Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14 - CHOCOLATE BUN


~~~

Pandangan Ava masih terpaku pada landasan runway yang sedikit basah sembari mengucapkan segala macam doa supaya kondisi cuaca tidak kembali memburuk. Hujan yang turun sepagian sempat membuat Ava ragu dan bahkan berniat membatalkan penerbangan. Dia mengusir ketakutan tersebut dan tetap pergi ke bandara meskipun digelayuti cemas.

Ketika duduk di ruang tunggu, hujan sudah meninggalkan gerimis, dan tidak lama kemudian, langit Bali berubah biru, seolah mendung dan hujan yang sebelumnya menghiasi, hanya berfungsi sebagai pajangan. Ava mengembuskan napas lega karena kekhawatirannya menguap dengan cepat. Dia tidak sabar bertemu kembali dengan Lyra yang akan menjemputnya nanti.

Dua bangku di sebelah Ava masih kosong, dan dia berharap kondisinya akan tetap seperti itu hingga pesawat lepas landas. Namun keinginan Ava tidak terwujud. Ketika dia menoleh, tatapannya bertabrakan dengan sepasang mata biru yang belakangan enggan lepas dari ingatannya. Reaksi pertama Ava adalah mengucapkan sumpah serapah sepelan mungkin.

"You've got to be kidding me."

Rupanya suaranya masih cukup bisa didengar Kastra Moga yang lantas menanggapinya dengan sebuah tawa renyah, seolah umpatan Ava terdengar menggelikan. "Hello, there."

Seakan mimpi buruk Ava masih belum cukup, Moga duduk di bangku bagian tengah padahal bangku yang ada di dekat aisle masih kosong. Ava mencengkeram pegangan pada kursinya karena tidak ada alasan apa pun yang bisa membuat flight attendant memindahkan tempat duduk Moga karena alasan keselamatan. Ava menelan ludah begitu menyadari dia harus menghabiskan dua jam duduk di samping pria terakhir yang ingin dijumpainya.

Sekarang Ava punya alasan kuat untuk tetap mengunci pandangannya dari jendela. Dia lebih baik memejamkan mata dibanding harus bersemuka dengan pria yang tampak santai dan tidak keberatan duduk di sebelah Ava. Dari ekor matanya, Ava menangkap Moga sudah mengenakan sabuk pengaman dan masih berusaha menemukan posisi duduk yang nyaman. Pria dengan tinggi badan seperti Moga pasti tersiksa harus duduk di bangku bagian tengah yang leg room-nya tidak cukup luas. Ava mengulum senyum menyadari hal itu.

"Saya percaya ini takdir. Kita selalu dipertemukan di tempat yang nggak terduga."

Ava masih berusaha memahami bagaimana Moga bisa berbahasa Indonesia tanpa diikuti logat Amerika yang kental. Baginya itu jauh lebih menarik untuk dicari tahu dibandingkan membalas kalimat yang diutarakan Moga.

Ketika lima menit—kurang lebih—berlalu tanpa ada respon dari Ava, sebuah kalimat lanjutan tertangkap telinganya.

"Anda akan diam sepanjang penerbangan? Apakah saya begitu melukai ego Anda sampai kita seperti dua orang yang saling dendam? Sebagai informasi, saya nggak ada dendam apa pun dengan Anda."

Ingin rasanya Ava menggeram sebal karena dia menduga, Moga tidak akan diam sebelum mendapatkan tanggapan darinya. Setelah menarik napas cukup panjang, Ava menyiapkan balasan tanpa harus memindahkan tatapannya darirunway.

"Perlu saya tegaskan, bahwa kita nggak pernah jadi teman atau sekadar acquaintance. Hubungan yang pernah ada di antara kita adalah profesional, dan nggak lebih dari itu. Begitu artikel yang saya tulis tentang Metis selesai, kita nggak perlu saling basa-basi. It's just a waste of time." Ava berdeham pelan. "Ego saya masih utuh. Anda salah besar kalau berpikir ucapan Anda waktu itu bisa melukainya. Itu menandakan Anda sama sekali nggak kenal dengan saya."

Ava tentu saja berharap itu adalah akhir dari percakapan mereka. Namun tawa yang lagi-lagi terdengar justru meningkatkan level kejengkelan Ava yang merasa Moga sangat tidak sensitif membaca tanda-tanda yang dia tunjukkan dengan jelas. Dia kemudian membuka tablet yang sedari tadi ada di pangkuannya. Dia berharap dengan melakukan ini, Moga akan menutup mulut.

"Ava, can we drop this formality and just ... I don't know, talk like normal people?"

Cara Moga menyebut nama Ava berhasil mempercepat detak jantungnya dengan tiba-tiba. Apalagi ketika aroma pohon pinus bercampur kayu manis mulai menguasai indra penciumannya, gugup semakin menguasai seluruh sel di tubuh Ava. Dia masih memikirkan tanggapan yang sesuai ketika Moga mencondongkan badan hingga mereka berada dalam posisi sejajar. Ava masih belum tergoda untuk menoleh.

"Memang selama ini kita ngomong seperti apa? Dua orang utan?"

"Apakah kamu mau aku minta maaf? Jika memang itu yang kamu inginkan, fine. Aku minta maaf karena sudah meragukan profesionalitas kamu sebagai jurnalis, okay? Aku nggak bermaksud menyinggung ego kamu. Aku hanya penasaran dan nggak habis pikir." Ada jeda sesaat sebelum Moga kembali bersuara. "Can we just forget about it and move on?"

Permintaan maaf tersebut tentu tidak disangka oleh Ava. Dia yang hanya menyalakan tablet demi mengalihkan perhatian, hanya bisa terdiam. Tubuhnya pun seolah tahu bahwa keinginan mendengar itu dari mulut Moga sangatlah besar. Bukan karena ingin berteman dengan pria itu, tetapi karena dia selalu menjaga hubungan baik dengan semua narasumber yang pernah dikenalnya.

Mengingkari janji, Ava akhirnya menoleh demi meyakinkan dirinya bahwa Moga bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia tentu masih berharap akan menemukan kebohongan dalam tatapan Moga, tetapi ketika pandangan mereka bertemu, yang ditemukan Ava hanyalah kejujuran. Pepatah yang mengatakan mata tidak pernah berbohong, perlu diberikan apresiasi yang setinggi-tingginya.

"Will you forgive me?"

Suara Moga memelan dan kali ini terdengar lebih tulus. Sulit bagi Ava mengingkarinya sekalipun ingin sekali dia menantang pria itu dengan sebuah penolakan. Hanya saja, Ava pun merasa lelah jika setiap kali bertemu Moga, yang dirasakannya adalah perasaan tidak suka dan ingatan akan ucapan pria itu selalu muncul.

Ava lantas mengulurkan tangan sebagai tanda bahwa dia menerima permintaan maaf dari Moga. Dengan cepat kedua telapak tangan mereka bertemu hingga menerbitkan senyum di wajah Moga.

"We're good now?"

"Let's just pretend that conversation never happened." Ava terdiam sejenak selepas mengucapkannya. "Dan mungkin ada baiknya kita nggak usah bahas soal pekerjaan karena pasti ada kecenderungan untuk kembali lagi ke satu topik itu."

Moga mengangguk. "Fair enough."

Siapa yang menyangka bahwa perdamaian di antara dirinya dan Kastra Moga justru terjadi di udara?

"Pulang ke Jakarta?"

Kelegaan yang menghampiri Ava rupanya tetap tidak mampu menormalkan detak jantungnya. Dia masih membuka tablet-nya sekalipun sudah tidak menggunakannya sebagai pelampiasan.

"Kakak perempuanku lagi pulang dari Singapura. Kami jarang ketemu, dan juga karena udah cukup lama aku nggak ke Jakarta," balas Ava berusaha tidak menganalisis semua pertanyaan dan jawaban yang saling mereka lempar. "Kamu sendiri?"

"Adik laki-lakiku juga sedang di Jakarta. Mampir sebentar setelah ada konferensi di Tokyo. Dia nggak bisa ke Bali, jadi mau nggak mau, aku yang harus mengalah buat pergi ke Jakarta." Moga memamerkan senyum lebarnya. "Aku juga sudah lama nggak bertemu dengannya sejak menetap di Bali."

Obrolan mereka terputus ketika seorang flight attendant menghampiri mereka dan memberikan satu kardus berisi snack. Begitu pramugari itu berlalu, Ava hanya melongok isinya sebelum kembali menutupnya. Sementara Moga bahkan tidak menyentuhnya sama sekali.

"Nggak level ya jajanan maskapai dengan kualitas yang biasa kamu makan atau masak?"

Mendengar itu Moga mengeluarkan tawa kecil. "Bukan karena itu. I've never liked food on the plane, even if it's just snack. Biasanya aku hanya mengambil air mineral."

"Kenapa memangnya?" tanya Ava penasaran.

Moga mengedikkan bahu. "Nggak suka saja. Nggak ada alasan yang khusus atau spesial. Bukan juga karena aku pastry chef."

Sekalipun ada dorongan mendesak Moga demi mendapatkan jawaban yang diinginkannya, Ava menahan diri. Dia tidak ingin ada friksi baru yang muncul di antara mereka sementara belum genap setengah jam mereka berbaikan.

"Kamu sudah lama di Bali?"

Ava menarik napas sebelum mengembuskannya pelan. "Lima tahun. Durasi yang sama dengan masa kerjaku di Lemongrass."

"You must love your job very much."

"Kita udah janji buat nggak bahas soal kerjaan, kan?" Ava mengingatkan yang disambut Moga dengan mengangkat kedua tangannya. "Jangan sampai aku berubah pikiran lagi."

"You're right. My bad."

Dari samping dan jarak sedekat ini, Ava bisa mengamati lebih jelas profil Kastra Moga. Hidungnya jelas mancung, tipikal pria dengan warna kulit pucat walaupun kulit Moga sendiri tidak sepucat orang-orang sebangsanya. Wajahnya bersih dari cambang atau rambut-rambut tipis di sekitar dagu, dan Ava berani bertaruh, itu semua demi alasan kebersihan karena pekerjaan Moga berkaitan erat dengan makanan. Pria itu mengenakan kaus lengan panjang hingga tatonya tersembunyi. Seandainya terlihat jelas, Ava bisa menjadikan itu sebagai bahan obrolan.

"Mungkin nanti kalau sudah kembali ke Bali lagi, kita bisa mulai dari awal."

Pernyataan itu mendapatkan kerutan kening dari Ava karena dia tidak paham. "Maksudnya?"

"Mungkin kamu bisa datang lagi ke Metis, dan kita bisa secara simbolis memulainya dari awal lagi. Aku nggak mau kamu jadi trauma datang ke Metis."

"Di mana lagi aku nemu Rendang Bagel Sandwich selain di Metis?" balas Ava.

Moga tampak terkejut mendengarnya karena pria itu lantas memandang Ava cukup lama sebelum menggeleng pelan. "Aku nggak percaya kamu suka dengan menu itu. Some people think it's weird. Kami bahkan berencana menghapusnya dari menu karena banyak orang yang terlalu takut mencoba karena bagi mereka, rendang dan bagel harusnya nggak jadi satu makanan."

"I think it's unique and you blend them perfectly," ujar Ava jujur. "Kalau sampai kamu menghapusnya dari menu, apakah aku tetap bisa pesan itu kalau ke sana?"

"We'll see how often you go to Metis, then I might reconsider."

Ava tersenyum. "Aku sungguh nggak menyangka beberapa menu kamu adalah gabungan dua hal yang sebelumnya nggak terpikirkan olehku. Klepon Sponge Cake juga menurutku unik. Aku nggak—"

"Rasanya tadi ada yang bilang supaya kita nggak bahas soal pekerjaan, tapi kenapa sekarang kamu justru ingin membahas tentang Metis?" potong Moga dengan intonasi jenaka.

Mulut Ava yang sudah terbuka dan berniat untuk melanjutkan kalimatnya yang terpotong, kembali terkatup. Dia bahkan tidak menyangka bahwa Moga justru yang mengingatkannya. Dia tertawa kecil.

"You use my words against me."

"Seenggaknya aku akhirnya bisa mendengar suara tawa kamu."

Kalimat biasa seperti itu pun akhirnya membuat mulut Ava kelu dan membekukan otaknya untuk menemukan balasan. Untuk pertama kalinya, Ava benar-benar tidak bisa menggenggam sebuah respon untuk dikembalikan ke Moga.

Damn you, Kastra Moga! kutuk Ava dalam hati.

~~~

Halo semua,

Ini sepertinya part yang paling panjang yang pernah saya posting sejak memulai Foolish Games, tapi jadi makin penasaran kan gimana kelanjutan cerita Ava dan Moga? Ke depannya akan makin banyak part tentang mereka. Ditunggu saja.

Buat yang puasa, selamat menunaikan ibadah puasa, ya. Semoga lancar dan nggak tergoda buat batal setelah baca ini, hehehe.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro