🌹7| k i m y o o n g i
Musim panas, 2011
Jungkook tengah berada di bengkelnya, berkutat dengan lempengan logam yang akan ia buat menjadi cincin saat Dahyun tiba-tiba saja membuka pintu bengkelnya seraya menyahut, “Jungkook oppa!”
Tanpa dipersilahkan, gadis itu langsung masuk begitu saja ke dalam bengkelnya. “Aku datang lagi,” ujarnya, mencoba mengalihkan perhatian Jungkook dari kegatannya.
“Karena kau suka bir ini, aku membawanya ke sini tanpa sepengetahuan ibuku.” Dahyun mengeluarkan beberapa kaleng bir yang di bawanya. Namun Jungkook masih tak menghiraukannya, membuat Dahyun kembali bertanya, “Oppa, darimana kau belajar itu?”
“Kau bilang tidak kuliah. Adakah tempat kursus yang mengajarimu?”
Jungkook tak menjawab, ia malah mengamati cincin yang baru saja dibuatnya, lalu berjalan ke sisi yang lain untuk melihat sketsa yang ditempelnya di dinding. Melihat itu, Dahyun mengeluarkan ponselnya lalu memotret Jungkook dari samping. Jungkook langsung menoleh ke arahnya, “Apa yang kau lakukan?” tanyanya.
“Aku boleh unggah ini, kan? Judulnya, pria tampan di lingkunganku,” terang Dahyun tanpa bisa menahan senyumnya, sementara Jungkook terlihat tidak senang. “Barusan aku bertanya, apa yang kau lakukan?”
Lelaki itu melangkah maju dan terus maju hingga Dahyun ikut berjalan mundur. Langkah Dahyun terhenti saat punggungnya telah menyentuh lemari. Senyumnya berganti jadi ekspresi takut saat melihat raut wajah Jungkook yang terlihat sangat dingin. Jungkook mengambil ponsel Dahyun, lalu melihat potretnya sekilas sebelum memberikannya pada Dahyun lagi, “Hapus. Sekarang juga.”
Dahyun segera mengambil ponselnya, “Baiklah, akan aku hapus sekarang,” ujaranya agak gugup. “Aku tidak tahu kalau oppa tidak suka di foto.”
Jungkook menatapnya datar, “Kau siapa?”
Dahyun mengernyit bingung, “Nde?”
“Kenapa kau mencari tahu latar belakangku?”
“Aku?”
“Kau terus bertanya tentangku dan membuatnya seperti tak berarti apa-apa. Kau pikir aku tidak sadar?” terang Jungkook tajam. “Kau menanyakan golongan darahku, zodiak, ulang tahun serta makanan yang kusuka dan yang tidak kusuka. Aku dengar, kau bahkan menanyakan nomor ponselku ke seorang direktur di rumah sebelah.”
Dahyun mengalihkan pandangannya. “Wae?” desak Jungkook lagi. “Ada yang menyuruhmu? Untuk mendapatkan informasi mengenaiku?”
Dahyun tak habis pikir. Ia kemudian berjalan menuju meja dan meminum bir kaleng yang dibawanya untuk menenangkan dirinya. Setelah itu, ia kembali menatap ke arah Jungkook. “Aku … mencintaimu, oppa.”
Jungkook menoleh, pengakuan Dahyun barusan seolah membuat pikirannya buntu. Tiba-tiba saja, ia merasa seolah dikelilingi oleh kabut hitam sementara Dahyun masih memaku ditempatnya. Jungkook menatap pada satu titik, tepat di ambang pintu samping Dahyun membuat gadis itu menoleh ke sampingnya namun tidak ada siapapun di sana.
Dahyun mengibaskan tangannya, “Oppa!” sahutnya, membuat Jungkook kembali mendapatkan kesadarannya. Lelaki itu mengerjapkan maniknya berulang kali seraya mengatur napas saat rasa sesak kembali menyerang jiwanya.
“Kau cukup katakan, kalau kau menyukaiku juga atau tidak, atau mungkin kau butuh waktu untuk berpikir?” ujar Dahyun. Gadis itu sudah tak peduli lagi, harga dirinya sudah ia tinggalkan dengan melakukan pengakuan cinta terlebih dahulu namun Jungkook tak kunjung memberinya jawaban yang pasti.
“Kau—“
“Cha Dahyun! namaku Cha Dahyun.”
Jungkook mendongak lalu menatapnya tanpa ekspresi. “Jangan pernah datang lagi ke sini.”
“Nde?”
Jungkook menghindari Dahyun tanpa mau menatap wajahnya lagi. “Keluar sekarang juga,” usirnya lagi, namun Dahyun tak kunjung beranjak dari tempatnya, membuat lelaki itu kembali menghadap ke arahnya. “Kenapa? kau ingin dipaksa keluar?”
Hati Dahyun benar-benar sakit, tapi sebisa mungkin ia tak menunjukannya walau maniknya sudah berkaca-kaca.
Kilatan ingatan itu kembali terlintas di benak Dahyun, begitu Jungkook membuka tudung jas hujannya, ia merasa tengah melihat Jungkook yang dulu selalu menatapnya seperti itu—dingin, datar dan tak berperasaan. Namun setelah beberapa detik ketika suara petir tak lagi menyambar, Jungkook langsung mengulas senyum lebar, “Kenapa kau sudah bangun?” tanyanya.
Tanpa sadar Dahyun menghela napas lega lalu menyalakan lampu, membuat ruangan itu kini terang benderang. “Dari mana selarut ini? apalagi di luar sedang hujan.”
“Emm … aku bekerja di bengkel karena tidak bisa tidur, lalu aku membeli bir karena kita kehabisan bir.” Jungkook mengangkat kresek berisi bir lalu meletakannya di atas meja.
“Kenapa membeli bir? Padahal kau mengkhawatirkan perutmu buncit beberapa hari lalu.” Dahyun mengambil satu kaleng bir di dalamnya lalu terkejut saat mengenali bir yang dibawa Jungkook. “Eoh ini ...”
Jungkook membuka jas hujannya, “Wae?”
Dahyun tersenyum, “Apa kau ingat saat aku pertama kali menyatakan perasaan padamu?” Dahyun mendudukan dirinya di kursi. “Saat itu kau sangat marah padaku. ‘kau ingin dipaksa keluar?!’” Dahyun memperagakan nada bicara Jungkook waktu itu, membuat Jungkook seketika terkekeh kecil lalu menyentuh rambutnya malu. “Ahh ... kenapa kau membicarakan itu.”
Lelaki itu mendudukan dirinya di hadapan Dahyun. “Saat itu kenapa kau begitu membenciku?” tanya Dahyun lagi.
Jungkook terdiam sesaat, “Bukannya membencimu. Aku hanya merasa canggung karena itu kali pertama aku mendapat pengakuan cinta.”
Dahyun mencubit pipi Jungkook gemas, “Aigoo, suamiku sangat polos.” Dahyun membuka kaleng birnya. “Inilah alasanku kenapa aku tidak bisa memberitahu masa laluku padamu.”
“Masa lalu?” tanya Jungkook penasaran. “Apa itu?”
“Kau pasti akan terkejut.”
“Benarkah?”
Dahyun mengangguk lalu meminum birnya. “Aku ini wanita dengan masa lalu rumit.”
“Wahh … kau mengelabuiku, ya?”
“Iya.”
Jungkook merengek, “Ahh beritahu aku, aku jadi penasaran.”
Disisi lain, tubuh Yoongi semakin lemas. Diambang kesadarannya, ia kembali mengingat beberapa saat yang lalu, saat Jungkook masih ada di sini.
“Aku bertanya, apa rasanya enak?” tanya Jungkook seraya mengulurkan sepotong kimbab pada Yoongi, membuat lelaki itu segera melahapnya karena perutnya sangat kosong.
“Kau pikir aku memikirkan rasanya?” Yoongi masih mengunyah kimbab itu. “Aku memakannya supaya aku tetap hidup.”
Jungkook menatapnya dingin, “Makanlah yang banyak, aku yakin rasanya enak.” Jungkook kembali mengambil potongan kimbab itu. “Aku pergi jauh-jauh ke lingkunganmu untuk membeli ini.”
“Dengan kata lain, kimbab ini akan menjadi makanan terakhir yang ditemukan di perutmu, saat mereka mengotopsi,” sambung Jungkook membuat Yoongi langsung terbatuk dan memuntahkan kimbab yang dimakannya. Napasnya memburu, ia merasa sangat frustasi dan takut dalam waktu bersamaan. “Jeon Soo-ya.”
Jungkook tak peduli, ia membuang sisa kimbab yang dibawanya ke lantai yang telah dilapisi plastik begitu saja lalu membuka wadah berisi obat lalu menumbuk beberapa obat itu dengan gelas. “Ya, obat apa itu? kau … kau sungguh berniat membunuhku?” panik Yoongi.
Sementara Jungkook masih terus menghancurkan obat itu hingga halu. “Ya, apa membunuh itu sangat mudah bagimu?!”
“Tentu saja tidak mudah.” Jungkook kembali melirik Yoongi. “Beratmu berapa kilo gram?”
Yoongi terdiam. “70? 60?”
Yoongi tak menjawab, ia melihat ke arah gelas berisi air yang telah dicampur dengan bubuk obat tadi. “Setelah meminum pil tidur ini, kau akan pingsan.” Jungkook menggoyangkan gelas itu supaya obatnya menyampur rata. “Jadi aku akan mudah saat memindahkanmu ke mobil nanti.”
“Jeon Soo-ya hajima. Hajimallago!” jerit Yoongi frustasi saat Jungkook mulai mendekatkan gelas itu ke mulutnya. “Jeon Soo-ya jebal. Jeon Soo ya!” Jungkook mencengkram kerah baju Yoongi, membuat lelaki itu tersentak dan tak lagi bisa berkutik.
Yoongi menutup mulutnya rapat saat Jungkook mencoba meminumkan air itu lalu menggeleng kuat hingga gelas itu akhirnya terbanting dan pecah berkeping-keping di lantai. “Disini! Selamatkan aku!” Yoongi berteriak frustasi.
“Ada orang di ruang bawah tanah! Aku diculik dan dikunci! Seseorang berusaha membunuhku!” teriaknya sekuat tenaga. Tapi percuma, hujan deras di luar sana malah semakin meredam teriakannya, apalagi ini masih sangat pagi untuk seseorang bangun.
“Detektif Cha! Aku terkunci! Pembunuhnya ada di sini!” Jungkook hanya menatap Yoongi datar sementara lelaki itu semakin kacau. “Do Jeon Soo ada di sini!”
Jungkook menarik smirknya tipis, membuat Yoongi semakin di buat kesal. “Ahh kau membuatku gila. Ya, Jeon Soo-ya! Biarkan aku hidup! Aku akan melakuakn semua yang kau perintahkan. Karena itu, biarkanlah aku hidup.”
Jungkook menghela napas, “Jika aku bertanya, bisakah kau menjawabnya dengan jujur?”
“Ya, tentu! Apapun itu.”
Jungkook mengeluarkan ponsel di sakunya. “Kau mengunggah sesuatu di internet pada tahun 2015.”
“M-mwo?”
“Aku melihatnya karena kau masuk.” Jungkook menunjukan layar ponsel itu pada Yoongi. “Ini.” Yoongi tertegun, ia sempat melihat ke arah Jungkook gugup namun Jungkook kembali menyahut, “Bacalah dengan lantang.”
Yoongi menelan salivanya gusar, “Aku seorang gadis SMA yang ingin menjadi penulis skenario. Karakter utama pernah membantu seseorang melakukan kejahatan tanpa tahu itu melanggar hukum. Karakter utama dalam persiapan menjadi reporter. Kerugian apa yang akan dia alami jika orang mengetahui masa lalunya?” Yoongi langsung memejamkan matanya, tidak kuat membaca lanjutannya.
“Teruslah bacakan.” Jungkook menatap tajam Yoongi. “Baca.”
“Bagaimana jika … “ Yoongi kembali memejamkan matanya, lalu mengalihkan pandangan dari layar. “Seseorang meninggal karenanya?”
Jungkook menyentuh tengkuk Yoongi, lalu mensejajarkan wajahnya dengan Yoongi. “Ini ceritamu?”
Yoongi terlihat makin pucat. “Bu-bukan.”
Jungkook meng-scrool artikel itu, lalu membaca komentar paling atas yang menarik perhatiannya. “Ada video mengenai apa yang terjadi hari itu.”
“Dia hanya melakukan apa yang diperintahkan. Dia benar-benar tidak tahu.”
Yoongi memejamkan matanya kesal, sementara Jungkook kembali menyudutkannya, “Kau benar-benar tidak tahu?”
“Aku tidak tahu, sungguh,” belanya.
“Dengan kata lain kau memiliki video pembunuhan.”
“Mwo?”
Yoongi berpikir sesaat. “Jeon Soo-ya, aku tidak akan memberitahu siapapun.” Yoongi mengingat video yang ia miliki saat Do Min Seok masih ada dulu. “Aku akan melupakan pertemuan kita. Aku tidak akan ada di sekitarmu.” Tapi Jungkook meragukannya. “Aku bersumpah!”
“Aku akan bersumpah demi hidup ibuku. Karena itu, lepaskanlah aku.”
Jungkook menegakkan tubuhnya dan kembali duduk setelah meletakan ponselnya ke meja kecil di sampingnya. “Aku tidak butuh sumpahmu. Aku ingin jaminan.” Yoongi mengernyit tipis. “Aku tidak memercayai orang. Kau tahu?” terang Jungkook lagi.
Jam berdentang dengan kuat, kembali menyadarkan Yoongi dari ingatannya. Mulutnya kini telah di lakban lagi, sementara tubuhnya semakin lemas. Walau demikian, ia masih terjaga dengan sisa tenaganya. Rasanya ia tidak akan pernah bisa ke luar dari tempat ini jika terus pasrah seperti ini.
Garis polisi telah dipasang di sekitar restoran tiongkok itu. Sementara suara sirine ambulan memenuhi TKP beserta sebuah mobil polisi dengan beberapa wartawan dan orang yang mulai berkumpul di sana untuk melihat kejadian.
“Apa yang terjadi?”
“Ada pembunuhan.”
“Pembunuhan? Siapa yang dibunuh?”
“Bos Nam, pemilik restoran ini.”
“Permisi.” Bersama rekannya, Dahyun mulai masuk ke dalam restoran itu.
Beberapa orang terlihat memotret dan memeriksa beberapa tempat untuk mengumpulkan bukti. Sementara korban masih tergeletak di atas lantai dengan darah segar yang mulai mengering. Young Hoon memalingkan wajahnya saat melihatnya, berbanding terbalik dengan Dahyun yang mengamati ciri pembunuhan yang dirasa tak asing. Pergelangan kakinya di patahkan dengan pisau, lalu ada dua tusukan di dada dan tali anjing pemburu ‘hound dog’ yang melilit leher korban. Persis sekali seperti yang terjadi pada korban pembunuhan berantai di kota Yeonju.
“Tidak mungkin.” Dahyun tak mempercayai apa yang tengah ia lihat. “Bagaimana dengan kukunya?” ia mencoba memastikan. “Kau sudah periksa kuku ibu jarinya?”
Jinyoung menimpal, “Keduanya hilang.” Lelaki itu kemudian menunjuk ke arah CCTV yang ada di sudut kiri atas mereka.
Rekaman cctv itu langsung di tayangkan di kantor polisi bersama beberapa rekan lain yang ikut menyelidiki. Di dalam rekaman, Lelaki berjas hujan hitam itu menarik kaki Nam Jeonghan saat lelaki itu mencoba kabur dengan merangkak. Lalu mengeksekusi korban dengan cepat seperti seorang profesional.
Hampir semuanya memalingkan pandangan saat pembunuhan itu terekam dengan jelas di monitor sementara Dahyun tiba-tiba memikirkan sesuatu saat melihat jas hujan berwarna hitam itu. Jas hujan itu persis sekali dengan jas hujan yang digunakan Jungkook pagi buta tadi, namun ia segera mengeleng. Tidak mungkin.
Rekaman itu berhenti setelah lelaki itu selesai mengeksekusi korban.
“Apa ini?” tanya Kim Seo Joon selaku kepala polisi yang memimpin penyelidikan. “Kenapa Do Jeon Seok lagi?”
Ia mengedarkan pandangan ke orang-orang yang ada di sana namun semuanya memalingkan wajah. “Apa kamuflase seperti Park Seo Young?” tanyanya lagi.
“Kenapa? kenapa tidak ada yang berbicara?” gertaknya lagi.
“Ini berbeda dengan Park Seo Young,” balas Lim Namjoon.
“Apa yang berbeda?”
“Merek dan pola tali yang dipakai Do Jeon Seok ke leher korban pada tahun 2006 tidak diungkapkan pada pers,” timpal Choi Seok Jin, ia menunjukan potret tali yang melilit leher korban lewat monitor. “Tapi pembunuh ini menggunakan tali yang sama persis dengan yang digunakan Do Jeon Seok.”
“Park Seo Young membunuh dengan amatir dan terburu-buru. Sebaliknya, seperti yang kita lihat di CCTV, ini sudah direncanakan sebelumnya,” sambung Dahyun. “Selain itu dia juga menunjukan betapa miripnya dia dengan Do Jeon Seok, dan betapa berbedanya ia dengan Park Seo Young.”
“Dia adalah pembunuh yang berbahaya.”
Choi Jin Young melirik Dahyun sekilas lalu menambahkan, “Omong-omong, Do jeon Seok sudah membunuh tujuh orang.”
“Geuronika, ini bisa berubah menjadi pembunuhan berantai?” simpul Seo Joon. Membuat orang-orang disana kembali bungkam. “Apa kita harus mengirimnya ke metro?”
Seok Jin beralih pada Lim Namjoon yang duduk di sebelahnya, “Wartawan Lim, bagaimana menurutmu?”
“Kami tidak akan membiarkannya begitu saja, ini akan menjadi berita utama,” ujar Namjoon. “Lagipula, ini bukan pembunuhan berantai.” Ia melirik ke arah Seok Jin. “Seok Jin-ssi, kau bisa mengatasinya?”
Seok Jin tak membalas, ia masih tengah mempertimbangkan hal ini. “Bagaimana jika berubah menjadi pembunuhan berantai dan meledak di SNS?” timpal Seo Joon lagi, membuat Seok Jin menegakkan posisi duduknya. “Sepertinya kita bisa menangkapnya,” ujarnya mantap, membuat Dahyun, Jin Young dan Young Hoon yang duduk di belakangnya melihat kearahnya.
“Dia terlalu sembrono dalam memilih korbannya. Nam Jeonghan memiliki pekerjaan dan keluarga, dia pria yang sehat dalam kesehariannya. Risikonya terlalu tinggi dari sudut pandang si pembunuh.” Seok Jin mencondongkan tubuhnya seraya menatap ke arah Seo Joon. “Aku yakin kita bisa menemukan petunjuk.”
“Coba ceritakan tentang keluarga korban,” perintah Seok Jin setelah mereka keluar dari ruangan rapat tadi.
“Baik, chankaman.” Young Hoon mencari beberapa dokumen terkait korban di mejanya. “Nam Jeonghan tumbuh di panti asuhan, dia tidak memilik saudara kandung, tapi dia memiliki seorang istri,” terangnya sembari membaca dokumen di tangannya. “Dia sedang hamil enam bulan. Dia pingsan karena syok dan saat ini sedang memulihkan diri di rumah sakit.”
Seok Jin mengangguk. “Kau sudah mengidentifikasi orang terakhir yang dia ajak bicara?” tanyanya pada Dahyun. Wanita itu mengangguk, “Detektif Oh sedang memeriksanya.”
Tak lama, detektif Oh muncul dan segera menuju Seok Jin. “Kami sudah menginformasi orang terakhir yang Nam Jeonghan hubungi via telepon. Kim Yoongi, dia adalah wartawan mingguan.”
Dahyun mengernyit, “Wartawan Kim Yoongi?” kagetnya.
“Kau mengenalnya?” tanya Seok Jin.
“Nde. Aku bertemu dengannya minggu malam kemarin. Dia sedang menyelidiki kasus Kim Sang Jin.”
“Kim Yoongi tidak bisa dihubungi. Ponselnya tidak aktif,” timpal detektif Oh. “Kali terakhir dia menggunakan ponsel adalah pukul lima sore kemarin. Dan dia menelepon korban, Nam Jeonghan.”
“Mwo?” kaget Dahyun.
“Tunggu apalagi?” Seok Jin mengambil alih, ia menunjuk Jinyoung, “Detektif Choi, pergi ke pusat kendali dan cari tahu kemana si pembunuh melarikan diri.” Lalu beralih pada Dahyun dan Young Hoon. “Kalian berdua, cari Kim Yoongi secepat mungkin.”
“Nde.”
Keduanya segera pergi sesuai arahan Seokjin, begitupun dengan Jinyoung. Di sisi lain, Yoongi berjuang untuk membebaskan dirinya. Ia menggoyang-goyangkan kursi yang didudukinya hingga jatuh ke samping kiri. Kedua kaki dan tangannya yang masih terikat membuatnya sulit untuk bergerak namun ia agak memiliki harapan saat melihat pecahan gelas yang tak jauh dari tubuhnya saat ini.
Ia harus ke luar dari ruang bawah tanah ini.
Well semoga part ini gk ngebingungin ya, terutama pas percakapan jk sama yoongi, itu flashback ya cuma gk aku italic karena kepanjangan. Semoga ngerti ya, karena aku cuma nandain flashbacknya di awal sama akhirnya aja lewat narasi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro