
🌹2| d o j e o n s o o
"Menganai kasus yang kami dapatkan tadi, kau tahu apa yang paling aneh?" Dahyun duduk di meja riasnya sembari melepaskan anting dan gelang yang dipakainya. "Ibunya korban juga menjadi istri tersangka."
"Wae?" tanya Jungkook sembari merapihkan pakaiannya yang baru selesai disetrika. Lelaki itu sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah selagi Dahyun sibuk menangani kasus di kantor.
"Putranya tersadar setelah mengalami masa kritis lalu menuduh ayahnya melakukan percobaan pembunuhan padanya. Padahal, ibunya menganggap keluarganya begitu sempurna." Dahyun bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju lemari untuk mengambil mantelnya. "Walau sudah sampai sejauh ini tapi masih ada kejanggalan. Aku tidak mengerti kenapa ia menuduh ayahnya sendiri." Dahyun mengenakan mantelnya. "Entah ia menutupi kebenaran atau memang itu yang terjadi. Apapun itu, terasa sangat aneh."
Dahyun menutup lemarinya dan berjalan menghampiri Jungkook. "Kau benar-benar kembali ke kantor sesudah berganti pakaian? Semalam ini?" tanya lelaki itu khawatir.
Dahyun tersenyum dan menghadap suaminya, "Aku selalu seperti ini." Ia kemudian teringat sesuatu, "Oh ya, hampir lupa. Ibu dan ayah sangat marah, ya?"
Jungkook tersenyum tipis, "Jangan terlalu diambil hati."
Dahyun menunduk, merasa sangat tak enak karena tidak mengikuti acara makan malam itu sampai selesai padahal ia yang mengundang mereka. Tapi ia juga masih tidak terbiasa dengan sikap kedua orangtua Jungkook padanya, "Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu membenciku. Padahal aku bukan tipe orang yang patut dibenci."
Dahyun menghitung kelebihannya dengan jari, "Kepribadianku bagus, senyumanku cantik, dan aku bahkan melahirkan cucu mereka. Selain itu aku juga memiliki pekerjaan yang terjamin. Apa yang tak kumiliki?"
Jungkook menjawil hidung Dahyun gemas, "Aigoo ... kau mulai menyombongkan dirimu lagi." Dahyun tersenyum lalu mengalungkan lengannya ke tubuh Jungkook.
"Menyedihkan bukan? Karena aku, kau jadi jauh dengan orangtuamu."
Jungkook menyentuh kedua bahu Dahyun, "Kata siapa?"
Dahyun mendongak, memandang Jungkook dengan dalam, "Jika tahu akan begini, aku tidak akan merayumu saat itu." Jungkook tersenyum, ia lalu menyentuh mantel yang digunakan Dahyun dan mencoba melepaskannya, "Hubungi Detektif Im, dan katakan padanya kalau kau memiliki kasus yang mendesak," bisik Jungkook seraya mendekatkan wajahnya pada ceruk leher Dahyun.
"Apa? Ya, hentikan!" Dahyun memukul tangan Jungkook dan mencoba melepaskan rangkulannya. Jika sudah seperti ini, lelaki itu pasti menginginkan hal yang lebih.
"Kenapa?" Jungkook kembali meraih tubuh Dahyun. "Temani aku lebih lama," ujarnya manja namun maniknya menatap Dahyun menggoda.
Dahyun menyerah, ia tersenyum dan hanya memejamkan matanya saat Jungkook mulai memangut bibirnya. Mantel yang dipakainya kini tergeletak di lantai sementara suara decapan bibir mulai memenuhi kamar itu.
Setiap pagi, Jungkook selalu melakukan pekerjaan rumah. Dari mulai membangunkan Junhee, memandikannya, memasak hingga mengantar putrinya itu ke taman kanak-kanak. Senyuman tak pernah luntur di wajahnya selama perjalanan menuju sekolah Junhee dengan berjalan kaki. Junhee pun demikian, bahkan ia jauh lebih dekat dengan Jungkook dibandingkan dengan Dahyun karena wanita itu sibuk menangani kasus di kantor polisi.
"Junhee ... nikmati harimu," ujar Jungkook begitu sampai di sekolah Junhee.
"Annyeong!" sapa Sana-guru Junhee-yang selalu berdiri di depan pintu masuk sekolah untuk menyapa para anak muridnya. "Annyeong haseyo, Junhee aboenim," sapanya pada Jungkook.
Lelaki itu hanya mengangguk sebagai balasan. Ia lalu memberikan tas jinjing berisi kotak bekal makanan pada Sana. "Aku memasak sarapan lebih," ujarnya. "Silahkan nikmati bersama guru-guru yang lainnya."
"Eoh, astaga, kau terlalu baik." Sana menengok isi tasnya, dan merasa terharu saat melihat dua kotak bekal besar yang berisi berbagai macam lauk makanan di dalam tas jinjing itu. Jungkook hanya tersenyum melihat reaksinya. "Aku pernah mendengar kalau sonsaeng-nim sering melewatkan sarapan," ujarnya basa-basi.
"Ahh ... begitu." Sana semakin terenyuh. Ia lalu mensejajarkan tubuhnya dengan Junhee, "Junhee, ibumu adalah orang yang saaangat beruntung."
"Waeyo?" Junhee bingung.
"Emm ... ayahmu menawan dan koki yang hebat. Ia juga sangat tampan," terang Sana, membuat Junhee dan Jungkook kompak tersenyum.
"Itu isyarat untuk menyuruhku pergi, kan?" tanya Jungkook, terlampau tahu sikap salah satu guru anaknya ini jika sudah banyak menyanjungnya.
Sana tertawa, "Ayahmu juga sangat peka."
"Baiklah, aku pergi."
"Baik."
Jungkook memegang bahu Junhee seraya menunduk untuk melihat wajah putrinya. "Junhee ... sampai bertemu nanti."
Junhee tersenyum lebar, "Appa, bye bye," ujarnya imut seraya menggoyangkan kedua tangannya. Jungkook membalas tak kalah imut, "Bye bye."
Jungkook menegakkan tubuhnya, melihat putrinya yang kini mulai masuk ke dalam kelasnya bersama Sana. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan berbalik pergi dari sekolah itu dengan raut wajah tanpa ekspresi, berbanding terbalik dengan saat ia bersama Dahyun atau putrinya.
"Ibu, ini aku. Aku akan datang ke apotek ibu."
KASUS PEMBUNUHAN BERANTAI KOTA YEONJU DO JEON SEOK DAN PUTRANYA
Lelaki bermata sipit itu meneguk minumannya seraya membaca berita yang sempat diunggahnya beberapa tahun silam. Ruang baca itu penuh dengan jejeran buku-buku dan beberapa bangku yang telah terisi oleh sebagian orang yang melakukan berbagai aktifitas; membaca, mengobrol ataupun mengerjakan tugas sekolah.
Manik tajamnya terus menyusuri kalimat demi kalimat yang mengingatkannya pada kejadian di masa lalu. Ia masih ingat, ketika dirinya memberanikan diri untuk menulis berita kontroversial ini, hingga menjadi trending selama beberapa pekan. Jelas saja, berita pembunuhan berantai yang masih belum dipecahkan sampai saat ini masih begitu diminati oleh publik. Di akhir berita itu, tertulis dengan jelas namanya, wartawan Kim Yoongi.
Ia men-scroll ke bawah, membaca sekilas beberapa komentar yang menarik perhatiannya.
"Aku ingat kasus ini. Aku sangat takut hingga aku terjaga sepanjang hari."
"Kenapa Do Jeon Seok bunuh diri?"
"Dia mengubur tujuh orang, tapi tidak ada yang tahu. Mengejutkan."
"Apa psikopat benar-benar genetik?"
Ponselnya bergetar, ia segera mengangkatnya panggilan itu. "Nde, Kim Yoongi imnida. Aku sudah tiba."
"Aigoo, Kau tiba-tiba kedatangan pelanggan grup?" Yoongi menghela napas. Lagi-lagi pertemuannya dengan salah satu informannya tertunda. "Geunde Jeonghan-ssi, kau yakin itu Do Jeon Soo, kan?"
"Wartawan Kim, sulit untuk melupakan berandal seperti Do Jeon Soo."
Yoongi mengangguk kecil, lalu menulis sesuatu di catatannya. "Baik, sampai bertemu besok." Lelaki itu segera mematikan panggilan dan meletakan ponselnya. Ia berdecak, mencari sesuatu di dalam tasnya. Karena tak kunjung menemukannya, ia mengeluarkan semua isi tasnya di atas meja. Yoongi terdiam saat melihat sebuah kalung dengan liontin berwarna biru kehitaman di dekat pulpennya.
Yoongi mengambil kalung itu, dan kembali mendudukan dirinya di kursi. Tangannya mengelus liontin itu dengan lembut, ada banyak kenangan dari kalung ini dan untuk sesaat, benaknya kembali memutar ingatan itu.
Do Jihyo. Kalung ini dulu terlihat begitu cantik saat dikenakan olehnya. Senyuman gadis itu masih terbayang dengan jelas di benaknya. Begitu imut dan cantik. Yoongi kembali menghela napas berat. Ia melilitkan kalung itu pada pulpennya, lantas menuliskan sesuatu di buku notesnya.
"Aliran Cheonggyecheon, Nam Jeonghan, pukul lima sore."
Yoongi menutup buku notes dan laptopnya. Ia memasukan semua barangnya ke dalam tas, sebelum akhirnya ke luar dari ruang baca itu.
Jungkook menyodorkan ponsel pada Min Young, "Chona haseyo."
*tolong telepon dia
Min Young tersenyum remeh. "Kau barusan memerintahku?"
"Aku hanya menunjukan tatak rama."
"Jadi ... kau sedang mengajariku? Dan menyuruhku untuk menelpon istrimu sekarang?"
"Eommoni terus memberinya harapan. Dahyun berpikir hubungan kalian akan membaik jika ia berusaha," terang Jungkook. "Pastikan ia tidak mengharapkan apapun dari ibu."
Min Young mencebik kesal. "Jadi maksudmu, kau tidak ingin aku bertemu lagi dengan istrimu?"
Jungkook mengangguk. "Itu jauh lebih aman."
Min Young meraih ponsel Jungkook, namun ia langsung melemparnya. Sebisa mungkin ia menahan amarah yang saat ini ia rasakan. "Aku juga punya hak!" Tangan kanannya mencengkram jaket yang Jungkook gunakan. "Aku juga memiliki hak atas hidupmu."
Jungkook melepaskan cengkraman Min Young, lalu menangkup tangan wanita itu dengan kedua tangannya, "Eommonim. Hidupku ini milik ibu ... selama aku hidup sebagai Baek Jungkook." Min Young tidak berkutik.
"Ibu mengenal Dahyun. Lebih baik untuk tidak mendekat. Ibu tidak bisa membodohinya. Ibu tidak bisa melakukan hal yang sama sepertiku," desis Jungkook tajam. Min Young menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Jungkook. Deru napasnya memburu saat rasa sesak terasa mencekik lehernya.
Jungkook memandang sang ibu lebih dekat seraya menarik senyum tipis, "Ibu ... mau menelponnya, kan?"
"Annyeong haseyo." Yoongi memasuki bengkel kerajinan logam. Suara mesin memenuhi seisi bengkel. Lelaki itu menutup pintu lalu menyapu pandangannya ke tiap sisi bagunan itu. Ada berbagai jenis kerajinan yang terpajang ditiap sudut. Desain interiornya yang apik, membuat bengkel itu terlihat bersih dan nyaman.
"Silahkan melihat-lihat," sahut Jungkook. Ia masih fokus memahat logam yang baru saja ia panaskan. Yoongi masuk semakin dalam, maniknya mengamati kerajinan apa saja yang dipajang di balik kaca yang ada di tiap sisi dinding, "Geunde, kau bisa memperbaiki barang-barang perak, kan?" tanyanya.
"Seseorang merekomendasikan tempat ini." Yoongi berjalan mendekat ke arah Jungkook. "Apa direktur Baek Jungkook ada di dalam?"
Jungkook mematikan mesinnya. Ia beranjak dari kursinya dan menghampiri Yoongi, "Siapa yang merekomendasikan?" tanyanya. Namun ia langsung terdiam begitu melihat siapa yang datang ke bengkelnya. Yoongi pun demikian, tanpa sadar ia menajamkan penglihatannya. Yoongi merasa tidak asing dengan wajahnya. "Mungkinkah kau ... "
Jungkook segera membalikan tubuhnya, seolah menghindari tatapan Yoongi. "Maaf kami tutup lebih awal hari ini."
"Do Jeon Soo."
Jungkook terdiam, sementara Yoongi melangkahkan tungkainya mendekat. "Kau ... Do Jeon Soo, kan?"
Jungkook tak menjawab, ia masih memunggungi Yoongi. "Kau tidak mengingatku? Kim Yoongi."
Jungkook memejamkan matanya, mencoba menahan sesuatu dalam dirinya. Beberapa saat kemudian, ia berbalik, menatap Yoongi dengan dingin.
"Benar, kau Do Jeon Soo," ujar Yoongi lagi, lebih kepada meyakinkan dirinya sendiri.
"Lalu?" balas Jungkook.
"Apa?"
"Lalu apa yang akan kau lakukan?" terang Jungkook lagi membuat Yoongi agak gelagapan. "Ah ... aku tidak akan melakukan apapun. Aku hanya terkejut saja. Emm ... aku disini untuk menemui Baek Jungkook. Suami detektif Cha Dahyun. Apa Baek Jungkook-ssi tidak ada?"
Jungkook memiringkan kepalanya, "Kau mengenal dia?"
"Hah?"
"Apa kau dan detektif Cha Dahyun ... saling mengenal?"
"Iya."
Jungkook menatap Yoongi tajam namun tak lama, ia tersenyum tipis. "Mau teh?"
"Apa?"
"Aku punya teh yang nikmat."
Jungkook berjalan menuju rak, membuka tutup teko lalu memasukan air hangat dan teh celup ke dalamnya. Untuk sesaat, ia menatap bayangan Yoongi yang terpantul di kaca dengan datar, sementara Yoongi merasakan atmosfir tempat ini berubah menjadi semakin suram. Tidak dapat di pungkiri, kalau ia merasakan aura yang mengerikan dari Do Jeon Soo-anaknya Do Jeon Seok, pembunuh berantai di desanya dulu.
Yg di poster asalnya Do Jeon Ki, tapi aku ubah jadi Do Jeon Soo supaya lebih enak dibacanya.
Buat yg blm tau, dibacanya gini:
-Baek Junhee = Baek Junhi/Baek Juni
-Do Jeon Soo = Do Jon Su
-Do Jeon Seok = Do Jon Sok
Ps. Untuk ke depannya, aku bakalan up setiap votenya udh mencapai 40/50 ya ♡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro