Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 - ECLAIR


~~~

Ava mengembuskan napas lega begitu dia berhasil menyelesaikan artikel mengenai Metis Patisserie. Sejak karirnya di Lemongrass dimulai, ini pertama kalinya dia menemui jalan buntu serta berbagai rintangan untuk menamatkan draft pertama. Sekalipun enggan mengakui, Ava tahu Kastra Moga punya andil dalam kesulitan yang dihadapinya.

Klepon Sponge Cake yang dicobanya di grand opening LUSA adalah tambahan terakhir yang dia masukkan ke dalam artikel mengingat keunikan yang bisa dia eksplorasi dalam bentuk tulisan. Walau menemui hambatan, Ava tampak sangat bangga ketika dia mengirimkan draft pertama ke Brama. Sekarang dia hanya berharap pria itu tidak akan membuat hidupnya menjadi lebih rumit dengan mengkritisi tulisannya hingga detail terkecil dan mempermasalahkan bagian yang tidak signifikan. Ava bukannya anti kritik, tapi jika harus menerima feedback dari Brama—tidak peduli posisi pria itu punya hak memberikan masukan tentang tulisan Ava terlepas dari kemampuannya—akan selalu ada pesimisme yang mengekori Ava.

Selepas menunaikan satu artikel, biasanya Ava akan bersikap proaktif dengan menawarkan diri menulis artikel lain yang dia rasa punya bobot untuk mendekatkannya pada posisi assistant editor. Namun sejak jabatan itu jatuh ke tangan Brama, antusiasme Ava menguap tanpa meninggalkan sisa sedikit pun. Walau benci melakukannya, pilihan yang diambil Ava adalah menunggu hingga dia diberikan tugas. Ada dua keinginan yang bertentangan dalam dirinya. Di satu sisi, dia merasa telah mengorbankan keprofesionalannya hanya karena dia masih belum mampu berdamai dengan kegagalannya meraih posisi assistant editor. Sementara di sisi lain, dia memberikan dirinya izin untuk bersikap kekanak-kanakan, setidaknya hingga Ava benar-benar mampu menerima fakta yang mustahil diubahnya.

To: [email protected]

From: [email protected]

Subject: New First Draft

Ava,

Thank you for sending the new draft. I'll make sure to read it carefully before giving you any feedback.

Kind regards,

Brama

Ava membaca isi surel tersebut dengan gelengan karena sejujurnya Brama tidak perlu mengiriminya surel tanpa substansi seperti yang baru saja diterimanya. Dia memutuskan untuk mengabaikan surel Brama.

Meraih noise cancelling headphone-nya, Ava memutar kembali rekaman percakapannya dengan Kastra Moga karena dia ingin memastikan tidak melewatkan sesuatu yang penting. Walau tahu dia tidak bisa mengubah draft yang sudah dikirimkannya ke Brama, Ava perlu mendengarkan lagi demi berjaga-jaga jika Brama memberikan catatan lain. Sejujurnya Ava ingin segera berpindah ke artikel lain supaya bisa 'meninggalkan' Kastra Moga dan Metis Patisserie. Ava tidak suka dengan perasaan terobsesi yang mulai merambatinya, sekalipun untuk alasan yang salah.

"... Sejak kecil, saya suka melihat Mama di dapur. She always let me help her bake, even for the smallest help. Ketika Mama meninggal, saya tahu bahwa masuk culinary school adalah salah satu cara menjaga Mama tetap hidup. Mungkin terdengar sentimental, tapi Mama punya peran begitu besar membentuk karakter saya." Ava menelan ludah ketika menyadari perubahan intonasi dalam suara Moga yang sedikit melambat. "Ketika Papa menikah lagi, ada rasa nggak rela seperti layaknya anak lain yang harus melihat posisi Mama mereka digantikan. Tapi saya seperti menemukan Mama dalam bentuk perempuan Indonesia. She treated me and my brother like her own children. Bisa dibilang, kami dekat karena hobi yang sama. Anyway, keinginan membuka patisserie yang menggabungkan dunia dua perempuan yang punya pengaruh begitu besar muncul sejak tahun pertama saya masuk culinary school. Namun berpindah banyak tempat kerja, saya nggak pernah bisa menemukan rumah yang bisa menerima ide seperti itu. Sampai saya tiba di Indonesia. I knew right away this was the perfect place to build my dreams."

Ava menekan tombol pause dan mengingat kembali ucapan Sabrina mengenai Moga. Andai mereka dipertemukan oleh situasi yang berbeda, bukan tidak mungkin perasaan tertarik itu sudah menggelitik Ava saat ini. Hanya melalui percakapan mereka—sebelum diabetgate, sebutan yang diberikan Sabrina, merujuk pada sejarah Watergate yang menghebohkan dunia politik Amerika Serikat di awal 1970-an—Ava mampu menangkap passion Moga yang begitu besar. Ava cukup bisa membedakan passion dan ambition dari pria-pria yang ditemuinya. Sekalipun keduanya punya perbedaan yang sangat tipis, dia lebih tertarik pada pria yang punya passion dibandingkan pria yang memiliki ambition. Ava berpendapat, passion bisa menggerakkan ambition, sementara ambition belum tentu didasari oleh passion.

Sabrina tentu saja tidak keliru melabeli Moga sebagai pria yang biasanya digandrungi Ava. Hanya saja Ava tahu dengan pasti, Moga bukan tipenya. Fakta bahwa tinggi pria itu di atas 180 sentimeter tidak menggugah Ava.

Ava terperanjat saat ponselnya bergetar. Lamunannya tentang Moga buyar dengan kilat begitu mengetahui kata MAMA terpampang di layar. Tanpa menunggu lama, dia langsung menerimanya.

"Iya, Ma. Tumben banget jam segini telepon."

"Kamu lagi nggak sibuk kan, Va?"

"Mama sebenernya tahu kalau jadwalku di luar weekend adalah pasti ngantor dan kerja. Aku bisa ngangkat telepon Mama adalah bukti aku lagi nggak sibuk."

"Kapan pulang?"

Pertanyaan tersebut lebih mengagetkan Ava dibanding fakta bahwa Mamanya menelepon di saat jam kerja. Bukan berarti Ava tidak pernah mendapatkan pertanyaan serupa sejak memutuskan pindah ke Bali. Hanya saja dia bisa menghitung dengan jari dan ingat kapan saja Mamanya menanyakan tentang kepulangannya ke Jakarta.

"Tumben Mama nanya. Nggak niat buat dijodohin, kan?"

Ava mendengar Mamanya berdecak. "Mumpung Mbakmu mau pulang dua minggu lagi. Biar kumpul gitu maksud Mama. Kan udah lama juga kita nggak kumpul rame-rame."

Berita kepulangan Cara tentu saja lebih dulu diketahui Ava dan Lyra. Namun karena Cara berniat pergi ke Bali, Ava berpikir tidak ada perlunya dia pulang ke Jakarta. Baginya lebih efisien dan praktis untuk tetap berada di Bali tanpa harus meninggalkan pekerjaannya.

"Aku belum ngajuin cuti, Ma. Nggak tahu juga bakal dikasih apa nggak kalau ngajuinnya mendadak gini."

"Nggak perlu cutilah kamu, Va. Pulang aja Jumat malem, terus balik ke Bali hari Minggu atau Senin pagi. Toh kamu bisa kerja dari mana aja, kan? Nggak perlu ngantor juga tiap hari."

Mamanya mengeluarkan semua peluru dalam satu kalimat hingga tidak memberi Ava kesempatan untuk menangkisnya. Jika sudah begini, alasan apa pun yang dimilikinya, hanya akan dibantah oleh Mamanya. Dengan kata lain, Ava harus mulai mencari tiket pulang ke Jakarta.

"Nanti coba Ava cari tiket deh, Ma. Tapi nggak janji, ya? Kenapa sih nggak Mama, Papa, sama Lyra aja yang ngikut Mbak Cara ke Bali? Sekalian liburan bareng."

"Adikmu itu yang lebih susah cutinya, Ava. Kalau gampang, Mama nggak akan minta kamu pulang."

Ava terdiam. Dia bergumam pelan sebelum mengangguk. "Nanti aku kabari lagi misal udah dapet tiket pulang."

"Mama bilang ke Papa, ya? Pasti seneng anak-anak perempuannya pada kumpul."

Mendengar itu, senyum Ava mengembang. "Terserah Mama, deh. Kalau aku nggak dapet tiket, yang disinisin Papa juga Mama, kan?"

"Ya sudah, kamu balik kerja sana. Jaga diri baik-baik, Ava. Jangan mudah tergoda sama cowok ganteng."

Tawa Ava terdengar begitu jelas saat mendapati kalimat terakhir Mamanya. "Beres, Ma. Nggak usah khawatir."

Setelah kembali berbasa-basi sedikit, panggilan itu pun berakhir. Ava sejujurnya enggan pulang ke Jakarta tanpa alasan yang jelas. Hal itu berarti dia harus mengubah lagi jadwal yang sudah tersusun dan mengatur waktunya supaya bisa dialokasikan untuk mengunjungi keluarganya.

Membuang napas, Ava menyandarkan punggung dan melepas headphone yang masih terpasang. Dia langsung membuka kalendernya dan berkomat-kamit membaca jadwal yang sudah dia susun. Ava terpaksa memindahkan rencana mengunjungi Kebun Raya di Bedugul dan WYAH di Ubud ke minggu berikutnya dan menuliskan JAKARTA untuk hari Jumat sampai dengan Minggu dua minggu dari sekarang.

Selepas itu, dia langsung membuka aplikasi travel dan mengetikkan Jakarta pada kota destinasi dan Denpasar pada kota keberangkatan. Tanpa berpikir panjang, dia langsung memesan tiket pesawat dengan penerbangan sore supaya tidak terjebak kemacetan Jumat malam Jakarta. Meskipun begitu, dia tidak ingin langsung mengabari Cara, Lyra, atau Mamanya. Masih banyak waktu yang dimilikinya sebelum memberikan kejutan kepada adik dan kakak perempuannya itu.

~~~

 Halo semua,

Ada yang nungguin Ava? Semoga terobati dengan bab ini.

By the way, masih ada yang belum follow akun IG saya nggak sih? Hahahaha. Jangan lupa follow, ya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro