12 - BLACK FOREST
~~~
Acap kali menyelesaikan satu artikel, Ava biasanya hanya memberikan self-reward dengan membeli satu gaun baru atau aksesoris. Namun dia memastikan nominal yang harus dihabiskannya tidak melebihi bujet yang dia anggarkan tiap bulan untuk bersenang-senang. Ada rumah tepi pantai yang masih menjadi impiannya.
Hanya saja, ada yang berbeda begitu Brama menyetujui revisi yang dia kirimkan mengenai Metis Patisserie. Itu berarti Ava bisa dengan segera fokus ke tugas lain yang tidak berkaitan dengan Kastra Moga. Menyadari bahwa kali ini tantangan yang harus dilaluinya jauh lebih terjal, self-reward yang dipilih Ava adalah makan di Angkasa, sebuah restoran di Bukit yang terletak di pinggir tebing yang ingin sekali dicobanya.
Ava sebenarnya menawarkan diri untuk meliput acara grand opening Angkasa, seperti yang biasa dia lakukan. Usulannya ditolak dengan halus oleh Nana menggunakan alasan bahwa Ava baru saja menyelesaikan satu artikel penting mengenai Black Volcano, sebuah restoran Islandia pertama di Bali. Tugas itu jatuh ke tangan Brama. Sejak membaca tulisan Brama—yang diakuinya cukup bagus—Ava menunggu saat yang tepat untuk pergi ke Angkasa.
Sekarang adalah waktu yang paling pas baginya pergi ke sana. Seorang diri.
Dandanan Ava bisa dibilang sangat sederhana. Mengenakan maxi dress selutut berwarna merah muda dan menata rambutnya menjadi bergelombang, Ava bahkan bersenandung pelan saat membawa mobilnya ke arah Bukit, tempat Angkasa berada.
Ava melihat nama Lyra muncul pada layar ponselnya. Setelah menekan tombol accept tanpa sedetik pun melalaikan pandangan dari jalan, Ava bergumam pelan.
"Mbak lagi di mana?"
"Lagi di jalan. Mau dinner."
"Spill the tea!"
Terdengar tawa adik perempuannya. "Sama siapa?"
"Sendirian," balas Ava singkat. "Karena memang nggak mau ngajak siapa-siapa. Self-reward."
"Self-reward buat apa?"
"Karena berhasil nyelesaiin satu artikel yang lumayan challenging. Juga karena Brama nggak cerewet seperti yang aku sangka. Kirain dia bakal nyari-nyari kesalahan dan bikin hidupku jadi sulit."
Ava dengan sengaja tidak menyelipkan Metis Patisserie atau nama Kastra Moga agar mencegah huru-hara di keluarganya. Dia tahu, nama laki-laki mana pun—kecuali Brama tentu saja—akan memantik rasa penasaran Lyra. Adiknya tersebut cukup peka jika Ava menyembunyikan sesuatu.
"Jangan-jangan Brama ini beneran suka kali sama Mbak."
Sekarang giliran Ava yang tergelak. "Nggak usah ngaco deh, Dek. Kalau iya pun, aku kan nggak naksir dia."
"Mau makan di mana, sih?"
"Ada restoran di Bukit, namanya Angkasa. Aku penasaran dari sejak mereka buka, tapi belum punya kesempatan buat pergi ke sana, sampai sekarang."
"Tumben. Biasanya kalau soal restoran-restoran baru gitu, Mbak Ava paling gercep."
"Lagi cari waktu yang pas aja." Tiba-tiba Ava diingatkan satu pertanyaan penting yang justru belum ditanyakannya. "Ada apa telepon, Dek? Tumben banget."
"Mbak Ava jadi ke Jakarta, kan? Pas Mbak Cara ke sini?"
"Belum beli tiket, tapi kemaren udah sempet browsing," ucap Ava berdusta. Sesungguhnya dia sudah membeli tiket, tapi memang sengaja tidak mengabari siapa pun. "Mama ngebet banget minta aku pulang. Aku nggak bakal dijodohin, kan?"
"Mbak Ava, apa peranku sebagai mata-mata Perempuan Bintang-Bintang selama ini pernah gagal? Kalau Mama sampai senekat itu, aku sendiri yang ke Bali buat ngelarang Mbak Ava balik. Kalau perlu, aku paksa juga Mbak Cara buat pulang."
Sekalipun tahu Mama mereka tidak akan bersikap senekat itu—karena selain akan ditentang Papa mereka, tapi juga bukan karakter Mama harus memaksakan jodoh anak-anaknya—Ava merasa berdiri di ambang jurang keputusasaan. Sempat terpikir bahwa jika sampai di usia 34 dirinya belum juga mendapatkan pasangan, Ava akan meminta Mamanya untuk mencarikan calon suami. Desperate situation needs a desperate solution. Meski horor membayangkan dirinya harus meminta hal seabsurd itu, Ava sadar bahwa dirinya akan dihadapkan pada situasi sulit jika kenyataan itu memang benar-benar terjadi.
"Mama kan suka impulsif, Dek."
"Tapi nggak seekstrem itu juga kali, Mbak. Apa Mbak Ava nih yang malah desperate?"
Sekalipun tidak bertatap muka, Ava selalu takjub dengan kemampuan adiknya membaca kalimat yang terucap dari bibirnya. Seolah Lyra punya kepekaan yang tidak dimiliki Ava atau Carina. Namun Ava jelas tidak akan mengakuinya di depan Lyra bahwa dia mungkin memang sudah mendekati ambang desperate mendapatkan jodoh.
"Biasa aja sih, Dek. Cuma mikirin target aja. Aku kan harus nyiapin juga plan B seandainya plan A nggak berjalan sesuai rencana. Nggak bisa punya satu rencana, terus nanti kelimpungan misalkan rencananya nggak kejadian."
"Satu-satu aja, Mbak. Siapa tahu nanti ada efek domino. Begitu satu dapet, yang lain juga bakal ngekor."
"Semoga aja sih gitu." Ava memastikan lagi jalan yang diambilnya sudah benar sebelum memandang waktu yang tertera di layar dasbor. "Anyway, nanti ngobrol lagi ya, Dek? Aku udah mau sampai."
"Kirim foto ya, Mbak. Siapa tahu aku juga pengen."
Ava kembali tergelak. Jika ada satu hal yang paling enggan dilakukan Lyra adalah pergi ke restoran seperti Angkasa. "Iya, nanti dikirim ke grup."
Tepat setelah mengakhiri panggilan, sebuah motor menyalip dari sisi kanan dengan kecepatan lumayan tinggi. Memang jalan yang dilewati Ava sepi dan persentase terjadinya kecelakaan sangatlah kecil, tapi bukan berarti hal tersebut tidak mengagetkan Ava.
"What the hell!" serunya setelah dia sadar yang baru saja terjadi.
Perlu beberapa menit sebelum Ava kembali tenang. Sekali lagi memastikan dia tidak salah ambil tikungan, Ava meneruskan perjalanan hingga mobilnya melewati papan nama Angkasa. Senyumnya mengembang saat membayangkan makan malamnya akan ditemani deburan ombak di bawah dan sepoi angin malam. Siapa bilang makan malam romantis harus dijalani bersama pasangan?
Setelah memasuki area restoran, Ava semakin bersemangat. Begitu memarkir mobil, Ava mengamati lagi tampilannya di cermin sebelum turun. Angin yang berembus langsung menyambutnya berbarengan dengan suara ombak yang bersahutan. Matanya menangkap dua pasangan yang baru keluar dari Angkasa terlihat begitu dimabuk kasmaran. Dia mendengkus pelan.
Senyum yang sebelumnya merambati seluruh hati Ava, mendadak luntur begitu menyadari seorang pria membuka helm dan meletakkannya di atas motor. Bukan perkara aksi yang dilakukan pria itu, tapi karena Ava tahu persis, itu motor yang tadi menyalipnya. Niat melabrak dan menasehati pria tersebut agar tidak sembrono di jalan, luntur dengan cepat begitu mata Ava mengenali pengendaranya.
Mereka sempat saling bertukar pandang tanpa ada yang mengalah. Namun sedetik kemudian, Ava memutuskan berjalan melewati Kastra Moga, seolah-olah dia tidak melihat sosok tinggi yang berdiri hanya lima meter dari tempatnya berada. Berpura-pura adalah pilihan terbaik yang dimiliki Ava saat ini.
"Jadi nggak akan menyapa saya?"
Namun sulit mengabaikan pertanyaan tersebut karena tidak ada orang lain yang cukup dekat untuk mendengar suara Moga. Mau tidak mau, Ava menimbang apakah dia harus berhenti atau melanjutkan langkah.
"Saya nggak mau mengganggu malam Anda."
Balasan yang diterima Ava justru sebuah tawa. Telinganya dengan jelas menangkap derap sepatu Moga yang berjalan mendekat. Belum lagi aroma kayu manis bercampur pohon pinus mulai merambati hidungnya. Ava mulai kelabakan.
"Satu sapaan nggak akan merusak malam saya."
Ava sempat memejamkan mata sesaat begitu sadar bahwa Moga berniat untuk menyalipnya seperti tadi—tanpa motor tentu saja—dan berdiri di hadapannya. Hal pertama yang dilihat Ava adalah desert boots berwarna cokelat dan ujung celana chino berwarna biru pekat. Menarik napas, butuh keberanian sebelum pandangan Ava naik ke ujung kemeja bermotif kotak-kotak berwarna merah tua dan hitam dan juga jaket kulit berwarna cokelat. Hanya dalam hitungan detik, pandangan mereka lantas bertemu. Aroma kayu manis dan pohon pinus itu semakin leluasa mengacak-acak otak Ava.
"Kecuali Anda memang sengaja melakukannya karena satu alasan." Senyum yang diberikan Moga—Ava benci mengakui ini—terlihat begitu tulus dan tanpa maksud tersembunyi.
"Alasan apa yang Anda maksud?" tanya Ava polos.
Moga mengedikkan bahu dengan cepat. "Mungkin Anda masih nggak terima saya sebut nggak obyektif. Atau Anda tersinggung saya meragukan profesionalitas Anda sebagai penulis food magazine yang nggak suka makanan manis."
"Sebagai catatan, kita nggak pernah bekerja sama. Anda nggak tahu cara saya bekerja, begitu juga sebaliknya. Lucu saja misalkan Anda menilai saya nggak profesional hanya karena saya nggak menyukai makanan manis."
"Saya hanya mengatakan sesuatu yang menurut saya nggak masuk akal."
Ava mulai menarik-narik ujung maxi dress-nya pertanda kesabarannya mulai merendah. Namun dia enggan kehilangan kendali di depan Moga untuk yang kedua kalinya. "Maaf, saya nggak mau terlambat untuk reservasi saya."
Ava paling sebal disuruh mengalah, tapi saat ini, dia lebih enggan kehilangan meja yang sudah dia pesan dari seminggu lalu dibanding harus melayani debat kusir dengan Moga. Sudah jelas bahwa pria itu masih ingin membahas hal yang sama sementara Ava menganggap tidak lagi ada persoalan yang harus mereka diskusikan.
"Anda tahu, kan, bahwa kita tetap akan bertemu di dalam?"
Langkah Ava yang sudah maju, kembali terhenti. Sabar, Ava, sabar, jangan bikin cowok ini kepedean lihat kamu kehilangan kontrol, batin Ava. Tanpa membalikkan badan, Ava menimbang kalimat yang pas untuk dia utarakan.
"Bukan berarti kita harus duduk saling berhadapan, kan? Enjoy your dinner."
Dengan kalimat itu, Ava pun melanjutkan langkahnya. Kali ini terasa lebih ringan karena dia sudah berhasil keluar dari jebakan Kastra Moga. Dia tidak akan membiarkan pria itu melihatnya kesal untuk kedua kalinya.
~~~
Halo semua,
Moga muncul lagi, neh. Ke depannya, part dia akan makin banyak ya, tapi ditunggu aja.
Have a nice weekend!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro