Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 - BANANA BREAD

~~~

Tulisan Ava mengenai Pakis hampir selesai. Ada perasaan lega karena assignment yang diberikan Brama kali ini bisa dilaluinya dengan mudah dan hampir tanpa kendala. Selepas apa yang terjadi dengan Metis dan Kastra Moga, Ava sempat khawatir dia kehilangan sentuhan dalam tulisannya. Namun Ava tidak perlu khawatir karena artikel tentang Pakis membuktikan dirinya masih punya sentuhan magis tersebut. Ava hanya perlu sedikit berhati-hati karenarebranding restoran tersebut cukup menjadi isu hangat di kalangan restaurateur.

Ava baru saja berniat rehat sejenak ketika pintu telepon di ruangannya berdering. Ava mengerutkan dahi. Lebih karena dia heran masih ada yang meneleponnya lewat landline. Semua janji temu serta meeting di kantor biasanya sudah terjadwal hingga Ava tidak perlu diingatkan. Meskipun heran, dia mengangkatnya.

"Iya, halo?"

"Selamat siang, Mbak Ava. Ini Mita dari reception, ada tamu yang sedang menunggu Mbak Ava di lobi."

Kerutan di kening Ava semakin dalam. Dia lantas ingat bahwa mengerut cepat membuat wajah keriput. "Siapa, ya? Sepertinya saya nggak ada janji dengan siapa-siapa."

Ava mengecek lagi kalendernya dan memastikan tidak ada janji yang terlewat. Benar saja, dia memang tidak memiliki janji dengan siapa pun hari ini.

"Cowok, Mbak Ava. Tinggi, tapi bahasa Indonesianya bagus. Namanya," ada jeda sesaat sebelum suara Mita kembali terdengar, "Kastra Moga."

Menangkap nama itu di telinganya, berbagai macam pertanyaan langsung menghujani Ava. Selain tidak menduga pria itu akan menyambanginya di kantor tanpa pemberitahuan lebih dulu, alasan Moga datang jauh lebih memantik rasa penasaran Ava.

"Saya turun sebentar lagi."

Begitu mengakhiri percakapan serta menutup telepon, Ava tertegun.

Pertemuan terakhir mereka terjadi di Metis kurang lebih seminggu lalu, sebelum Cara dan Will kembali ke Singapura. Kakak perempuannya itu meminta Ava menemaninya ke Metis dan memborong beberapa kue, yang membuat Moga memberinya beberapa tambahan sebagai bonus. Bisa dikatakan, hubungan mereka memang lebih baik sekalipun masih belum ada saling kirim pesan. Setidaknya, mereka sudah melupakan kejadian yang sempat menimbulkan ketegangan.

Menyadari Moga menunggu di lobi, Ava lantas beranjak dengan cepat dari kursi dan berjalan meninggalkan ruangan. Biasanya dia akan menolak siapa pun yang mengacaukan jadwalnya karena bukan Auva Zavijava kalau tidak berpegangan pada schedule yang sudah dia susun dengan hati-hati.

Menuruni tangga, Ava berusaha mengabaikan detak jantungnya yang berdegup cukup kencang. Bertemu dengan Kastra Moga jelas tidak masuk dalam agendanya hari ini.

Ava memelankan langkah ketika dia mendekati anak tangga terakhir yang langsung menuju lobi. Dia mendapati Moga sedang duduk di sofa menekuri ponsel. Dari tempatnya berdiri, Ava bisa melhat Moga hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana jin biru tua. Sungguh sederhana, tapi tetap saja membuat darah Ava berdesir.

Pria itu mendongak saat mendengar langkah Ava menuruni tangga dan menyambut Ava dengan senyum. Mau tidak mau, Ava melakukan hal serupa.

"Hi, Moga."

"Halo, Ava. Aku minta maaf karena datang ke sini tanpa memberi kabar lebih dulu. But I took my chances."

"Aku lagi nggak sibuk, kok," bohongnya. Ava kemudian kembali mempersilakan Moga untuk duduk sebelum dia mengikutinya. "Ada yang bisa aku bantu?"

"Aku sudah baca artikel tentang Metis. Aku tahu sudah membaca draft artikelnya, tapi melihatnya benar-benar ada di sebuah majalah ... aku nggak menyangka Metis bisa tampil di majalah sebesar Lemongrass. And I want to thank you for that."

"Kamu salah orang, Moga," balas Ava. "Tugasku hanya menulis artikel, tapi kalau ada orang yang pantas kamu berikan ucapan terima kasih, orang itu adalah assistant editor-ku."

"Tapi bukan dia yang menulis artikelnya, kan?"

"It's my job, Moga. You don't need to thank me." Sesekali Ava melirik tato yang sulit sekali dia abaikan. Ingin sekali dia menanyakan arti tato tersebut, tapi ini bukanlah tempat yang sesuai untuk percakapan seperti itu.

"But I want to."

Moga lantas mengulurkan sebuah paper bag berwarna hijau tua dengan logo Metis Patisserie ke arah Ava.

"Apa ini?"

"Something that I made and not available at Metis because I love it too much to sell it."

Otak Ava berusaha menerjemahkan kalimat Moga tersebut, tetapi dia masih belum paham. Bukan secara harfiah, tapi maksud di baliknya. Ava masih memandangi paper bag tersebut sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Moga.

"Aku masih nggak ngerti, Moga."

"Aku harap kamu nggak alergi dengan pisang karena ini banana bread," jawab Moga. "Aku hanya bikin ini untuk konsumsi pribadi dan nggak aku jual di Metis karena ada nilai sentimental di sana. And please do not judge me for that." Tawa kecil Moga terdengar cukup keras di ruangan lobi yang tidak luas ini. Anehnya Ava menganggapnya merdu karena detik berikutnya dia ikut tergelak.

"Harusnya ini jadi menu andalan kamu di Metis kalau kamu memang begitu menyukainya. It adds personal touch to everything you sell at Metis."

"I know," ujar Moga singkat. "Aku cuma nggak mau membaginya dengan publik yang nggak kenal denganku."

"Are you sure?"

"Ava, aku nggak akan ke sini kalau nggak yakin mau memberikan ini ke kamu. Please?"

Maka dengan pertanyaan yang masih belum bisa diutarakan, Ava menerima paper bag tersebut dan mengucapkan terima kasih.

"The truth is, we don't even know each other that well, do we?" tanya Ava cepat.

Duduk di samping Moga, ini adalah jarak terdekat mereka setelah duduk bersebelahan di pesawat dalam penerbangan dari Bali ke Jakarta. Ava bukanlah penggemar sentimentalitas yang berlebihan, dan dia jelas mengungkapkan yang sejujurnya. Dirinya dan Moga memang tidak mengenal satu sama lain sebaik itu.

"Tapi seenggaknya, kamu bukan orang asing."

Ada yang sulit diterjemahkan Ava ketika sepasang mata biru milik Kastra Moga menatapnya tajam. Satu yang pasti, detak jantung Ava semakin tidak jelas juntrungannya dan gugup mulai merayapi. Ava mencoba untuk menganalisis muasal rasa yang sebelumnya absen tersebut. Namun usahanya gagal karena jika bukan wajah Moga, maka pandangan Ava berpindah ke tato yang ada di lengan kiri pria itu.

"I'd love to know a story about your tattoos." Begitu menyadari maksud ucapannya, panik benar-benar menyoraki Ava saat ini. "Kalau kamu nggak keberatan, tentu saja."

Lebih baik sekalian kecebur, batin Ava.

Padahal Ava berniat menggeser kecanggungan yang sempat mengemuka, tapi rupanya, dia justru terjerumus ke dalam jurang yang tidak diantisipasinya.

Me and my stupid mouth! umpat Ava dalam hati.

Senyum mengembang dari wajah Moga, seolah dia menunggu Ava menyinggung mengenai tatonya. "Aku nggak keberatan. Kapan kamu punya waktu?"

Menjawab pertanyaan tersebut berarti mengiyakan ajakan Moga untuk pergi kencan. Ava bukan perempuan kemarin sore yang tidak tahu ke mana arah pembicaraan Moga saat ini. Namun dirinya juga tidak yakin ingin menyetujui permintaan Moga, apalagi karena dia dalam posisi tersudut.

Otaknya dengan cepat mencari kalimat yang mengindikasikan bahwa dia tidak menolak, tapi juga tidak mengiyakannya.

"Can I let you know later on? I'm not sure about my schedule, yet."

Alasan klasik yang selalu diberikan Ava, tetapi selalu berhasil karena pekerjaannya memang berkaitan erat dengan janji-janji temu yang telah dibuat sebelumnya.

Di luar dugaan Ava, pria di sampingnya mengangguk. "Tentu saja. Aku tahu kamu perempuan yang sibuk. Feel free to contact me anytime." Moga lantas bangkit dari duduknya untuk menghampiri Mita yang sedari tadi tampak sibuk, tapi jelas-jelas menguping pembicaraan Ava dan Moga. Sedetik kemudian, pria itu kembali duduk dan mengulurkan selembar kertas ke arah Ava. "Aku yakin kamu belum punya nomorku. Itu nomor pribadi, dan aku nggak memberikannya kepada setiap orang yang aku kenal."

Ava menerima kertas pemberian Moga dan mengangguk pelan. "Nanti aku kabari." Dia lantas tersenyum. "Thank you, Moga. Buat banana bread-nya. Kamu nggak perlu repot-repot ke sini sebenernya kalau cuma buat nganter ini."

"Aku nggak keberatan, dan memang sengaja ingin mengucapkan terima kasih secara langsung."

Mereka kemudian bangkit dari duduk secara bersamaan dengan canggung yang mengisi ruang di antara keduanya. "Naik motor ke sini?"

"Always."

Mereka terlibat basa-basi sebentar sebelum Moga akhirnya meninggalkan Ava—pria itu bahkan berpamitan dan mengucapkan terima kasih ke Mita! Begitu yakin Moga sudah pergi, Ava membalikkan badan untuk berniat kembali ke ruangannya. Namun tentu saja Mita harus berkomentar lebih dulu.

"Sukses ya, Mbak Ava, buat date-nya. Semoga jadi, Mbak!"

"Mita, nggak usah mulai nyebar gosip, ya?"

Mita dengan polos menggeleng, tapi senyumnya mengatakan hal sebaliknya. "Nggak akan, Mbak. Yang pasti kalau satu kantor tahu, itu bukan dari aku. Aku janji."

Membuang napas, Ava mengabaikan balasan Mita dan beregegas naik sembari membawa banana bread buatan Moga.

Ava mulai tidak menyukai semua perasaan aneh yang mengerubunginya setiap kali bertemu Moga. Ava cukup tahu bahwa jatuh cinta—apalagi kepada pria seperti Moga—adalah bencana yang menunggu untuk terjadi. Dan dia enggan membiarkan dirinya jatuh ke dalam kubangan yang hanya akan menghalangi jalannya mencapi mimpi-mimpi yang berusaha dia raih.

~~~

Halo semua,

Akhirnya ya, banana bread yang saya sebutkan di awal cerita muncul juga. Buat yang belum tahu, banana bread ini adalah signature dish-nya Kastra Moga. Makanan ini adalah makanan kesukaannya, belum lagi punya arti sentimental untuknya. 

Setuju nggak kalau Moga udah ngasih ini, berarti dia memang mulai nganggep Ava istimewa?

Selamat membaca dan semoga suka!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro