"Good question!" Moga sekarang melakukan hal yang sama dengan Ava, melipat lengannya di atas meja. "Biasanya dari buku-buku yang aku baca, atau dar—"

"Buku?" sela Ava.

"Ada yang salah? Kamu kelihatan kaget." Kening pria itu sedikit berkerut.

Menyandarkan punggung, Ava memandang Moga dengan tatapan penuh tanya. "Maaf aku tadi memotong kalimat kamu. Aku cuma nggak menyangka kamu tipe yang suka baca buku."

"Ava, memang kamu menyangka seorang chef itu seperti apa?" Moga sedikit mencondongkan tubuhnya. "Chef juga manusia, kan? Yang punya hobi lain yang enggak berkaitan dengan dapur. Aku juga seperti itu."

"Kamu benar. Aku cuma nggak nyangka."

"Apakah kamu akan kaget kalau aku juga suka surfing?"

Ditantang pertanyaan seperti itu, Ava terpaksa harus membuka pendapat mengenai Moga yang saat ini terlintas di kepalanya. "Kamu memang punya aura-aura surfer. I'm not gonna lie."

Untuk pertama kali, Ava benar-benar memperhatikan tawa seorang Kastra Moga. Bibir pria itu tidak sepenuhnya tersungging, tetapi otot di sekitar matanya ikut tertarik, menandakan ketulusan tawanya. Ada sesuatu yang menarik Ava begitu kuat, tapi dia masih belum ingin terbawa arus.

"Inspirasi bisa datang dari mana saja, Ava, bahkan ketika aku enggak mencarinya. Tapi biasanya aku juga melihat semua kreasi yang sudah aku ciptakan dan bertanya kepada diri sendiri kira-kira apa yang bisa aku buat dari sesuatu yang sudah jadi."

"Sama seperti seorang seniman berarti?" telisik Ava.

"I think being a chef is being an artist. It's just that people don't see it that way."

"Aku selalu melihat mereka sebagai seorang seniman, kok," bela Ava dengan senyum. "Mungkin karena pekerjaanku sering bersinggungan dengan chef, aku menghargai profesi mereka lebih dari sekadar keahlian memasak. Semua orang bisa memasak, tapi menjadi chef butuh dedikasi dan ratusan hal lainnya, termasuk kreativitas."

"I'm glad that you see us that way." Senyum yang diberikan Moga kali ini hanya bisa diartikan Ava sebagai sebuah rasa bangga. "Bagaimana dengan kamu, Ava? Apakah kamu juga ada ritual khusus sebelum bekerja?"

"I'm not an artist, so I don't need inspiration like you do."

"Kamu menulis artikel. Buatku itu adalah sebuah kemampuan yang nggak semua orang punya atau bisa. Menyusun kalimat dan membuatnya enak dibaca itu bukan sesuatu yang mudah. Am I right?"

Karena sudah bertahun-tahun melakukannya, Ava merasa tidak perlu berpikir panjang jika harus menulis artikel. Baginya, selama dia punya hasil wawancara dan semua informasi yang dibutuhkan, menulis bukan menjadi sesuatu yang sulit. Dia hanya harus memastikan intonasi tulisannya sesuai dengan koridor Lemongrass dan menyandang suaranya tanpa bersikap subyektif.

"Aku nggak pernah melihatnya seperti itu. Mungkin karena aku sudah bertahun-tahun melakukannya, jadi aku sudah tahu banyak cara untuk menyelesaikan pekerjaan. It's just a job, Moga, noth—"

"For me it's not a job anymore when you put your mind, heart, and passion into it. And you clearly put all those in your writing."

Ava tidak pernah hanyut oleh pujian, apalagi yang datang dari teman-teman kantornya. Baginya itu hanyalah pengalih perhatian dan sikap basa-basi semata. Namun mendengarnya datang dari Moga terasa begitu ... berbeda. Ava biasanya akan berhati-hati dan menganggap pujian dari seorang pria, apalagi yang belum dikenalnya baik, tidak lain adalah bentuk rayuan. Entah kenapa Ava merasa kali ini berbeda.

"Thank you for saying that."

"My pleasure, Ava."

Dua pasang mata mereka saling berpandangan, dan selama sekian detik, seolah segala yang mengelilingi mereka berhenti bergerak. Tidak terbit ekspresi apa pun dari keduanya, kecuali usaha menembus pertahanan masing-masing dan sama-sama enggan membiarkan salah satunya menyelami isi pikiran yang lain.

Jika adegan ini ada dalam sebuah film, pastilah kedua karakter utama sudah membayangkan masa depan yang akan mereka lalui berdua. Namun karena Ava bukanlah tipe pemimpi seperti itu, belum ada masa depan yang terlintas dalam benaknya bersama pria yang duduk di hadapannya.

Ada percik yang mulai memantik dalam hati Ava. Kecil memang, tapi cukup memberi Ava permulaan. Sekarang tergantung Ava apakah akan membiarkannya berkobar atau memadamkannya.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro