L I T T L E B I
HARI ke- 22
Aku sedang berolahraga ketika Avgustin muncul bersama Callum. Masing-masing dari mereka tampak tidak antusias, hanya dengan satu kali telaah saja, aku segera tahu pertengkaran telah terjadi sebelum mereka ke sini.
Semua orang pun tahu Avgustin dan Callum punya ego tinggi kalau soal harga diri. Celakanya lagi mereka selalu berbeda pendapat, masing-masing ngotot ingin mempertahankan apa yang telah keluar dari mulut mereka. Setahuku, berdasarkan desas-desus dari Aria, permusuhan mereka bermula karena dendam kesumat masa lalu. Mulanya mereka hanya meributkan soal satu gadis yang sama-sama mereka cintai, kemudian mengular pada prestasi, berikut rupa serta penampilan. Dari Hide aku tahu bahwa Avgustin selalu mampu, entah bagaimana, mengalahkan nilai-nilai cemerlang Callum. Bukan hanya soal itu menurutku yang membuat Calkum kian naik pitam. Avgustin lebih tampan. Barangkali hanya satu yang tak mampu dimenangi Avgustin--soal perempuan.
Sebab hal-hal itulah yang membuat mereka berang pada satu sama lain.
Permusuhan mereka sempat mereda ketika menginjak Institut--hanya karena mereka mengambil jurusan berbeda--begitu mereka sama-sama lolos dalam seleksi ketat kru yang akan menuju Mars. Pertikaian kembali berhembus kencang di udara.
"Hari yang berat, kawan?" aku menambah kecepatan treadmill, mengharuskan aku bergerak lebih cepat lagi. Bukan masalah.
"Selalu berat, kawan," sahut Avgustin, mendesah keras-keras. Tanpa kata dia memasang beban pada lengan, tempurung lutut dan anggota gerak lainnya. Supaya dia mampu bergerak di atas Treadmill dengan nol gravitasi di sekeliling kami.
Sementara Callum--di belakang sana hanya menggerutu. Dia selalu suka menggerutu.
"Tinggal sembilan belas hari lagi," ucap Avgustin sekonyong-konyong. Dia menjulurkan tangan untuk memberi otot lenganku tepukan. "Kita bakal jadi seperti pemeran utama pada buku kesukaanmu itu Denta."
"Yang mana?" Aku membaca banyak buku tolol.
"Aku lupa judulnya," kekeh Avgustin.
"The Martian," celutuk Callum ketus. Seringaian mengejek terbit di sudut mulutnya. "Ciut benar memori otakmu."
Avgustin sepenuhnya mengabaikan Callum, justru memberi aku senyuman andalannya. Senyum menahan jengkel. "Hebat benar bukan penulisnya? Aku ingat kakekku bahkan memajang tanda tangan orang itu di ruang tamu. Maksudnya pamer, tentu saja." Avgustin mengedip. Membiarkan aku merasa jengah sendiri. Avgustin memang tampan, tetapi dia masih kalah denganku--bukan berarti aku memuji diri sendiri--hanya begitulah yang kudengar dari yang lain. Aku tahu aku tampan, tetapi apa peduliku? Fisik tak terlalu penting buatku saat ini. "Sekarang kau baca buku apa?"
Akhir-akhir ini pikiranku sedang kusut. Jadi aku tentu membaca buku yang ringan saja. "Trailblazer trilogi dari Kahnivore." Walaupun setahuku pulau tempat tinggal penulis sudah bergeser jauh ke utara, dan pada akhirnya ditelan Australia. Dia tetap saja menulis buku digital yang lumayan. Nama penanya saja lumayan. "Aku jadi bertanya-tanya kapan aku punya kekuatan super." Aku bergumam sejelas kata tanpa aku sadari.
Callum tergelak serak, terputus-putus. Aku menatapinya yang mengetuk kening dan dadanya—tepat di jantung. "Kau sudah punya, kawan. Kita sudah punya."
"Tetapi tidak cukup, bukan?" tukas Avgustin. Kali ini giliran dia yang memamerkan taring. Melihat adanya lubang. Kesempatan untuk mengolok-olok Callum. "Ngaku saja kau, Collosal. Kau kepingin sesuatu yang lebih, 'kan?"
Sebelum Callum membuka mulut, lalu menghancurkan acara olahraga pagiku yang tenang dan santai dengan balasannya yang seberbahaya badai matahari. Aku mendahului berkata, "Kupikir cukup saja. Kita sudah kuat, abadi, cerdas, dan segala hal ini," aku menunjuk hologram pemandangan kota di bumi, yang sengaja dipasang di sana untuk mengingkatkan kami. Supaya kami tidak lupa. Sekaligus sekadar untuk menghalau rasa rindu. Michaels memang sudah memperkirakan segalanya.
"Ah, aku selalu lebih menyukaimu, Denta," Avgustin mengangkat tangan. Dibuat seakan-akan memegang cangkir wine. Aku menangguk saja sekenanya. Aku tak mau memberi kesan salah pada Callum. Sudah cukup aku dipusingkan oleh Aria.
Namun begitu seharusnya aku sadar. Callum dan Avgustin sama saja. Sama-sama membuat otakku meradang. Apalagi saat Avgustin nyelutuk kasar. "Aku selalu lebih suka yang bebas dari BrainWasher!"
Seharusnya aku melihat hal ini datang--sebab sumbu kesabaran dalam kepala Callum sangat pendek, sangat mudah tersulut--tapi nyatanya aku terlambat beberapa detik. Tinju Callum berkelebat melewati hidungku, sangat mencengangkan bisa mengenai tulang pipi Avgustin dengan telak. Alat penahan beban tubuh Avgustin tersentak bersamaan dengan tubuhnya.
Mengumpat, aku melompat dari tempatku berdiri, dengan cepat memiting tangan Callum. Membawanya ke luar dari ruang olahraga. Menyeretnya supaya jauh-jauh dari Avgustin. Barangkali karena mendengar keributan yang disebabkan oleh makian serta umpatan Callum, Aria datang dengan wajah pias. Surren mengikuti di belakang, tidak terlihat terkejut sama sekali.
Aku tidak sempat mengatakan apa-apa karena sibuk menahan dan menyeret Callum yang masih memaki-maki aku dan Avgustin. Kali ini dalam bahasa Rusia.
THE T H I N G
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro