Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Balloon Flowers

•••

"Kau tau? Kau itu mirip sekali dengan bunga ini. Konsisten."

"Apa benar aku mirip bunga itu? Jika iya... Kurasa aku akan terus mencintaimu selama-lamanya."

•••

Lima tahun sebelumnya. Musim semi

Seorang pemuda tampak berjalan terburu-buru menyusuri trotoar. Ia berdecak pelan menyadari dirinya akan terlambat menuju sekolahnya. Sebenarnya, hari masih pagi. Namun bagi pemuda itu, datang lebih siang lagi sama saja bunuh diri.

Sesampainya di sekolahnya. Pemuda raven itu menghela napas berat. Sudah banyak orang yang datang. Ia mengernyitkan dahi sekilas melihat seorang gadis berambut merah muda tengah dikerubungi oleh banyak pria. Pria bernama Izumi Iori itu mendekati seorang siswi yang tengah berbincang dengan temannya.

"Ano, sumimasen. Boleh aku bertanya?"

Dua gadis itu kompak menoleh ke arahnya dan hampir menjerit menyadari pemuda yang memanggil mereka adalah salah satu pemuda tertampan disekolah mereka.

Jangan lagi, tolonglah, batin Iori.

"Sumimasen, aku ingin bertanya kenapa siswi itu dikerubungi oleh pria," tukas Iori lagi.

Gadis dengan potongan rambut pendek didepannya menoleh ke arah kerumunan. Ia mendengus pelan lalu kembali menatap Iori dengan pandangan memuja. "Itu, ada murid baru. Kelas 1. Katanya dia sangat cantik jadi banyak pria yang mau mendekatinya," tukas.

Iori ber'oh'ria. Ia kembali menatap ke arah kerumunan.

"Iori-kun, bagaimana jika kita bertukar kontak, aku su-"

Iori berdehem keras hingga ucapan gadis itu terhenti. Ia hanya menatap dengan tatapan datar khasnya. Langsung menyela, "Ah, maaf, aku harus pergi." Iori pergi dari sana. Samar-samar ia bisa mendengar ungkapan kecewa dari dua gadis dibelakangnya. Sayangnya, ia tidak berniat untuk membagi nomor teleponnya pada siapapun.

Iori menghela napas. Untuk ke kelasnya, ia harus pergi melewati lorong yang kini menjadi tempat berkerumun. Meski sebenarnya ada jalan lain, yaitu dari pintu belakang, tapi karena jaraknya cukup jauh dan ia harus memutar, Iori memilih menunggu. Hei, ia hanya ingin segera duduk di bangkunya dan membaca buku yang ia bawa.

Iori duduk di bangku yang ada didepan sebuah kelas. Ia sesekali memperhatikan kerumunan itu.

"Memang secantik apa sampai membuat banyak laki-laki berkerumun," gumam sang pemilik netra kelabu itu.

Tak lama, netranya bersibobrok dengan netra crimson dari gadis yang tengah menoleh kepadanya. Sesaat, jiwanya seperti tersedot kedalam netra crimson itu. Seolah jarak mereka sekarang semakin terkikis. Tatapan mata mereka saling terkunci. Tanpa sadar, sebuah kata keluar dari bibir Iori, "Malaikat."

Iori bangun dari duduknya. Ia mendekati kerumunan itu dan berdehem keras.

"Maaf, bukankah kalian harusnya tidak menghalangi jalan orang?"

Para siswa yang ada di sana berdecak melihat Iori. Mereka saling melirik dan pergi dari sana. Iori mendekati gadis merah muda pudar itu. Ia memberikan sapu tangannya melihat gadis itu beberapa kali mengusap tangannya. "Pakailah," katanya.

"Ah, arigatou gozaimasu." Sapu tangannya diambil.

Tatapan Iori masih terpaku pada netra crimson gadis yang tingginya hanya dibawah dagunya itu. Matanya, cantik sekali. Kenapa aku tidak bisa berpaling? Merah muda. Seperti bunga sakura di musim semi, batin Iori.

Bel berbunyi membuat Iori tersadar. Ia berdehem pelan dan berjalan meninggalkan gadis yang ia sebut musim semi itu.

"Ano!"

Langkah Iori terhenti. Ia menoleh ke belakang menatap gadis berambut merah muda pudar itu tampak tersenyum padanya dan membungkuk. "Arigatou gozaimasu! Sapu tanganmu akan ku kembalikan nanti."

Iori tersenyum tipis. Ia hanya mendengus lalu kembali berjalan menuju kelasnya.

•••

Iori meminum airnya begitu ia selesai bernyanyi bersama dengan yang lain. Matanya menyapu ke segala penjuru taman. Hembusan napasnya terdengar berat. Iori berjengit, bahunya ditepuk. Ia lantas menoleh menatap pemuda yang usianya 3 tahun diatasnya.

"Osaka-san?" beonya. Ia menghembuskan napas. "Kau membuatku kaget Osaka-san," tukas Iori.

Sougo tertawa kikuk. "Iori-kun terlihat mencari sesuatu. Kau mencari gadis yang biasanya duduk disana menonton kita, 'kan?" tebak Sougo.

Iori terdiam. Ia memutar mata ke arah lain, tatapan bersibobrok dengan tatapan Riku. Iori menggeleng pelan. "Iie, tidak juga. Aku tidak mencari siapapun," elak Iori.

Dimana dia? Sudah seminggu tidak ada...

.

Iori mengikuti Tamaki yang berjalan terburu-buru. Ia menghela napas lelah. "Yotsuba-san, lain kali kau harus mengerjakan tugasmu dirumah, bukan disekolah," tukas Iori sedikit sinis.

Tamaki mencebik. "Tugas itu ada karena sekolah, jadi dikerjakan di sekolah," jawab Tamaki.

Iori mengulum bibir mencoba tidak mengeluarkan kalimat tajamnya saat itu juga. Ia hanya menghembuskan napas dalam-dalam dan mengelus dadanya. "Jika saja bukan temanku, sudah pasti ku umpati," gumam Iori. Ia berhenti begitu melewati toko perlengkapan sekolah.

"Yotsuba-san, duluan saja. Aku masih ingin membeli sesuatu."

Tamaki menatap sebentar lalu mengangguk dan melanjutkan jalannya. Sedangkan Iori pergi memasuki toko itu dan membeli barang yang ia butuhkan. Setelah selesai membeli apa yang ia inginkan. Iori berjalan lagi menuju sekolahnya, ia membuka ponselnya melihat jam sekolah yang hampir datang.

"Tapi aku ingin sekolah, Tenn-nii!"

"Dengan keadaanmu yang begini? Jangan harap kuiizinkan!"

Langkah Iori terhenti. Ia mengernyitkan dahi mendengar suara yang familiar di telinganya. Ia berhenti, mengeluarkan kaca kecil dan melihat dari sana. "Kujou Tenn-san dari TRIGGER dan... Gadis itu..." gumamnya. Enggan untuk bergerak dari sana, Iori berdiam diri.

"Tapi aku tidak bisa begini terus, Tenn-nii!" gadis berambut merah muda pudar itu menatap jengah pada pria didepannya.

"Memang. Tapi Saku, kau saja masih takut jika bertemu perawat perempuan," tukas pria bernama Tenn itu dengan lebih lembut. Ia menangkup wajah adiknya.

"Aku bisa menjaga diri, nii-san," gumam lirih gadis dengan nama Sakura.

"Dokter belum mengizinkanmu keluar dari rumah. Tolong jangan melawan nii-san, Saku."

"Tapi Saku tidak mau begini terus! Saku juga ingin sembuh nii-san!'

"Aku tau!" Tenn mengeratkan tangkupannya pada pipi Sakura. "Aku tau, Saku. Tapi dirimu belum siap, kau masih tahap pemulihan. Jangan paksakan dirimu hanya karena omongan orang! Kau tidak tau bagaimana takutnya aku melihatmu terkapar hari itu?!" sentak Tenn.

Tubuh Sakura sedikit gemetar. "Sa-Saku tau... Jadi Saku ingin sembuh agar Tenn-nii tidak sedih lagi..."

"Saku..." Tenn membawa Sakura kedalam dekapannya. Ia mengelus punggung Sakura dengan perlahan. "Maaf membentakmu, tapi nii-san tidak bisa menjagamu saat di sekolah. Nii-san terlalu takut Saku kenapa-napa," tukas Tenn pelan.

Iori yang mendengar semua itu dengan jelas napasnya tercekat. Memang apa yang terjadi? Takut? Perempuan? batin Iori. Ia menghela napas pelan dan melewati tempat itu.

"Aku tidak berhak ikut campur," gumam Iori lirih.

Saat Iori lewat, Sakura menoleh dan tersenyum senang. Ia melepas pelukan Tenn dan menarik tangan Tenn agar mengikutinya. "Ah, kalau begitu aku akan bersama dengannya! Dia yang akan menjagaku, Tenn-nii!" tukas Sakura cepat dengan memegang ujung blazer Iori.

Iori spontan menoleh ke belakang. "Ha?!" Ia dan Tenn berkata dengan kompak. Keduanya lalu saling menatap lalu menatap Sakura.

Sakura nyengir lebar. Ia langsung memeluk lengan Iori. "Tenang saja, nii-san! Aku aman dengannya. Tenn-nii tidak perlu cemas," tukas Sakura meyakinkan. Ia memberi kode dari tatapan mata pada Iori.

Iori mengerjab beberapa kali. Ia menghela napas dan mengangguk. "Hai', aku akan menjaganya," tukas Iori.

"Kau siapa?"

"Izumi Iori dari IDOLiSH7."

"IDOLiSH7...?"

Sebelum ada pembicaraan lagi, Sakura segera mengecup pipi Tenn dan menarik tangan Iori. "Saku berangkat Tenn-nii! Semangat kerjanya," ucap Sakura.

Tenn menghela napas. "Baiklah, kau harus menjaganya..." Ia menunduk dan aura tubuhnya menggelap. "Jika tidak, aku akan menghancurkanmu," gumam Tenn. Lantas berbalik dan pergi dari sana.

Sakura menghela napas. Ia menoleh ke belakang dan melihat Tenn yang sudah tidak terlihat. Gadis itu langsung melepas rangkulannya dari lengan Iori. Ia membungkuk pada pemuda kelabu itu. "Arigatou gozaimasu. Maaf membuatmu terlibat dalam hal yang harusnya tidak kau tau," tukas Sakura.

"Iie..."

Iori sedikit merunduk menatap wajah Sakura. "Wajahmu sedikit pucat. Haa, karena sudah mengatakan akan menjagamu, kau tidak boleh jauh-jauh dariku," tegas Iori.

Sakura mengerjab-erjabkan mata. "Hai'?"

"Kau tuli?"

Sakura menggeleng pelan. Iori menghela napas berat, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Sakura hingga hidung mereka saling bergesekan. Iori merona tipis begitu bisa melihat wajah cantik dan imut milik Sakura. Ia terkikik dalam hati, Sakura menutup matanya. Anak ini tidak berpikir aku akan menciumnya, 'kan?

"Kau masih punya hutang sapu tangan padaku! Aku akan mengambilnya dengan caraku sendiri!" bisik Iori.

•••

Iori tersadar dari lamunannya. Ia meminta melepas kacamata anti radiasi yang ia pakai, memijit pelipisnya dan mematikan laptopnya. "Mataku sakit lama-lama," gumamnya.

Iori bangun, ia berjalan ke balkon kamarnya yang langsung menghadap ke pemandangan kota Paris. Dalam hati iori mendengus pelan. Dering ponselnya membuat atensi pemuda dengan netra kelabu itu teralihkan, ia mengambil ponselnya dan melihat nama leader grupnya yang mengirim pesan padanya.

"Saku menunggu dibawah?" beonya.

"Kenapa tidak langsung masuk ke kamarku saja," gumam Iori sambil menggeleng kepala pelan. Ia lantas mengganti pakaiannya. Ia memakai kemeja putih polos, celana khaki berwarna navy dengan tambahan jaket Boomber navy.

Iori menyampingkan rambutnya lalu mengambil sneaker shoes, juga tas satchel sebagai tambahan. Iori lekas keluar dari kamarnya. Begitu keluar, ia langsung berpapasan dengan Naomi.

"Nandesuka?"

Naomi menggeleng. "Kau rapi sekali. Yah, lumayan tambah tampan sedikit, lah. Sana, Sakura sudah menunggu. Oh ya, hati-hati," tukas Naomi lalu masuk ke kamar disebelah Iori.

Iori mengernyitkan dahi. Bukan karena ucapan Naomi, melainkan karena Naomi masuk ke kamar salah satu membernya yang bernama Tamaki. Tak ingin ambil pusing, Iori melangkah menuju keluar mansion.

Ia disambut dengan Sakura yang tengah bersandar di kap mobil Mercedes-Benz AMG GT R Roadster berwarna putih yang terlihat elegan. Tak kalah dengan itu, gadis musim semi itu juga tampak tampil cantik dengan style casual-nya. Kaos merah muda dengan model turtleneck, jaket Boomber putih, rok setengah lutut berwarna peach. Kakinya dibalut dengan flat shoes putih, ia memakai kacamata hitam dan juga rambut yang sedikit dikunci kebelakang sedangkan sisanya diurai. Tampilan Sakura lagi dan lagi, selalu membuat pemuda kelabu itu berdecak kagum.

"Maaf lama," tukas Iori sambil menghampiri Sakura.

Sakura mendongak, ia tersenyum tipis pada Iori. Sakura menghambat Iori, berjinjit didepan pria itu dan merapikan poninya. "Yosh sudah tampan," cengir Sakura.

Iori merona tipis, ia mengusap pipi Sakura gemas.

"Yosh! Ayo kita jalan-jalan. Aku yang menyetir," tukas Sakura bersemangat.

Iori diam sebentar. Ia melihat mobil putih yang akan mereka pakai. Mobil mewah, itu... Harganya sekitar tiga sampai lima miliar, apa... Akan rusak? batin Iori. Iori memutar otak. Ia berdehem pelan, "Mobil baru, Saku?" celetuknya.

"Iya? Ah, iya. Ini mobil baruku. Aku ingin kita jalan-jalan dengan ini."

"Hee, harganya...?"

"Hem, kalau tidak salah 397.462,44 US Dollar."

Itu... Sekitar 45.302.830,26 Yen... Aku tidak masalah dengan nominalnya tapi jika mobil ini rusak kan sayang, batin Iori.

Sakura memiringkan kepala. Iori menggeleng. Ia meminta waktu dan menghubungi Rui.

"Ya?"

"Amazawa-san, berapa persen kemungkinan Saku merusak mobil baru?"

"..."

"Izumi... Aku hanya bisa bilang, kalau Sakura itu suka balapan. Semoga harimu menyenangkan!"

Tut Tut Tut

Iori tersenyum pasrah. Ia mendekati Sakura lagi. "Ayo berangkat," katanya.

Sakura hanya mengangguk dan masuk ke mobil tanpa atap itu. Iori mengikuti dan duduk disebelahnya. Sesekali Sakura melihat Iori yang sedikit memucat. Tentu ia tau alasannya, Sakura terkekeh. Ia menghidupkan mesin mobilnya, menginjak pelan pedal gas dan keluar dari pekarangan mansion.

"Tenang saja, Iori! Kita tidak akan mati hari ini. Yah, setidaknya bukan mati karena kecerobohanku dalam berkendara," celetuk Sakura.

Iori menoleh kaku, ia berdehem pelan. "Aku tidak berpikir begitu," elaknya.

"Wajahmu itu, tuan."

Iori hanya meringis kecil. Ia menatap ke depan tanpa mengatakan apapun lagi. Sakura menghela napas. "Tenang saja, Iori. Kita hanya akan jalan-jalan. Aku tidak akan membuatmu masuk rumah sakit. Etto, rencanaku, hari ini dan besok kita tidak pulang ke mansion," tukas Sakura.

"Tidak pulang? Jadi menginap di hotel?"

Sakura mengangguk.

"Memang kita mau jalan-jalan kemana sebenarnya?"

"Keliling Paris."

Iori membulatkan mulutnya. Mengangguk pelan dan melihat Sakura yang mengenakan kacamata hitam. "Cantik," puji Iori tanpa sadar.

Sakura berhenti di lampu merah. Ia menoleh pada Iori. "Io... Jangan goda Saku," gumamnya.

Iori terkekeh. Ia mendekatkan wajahnya dan mengelus pipi Sakura. "Aku hanya berkata kenyataannya," ungkap Iori. Ia terkekeh melihat rona merah muncul di pipi pualam gadisnya.

Sakura mencebikkan bibirnya. Ia fokus mengendarai mobilnya lagi setelah melewati lampu merah. Keadaan hening. Ingatan Iori kembali ke saat-saat dimana ia dan Sakura bersama-sama dulu. Berbeda dengan Sakura yang kini tengah menikmati suasana kota Paris yang menjadi favoritnya.

"Iori, mau kopi?" tanya Sakura tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.

Tak ada jawaban. Sakura melirik ke arah Iori. Ia menepikan mobilnya lalu berhenti, kepalanya ia tolehkan menatap sang pemilik surai raven. Sakura menepuk-nepuk tangannya didekat telinga Iori. Tak ada reaksi. Sakura mengernyitkan dahi.

Apa jangan-jangan sedang memikirkan dokumennya? Batin Sakura.

Sakura menepuk bahu Iori hingga tubuh pemuda raven itu tersentak. Sakura tersenyum manis hingga pemuda itu bergidik.

"Apa yang kau pikirkan, tuan?"

"A-apa?"

Sakura semakin menarik bibirnya. "Apa yang kau pikirkan sampai termenung begitu?" ulang Sakura.

Iori menggeleng pelan. Ia memegang tangan Sakura yang berada di bahunya dan mengecup telapak tangannya. "Tidak ada. Bukan hal yang penting. Ayo lanjutkan, katanya mau mengajakku jalan-jalan," kata Iori. Ia tersenyum gentle pada Sakura.

Gadis kelahiran April itu mendengus. Ia menarik tangannya dari genggaman Iori dan kembali menjalankan mobilnya. Iori mengambil satu tangan Sakura dan menggenggamnya. Ia hanya tersenyum begitu mendapatkan lirikan dari Sakura.

Keadaan hening untuk beberapa saat. Hingga Iori membuka suara, "Nee Saku, ingat saat pertama kali kita bertemu?"

"Pertama kali bertemu?"

"Sou."

Keduanya diam untuk beberapa saat hingga keduanya saling melirik dan berkata dengan kompak, "Sapu tangan!" Tawa mereka pecah.

"Kalau diingat-ingat itu kenangan yang cukup aneh, ya," celetuk Sakura.

"Sou dane."

"Oh! Aku belum mengembalikan sapu tanganmu, ya?"

"Bukannya kau bilang sapu tangan itu hilang?" Iori menyipitkan mata melihat Sakura yang malah bersiul sambil menatap ke arah lain seraya membelokkannya mobilnya.

"Saku," panggil Iori pelan.

"Mo-mou! Jangan mengintimidasi! Iya iya, masih ada padaku," aku Sakura.

"Kau berbohong padaku, hime?"

Sakura langsung menggeleng cepat. Ia memarkirkan mobilnya didepan kafe. Sakura melepas seatbelt yang ia pakai dan menatap Iori sepenuhnya. "Aku tidak bohong. Kapan aku pernah bohong pada Iori?"

"Sering."

Sakura meringis, mengerucutkan bibirnya dan menepuk-nepuk dada Iori. "Jangan begitu, dong!'

"Nyatanya begitu, Hime. Kau sering berbohong padaku soal kondisimu. Kau sering bilang jika baik-baik saja, padahal aku tau kau sedang berada di rumah sakit karena kambuh," tukas Iori tajam. Ia sedikit mengangkat dagunya dan menatap Sakura rendah.

Sakura terdiam melihat itu. Ia melepas kacamata yang membingkai wajahnya. Netra crimsonnya berkaca-kaca. Iori kelabakan. Ia memegang tangan Sakura dan memeluk gadisnya.

Kelewatan, batin Iori.

"Gomen, aku tidak bermaksud menyakitimu," bisik Iori.

"Saku berkata jujur tau! Tenn-nii menemukan sapu tangan Iori dibawah mesin cuci saat ingin mengganti mesin cuci dengan yang baru. Saku tidak bohong, 'kan? Belum sempat memberikan pada Iori saja," cerita Sakura.

"Ba-baiklah, Saku. Saku tidak berbohong."

Sakura mendongak dan mengigit dagu Iori dengan kuat hingga pria itu memekik tertahan. Ia menatap Sakura yang tersenyum penuh kemenangan. "Rasakan!" ujar Sakura.

Sakura langsung turun secepat kilat dari mobil dan masuk ke dalam kafe. Iori mengulum bibirnya. Ia mengusap dagunya memastikan ada atau tidak bekas gigitan di dagunya. "Astaga, dasar kelinci nakal," gerutu Iori. Ia mengambil kacamata hitam yang ada di dashboard, memakainya dan turun dari mobil lalu menyusul Sakura.

Iori melihat Sakura yang bercengkrama dengan seorang pria berambut kepirangan. Guratan tidak suka tanpa jelas tercetak di pelipisnya. Iori mengambil langkah besar, mendekati Sakura dan merangkul pinggangnya posesif.

Sakura tersentak. Ia menoleh pada Iori yang hanya menatap dengan tatapan datar. "Kalau begitu itu saja pesananku, Sam. Antarkan ke tempat biasanya, ya," tukas Sakura.

"Baiklah baik. Ini kunci untuk lantai 2. Jangan hilangkan lagi."

Sakura mengambil kunci itu, memberikannya pada Iori dan nyengir kuda. "Yang pegang bukan aku jadi aman!" ujarnya yakin.

Pria yang dipanggil Sam itu menghela napas. Mengangguk dan kembali membuat kopi. Sakura memegang lengan Iori dan menariknya pelan menuju ke tangga penghubung.

Setelah sampai dilantai dua. Sakura mengambil kunci yang dari tadi dipegang Iori dan membuka salah satu pintu yang ada disana. Keduanya langsung disambut oleh sebuah ruangan yang terlihat nyaman. Ada dua buah bantal sofa yang berukuran lumayan besar, meja kaca rendah ditangah ruangan, yang dibawahnya dilapisi oleh karpet berbulu dengan warna baby blue, lalu dua rak buku di sisi kiri dan kanan dan sebuah grand piano transparans disamping dekat dengan balkon. Dinding-dindingnya dihiasi dengan foto-foto dan lukisan bunga yang terlihat lembut. Iori samar-samar tersenyum melihat ruangan yang nyaman, ia melepas kacamatanya.

Tangannya ditarik oleh sang kekasih memasuki ruangan itu. "Huaaa sudah lama tidak kesini," celetuk Sakura. Ia duduk di bantal sofa dan memejamkan matanya. Iori mengikuti Sakura dan duduk disebelahnya.

"Sering kesini?"

"Uhm! Saat pergi ke Paris pasti kesini. Bisa dibilang ini tempat kesukaanku. Oh oh! Iori juga akan suka, kok. Kopi disini sangat enak."

"Tidak sabar menanti kopi yang katanya sangat enak itu." Iori memegang pinggul Sakura dan mengangkatnya duduk dipangkuan pria itu. Ia memeluk pinggang Sakura, menaruh dagunya di puncak kepala Sakura. "Nyaman, ah, andai aku membawa laptop kesini. Kurasa bekerja disini juga nyaman," tukas Iori.

Tidak ada reaksi. Iori menoleh pada Sakura yang hanya diam dengan kerutan di keningnya. "Saku?" panggilnya pelan.

"Iori mau kencan dengan dokumen, ya?" tuduh Sakura.

"Eh?"

"Ayo bilang! Waktu aku ke kamar Iori, Iori selalu saja fokus pada pekerjaan. Sampai lupa kalau punya kekasih yang imut! Is my dream mas, not her!"

"Tu- ha?" Iori mengerjabkan mata. "Ma... Ma apa?"

Sakura bangun, bertumpu dengan lututnya dan berkacak pinggang. "Kau selalu saja begitu! Menghindar dari ucapanku. Bilang saja Iori mau berkencan dengan dokumen kesayangan mu itu. Lupakan saja aku! Cintai saja dokumenmu! Is my dream mas, not her!"

Mas? Maksudnya apa? Dari bahasa mana lagi itu astaga!!! Jerit Iori dalam hati.

"Sa-Saku... Buka-" Iori menelan ludahnya begitu Sakura memotong ucapannya dengan kalimat yang sama lagi. Iori bangun dan keluar dari ruangan. Merogoh saku celananya dan menelfon Tenn.

"Moshi moshi Kujou-san?"

"Ada apa?"

"Aku hanya ingin bertanya. Apa kau mengerti kenapa Saku tiba-tiba berteriak 'Is my dream mas, not her.'?'

"... Ah, dia mengatakan padamu juga?"

"Hai', kau tau sesuatu?"

"Itu, dia kemarin melihat film yang direkomendasikan temannya dari Indonesia. Kalau tidak salah judulnya 'Layangan Putus', Saku terobsesi dengan kalimat itu. Bukan hanya itu, dia juga meracuni Rokuya Nagi dengan kalimat yang sama," jelas Tenn. Iori hampir menjatuhkan rahangnya mendengar ucapan itu.

Samar-samar ia bisa mendengar keributan yang ada diseberang. Iori berterima kasih lalu menutup panggilannya. Ia kembali ke dalam dan melihat Sakura yang masih misuh-misuh.

Iori mengambil napas. Ia mendekati Sakura, berjongkok didepannya, menangkup pipi pualam gadisnya lalu mencium bibir Sakura dengan lembut.

Satu-satunya cara. Bungkam dengan ciuman!

Sakura terbelalak. Ia memegang bahu Iori, mencoba untuk mendorong bahu pemuda itu agar tautan bibir mereka terlepas. Namun apa daya, Iori sudah menyelipkan tangannya di tengkuk Sakura dan menekan tengkuk gadis itu agar semakin dalam pula ciumam mereka.

Iori melepas ciumannya begitu merasa Sakura hampir kehabisan napas. Ia mengusap lembut bibir Sakura dan memeluknya. "Gomen, aku akan memperhatikan Saku selama kita berdua," bisiknya.

Sakura hanya diam sibuk meraup udara sebanyak yang ia bisa.

Iori melihat wajah Sakura. Ia mengusap pipi Sakura yang merona manis dimatanya. "Kau imut, Saku," tukas Iori tanpa sadar.

Sakura memukul bahu Iori pelan. "Kurang aja! Main cium saja! Mau kutusuk pakai pedangku, ha?!"

Iori terkekeh, mengecup kembali bibir mungil sang kekasih lalu tersenyum jahil. Ia tertawa pelan melihat Sakura yang melotot padanya seolah ia sudah membuat sebuah kejahatan besar. "Salahkan bibirmu yang menggodaku!"

Sakura langsung menutup mulutnya. Takut-takut pemuda raven itu akan mencium bibirnya lagi.

Kedua atensi insan iru teralihkan pada pintu yang diketuk. Sakura bersuara agar si pengetuk masuk. Iori langsung memeluk Sakura posesif begitu tau siapa yang datang.

"Oh, Sam. Lama sekali."

"Maaf maaf, tadi ramai." Barista itu menaruh nampan berisi secangkir kopi hitam, secangkir latte, dan beberapa jenis kue juga kue mering.

Sakura berbinar menatap hal itu. Sam melirik Iori yang hanya menatap datar.

Pria ini... Sedang mengatakan dengan tegas melalui perbuatan kalau Sakura adalah miliknya? Batin Sam.

Sakura milikku. Jangan lihat-lihat, batin Iori.

"Uwaa. Merci!" Seolah acuh dengan keadaan, Sakura mengambil macaron, memakannya dan menjerit tertahan karena rasanya yang enak. Ia mengambil satu lagi dan memasukkannya ke dalam mulut Iori.

Sakura memgerjab pelan melihat Iori yang tengah menatap tajam ke arah Sam. Sedangkan Sam sendiri hanya berdiri menatap keduanya. Batin Sakura bertanya-tanya kenapa sang kekasih seperti melotot pada barista kenalannya.

"Em..."

Tanpa bicara, Sam keluar dari ruangan itu.

"Akhirnya pengganggu keluar," gumam Iori.

Sakura mengernyitkan dahi. Ia memutar bola mata malas melihat Iori. "Jangan bilang Iori menganggap Sam itu ancaman?" tebak Sakura.

Iori mengedikkan.

Sakura mencubit pipi Iori. "Ish! Jangan begitu. Dulu waktu aku tersesat, Sam yang membantuku, tau. Dia orang baik yang mengizinkan aku tinggal disini sampai yang lainnya datang untuk menjemput ku," aku Sakura.

Iori menghela napas dan mengangguk saja. Ia melepas pelukannya dari Sakura dan melihat kopi hitam yamg ada di meja. "Sepertinya enak...," gumamnya.

"Cobalah! Aku yakin Iori akan sering datang kesini nantinya."

Iori berdehem pelan. Mengambil cangkir kopinya dan mengesap kopi hitam itu. Lidahnya langsung mengecap setiap tetes cairan kopi yang masuk ke rongga mulutnya, rasa pahit mendominasi mulutnya, lantas disusul dengan sedikit rasa asam dan juga rasa manis. Iori tersenyum simpul melihat cangkir kopi itu. "Nikmat," gumamnya.

Iori kembali meminum kopinya. Ia menikmati setiap teguk kopi yang ia punya.

Sakura memperhatikan Iori. Kepalanya menggeleng pelan tidak habis pikir dengan tingkah Iori jika sudah berhadapan dengan kopi. "Dasar, jika sudah melihat kopi langsung saja semangat," gumam Sakura. Senyum lembutnya tak dapat ia tahan begitu melihat wajah Iori yang cerah.

Sakura bangun. Ia mendekati rak dan melihat buku-buku yang ada disana. Netra crimsonnya terpaku pada satu buku. Ia mengambil buku itu dengan perlahan, senyum cerahnya terpancar dengan jelas.

"Ternyata ini disini. Pantas tidak ada di dorm."

Sakura mengambil kertas partitur yang ada dibuku itu, menuju ke arah grand piano yang sudah memanggilnya sedari tadi. Sakura membuka penutupnya, menaruh kertas partitur itu di penyangga, mengelus tuts piano yang sudah lama tidak ia mainkan. Senyumnya tetap tersungging dengan lebar.

Sakura duduk di kursi pianis. Ia melihat partitur lagunya dan mulai memainkan pianonya.

Iori menoleh mendengar suara lembut Sakura. Ia mengerjabkan mata beberapa kali. Senyum lembut tersungging dibibir pria itu.

Sakura tersenyum lebar setelah selesai bernyanyi. "Huaaa menyenangkan!" pekiknya. Ia menoleh pada Iori yang bertepuk tangan padanya.

Sakura merona tipis. Ia memainkan rambut merah muda pudar panjangnya. "Te-Terima kasih," gumam Sakura.

"Hanya itu saja, Saku?"

Sakura memgerjab dan mengangguk. Iori tersenyum lembut, bangun dan duduk disebelah Sakura. "Bagaimana jika kita sempurnakan?" tawarnya.

"Eh?"

Iori tersenyum lembut dan memegang kertas partitur. "Sayang sekali jika lagu ini tidak lengkap. Kita sempurnakan," tukasnya.

Sakura berbinar-binar. "Jadi, ini lagu pertama yang kita buat bersama?" tanyanya.

Iori mengangguk. Sakura memekik senang. Ia memeluk tubuh Iori dari samping. Iori terkekeh kecil, ia mengecup lembut pelipis Sakura.

Keduanya pindah ke tempat awal. Agar mudah, Sakura meminjam gitar pada Sam. Ia dan Iori mulai menyempurnakan lagu tadi. Tak sadar jika hari yang semula cerah dengan langit biru mulai terganti dengan langit yang berubah menjadi gelap tanda malam sudah tiba.

Dua cangkir kopi telah tandas dimeja. Namun lain dengan dua piring makan malam yang belum tersentuh sama sekali. Mereka melewatkannya. Asik sendiri dengan kegiatan mereka untuk menyempurnakan lagu.

Tit tit tit

Sakura mengambil ponselnya. Ia melihat alarm yang berbunyi. Matanya terbelalak. Ia menatap Iori yang masih asik menulis.

Aduh, aku malah keasyikan sendiri membuat lagu. Belum menyiapkan apapun untuk ulang tahun Iori beberapa jam lagi! Jerit Sakura.

Sakura melirik ke arah pintu. Ia melihat Sam yang melihat dari celah pintu dengan tangan memberi isyarat padanya. Sakura bangun diam-diam dan keluar dari ruangan. "Sam?"

"Kau asik sendiri. Bukankah beberapa jam lagi hari ulang tahunnya?"

Sakura nyengir lebar. Ia mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Matanya melirik ke segala arah asal bukan pada pria berambut pirang itu. Melihat itu Sam menghela napas. Ia menyerahkan kertas pada Sakura.

"Jangan lupa bayar. Aku sudah menyiapkan semuanya," tukas Sam.

"Eh?"

"Tuli?"

"Ti-tidak! Maksudku terima kasih, Sam. Kau yang terbaik. Aku... Lupa karena asyik sendiri," gumam Sakura diakhir.

Sam hanya mendengus dan mengacak rambut Sakura. Ia berbalik membawa troli berisi kue. Sakura berbinar melihat kue tiga tingkat yang Sam bawa.


"Nanti berterima kasihlah pada Stella yang sempat membuat ini," ujar Sam.

"Eh Stella sudah keluar dari rumah sakit?! Bagaimana dengan anak kalian?!"

"Dia sehat. Setelah selesai kunjungi dia. Kalau begitu aku duluan. Nikmati harimu."

.

Di dalam. Iori bernapas lega setelah menyelesaikan liriknya. Ia tersenyum simpul melihat lirik yang sudah ia susun dengan rapi.

"Entah mengapa rasanya seperti perasaan ku tertuang disini," gumam Iori.

Iori mengedarkan pandangannya mencari sang kekasih. Ia mengernyitkan dahi begitu tidak menemukan gadisnya.

"Saku?" panggil Iori.

Iori merapikan kertas partiturnya. Ia menyimpan kertas itu di buku lalu berdiri. "Saku?" panggilnya lagi.

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Iori mulai panik. Ia hendak berjalan namun langkahnya terhenti karena lampu mati. "Tu- ha?! Jangan sekarang! Saku? Saku!"

Iori menarik napas panjang. Mencoba untuk tetap tenang. Ia mendekati arah cahaya yang samar-samar. Balkon. Iori melihat ke arah kota Paris. Ia mengernyitkan dahi begitu secara serentak seluruh lampu kota padam.

Kenapa Iori bisa melihat hampir seisi kota Paris? Karena kafe milik Sam berada di daerah yang cukup tinggi sehingga pemandangannya langsung pas pada eloknya pesona kota Paris.

"Eh?"

Iori terkaget begitu beberapa sudut lampu hidup dan membentuk tanda musiknya. Double flat. "Tu-tunggu, ada apa ini?" beo Iori. Batinnya masih bimbang hendak terpesona atau malah panik.

"Happy Birthday to you~ Happy birthday to you~."

Iori berbalik. Ia terdiam sebentar dan tidak bisa menahan senyumnya melihat Sakura yang mendorong troli kue yang lilinnya menyala. Suasana masih gelap jadi ia tidak bisa melihat Sakura dengan jelas, namun dapat ia pastikan, Sakura memakai bando telinga kelinci.

"Sa...ku?"

Sakura tetap bernyanyi hingga ia sampai didepan Iori. "Tiup lilinnya, sayang!"

"Tunggu, ini hari apa?"

"Pfft. Hari ulang tahunmu! Makanya jangan kencan dengan dokumen terus. Ayo, make a wish lalu tiup lilin," tukas Sakura. Agak sedikit memaksa dengan matanya yang melotot pada Iori. Namun sayang, Bagi Iori itu justru terlihat manis dimatanya.

Iori memejamkan mata. Setelah beberapa menit, Iori membuka kelopak matanya dan meniup kue itu.

"A-aku bahkan lupa kalau hari ini ulang tahun..."

"Kencan terus sih," cibir Sakura.

"Sakuuuu."

Sakura tertawa terbahak-bahak. Selepas acara potong kue singkat, Sakura membawa Iori ke lantai bawah. Kafe tadi kini disulap menjadi tempat yang romantis. Sakura bersiul dalam hati. Ia mengandeng Iori duduk di meja yang sudah ada di sana.

"Kalau begitu ayo rayakan ulang tahun Iori yang ke-21!"

"Kau semangat sekali..."

"Tentu saja!" Sakura nyengir lebar.

Keduanya makan malam, ah lebih tepatnya makan tengah malam karena memang hari juga sudah berganti. Selepas makan malam. Sakura melihat ke langit. "Bintangnya banyak, ya," celetuk Sakura.

Iori ikut mendongak. "Sou dane. Entah kenapa aku merasa senang. Dihari ulang tahunku ini, bintang Polaris seolah bersinar paling terang di langit malam ini. Aku seperti diberkahi," tukas Iori.

Sakura tersenyum lembut. Ia bangun dan memeluk Iori dari belakang. "Kurasa memang begitu." Tangannya menunjuk ke arah bunga yang ada di vas ditengah meja. "Kau tau bunga itu?" tanyanya.

"Bunga balon?"

Sakura mengangguk. "Kau tau? Kau mirip sekali dengan bunga itu, Iori. Konsisten. Selalu konsisten pada apa yang Iori kerjakan hingga akhirnya bisa sampai seperti sekarang. Perusahaan mulai membuka cabang di banyak negara, bahkan masih bisa melanjutkan pekerjaannya menjadi idol," tukas Sakura.

"Benarkah? Aku melakukan semuanya untukmu."

"Iori..."

Iori menoleh dan mengecup pipi Sakura dengan lembut. "Aku akan melakukan apapun agar dirimu bahagia, Saku. Bahkan jika harus bekerja keras dan mengorbankan diriku. Aku akan melakukannya. Karena Saku adalah duniaku," terang Iori.

Iori mengecup kening Sakura. Ia bangun dan menarik dagu Sakura yang menunduk. "Jangan merasa bersalah," bisiknya.

"Ayo mainkan lagu itu," ajak Sakura.

"Sekarang?"

Sakura mengangguk. Ia menarik Iori menuju sudut ruangan dimana sudah ada alat musik disana. Sakura mengambil gitar dan memangkunya.

Iori mengerjab. "Jangan bilang aku yang bernyanyi..."

Sakura mengangguk polos. Iori mendengus pelan. Ia ikut duduk dan menunggu Sakura memainkan instrumennya. Iori mulai bernyanyi.

Suara yang pas dari Iori, juga iringan Sakura membuat malam itu menjadi semakin berkesan.

Sou, aku menuangkan semua perasaanku di lagu ini, batin Iori.

Sakura tersenyum lembut melihat Iori. Hatinya selalu kembali terpikat pada pemuda raven itu setiap saat. Poni Iori sedikit menutupi rambutnya, menambah kesan elok pada wajah rupawan pria itu.

Hingga akhirnya lagu selesai. Iori menatap Sakura dengan tatapan dalam. Ia mengulurkan tangannya pada gadis yang sangat ia cintai.

Sakura menyambut uluran tangannya. Saling menggenggam seolah tidak ingin kehilangan. Iori berdiri, menarik Sakura dan merangkul pinggangnya. Keduanya berdansa meski tanpa iringan musik, saling menatap dengan tatapan dalam. Netra saling mengunci dan saling menyelami.

"Apa benar aku mirip bunga itu, Saku?" Iori membuka suara.

Sakura mengangguk. Iori berhenti, tersenyum lembut pada Sakura. "Mungkin, aku mirip pada bagian. Cinta yang tak pernah berubah. Sama seperti cintaku padamu yang tidak pernah berubah apalagi padam. Malah kau selalu membuatku tergila-gila padamu, hime, dan itu selamanya," tukas Iori.

Ia dengan lembut memagut bibir bawah Sakura, membawa gadisnya dalam ciuman yang intens.

Manis. Canduku. Aku tidak akan bisa lepas darinya... Sampai kapanpun.

••• The End Part 1 •••

|'• Sisipan •'|

Sakura dan Mitsuki berdua di ruang tamu. Keduanya hening menikmati suasana.

"Mitsu nii-chan, aku bosan," celetuk Sakura.

Mitsuki langsung menoleh pada calon adik iparnya. Otaknya langsung berputar memikirkan hal menyenangkan apa yang bisa ia lakukan dengan Sakura. Semua orang sedang ada jadwal sebelum konser, berbeda dengan Mitsuki dan Sakura yang jadwalnya sudah selesai.

"Oh!" Mitsuki bangun.

"Mitsu nii-chan?"

"Tunggu disini. Sebentar sajaa." Secepat kilat Mitsuki pergi ke kamarnya dan membongkar kopernya. Ia mengambil sebuah buku tebal yang ternyata adalah album. Mitsuki kembali ke ruang tamu. Ia melihat Sakura dengan senyum lebar.

Mitsuki duduk disebelah Sakura. Ia menyodorkan album ditangannya pada Sakura. "Buka coba buka," tukasnya sambil menaik-turunkan alisnya.

"Buka?" beo Sakura.

Mitsuki mengangguk yakin.

Sakura membuka lembar pertama dan menjerit tertahan. Ia melihat foto dimana Iori dan Mitsuki tengah tidur bersama dengan tangan saling menggandeng. Itu foto saat mereka masih kecil.


"A-apa ini?! Kenapa... Manis sekaliii," jerit Sakura. Ia merona melihat foto itu. Lalu menoleh pada Mitsuki yang merona tipis.

"Ka-kau fokus pada Iori!"

"Tapi nii-chan juga imut, tau!"

"Sudahlah lihat Ioriii."

Sakura cemberut sebentar. Ia kembali melihat dengan antusias. Lantas ia hampir menjerit lagi melihat foto Iori kecil yang tengah memeluk boneka beruang.

"So cute! Bo-boleh aku ambil? Yang in saja...," tukas Sakura.

Mitsuki tertawa. "Ambil saja. Aku masih ada salinannya," jawab Mitsuki.

Sakura berbinar senang dan langsung menyimpan fotonya.

"Ah... Apakah anakku dan Iori akan imut seperti ini nantinya?" gumam Sakura yang sudah berharap.

~~~~

A/n:

AHAHAHA~

STRESS! LEYA STRESS! KENAPA IMUT SEKALI?! //stiker terguncang//

Happy Birthday Iori!!!!

Btw- ini belum berakhir ahahahaha~
UWU uwu di otakku belum tersalurkan semuanya! But, aku lumayan sibuk sekarang. Jadi belum tentu besok udah up kelanjutannya~

Hope you like it!

See ya!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro