🌹6| h o u n d d o g
Ps. Italic + bold = flashback
Jungkook mengeluarkan semua isi tas Yoongi. Ada banyak buku dan beberapa benda lain di dalamnya, namun sebuah kalung dengan liontin berwarna hitam menarik perhatiannya. Ia merasa tidak asing dengan benda itu, sangat mirip dengan kalung milik kakaknya. Jungkook menemukan buku notes Yoongi, lantas membaca sekilas satu persatu isinya.
Tiba di halaman terakhir, ia membaca dengan seksama tulisan Yoongi di sana. Aliran Cheongyecheon, Nam Jeonghan, pukul lima sore. Jungkook segera bangkit dari duduknya, lantas membawa sebotol air minum dan notes itu di genggamannya.
Tak lama, ia kembali membuk apintu ruang bawah tanah itu, dan menemui Yoongi yang semakin lemas. Lelaki bermarga Kim itu agak terkesiap saat menyadari kehadiran Jungkook, namun matanya langsung berbinar saat melihat sebotol minuman di tangan Jungkook.
Jungkook membuka lakban di bibir Yoongi, membuat lelaki itu lagi-lagi meringis perih. “Ahh … Jeon Soo-ya, berikan aku air itu. Tenggorokanku kering. Aku mungkin akan benar-benar mati. Beri aku air.”
Jungkook mendekatkan botol itu, namun sebelum Yoongi dapat meraihnya, ia memperlihatkan buku notes Yoongi padanya. “Jelaskan. Kenapa kau ingin bertemu Nam Jeonghan?”
Yoongi agak tersentak, “Ahh … ini? bukan apa-apa.” Jungkook menjauhkan notes itu. Ia kembali mengangkat botol yang telah dibuka tutupnya itu, lalu mengarahkannya pada Yoongi namun lagi-lagi, lelaki itu tak dapat meminumya karena Jungkook malah membuang air itu secara perlahan hingga mengenai plastik yang melapisi lantai.
“Aku ingat,” ujar Yoongi, membuat Jungkook menghentikan aksi membuang air itu. “Dia bilang dia punya informasi, jadi aku meminta pertemuan.”
“Informasi apa?”
Yoongi mendongak namun ia kembali menunduk tanpa menjawab pertanyaan Jungkook. “Informasi apa?” tekannya lagi, kali ini nada bicaranya lebih naik.
“Berikan aku air dulu,” pinta Yoongi. “Ya, jika kuberi sesuatu, maka kau juga harus memberiku sesuatu. Bukankah itu adil?”
Jungkook menghela napas, lalu meminumkan air itu pada Yoongi seteguk. “Katakan, informasi apa?”
Yoongi menatap Jungkook sekilas lalu membuang pandangan seraya meringis, “Kau.”
Jungkook terdiam. “Kenapa dia menghubungimu?”
“Aku menulis sebuah artikel.”
“Artikel apa?”
Yoongi memejamkan matanya. “Hanya soal ayahmu dan kau. Kau tahu pekerjaan wartawan.”
“Kapan kau akan bertemu dengannya?”
Yoongi kembali mendongak. “Hari ini.”
Jungkook mengecek jam tangannya sementara Yoongi kembali berujar, “Jeon Soo-ya, bukankah buruk bagimu … jika aku tidak datang ke pertemuan?”
Jungkook menatap Jeonghan yang tengah duduk di tempat yang telah dijanjikan bersama Yoongi di bawah sana. Saat ini ia berada di sebuah bangun dengan sebuah kaca besar yang mengarah langsung ke tempat itu. Dari sini, ia bisa melihat segalanya termasuk Nam Jeonghan yang terlihat begitu gelisah di bawah sana.
Lelaki itu kemudian memanggil nomor Nam Jeonghan lewat ponsel Yoongi yang dibawanya. Sesuai dugaan, Jeonghan terlihat langsung mengangkat teleponnya. “Halo, wartawan Kim. Kau datang?”
“Jeosonghamnida, karena sibuk menyelidiki kasus, aku tidak bisa datang,” ujar Jungkook.
“Ah, baiklah. Mau bagaimana lagi.”
“Bisakah kita melakukan wawancara singkat melalui telepon?”
“Ah iya iya, gwencansemnida.”
“Informasi apa yang ingin kau berikan soal Do Jeon Soo?”
“Tunggu sebentar.” Jeonghan mengeluarkan selembaran artikel yang ditulis oleh Yoongi. “Kau bilang, Do Jeon Soo menghilang dari kota pada musim panas tahun 2006. Aku tinggal bersamanya sejak musim gugur 2006 hingga musim panas 2009. Kami berdua bekerja sebagai pengirim barang.”
“Lalu?”
“Sepertinya, ada masalah di masa lalunya tapi aku tidak pernah menyangka kalau dia akn membunuh seseorang. Aku akan langsung melaporkannya jika aku tahu.” Jungkook terus memperhatikan gerak-gerik Jeonghan dan mendengarkan perkataannya dengan tenang. “Aku juga tidak tahu kalau ayahnya adalah pembunuh berantai. Dia adalah putra Do Jeon Seok, pantas saja.”
“Pantas saja?” tekan Jungkook ditiap kata.
“Dia itu aneh. Bisa dibilang tidak normal? Aku pernah menonton film dengannya dan dia bertanya di adegan mana ia harus tertawa dan bersedih.” Jungkook membalikan tubuhnya. “Kau mengenal Do Jeon Soo selama tiga tahun. Tapi kau hanya tahu itu?”
“Nde?”
Jungkook menghela napas. “Baiklah, terima kasih atas informasinya. Cukup sekian.”
“Tunggu, tidak! Jangan ditutup dulu teleponnya!” cegak Jeonghan, Jungkook kembali mendengarkan. “Do Jeon Soo sudah mengancamku.”
Jungkook mengernyit, ia merasa tidak pernah melakukan hal itu. “Nde?”
“Itu membuatku gila. Kumohon, tolong lindungi aku.” Jungkook kembali membalikan tubuhnya, melihat ke arah Jeonghan yang masih setia duduk di tempatnya.
“Sebulan yang lalu, aku mendapat telepon dari telepon umum pada pukul empat pagi.”
“Apa orang itu bilang … kalau dirinya adalah Do Jeon Soo?”
Jeonghan kembali mengingat panggilan telepon yang ia dapatkan itu, “Kau siapa?”
Seseorang di seberang panggilan itu hanya terkekeh, membuat Jeonghan menggertak kesal. “Katakan siapa kau!”
“Kau bahagia?” tanyanya, membuat Jeonghan terdiam. “Do Jeon Soo?” terkanya.
“Aku sudah menunggu hidupmu di saat yang paling bahagia.”
“Kau … kau Do Jeon Soo, kan?”
“Mulai sekarang aku akan melakukan keahlianku padamu.”
“Hanya dia satu-satunya yang bisa melakukan hal itu padaku,” Jawab Jeonghan setelah kembali pada realita.
“Kenapa?” tanya Jungkook.
Jeonghan tercekat, ia menarik napas dalam seraya menggigt bibir bawahnya. “Saat itu aku masih muda dan dibutakan oleh keserakahan. Aku … pernah melakukan kesalahan padanya.”
Sesaat, Jungkook kembali mengingat masa itu. Saat dirinya masih bekerja bersama Nam Jeonghan.
“Kau yakin kehilangan dompetmu di sini?” tanya Jungkook. Waktu itu, mereka ada di sebuah bukit dalam keadaan hujan deras. Keduanya mengenakan jas hujan dengan senter sebagai penerangan, namun hal itu tak lekas membuat mereka menemukan apa yang tengah dicari.
“Ya, benar,” jawab Jeonghan. Lelaki itu berjalan di belakang sementara Jungkook di depan sibuk mencari keberadaan dompet milik Jeonghan. “Saat naik, dompetku masih ada.”
Jungkook terus mencarinya hingga ke semak-semak, sementara Jeonghan menatapnya tajam dari belakang seraya menyembunyikan sebilah pisau di sisi tubuhnya. Jungkook bangkit berdiri, menyerah. “Ah tidak ada. Aku tidak menemukannya.”
Jeonghan mulai mengeluarkan pisaunya dan Jungkook sama sekali belum menyadarinya. “Aku akan pinjamkan uang jika kau butuh, ayo kita turun.”
Begitu berbalik, Jeonghan langsung melayangkan pisaunya tapi Jungkook menghindar dengan cepat. Jeonghan tak menyerah, ia mendorong tubuh Jungkook sampai tertahan di pohon, membuat pisaunya menembus sisi tubuh Jungkook. Darah mengucur deras melewati jas hujannya dan Jungkook meringis nyeri. “Akkhhh!”
Matanya menyalang, Jungkook lantas memukul tangan Jeonghan supaya melepaskan pisaunya. Keadaan berbalik, kini Jungkook mencekal lehernya seraya mendorong Jeonghan hingga jatuh dan berguling di tanah. Jungkook meringis karena lukanya semakin terasa sakit saat pisau itu terlepas dari tubuhnya. Jeonghan pun demikian, namun ia kembali mengambil pisaunya.
“Apa yang kau lakukan?” pekik Jungkook tak habis pikir. Jeonghan menatapnya nyalang, “Aku membutuhkan uangmu. Aku juga ingin hidup dengan baik.”
“Do Jeon Soo pasti akan balas dendam padaku,” ujar Jeonghan membuat Jungkook sadar dari lamunannya.
“Curigailah orang lain,” ucap Jungkook. “Do Jeon Soo … sudah mati.”
“Kau yakin?”
“Ya, jadi kau harus melupakan semua tentang dia.” Jungkook hendak mematikan panggilan, namun lagi-lagi Jeonghan menyahut.
“Syukurlah. Itu benar-benar melegakan.”
Jungkook mengernyit geram, “Syukurlah?”
“Tentu saja. Dia buronan yang sudah membunuh seseorang. Dia seharusnya tidak hidup.” Jungkook kembali mengamati Jeonghan. “Lebih baik jika orang-orang tertentu mati. Bukankah begitu?”
Jungkook menyeringai, “Tentu saja. Lebih baik, orang-orang tertentu mati,” ujarnya penuh penekanan sebelum benar-benar mematikan panggilan itu. Maniknya terus mengawasi Jeonghan yang perlahan meninggalkan tempat itu.
Hujan mengguyur cukup deras. Dengan sebuah payung berwarna hitam, Jungkook terlihat tengah menunggu seseorang dengan sabar. Topinya telah ditanggalkan sementara mantel hitamnya masih setia melekat di tubuhnya.
“Chagiya!” suara Dahyun terdengar, membuat lelaki itu dengan cepat menghampiri Dahyun untuk memayunginya. “Aigoo … wajahmu kenapa?” tanyanya khawatir saat melihat sebuah plester bening di bawah sudut matanya.
“Ahh ini … tidak sengaja tergores kertas,” kilahnya. Padahal luka itu ia dapatkan dari salah satu pembunuh yang meniru kasus Do Jeon Seok dan baru ditangkap siang tadi. Tak mau Jungkook curiga, ia lantas memeluk Jungkook dari samping. “Astaga, aku sangat suka hujan.”
Jungkook tersenyum. “Kau terlihat sangat senang,” ujarnya. “Haruskah seorang polisi menyukai hujan? Bukankah itu menghilangkan bukti?”
Dahyun menatap Jungkook bingung, “Wae? Ini romantis.”
Jungkook terkekeh, lantas berjalan perlahan seraya merangkul pinggang Dahyun di sisinya. “Aku ingin makan sesuatu yang enak,” sahut Dahyun. Jungkook segera menatapnya, “Benarkah? Mau makan apa?”
“Emm … “ Dahyun berpikir sejenak. “Panekuk?
“Panekuk di saat hujan seperti ini? kedengarannya bagus.”
Dahyun menyandarkan kepalanya di sisi tubuh Jungkook, merasakan kehangatan tubuh suaminya. Sementara rangkulan Jungkook di pinggang Dahyun semakin erat. Walau hujan tengah mengguyur namun hal itu tidak lantas melunturkan kehangatan di tubuh mereka.
“Polisi menangkap pembunuh seorang wanita berusia 70 tahun. Dia meniru Do Jeon Seok, pembunuh berantai kota Yeonju untuk mengelabuhi polisi. Tapi polisi memerhatikan adanya amaritisme dan sifat pembuhan yang impulsif.”
Suara sebuah berita di ponsel sang pemilik toko perlengkapan hewan memenuhi toko itu. diluar, hujan deras masih terus mengguyur sementara seseorang dengan jas hujan berwarna hitam terlihat memasuki toko itu. Ia berjalan, ke deretan tali anjing yang digantung di sisi sebelah kanan toko.
“Investigasi menggiring pengumpulan bukti dan penangkapan tersangka. Sementara itu, si pembunuh merupakan seorang pekerja sosial.”
Tangan lelaki itu menyusuri deretan tali anjing yang digantung, lalu berhenti saat menemukan tali anjing yang dicarinya. Bermerk, hound dog atau anjing pemburu. Untuk sesaat, ia mengamati tali berwarna hitam dan merah itu sebelum menambilnya. Tetesan air hujan dari jasnya ikut mengiringi langkahnya menuju kasir untuk membayar.
Di lain tempat, tapatnya di restoran masakan tiongkok milik dirinya sendiri, Nam Jeonghan masih mengamati artikel yang ditulis Yoongi. Restoran belum dibuka karena baru jam tiga dini hari. Ia tidak bisa tidur, karena ia terus merasa gelisah memikirkan percakapannya dengan Yoongi sore tadi. Nam Jeonghan tentu masih tidak bisa menerima kalau Do Jeon Soo telah mati. Ia yakin, kalau lelaki itu masih bersembunyi di suatu tempat.
Ia meneguk segelas sojunya lagi lalu mengambil ponselnya dan menghubungi wartawan Kim Yoongi. “Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Anda akan dialihkan ke pesan suara. Silahkan tinggalkan pesan setelah nada berikut.”
“Wartawan Kim, ini Nam Jeonghan.”
Di sisi lain, tak jauh dari sana, seseorang yang semula ada di toko perlengkapan hewan itu perlahan mendekat ke restoran. Penampilannya begitu tertutup, dengan jas hujan, sarung tangan, masker dan topi yang serba hitam. Tali anjing di tangannya seolah melambai-lambai menanti mangsa.
“Ada sesuatu yang tidak kukatakan sebelumnya.” Jeonghan memutuskan untuk mengirimkan pesan suara untuk Yoongi. “Sesuatu yang akan membuatmu penasaran. Aku baru saja mendengar … bahwa Do Jeon Soo membantu ayahnya dalam pembunuhan.”
Langkah lelaki itu semakin dekat, dan kini ia tiba di depan restoran masakan tiongkok itu.
“Mengejutkan, bukan? Pokoknya, itu sebabnya aku merasa gelisah. Hubungi aku kapan saja, jika kau perlu menindaklanjuti—“ Jeonhan terdiam saat seseorang tiba-tiba saja membuka pintu restorannya. Lelaki itu menutup pintunya rapat sementara gema suara kakinya seolah menjadi alarm untuk Jeonghan supaya waspada.
Jeonghan bangkit dari kursinya. “Wartawan Kim—“ Ia terdiam saat melihat tali anjing merah hitam yang dipegang lelaki berjas hujan itu. “Itu Do Jeon Soo.” Jeonghan berjalan mundur sementara lelaki itu perlahan mendekat seraya mengeluarkan sebilah pisau dibalik jas hujan hitamnya.
“Do Jeon Soo ada di sini!” pekiknya ketakutan. “Kubilang apa? Dia pasti datang untuk balas dendam!” t
Tangannya telah bergetar saat melihat lelaki itu terus mendekatinya. “Pesan suara telah di rekam.” Ia menyimpan ponselnya di meja. Dengan gemetar, Jeonghan mengambil pisau namun sebelum ia benar-benar bisa meraihnya, lelaki itu sudah berlari dan menusuk tubuhnya.
Darah memuncrat ke lantai sementara Jeonghan membeku dan langsung ambruk. Tangannya memegangi bagian yang ditusuk namun kesadarannya tak bertahan lama, karena lelaki itu langsung membunuhnya di tempat.
Dengan santai, lelaki itu kembali ke tempat persembunyiannya. Di sisi-sisinya terdapat beberapa kepala dan badan manekin dengan beberapa kotak permainan jaman dulu yang selalu ada di depan mini market pinggir jalan.
Lelaki itu membuka pintu yang berukuran cukup besar yang menampilkan sebuah kolam renang kosong yang cukup tinggi. Ia menaiki beberapa anak tangga, berjalan menyusuri sisi kolam lalu menempelkan lembaran artikel yang semula ada di Nam Jeonghan pada dinding kemudian menancapkan pisau untuk menahannya. Di sisi dinding sebelah kanan hingga ke tengah, penuh dengan tempelan koran lain yang memperlihatkan berita mengenai segala hal yang berkaitan dengan kasus Do Jeon Seok dan anaknya.
POTONGAN TUBUH DITEMUKAN DI GAGRYEONGRI
SIAPA PEMBUNUH BERANTAI DO JEON SEOK?
KORBAN DISEMAYAMKAN TANPA TUBUH
KUKU YANG DIAWETKAN DITEMUKAN DI BENGKEL DO JEON SEOK
Dan masih banyak lagi. Maniknya menatap artikel terakhir yang didapatkannya itu dengan geram, tangannya mengepal dengan kuat sementara petir diluar sana terus menyambar.
Sayup, Dahyun mulai membuka manik matanya. Ia tertidur menyamping sementara Jungkook sudah tidak ada di sampingnya. Wanita itu lalu bangun dan duduk. “Kapan aku tertidur?”
Dahyun melirik ke arah jam yang baru saja bergeser ke angka 03.30, masih cukup pagi untuk bangun. Namun wanita itu segera turun dari ranjang dan ke luar kamar, mencari keberadaan Jungkook. Tengah rumah masih sangat gelap karena lampunya tidak dinyalakan. Bertepatan dengan itu, seseorang membuka kunci pintu dan tak lama, seorang lelaki dengan jas hujan berwarna hitam memasuki rumah itu.
Dahyun masih terdiam di tempatnya, mengamati pergerakan lelaki itu yang kembali menutup pintunya lalu berjalan ke arahnya. Suasana rumah yang gelap membuat Dahyun tidak bisa melihat wajah lelaki yang memakai jas hujan itu, apalagi tudungnya membuat wajahnya semakin tertutupi. Permukaan jas itu sangat basah hingga air hujan terus menetes dari sana.
Perlahan, lelaki itu mulai membuka tudungnya, menampilkan wajah Jungkook yang menatap Dahyun dengan dingin.
Di drakor, ini baru selesai eps 2 tapi udh mulai intens ya konfliknya :") semoga nge feel ♡ (。’▽’。)♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro