10 - KLEPON SPONGE CAKE
~~~
"Kamu dapet undangan ini dari mana, sih?"
Pertanyaan Ava tersebut dilayangkan ketika dirinya dan Sabrina turun dari mobil sebelum berjalan menyusuri parkiran untuk sampai ke tempat grand opening LUSA. Ternyata butik itu berada di Oberoi Arcade, sebuah arkade yang menjadi bagian dari La Cuna Beach Club. Ava mengetahui banyak tentang beach club yang baru diresmikan tersebut dari cerita teman-teman sekantor dan juga video-video singkat yang beredar di media sosial. Keinginan mengunjungi beach clubtersebut tidak pernah mengemuka karena Ava sadar dia pasti membenci musiknya yang terlampau keras. Jika tahu tempatnya di sini, dia mungkin akan berpikir lebih dulu sebelum mengiyakan ajakan Sabrina.
"Dari mana lagi, Ava? Aku kan sering dapet undangan begini. Kamu ini sahabatku bukan, sih?"
Sekalipun kesal karena pertanyaannya justru ditanggapi dengan pertanyaan lain, Ava hanya mengangguk pelan. Sebagai Social and Brand Manager sebuah agensi marketing, Sabrina memang lekat dengan banyaknya undangan serupa. Keseringan dia mengajak Ava, tetapi tidak jarang juga Sabrina datang sendiri jika Ava punya appointment lain.
"Nanti acaranya nggak lanjut party, kan? Kalau iya, aku nanti pulang duluan."
"Ava, aku jadi sahabat kamu bukan baru kemarin sore, ya. Kalau acaranya lanjut ke beach club, ya pastilah bukan kamu yang aku ajak." Sabrina masih berjalan dengan anggun tanpa mengalihkan tatapan ke arah Ava. "Nggak usah khawatir. Palingan juga abis dinner udah pada pulang."
Langkah Ava terhenti saat matanya menatap satu mobil boks hingga dia tidak menyadari Sabrina berjalan lebih dulu di depan. Baru saat namanya dipanggil, Ava terkesiap.
"Kenapa berhenti?"
Alih-alih menjawabnya, Ava hanya mengarahkan dagunya ke arah mobil boks yang diparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Sabrina sempat terlihat bingung dengan sikap Ava sebelum bibirnya membentuk huruf O begitu tersadar alasan Ava menghentikan langkahnya.
"Takut ketemu Moga?"
"Apakah aku punya alasan buat takut?"
Sabrina memutar bola matanya. "Yeah, right. Reaksi kamu barusan memang nunjukkin kalau kamu sangat nggak sabar buat bertemu Moga," ujar Sabrina dengan sarkasme level dewa. "Nggak perlu aku jelaskan sampai titik dan koma kan, Ava?"
Ava tentu berharap tidak bertemu Moga karena alasan yang sangat egois. Dia belum siap bertemu pria itu lagi setelah apa yang terjadi di antara mereka. Terlebih salah satu alasan dia menyetujui ajakan Sabrina adalah supaya dia terbebas dari kebuntuan yang menyergapnya.
"Nggak usah overthinking dulu. Shall we?"
Permintaan Sabrina tersebut terdengar sederhana, tetapi sulit bagi Ava untuk tidak mulai menyusun skenario dalam otaknya tentang kemungkinan yang bisa terjadi jika Moga memang ada di sini. Tanpa bisa dibendung, dia sudah menyusun dengan urut kejadian dari yang paling mungkin hingga yang paling mustahil.
· Mereka akan dihadapkan pada situasi canggung
· Ava bisa bersikap tidak acuh dan mengabaikan pria itu jika melihatnya
· Pria itu terlalu sibuk dengan urusannya sendiri hingga tidak sempat memperhatikan kehadiran Ava
· Moga akan meledeknya di depan banyak orang dan mengungkit kembali opininya tentang andil Metis Patisserie meningkatkan kemungkinan orang menderita diabetes
· Mereka bersikap saling tidak mengenal
"Ava, stop doing that!"
Ucapan Sabrina tersebut tidak keras, tetapi cukup didengar Ava hingga dia kemudian menarik napas panjang. Satu-satunya teknik yang bisa dia terapkan saat ini demi meurunkan antisipasi pertemuannya dengan Moga. Begitu semua napas yang ditariknya berhasil dia embuskan, Ava kembali mengayunkan langkah menyusul Sabrina tanpa melontarkan satu patah kata.
Seperti layaknya grand opening yang pernah didatanginya, tidak ada yang berbeda secara esensi kecuali level dan skalanya. Meskipun menempati area yang tidak besar, tapi kesan ekslusif langsung bisa dirasakan Ava begitu dia melangkah masuk.
Bangunan dua lantai tersebut menggunakan krem sebagai warna dasar hingga tidak mengherankan jika dress code untuk acara sore ini adalah warna-warna pastel. Lantai pertama berisi koleksi terbaru Satiyana Prameswari, seorang desainer muda yang belakangan namanya menjadi buah bibir karena salah satu kreasinya tampil di majalah Harper Bazaar, sementara untuk keperluan grand opening, lantai dua dibiarkan kosong. Ada balkon terbuka dengan atap yang cukup lebar hingga ketika hujan, airnya tidak akan masuk ke area balkon.
Pemandangan Samudra Hindia dari balkon ini sungguh spektakuler dan angin yang berembus sepoi membuat Ava sedikit lebih rileks.
"See? Ketakutanmu nggak kejadian, kan? Yang di sini cuma staf Metis."
Ava menanggapi kalimat Sabrina dengan menyesap white wine-nya. Di salah satu sudut balkon, meja tempat menyajikan kudapan dengan nama Metis Patisserie dan warna hijau tua yang mendominasi, ditata sedemikian rupa tanpa menganggau estetika LUSA. Ava memang hanya melihat dua staf Metis Patisserie dan sosok pria bule bermata biru yang khawatir ditemuinya memang tidak tampak.
"Aku mau lihat apa yang mereka sajikan di sana," balas Ava sembari berjalan mendekati meja yang sempat membuat jantungnya berdegup kencang.
Begitu sudah berada di depan dua staf yang tersenyum ramah dan menyapanya, Ava bertanya, "Ini kue apa, Mbak?"
"Itu namanya Klepon Sponge Cake, Kak."
Kening Ava mengerut karena takut dia salah dengar. "Klepon Sponge Cake?" ulangnya tidak yakin.
"Chef Kastra mengkombinasikan adonan sponge cake dengan parutan kelapa dan menggunakan pasta daun pandan dan daun suji, serta gula merah supaya kesan kleponnya dapat."
Tanpa ragu, Ava mengambil satu potong kecil dan memasukkannya ke mulut. Dia menduga parutan kelapanya akan sangat mendominasi, tapi ternyata yang menghiasi mulutnya adalah tekstur sponge cake yang ringan. Memang ada rasa gula merah serta kelapa yang muncul hingga mengingatkan Ava akan salah satu jajanan tradisional Indonesia. Paduan dua resep tersebut memang memunculkan rasa yang seimbang tanpa ada salah satu yang mendominasi.
"Do you like it?"
Jika saja sponge cake itu belum melewati tenggorokan Ava dengan mulus, bukan tidak mungkin dia pasti tersedak. Atau buruknya, menyemburkan isi mulutnya dan menjadi pusat perhatian untuk alasan yang salah. Beruntung Ava baru saja menyesap wine hingga kekagetannya sedikit bisa dikendalikan. Ketika menoleh, dia sudah melihat sosok yang sama sekali berbeda dengan yang ditemuinya di Metis Patisserie.
Alih-alih mengenakan seragam chef dengan nama yang terbordir di bagian dada sebelah kiri, Kastra Moga tampil sangat kasual dengan kemeja polo polos berwarna hijau muda dan celana jin hitam. Namun bukan itu yang membuat tatapan Ava terpaku. Tato menghiasi lengan kiri Moga yang berawal dari bawah siku sebelum menghilang di balik lengan kemejanya adalah pemandangan yang sulit dipercaya Ava. Pria dengan tampilan seperti Moga adalah jenis manusia dalam urutan terbawah yang dicurigainya mempunya tato seperti yang sedang dilihatnya sekarang.
"Saya pastikan tingkat kemanisannya sesuai dengan standar gula yang boleh dikonsumsi manusia dalam sehari. Jadi Anda nggak perlu khawatir saya akan membuat orang terkena diabetes hanya dengan mengonsumsi ini."
Ava mengedip sesaat sebelum sadar bahwa Moga sengaja menyinggung tentang percakapan terakhir mereka sebagai pembuka percakapan. Dengan senang hati, Ava biasanya meladeni permainan seperti ini, tetapi dia sedang tidak dalam suasana hati untuk beradu argumen, terlebih di tempat dan acara dengan banyak tamu di sekeliling mereka.
Tanpa berdosa, Ava mengulurkan tangannya. "Apa kabar, Chef Kastra? Kreasi Anda yang satu ini memang pantas diacungi jempol. Menyatukan dua jenis makanan yang di atas kertas sulit dikombinasikan tanpa harus condong ke salah satu adalah sesuatu yang membuat saya terkesan."
Tidak ada cara yang lebih jitu dibandingkan membangun suasana formal di antara mereka demi menghindari kecanggungan yang mengancam. Ava sudah terlampau sering dihadapkan pada situasi serupa hingga dia tidak kesulitan mengatasinya.
"Saya senang mendengar Anda menikmatinya. Mungkin mau coba yang lain?"
"I'm good, thanks."
Selama beberapa detik, mereka saling bertatapan sebelum Ava memutuskan bahwa waktunya sudah tiba untuk dia balik badan dan menghilang dari area balkon.
"Senang bertemu dengan Anda di sini, Chef Kastra."
Selepas mengucapkan itu, Ava membalikkan badan dan dengan langkah pelan—karena jika dia mengambil langkah buru-buru, Moga akan mengetahui bahwa dia sengaja menghindar—melebur di kerumunan sebelum dia turun ke lantai satu, mencoba mencari Sabrina yang tidak bisa dijangkau penglihatannya.
"Udah ketemu sama Moga?"
Mulut Ava menganga begitu pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Sabrina dengan santai sementara tangannya memilah deretan baju yang dipamerkan LUSA.
"Kamu tahu dia di sini?"
"Papasan di sini malahan. Ngobrol sebentar, dan begitu tahu kamu ada di atas, dia langsung naik. Penasaran banget sepertinya."
"Sabrina! What were you thinking?" tanya Ava dengan gemas bercampur geram. "Stop buat jadi mak comblang. Moga bukan tipe aku sama sekali. Apalagi setelah lihat tato dia. Cowok tatoan itu nggak rapi dan nggak bersih. You know very well I'm not into that type of guy."
Membuang napas pelan, Sabrina lantas menatap Ava lekat. "Ava, aku nggak bilang apa-apa ke Moga. Aku cuma bilang, kamu ada di atas. Itu aja. Kenapa kamu jadi pikirannya sampai jauh ke sana?"
"Bri, kita kenal udah lama. Aku tahu banget itu trik kamu. Can you please stop doing that?"
"Tapi dia kelihatan lebih ganteng nggak sih pakai pakaian biasa gitu? Auranya jauh lebih keluar."
Melipat lengan di dada, Ava memberikan tatapan tidak percaya ke sahabatnya. "Seriously, Bri?"
"Don't you think so?"
Jika sudah begini, Ava tahu Sabrina tidak akan mengalah begitu saja. Setiap kali sahabatnya mengajukan pertanyaan yang mati-matian dia hindari, konsekuensinya justru membuat Ava harus menganalisis pertanyaan tersebut sebelum memberikan jawaban.
Hanya saja, untuk segala hal yang berkaitan dengan Kastra Moga, Ava tidak perlu berpikir panjang.
"Tetep aja bukan tipeku, Bri," jawab Ava mantap. "Can we move on from him, please?"
~~~
Halo semua,
Setelah baca ini, siapa yang langsung ke toko kue dan nyari sponge cake? Atau malah bikin sendiri? LOL.
Semoga bab ini bisa dinikmati dan selamat berakhir pekan!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro