17 - DONUT
~~~
Ava tidak pernah menduga bahwa kepulangannya ke Jakarta justru menjadi titik balik hubungannya dengan Moga.
Mereka memang tidak lantas dekat dengan tiba-tiba atau rajin berkirim pesan, tetapi perlahan, pandangan Ava terhadap pria itu sedikit demi sedikit mulai bergeser. Terlebih ketika Moga menyambangi meja keluarga Ava di Il Gusto di Napoli dan dalam hitungan menit, sukses mengambil hati kedua orang tuanya. Sekalipun selepas itu Ava harus tahan menerima berbagai macam godaan yang dialamatkan kepadanya, dia tidak keberatan.
Seperti ketika Cara tanpa peringatan menyeretnya ke Metis sehari setelah mereka sampai di Bali, dengan Will yang hanya pasrah karena Cara dengan tegas melarang suaminya tersebut ikut. Ava tahu dengan pasti alasan Cara mengajaknya ke Metis, tapi dia tetap menuruti kemauan kakak perempuannya tersebut tanpa protes panjang.
"Pengen lihat Moga pakai baju chef, Dek. Pasti tambah ganteng."
"Oh, jadi ini alasan Mbak Cara ngelarang Will ikut? Supaya bisa ngecengin Moga dan bilang dia ganteng?"
Mendengar itu, Cara hanya berdecak. "Lho, itu fakta, kan? Masak cowok ganteng dibilang jelek. Itu namanya nggak mengapresiasi ciptaan Tuhan," balas Cara enteng. "Will nggak akan cemburu cuma karena aku bilang cowok lain ganteng karena ya nggak ada maksud apa-apa selain mengagumi makhluk Tuhan yang rupawan."
Ava hanya bisa menggeleng tanpa bisa menahan senyum menangkap rentetan kalimat tersebut. "Di mana ya nyari cowok yang nggak cemburuan kayak gitu?" tanya Ava asal.
"Makanya aku ngajakin kamu ke Metis berdua aja dulu. Besok-besok baru sama Will. Aku perlu investigasi soal Moga, nih. Siapa tahu kali ini usahaku sama Lyra berhasil."
"Mbak, yang kenal sama Moga duluan kan aku, kalian nggak punya kontribusi misalkan aku sama Moga jadian."
Membayangkan dirinya dan Moga menjadi sepasang kekasih adalah hal terabsurd yang bisa muncul dalam pikiran Ava. Dia memang tidak mengenal pria itu secara mendalam, tapi Ava yakin, ada terlalu banyak perbedaan yang mustahil untuk dijembatani di antara mereka. Ava bisa merasakan dirinya dan Moga bukanlah dua manusia yang ditakdirkan untuk bersama.
"Liat aja ya, nanti."
Setelah itu, tidak ada lagi obrolan mengenai Kastra Moga hingga mereka sampai di Metis Patisserie. Reaksi pertama yang diberikan Cara adalah memandang Ava dengan mulut sedikit terbuka.
"Ini gayanya kayak patisserie di Paris gitu, ya?"
Ava mengangguk. "Nggak cuma bangunannya, tapi juga menu-menunya. Moga memang pengen Metis mencerminkan dua dunia. Pastry atau makanan-makanan yang selama ini identik sama dunia Barat, dia gabungin sama Indonesia. Selain itu, dia juga mau mengapresiasi budaya orang tuanya. When his Mom passed away, his father married an Indonesian woman. Dari situlah ide Metis muncul, apalagi setelah dia sampai di Bali."
"Rupanya udah tahu banyak soal Moga," ujar Cara penuh arti.
"Mbak, aku baru nulis satu artikel tentang Metis, dan aku harus interview Moga buat itu. Jadi ya tahulah sejarah Metis kayak apa. Nggak usah berpikiran macem-macem." Ava lantas melepas sabuk pengamannya. "Ada lagi komentar yang ingin disampaikan sebelum nanti malu-maluin aku di dalem?"
"Ah, kamu terlalu berprasangka buruk sama kakak sendiri, Dek."
Ava hanya memutar bola matanya karena tahu Cara pasti akan mengucapkan sesuatu yang membuatnya digelayuti perasaan penuh sesal karena sudah mengajak kakaknya ke Metis. Apalagi Cara dengan jelas mengatakan bahwa tujuan mereka ke tempat ini adalah untuk mendekatkan dirinya dan Moga.
This isn't a good idea, batin Ava sekalipun sudah terlambat untuk mundur.
Sebelum turun, Ava mengecek ponselnya, memastikan dia tidak melewatkan pesan yang masuk. Sebelum ke Metis, dia sudah mengabari Moga terlebih dahulu bahwa dia dan Cara akan ke sana. Namun tidak ada balasan. Ava tentu tahu, Moga akan lebih fokus di dapur ketimbang mengecek ponselnya. Dengan satu tarikan napas, Ava akhirnya keluar dari mobil dan menghampiri Cara.
"Moga udah tahu kan kita mau ke sini?"
Ava mengangguk. "Udah dikabarin, tapi nggak dibales. Mungkin lagi sibuk di dapur."
Dengan girang, Cara menepukkan tangan seolah ini adalah sebuah kunjungan penting baginya. "Ini berasa kayak di film-film komedi romantis itu, Dek. Aku beneran nggak sabar."
"Mbak, please, jangan lebay. Kita cuma mau makan cake, bukan dateng ke acara Oscar."
Mereka lantas berjalan bersisian hingga memasuki Metis. Ava memejamkan mata sesaat, berharap bayangan yang dulu sempat muncul—Charlie dan Pierre Hermé—kembali menghampirinya. Namun yang tebersit justru bayangan Moga hingga Ava dengan cepat membuka matanya.
"Interior yang sangat menarik," gumam Cara. "Very different than any patisserie that I've ever been."
Sedetik kemudian, Ava tersenyum mendapati Mona berjalan menghampirinya. "Halo Mbak Ava, selamat datang lagi ke Metis. Udah lumayan lama ya nggak ke sini?"
"Iya, Mona. Lagi sibuk." Ava lantas menoleh ke Cara. "Mbak, ini Mona. Mona, ini kakak saya, Cara, yang kebetulan lagi di Bali, jadi saya ajak ke sini."
Setelah sesi perkenalan singkat itu, tanpa basa-basi, Cara langsung melontarkan sebuah pertanyaan yang paling ditakuti Ava. "Chef Moganya ada, Mbak Mona?"
"Oh, Chef Kastra sepertinya lagi di kantor, Mbak." Perhatian Mona lantas teralih ke Ava. "Mbak Ava mau ketemu?"
"Bisa minta tolong buat dikasih tahu kalau Ava udah di sini?"
Jawaban itu meluncur begitu cepat dari mulut Cara bahkan sebelum Ava sempat bereaksi. Dia kemudian menunjukkan senyum bersalah. "Kalau Chef lagi sibuk, nggak usah, Mona. Kami duduk-duduk aja dulu."
"Silakan, Mbak. Nanti saya kasih tahu Chef."
"Makasih, Mona."
Begitu Mona berlalu, Ava langsung menatap Cara. "Mbak Cara apa-apaan, sih?"
"Yuk, bantuin pilih cake mana yang enak," balas Cara seolah tanpa dosa, mengabaikan pertanyaan Ava.
Meskipun kesal, Ava lantas mengikuti Cara yang sudah mendekati rak display. "Menurut Sabrina, semua kuenya enak. Tapi kalau boleh kasih saran, cobain Rendang Bagel Sandwich-nya mereka juga, Mbak."
Seperti dugaan Ava, kakak perempuannya itu memandangnya dengan tatapan aneh. "Hah? Rendang sama bagel?"
Ava mengangguk. "Kan udah aku bilang tadi, Moga memang pengen nyatuin dua budaya. Jadilah dia bereksperimen gabungin dua elemen makanan yang biasanya nggak dibayangin orang bisa jadi sesuatu yang enak. Menurutku dia berhasil."
Sebuah suara kemudian membuat Ava dan Cara menoleh. Benar saja, Kastra Moga berjalan mendekati mereka dengan pakaian kebesarannya serta senyum yang membuat Ava melirik ke arah kakaknya.
"Akhirnya kalian ke sini juga," sapa Moga sebelum dia mengulurkan tangannya. "Apa kabar, Ava?"
"I'm good, thank you," balas Ava. "Kamu pasti masih inget kakakku."
"Carina, right?" tanya Moga sembari menyodorkan tangannya, yang langsung disambut oleh Cara dengan sedikit terlalu bersemangat.
Cara mengangguk. "Senang akhirnya bisa ke sini. Tempat yang sungguh nggak biasa."
Moga tertawa kecil. "Terima kasih pujiannya." Dia lantas memandang Ava. "Maaf, aku baru baca pesan kamu. Lumayan sibuk dengan beberapa laporan yang harus diselesaikan dengan segera."
"Jangan sampai kami ganggu kerjaan kamu, Moga," balas Ava.
"Sama sekali nggak ganggu." Dia lantas memandang Cara. "May I give any suggestion?"
"Dengan senang hati!" seru Cara.
Selepasnya, Ava otomatis hanya mengekor di belakang Cara dan Moga, mendengarkan penjelasan pria itu tentang setiap kue yang mereka pajang, terutama yang tidak pernah ditemui Ava di tempat lain. Beberapa kali Ava menggeram sangat pelan karena Cara mulai menyinggung tentang dirinya. Beruntung sepertinya Moga tidak mudah terpancing. Pria itu berhasil menghindar dari jebakan-jebakan yang ditebar Cara dengan lihai.
Setelah rasanya satu abad, Moga selesai dengan penjelasannya. Dia memastikan Cara bisa memilih apa saja yang diinginkan. Mendengar itu, mata Cara langsung berbinar.
"Nanti aku ajak Will ke sini. Dia pasti juga suka." Sedetik kemudian, seperti melupakan sesuatu, Cara kembali menatap Moga. "Pasangan kamu adalah perempuan paling beruntung, Moga. I envy her!"
Mendengar itu, Moga tergelak. "Luckily, I have no partner yet. Kamu nggak perlu iri, Cara. Aku yakin Will juga pria beruntung karena mendapatkan kamu."
Mengetahui status Moga dengan jelas, Cara memberikan tatapan penuh arti ke Ava yang ditanggapi dengan menggeleng pelan, heran dengan tingkah laku kakak perempuannya itu. "Aku yakin pasti banyak juga yang naksir. Kamu ganteng dan passionate dengan apa yang kamu lakukan. Menurutku, pria yang passionate dengan kerjaan mereka itu jadi lebih seksi!"
"Mbak, inget Will di rumah, ya? Jangan ngerayu cowok lain." Ucapan itu dilontarkan Ava secepat kilat, apalagi setelah mengetahui Moga tampak tidak nyaman dengan pujian tersebut.
Moga tanpa ragu menanggapinya dengan senyum lebar. "Thank you, Cara. You're too kind."
"Kalian ngobrol berdua, ya? Aku mau pilih-pilih kue dulu."
Ava menyadari langkah Cara yang menjauh adalah sebuah kesengajaan agar dirinya bisa bicara berdua dengan Moga. Dia dengan segera menyusun rentetan kalimat untuk diutarakan ketika nanti hanya berdua dengan Cara di mobil.
"Maafin dia, ya? Dia memang suka ingin tahu urusan orang lain. Tinggal di Singapura nggak ngubah kebiasaan itu. I hope you were not offended."
"None taken," balas Moga. "Kamu mau pesan apa? Rendang Bagel Sandwich?"
"Aku harap kamu belum menghapusnya dari menu."
"I don't think I will."
"Senang mendengarnya."
Mereka lantas beratatapan selama beberapa detik tanpa ada satu patah kata yang terucap hingga kemudian, Ava berdeham pelan.
"Kamu pasti sibuk. Nggak perlu nemenin aku dan Mbak Cara. Aku yakin masih banyak yang harus kamu kerjakan."
"Can I persuade you to try something sweet?"
Tawaran itu jelas mengejutkan Ava karena tidak menyangka Moga akan mengajukannya. "Apa yang kamu sarankan?" tanya Ava balik.
"Cuma donat. Tapi tentu saja bukan donat biasa."
Ava bergumam pelan karena penasaran donat seperti apa yang dimaksud Moga. "Aku bisa mencobanya, tapi aku nggak janji akan suka."
"Oh c'mon, Ava! Who doesn't like a donut?"
"Apparently, I don't."
"Aku yakin donat ini akan berbeda dengan yang pernah kamu coba sebelumnya. Give me a shot to impress you."
Setelah menimbang, Ava akhirnya mengangguk. "Okay, I'll try."
"Yes!"
Melihat reaksi Moga, mau tidak mau membuat tawa Ava berderai. "Moga, reaksi kamu sungguh berlebihan."
"Buktikan aku salah, Ava. Bahwa jika donat ini nggak bisa membuat kamu suka dengan segala yang manis, maka aku akan pensiun jadi pastry chef," candanya.
"Taruhan yang sangat tinggi."
"Pantas dicoba, kan?"
"Bring it on, Chef Moga!"
~~~
Halo semua,
Apakah ada yang kepengen donat setelah baca ini? Atau masih kepengen Rendang Bagel Sandwich? Hahahaha.
Semoga suka dengan bab ini, ya. Jangan lupa vote dan komentar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro