Epilogue
Pria itu lagi-lagi memandangi perempuan itu. Ia yakin, ia kenal dengan perempuan itu. Perempuan itu memang parasnya rupawan, jadi tidak heran pria itu mengingatnya.
Pria itu memutuskan untuk tidak begitu memikirkannya. Siapa tahu, perempuan itu teman sekelasnya dulu sewaktu sekolah dasar atau mungkin sekolah menengah.
"Kana! Kau kelas berapa?"
Pria itu tersentak. Ia yakin mengenal nama itu. Tetapi, melihat perempuan itu tidak mengenalinya membuat ia membuang pikiran itu.
"Ya, mungkin saja cuma kebetulan."
- -- - -- - -- -
Perempuan itu ternyata sekelas dengan pria itu. Ia tidak menyangka bahwa nama yang didengar dari mulut gadis ramah itu adalah nama yang sama dengan nama yang ia kenal dulu.
Perempuan itu sempat menyapa sang pria, tetapi dia sepertinya tidak mengenali sang pria. Sang pria sedikit sedih mengetahui sang perempuan sudah melupakannya.
'Apa hanya aku yang menyukainya?'
Pria itu mulai menganggap dirinya dan perempuan itu sebagai orang asing yang baru saja bertemu. Ia rasa itu yang terbaik untuk keduanya. Ia tidak ingin mengganggu kebahagiaan sang perempuan.
- -- - -- - -- -
"Kana itu menyebalkan tidak sih?"
"Dia sangat-sangat menyebalkan!"
"Aku kesal padanya yang populer."
"Kau tahu, aku sudah menyukai Aoi sejak lama dan ia bahkan tahu itu! Tetapi, masih saja ia sok akrab dengan Aoi!"
"Aku juga, aku sejak lama sudah suka dengan Tamaki anak kelas sebelah dan ia bilang tidak bisa membantuku! Padahal aku yakin ia hanya iri."
Pria itu tidak menyangka teman-teman perempuan itu akan membual di belakang. Ia tidak ingin perempuan itu tersakiti. Cukup dirinya saja yang tersakiti lagi. Untuk kedua kalinya.
Perempuan itu mungkin tidak tahu alasan pria itu terkucilkan, tetapi tidak masalah. Bukan ingin berlaga seperti pahlawan, ia hanya ingin melakukan apa yang ia bisa untuknya.
- -- - -- - -- -
'Apa sejak awal aku salah? Apa selama ini aku berpikir bahwa dengan membuat diriku sebagai tumbal, ia akan terhindar dari rasa sakit? Kalau itu benar, seharusnya tidak ada senyum palsu itu. Kalau aku benar, seharusnya perempuan itu tidak akan merokok. Apa selama ini aku salah? Apa aku masih bisa bersamanya? Tentu saja ... tidak bisa, ka--'
"Jadi, apa kau masih ingin bersamaku?"
'Apa ia yakin bahwa aku masih boleh bersamanya?'
"Umm... Aku tidak ingin merasakan hal itu lagi."
"Tentu saja kau pasti tidak ma--"
"Bukan itu, maksudku, aku tidak suka melihatmu sendirian dan aku tidak tahan jika tidak bersamamu."
'Aku tahu, aku egois. Seharusnya aku menolaknya. Tapi, aku tidak bisa. Aku menyukainya.'
'Setidaknya biarkan aku bersamanya, hingga ia sendiri yang melepas tanganku.'
- -- - -- - -- -
"Kau sudah tidak merokok lagi, kan?" tanya Uduki Arata dengan tatapan selidik.
"Tidak, kok. Kan, aku sudah punya penenang khusus," jawab Sakamaki Kana dengan deretan gigi yang ditampilkan di akhir kalimat.
"Baguslah kalau begitu, tapi penenang khusus, apa itu?"
Sakamaki Kana menarik salah satu sudut bibirnya ke atas. "Apa ya~?"
"Kau senang sekali ya menggodaku. Kalau begitu aku tanya apa itu pria?"
Sakamaki Kana mengangguk.
"Jadi siapa pria itu? Aku tidak masalah kalau kau lebih memilihnya," ujar Uduki Arata berusaha bersikap santai seperti biasanya.
"Pfft--" Sakamaki Kana menutup mulutnya sebelum suara tawa ia lontarkan.
"Apa sih, tidak ada yang lucu, tahu."
"H-habisnya aku tidak menyangka Arata akan sebodoh ini. Hahaha!!" Sakamaki Kana masih tertawa. Uduki Arata menopang kepalanya dengan kedua tangannya sambil mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas.
'Tidak masalah, kan? Selama senyum itu melekat padanya karena jujur saja aku tidak bisa hidup tanpanya.'
- -- -- -- - -- -
- -- -- -- - -- -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro