Prolog
*Hujan Di Tengah Malam*
***
Hujan deras menderu jalan beraspal yang gelap gulita. Jalan itu di sekelilingnya dipenuhi pepohonan yang besar dan lebat. Ranting pohon dan daun yang basah bergoyang-goyang terhempas angin. Jalan yang menembus hutan yang lebat begitu gelap. Bulan ini musim penghujan, jadi pantas saja jika langit sering turunkan hujan.
Di sana, di kegelapan malam terlihat ada seseorang remaja yang berjalan sendirian dengan langkah yang sempoyongan. Tatapan matanya begitu tajam. Pakaian yang dikenakan berantakan, namun masih lengkap di badannya. Dia berjalan dan terus berjalan tanpa henti. Dia tidak goyah jika hujan lebat dan jalan yang gelap menghalangi jalannya. Hanya cahaya petirlah yang mampu melihat wajahnya yang pucat. Kenapa dia berjalan sendirian? Kenapa dia berjalan di jalan gelap itu? Tak ada yang tahu.
Parau-parau terdengar deru mesin mobil dari kejahuan. Perlahan nampak dua titik cahaya mulai mendekati seseorang itu dengan cepat. Suara klakson pun terdengar. Kemudian sebuah mobil berhenti tepat di sampingnya. Namun remaja yang berjalan tersebut merasa tidak terusik sedikit pun dan terus melangkahkan kakinya untuk berjalan.
Seorang Remaja berkacamata turun dari mobil melawan derasnya hujan di jalan yang hanya di sinari lampu mobilnya. Sesekali petir berkilat menggelegar menakuti remaja berkacamata itu. Namun dia memantapkan hatinya mendekati seseorang yang tak memperduliakan kedatangannya dengan susah payah itu.
“Orlan...!Orlan...!Orlan...!” Panggilnya berulang kali namun dia tidak memperdulikannya sama sekali. Panggilanya seakan terredam oleh suara hujan. Remaja itu masih saja tetap berjalan.
Remaja berkacamata itu berlari mengejar remaja yang berjalan dengan wajah pucat terus-menerus. remaja yang dipanggil dengan nama Orlan masih tidak memperhatikannya.
Sampai akhirnya dia dapat menangkap lengan kanan Orlan yang membuat sosok itu dapat menghentikan langkahnya. Orlan berbalik menatap remaja berkacamata tersebut dengan tatapan kosong tanpa ekspresi tergambar di wajahnya.
“Syukurlah kau tidak apa, aku sangat khawatir padamu. Kau tahu sebenarnya saat Kam...” Seru remaja berkacamata namun segera dipotong oleh Orlan dengan kata,”Apa!” Suaranya terdengar sendu.
Tanpa menunggu jawaban, remaja berkacamata itu berkata lagi “Ayo kita pulang!” Sambil menarik seseorang yang bernama Orlan itu masuk ke mobil dengan paksa.
Remaja berkacamata itu membantu Orlan duduk di mobil dan sekaligus memasangkan sabuk pengaman dengan wajah cemas. Remaja berkacamata itu kemudian memandang sekilas wajah Orlan dengan wajah cemasnya. Dia mulai menepis apa yang sedang dipikirkannya dan langsung menutup pintu mobil.
Dia pun berjalan menuju sisi kemudi mobil dan memasukinya. Kemudian mulai menjalankan mobilnya dengan hati-hati karena cuaca sedang hujan deras. Wajah Orlan terlihat begitu pucat karena kehujanan.
Dari awal dia mencari Orlan dia tidak perduli dengan hujan deras yang menghalanginya untuk mencari Orlan. Dia sudah sadar akan kesalahannya kepada Orlan, sehingga dia berusaha meminta maaf. Namun Orlan sudah terlanjut pergi, maka dari itu dia nekat pergi mengemudi dengan ugal-ugalan demi mencari Orlan dan meminta maaf. Sekarang setelah bertemu dengan Orlan, tidak ada alasan lagi untuk mengemudi dengan ugal-ugalan, karena dia sudah menemukan apa yang dia cari. Dia berusaha mengemudi dengan hati-hati.
Saat di dalam mobil beberapa menit kemudian remaja berkacamata itu mulai kedinginan. Karena sibuk melamun, dia menjadi lupa akan rasa dingin yang menghampiri tubuhnya. Dia lupa tidak membawa mantel, handuk, sweter dan sejenisnya yang dapat membuat mereka hangat. Akhirnya dia dan Orlan harus basah-basahan di dalam mobil. Merasakan kedinginan sampai mereka tiba di rumah nanti.
“Kau tidak apa-apa kan Lan, mukamu pucat sekali.” Serunya khawatir. Yang ditanya sepertinya hanya melihat ke depan dengan tatapan kosong bahkan tak menjawab pertanyaan remaja berkacamata itu sedikit pun. Remaja berkacamata itu dengan wajah khawatir tidak berani bertanya pertanyaan yang dapat menyakiti hati Orlan lagi, seperti yang dia katakan sebelumnya.
Dia tidak mau membuat Orlan marah dengannya lagi. Namun hanya diam yang terasa di dalam mobil itu. Remaja berkacamata itu merasa tidak nyaman karena biasanya jika bersama Orlan hanya ada kebanyolan-kebanyolanya yang membuatnya tertawa geli dan hampir tidak fokus dengan menyetir. Namun suasana ini benar-benar sangat berbeda, tapi dia tidak bisa melakukan apa-apa selain diam. Dia terlalu banyak menyakiti Orlan.
Remaja berkacamata itu merasa sangat tak nyaman, karena orlan mulai memperhatikannya dengan seksama. Tatapannya begitu dalam sekali. Seperti ingin memakan remaja berkacamata itu dalam sekali terkam. Remaja berkacamata itu pun mulai membuka mulutnya untuk berbicara memecahkan kesunyian di dalam mobil tersebut atau ingin mengalihkan tatapan Orlan dari dirinya.
“Lan, aku minta maaf.” Ucapnya dengan lembut.
“Orlan, kau masih marah denganku?” Namun yang ditanya hanya diam dan melempar pandanganya ke luar jendela.
“Lan? Orlan...!” Lelaki berkacamata itu pun mulai jengah dengan perilaku Orlan yang berbeda dengan biasanya, dia tidak peduli dengan suasana hati Orlan dan kecanggungan di antara mereka. Lalu apakah ucapan maaf darinya kurang sehingga dia tak mau memaafkannya. Dia berasumsi kalau dialah yang membuat Orlan menderita dan harus berjalan sendiri di jalan itu.
Orlan masih belum juga membuka mulutnya untuk sekedar mengatakan sepatah kata pun. Masih bergelut dalam hati remaja berkacamata itu, dia mulai jengah.
“Orlan! Dari awal aku sudah bilang kan jangan ikuti orang-orang itu, mereka orang yang tidak bisa dipercaya. Kata-katanya saja membuatku muak! Sebenarnya apa sih yang dia katakan sampai kamu bisa sangat sangat sangat percaya dengannya, hahhh.” Lelaki kacamata itu bicara dengan emosi. Namun juga ada nada khawatir di dalam kata-katanya. Dia benar-benar merasa bersalah.
“Lan, aku tau kamu orang yang keras kepala. aku sebagai teman, bukan, tapi sahabatmu sejak kecil aku pantas memberitahumu yang terbaik. Jadi, jika aku bilang tidak ya tidak. Aku tau kamu itu berpikiran pendek, jadi aku tidak mau kamu terjerumus ke jalan yang tidak benar. Itu bukti kalau aku masih menyayangimu sebagai sahabatmu satu-satunya. Kau mengerti kan?” Sambungnya.
Orlan pun masih tak menghiraukannya, dia masih tetap fokus pada pandangannya ke luar jendela mobil. Walaupun dia tidak menghiraukannya, namun dia bisa mendengar semuanya.
“terserah kau saja Orlan... selesaikan dulu masalahmu dengan keluargamu. Akan aku antar kau pulang, pasti ayah dan ibumu sangat mencemaskanmu.” Kata remaja berkacamata itu pasrah berbicara seperti apapun tak kan ada respon sama sekali.
Sudah beberapa menit mereka berjalan, akhirnya mereka sudah sampai di rumah Orlan yang mereka tuju. Namun Orlan tak kunjung keluar mobil dan malah tak bergeming dari pandangannya yang mengarah ke jendela mobil.
“Apakah Orlan masih marah atau dia merasa bersalah dengan keluarganya. Wajahnya terlihat seperti orang linglung, sepertinya hatinya masih terguncang. Lebih baik aku tak membuat masalah lagi.” Batin remaja berkacamata itu cemas.
“Orlan kau tidak turun? Aku tak mau mengganggu masalahmu dengan keluargamu dulu. Aku tak mau dianggap sok pahlawan karena telah membawamu kembali pulang, jadi cepat turun! Aku mau pulang, aku sudah kedinginan dari tadi.” Remaja berkacamata itu pun mulai membujuk Orlan agar mau turun tetapi Orlan malah menatapnya lekat-lekat. Kedua mata itu saling bertemu dan berbagi tatapan yang dalam.
“Kau...” Akhirnya Orlan pun mulai membuka mulut untuk bicara dari sekian kebungkamanya. Namun hanya itu yang bisa ia katakan. Dia mulai membalikkan tubuhnya untuk keluar dari mobil dan tidak melanjutkan kalimat yang akan dia ucapkan.
Remaja berkacamata itu pun menghela nafas lega, akhirnya dia mau menurut juga. Sebenarnya dia tahu kalau Orlan itu keras kepala, jadi susah untuk diberi tahu. Namun yang membuatnya bingung yaitu dia tak pernah diam walaupun punya masalah sebesar apapun. Dia selalu cerita pada sahabatnya, yaitu si remaja berkacamata itu. Tentang pacarnya, teman-temannya, maupun masalah dengan ayahnya.
Wuss... angin menerpa mobil yang di dalamnya duduk lelaki berkacamata itu. Dia langsung merasa kedinginan, padahal kaca mobilnya tertutup rapat. Tetapi kenapa bisa merasakan dinginnya angin di luar sana.
Karena merasa kedinginan, akhirnya dia pun pulang setelah melihat Orlan yang telah membuka pintu depan rumahnya. Kemudian dia mulai mengemudikan mobilnya menjauh dari rumah Orlan. Tidak disangka sebelum Orlan masuk dia menatap mobil yang ditumpangi lelaki berkacamata tersebut dengan lekat saat mobil itu berjalan menjauhi rumahnya. Sampai dia benar-benar pergi dengan mobilnya, Orlan tersenyum miring dan berbalik masuk ke dalam rumahnya.
.
.
.
.
.
(TBC)
Maaf kalau ceritanya jelek + gaje ...🤗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro