Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

episode 25


*PENGHIANATAN*

.....~•°♥°•~......

Suara petir mengglegar berkali-kali dan hujan pun turun semakin deras di malam yang  semakin gelap ini. Bahkan pandangan kami terhalang oleh ribuan tetesan hujan.

"Pelan-pelan Ned." Aku menyuruh Ned memperlambat laju mobil, takut tergelincir dan jatuh ke jurang.

"Elian, aku tidak bisa mengurangi kecepatan mobil. Aku takut kalau Orlan akan mengejar kita." Tolaknya tetap mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata.

"lihatlah, hujannya deras sekali. Apa kau mau kita kecelakaan. Tenanglah, dia tidak akan mengejar kita saat hujan seperti ini." Kataku menenangkan Ned yang menyetir dengan urakan.

"Dia itu bukan Orlan. mungkin saja dia mempunyai kekuatan super, sehingga dia bisa mengejar kita. Buktinya dia bisa sampai di rumah dukun itu mendahului kita. kita harus cepat pergi dari sini." Ucap Ned terlihat semakin panik.

"Kalau dia bukan Orlan, lalu Orlan yang asli di mana. Apa kau tahu di mana dia berada." Tanya Ned berbasa-basi ditengah kepanikan kita.

"Nenek Samara bilang, tubuhnya adalah milik Orlan, tetapi jiwanya adalah iblis. dia pasti sangat kuat sampai nenek Samara jadi korbannya. Bagaimana kita bisa melawannya, bahkan membunuhnya jika nenek Samara saja kalah darinya." Jawabku ketakutan melihat betapa kuatnya iblis itu. Aku tidak tahu lagi harus meminta bantuan pada siap lagi untuk menyelamatkan Orlan. tubuhku sudah bergetar ketakutan mengingat bagaimana kejamnya Orlan membunuh nenek Samara.

"Tunggu, tunggu. Kau bilang itu tubuh Orlan yang dirasuki raja iblis kan. Kalau begitu, orlan pasti sudah ....El jangan sedih ya. Orlan sudah tidak ada lagi, dia pasti sudah mati dan semoga saja dia masuk surga." Seru Ned yang membuatku bersedih mengingat kenangan bersama Orlan kembali.

Mengingat senyumnya, tawanya, jahilnya, bahkan sikapnya yang seperti pahlawan di mataku. Semua harus sirna begitu saja. Aku tidak mau kehilangan Orlan, aku mencintainya. Hatiku rasanya perih seperti terturuk ribuan duri saat aku memikirkan Orlan pergi dariku untuk selamanya. Aku harus percaya jika Orlan akan kembali ke pelukanku lagi.

"Tidak Ned! Orlan masih hidup, aku yakin itu. dia pasti masih hidup." Kataku antusias, percaya jika Orlan masih hidup.

"Jika dia masih hidup, lalu dia ada di mana sekarang. Elian sudahlah, terimalah apa yang sudah terjadi. Cinta tidak selamanya harus bersama. Aku tahu kalian saling mencintai, tapi kalau tuhan telah memberikan takdir yang berbeda. kita harus menerima apapun itu, sepahit apapun itu kau harus bisa menerimanya. aku akan selalu membantumu El. Jangan khawatir, aku akan selalu ada untukmu." Seru Ned yang membuatku meremas bawah bajuku tidak kuat menerima apa yang Ned katakan. Orlan pasti masih hidup, aku yakin itu.

"Ned, aku percaya kalau Orlan masih ada. walaupun kemungkinannya sangat kecil, tapi setidaknya aku ingin bertemu denganya sekali saja. hanya itu." Jawabku sambil menahan air mata yang sudah tidak tahan terbendung. Aku frustasi memikirkan apakah Orlan masih hidup atau sudah tiada. Aku tidak bisa membanyangkan jika aku akan kehilangan Orlan. Aku tidak bisa kehilangannya, Orlan harus kembali. Aku akan membawanya kembali.

"Lihatlah Elian, papamu jiwanya sudah tidak ada. Tubuhnya sudah dirasuki iblis. Orlan tidak akan kembali seperti papamu." Ucap Ned yang membuatku terkejut. Aku tidak bisa mempercayai kenyataan yang tidak ingin aku dengar. Bagaimana Ned bisa tahu jika papaku juga dirasuki oleh iblis. Aku tidak pernah bercerita masalah ini pada siapapun termasuk bibi Margaretha.

Brakkk, Orlan menghantam depan mobil dengan keras sampai mobil depan penyok dan kaca depan pecah. Kami menghalangi wajah kami agar tidak terkena serpihan kaca yang pecah. Wajah iblis itu tersenyum lebar dengan mata hitam legam menatap kami dengan tajam. Aku yang kaget bercampur takut lalu tidak sadar menarik stir mobil yang mengakibatkan mobil melaju ke arah jurang. Orlan jatuh dari depan mobil bersamaan dengan mobil yang melaju ke dalam jurang yang gelap. Berkali-kali aku terpental ke sembarangan arah mengikuti mobil yang terjatuh ke jurang.

Aku menutup mata merasakan tubuhku yang terguncang-guncang sampai hantaman keras aku rasakan. Mobil yang kita tumpangi menabrak sebuah pohon besar yang menghentikan laju mobilnya. aku raba-raba tubuhku memastikan luka dj tubuhku. Syukurlah, tidak ada luka yang serius. Pintu mobil sampai terbuka dan membuat tubuhku basah kehujanan. keadaan di sini sangat gelap, hanya cahaya petir yang menjadi penerang di sini. Derasnya hujan mengganggu pengelihatanku. Ketika kesadaranku mulai kembali aku teringat Ned yang sama-sama jatuh. Aku melihat ke sampingku yang ternyata Ned sudah tidak ada. Apakah Ned tidak memakai sabuk pengaman yang membuatnya terjatuh keluar dari mobil. Tuhan aku mohon selamatkan Ned, doaku dalam kepanikan. Aku mencari Ned di gelapnya jurang yang miring dengan khawatir. Aku memangil-manggil namanya sambil memperhatikan langkahku karena tanahnya yang licin penuh dengan lumpur.

"Ned, Ned! kau di mana? Ned! Ned, kau baik-baik saja kan? Ned, Ned!" Panggilku tanpa henti.

Kenapa tidak ada jawaban sama sekali. Apakah Ned baik-baik saja. aku khawatir sekali padanya. Bagaimana kalau dia meninggal. Bagaimana denganku, aku sudah tidak punya teman lagi selain Ned. Ned, jangan tinggalkan aku. Tangisku yang sempat terhenti sekarang pecah lagi. Aku sudah tidak bisa bergerak lagi. Aku tidak berdaya lagi. Aku tidak punya harapan lagi. Ned, aku mohon jawab aku.

"Ned! Ned, kamu di mana. Jangan tinggalkan aku. Ned, aku takut. Aku mohon katakan sesuatu Ned. Ned!" Teriakku lantang dalam derasnya hujan dan kerasnya petir yang menyambar-nyambar. aku sudah tidak sanggup berjalan lagi. langkahku sudah sempoyongan tidak bertenaga. Disaat aku sudah mulai putus asa, aku merasakan ada sebuah tangan yang memegang bahuku. Aku senang sekali karena Ned baik-baik saja. Senyumku terukir bahagia karena aku sudah bertemu dengannya. Aku balikkan badanku untuk memeluknya karena dia sudah membuatku begitu khawatir.

"Ned, kau membuatku khawatir. Syukurlah kau... " Seruku terpotong dan mataku sudah membelalak kaget. Apa yang aku lihat berbeda dengan yang aku pikirkan. ternyata yang aku peluk adalah iblis itu.

"Orlan!" Panggilku dengan nada ketakutan yang menguasai tubuhku. Aku mundur ke belakang untuk melarikan diri.

"Ada apa Elian? Kenapa kau begitu terkejut. Apa aku menakutimu!" Serunya sambil memegang kedua lenganku yang membuatku maju ke depan berhadapan dengan matanya yang gelap. Detak jantungku sudah tidak beraturan. Air hujan terus saja mengalir dari ujung kepala sampai kaki.

"Orlan! Orlan, lepaskan aku! Lepas!" Kataku memberontak, berusaha melepaskan tangannya dari lenganku. Namun, tidak kunjung lepas. Tangannya keras seperti batu. Aku takut sekali, aku tidak bisa apa-apa. Aku hanya bisa menangis dalam diam dan memberontak.

"Kau kenapa Elian, ini aku Orlan. bukan siapa-siapa. Ayo kita pulang." Serunya sambil tersenyum sinis.

"Berhentilah berpura-pura! Kau bukanlah Orlan. Kau iblis kejam yang merasukinya. Pergi sekarang, menjauhlah dariku. Keluar kau dari tubuh Orlan. Keluar!" Teriakku histeris. Aku tidak mau melihat wajah Orlan yang membuatku bersedih.

Dia malah tertawa keras sekali. Tawa jahatnya yang membuatku bergidik ngeri. Apa dia akan membunuku sekarang untuk tumbal berikutnya. Orlan! Orlan! Orlan! panggilku dalam hati. Entah mengapa aku ingin sekali memanggil namanya berulang kali sebelum aku mati. Apakah ini yang dinamakan rasa bersalah. Atau ini yang dinamakan penyesalan. Aku menyesal telah mengabaikanmu dulu. Aku menyesal telah membiarkanmu pergi begitu saja. Orlan maafkan aku, aku mencintaimu.

"Elian, jangan menangis. lihatlah, ini aku. Orlan. Aku sangat mwncintaimu, Elian." serunya menarik wajahku menghadap ke wajahnya yang nampak gelap. Wajah sedihnya mampu aku lihat dalam remang-remang, hatiku langsungr berdesir. Cahaya petir bersinar sekejap mata, di saat itulah aku melihat wajah orlan yang aku rindukan kembali. Aku ingin memeluknya. Sadarlah Elian, dia iblis yang merasuki tubuh orang yang kau cintai. Dia hanya menipumu, jangan percaya dengan tipuannya. Dia akan memakanmu saat ritual nanti. Jika kau ingin selamat, larilah sejauh mungkin Elian. Aku berkata pada diriku sendiri agar tidak jatuh ke dalam tipuan iblis itu.

"Tidakkkk! Tidak, tidak, tidak. Kau bukan Orlan." Teriakku mendorongnya menjauh dariku. Aku berlari pergi dengan langkahku yang terjatuh berulang kali dalam gelapnya hutan. Orlan menarik lenganku sampai badanku memeluknya kembali.

"Hei, apakah aku harus menunjukannya padamu sekarang kalau aku Orlan yang selalu mencintaimu." Ucapnya lagi menyakinkanku. Aku tidak akan tertipu dengan kebohongan iblis itu.

Bukkk bukkk bukk bukkk, "Mati kau, mati kau, dasar iblis!" Seru Ned memukul Orlan berkali-kali sampai jatuh ke tanah. Orlan jatuh pingsan di bawah terguyur air hujan yang membuatnya tampak menyedihkan. Orlan tunggu sedikit lagi sampai aku bisa menyelamatkanmu tanpa membunuhmu.

"Ned? syukurlah kau tidak apa-apa. Aku khawatir padamu." Kataku memeluk Ned dalam kegelapan sambil menangis. Aku sudah menangis berulang kali, aku sudah tidak perduli berapa banyak air mataku yang aku tumpahkan seperti tetesan hujan yang tiada henti. Aku bahagia Ned selamat.

"Aku yang lebih khawatir padamu Elian, aku terkejut saat melihat Orlan itu berada di belakangmu. Aku urungkan niatku menghampirimu dan mencari kayu untuk memukulnya. Aouww aduh ahhh auhh." Serunya panjang lebar dan terakhir di sertai rintihan kesakitan. Ned membungkuk memegang bagian bawah kaki kanannya.

"Kau kenapa Ned?" Tanyaku khawatir, apa dia terluka karena terjatuh dari mobil tadi.

"Kaki kananku sakit! Sepertinya terbentur batang pohon. Tapi tidak apa-apa, jangan khawatir. aku masih bisa berjalan."  Serunya yang aku bantu berjalan. Petir menggelegar berkali-kali menerangi kaki Ned yang tertancap ranting pohon yang cukup dalam. Celananya merah bersimpuh darah dan basah.

"Ned!" Panggilku terkejut karena melihat luka yang ada di kaki Ned.

Dia menatapku dengan tatapan kesakitan. Ned pasti sedang menahan rasa sakit di kakinya. Aku merasa bersalah telah membawanya dalam bahaya. Aku melihat di sekelilingku, mencari sebuah pohon besar untuk berlindung dari hujan. Aku juga memastikan tubuh Orlan yang tertidur di tanah agar tidak segera bangun dulu. Ada rasa sedih ketika melihat badan yang penuh darah terbujur kaku di tanah saat sedang hujan begini apa lagi dia orang yang aku cintai. Sungguh memilukan melihatnya. Aku tidak kuasa melihatnya seperti itu.

"Elian?" panggil Ned dengan nafas terputus-putus menahan sakit.

Aku bergegas mengajak Ned bersandar di bawah pohon besar. Aku lalu membantunya berjalan dan berteduh di sebuah pohon besar. Aku mendudukkannya perlahan-lahan agar dia tidak merasa kesakitan.

"Ned, bertahanlah. Aku akan mencabutnya. Lebih baik kau tutup mata agar tidak takut melihatnya. Bertahanlah. Tarik nafas, keluarkan pelan-pelan. Ulangi berulang kali. kau mengerti kan?" Ucapku pada Ned sebelum mencabut kayunya. need hanya mengangguk mengiyakan apa yang aku katakan. Aku tarik perlahan-lahan agar dagingnya tidak terkoyak. Ned yang menarik nafas panjang, lalu mengeluarkan erangan kesakitan yang nyaring bersamaan dengan petir yang menggelegar. Ned berteriak berulang kali memekakan telingaku. Membuatku meringis ikut merasakan rasa sakit yang Ned rasakan. Dia begitu kesakitan, tangan dan badannya bergetar. Aku tidak tega melihatnya. Aku langsung mencabutnya sampai membuat Ned berteriak cukup keras. Nafasnya memburu seirama dengan paru-parunya yang memompa oksigen.

"Ned kau baik-baik saja kan? Kau masih kuat kan? Maafkan aku Ned, maafkan aku. Ini semua salahku." Kataku sambil menggulung celana ned sampai menutupi lukanya. Jika Ned tidak ikut denganku, kejadian seperti ini tidak akan terjadi.

"Kenapa lama sekali, butuh bantuan!" Suara Orlan yang mengagetkanku. Dia berdiri di sampingku dengan senyum jahatnya yang lebar.

"Orlan!" Panggilku karena terkejut.

"Elian kenapa kau susah sekali aku beri tahu." Serunya lalu menarik rambutku sampai aku mendongak dan setengah berdiri. Tarikannya begitu kuat dan kasar. Kepalaku sakit saat dia menarik rambutku, aku mengambil ranting kayu yang menusuk kaki Ned, lalu menghujamkannya ke perut Orlan.

"Orlan!" Panggilku terkejut saat kayu itu berhasil menancapkan di perutnya.

Orlan lalu melepas cengkramannya di rambutku. Tangan satunya menyangga tubuhnya untuk bersandar di pohon, sedangkan yang satunya memegangi kayu yang menusuk perutnya. Aku tidak berniat menusuknya, tetapi aku sudah terlanjur menusuknya. Aku dari tadi membawa pisau di belakangku, sayangnya aku tidak berniat untuk melukai tubuh Orlan lagi. Aku tidak bisa membuatnya menjerit kesakitan di dalam sana karena tubuhnya terluka.

"Suaramu merdu sekali Elian. Aku senang mendengarnya. Kau selalu memanggil nama Orlan dengan suara merdumu. Aku sangat menyukainya." Ucapnya tersenyum sinis menatapku.

"Aku tidak butuh pujianmu. Aku tidak butuh apapun darimu. Menjauhlah dariku. Cuiiihhh." Hinaku padanya sambil meludahinya.

Dia diam dan mulai menatap tajam yang menusuk ke arahku. Aku bergidik ngeri melihat tatapannya yang menakutkan. Dia dengan enteng mencabut kayu dari perutnya, lalu menghentakan tubuhku ke tanah begitu saja. Aku meringis merasakan punggungku yang menghantam tanah basah. Wajahnya secepat kilat sudah tepat berada di depan wajahku. Nafasku bertubrukan dengan nafasnya yang dingin itu.

"Seumur hidupku, aku tidak pernah mendengar penghinaan seperti ini. Hanya kau yang berani menghinaku. Siapapun yang menghinaku akan aku bunuh sampai binasa." Serunya sambil perlahan tangan kirinya mencekik leherku dan menekannya semakin lama semakin erat. Aku juga merasakan udara yang masuk ke paru-paruku mulai berkurang. Aku kesulitan bernafas karena dia mencekam leherku. Walaupun tidak terlalu kuat, tapi rasanya sakit sekali. Aku sampai menggunakan kedua tanganku untuk menyangga tangannya agar tidak mencengkram leherku lebih erat lagi.

"Aku tidak bisa membunuh bungaku yang aku cintai. Sebentar lagi kau akan menjadi milikku seutuhnya. menjadi iblis sepertiku dan melahirkan anak-anakku." Ucapnya dengan wajah sendu dan memulai mencium pipiku.

"Dasar gila. Aku laki-laki yang tidak akan pernah melahirkan anak satu pun darimu. Hanya orang bodoh yang berfikir kalau laki-laki bisa melahirkan dan orang bodoh itu adalah kau. Lepaskan aku, hahhhh, aku mohon lepaskan aku." Bentakku sambil meronta-ronta berusaha melepas cengkraman tangan Orlan dari leherku.

Bukkk, aku lihat Ned menendang tubuh Orlan sampai bergulir masuk ke dalam jurang. Aku menganga melihat Orlan jatuh ke bawah, Orlan apakah dia baik-baik saja. Kenapa aku sangat khawatir padanya. Lalu Ned menarikku dan mengajakku berlari kencang menjauh dari sana. Kami terus berlari tanpa henti tidak memperdulikan hujan, gelap dan petir yang menyambar-nyambar. Ned bahkan tidak memperdulikan kakinya yang sedang sakit. Kakiku sudah pegal dan lelah berlari terus menerus sampai aku dan Ned jatuh berulang kali. Namun, kami sama-sama saling menguatkan untuk terus bertahan. kurasa kami sudah berlari berjam-jam. Hujannya pun juga semakin lama semakin mereda. Kami berjalan entah ke mana, dari tadi kami tidak menemukan jalan besar maupun jalan setapak.

Dalam kondisi kami yang sudah lama kehujanan dan berlari tanpa henti, kami merasa kedinginan dan letih di ujung tanduk. Ned sudah tidak sanggup berlari lagi, kakinya yang sakit sudah membengkak. Aku lupa tidak mengikat lukanya tadi karena pikiranku sudah berkecambuk ke mana-mana. Aku rasa hujannya sudah berhenti. Awan hitam di langit yang gelap mulai menjauh dan menunjukan sinar bulan purnama yang berembun perlahan-lahan. Aku lalu membawa Ned menepi di sebuah pohon besar. Semakin lama sinar rembulan menyinari hutan tempat kami duduk istirahat semakin terang. walaupun tidak seterang lampu rumah. Aku terpikir kapan penderitaan ini berakhir. Aku teringat mama dan papa yang pasti begitu mencemaskanku. Aku lupa jika mereka sudah meninggal, apakah aku sudah merindukan mereka.

"Elian, kau kenapa?" Tanya Ned lemah. Aku lihat wajahnya pucat sekali, bibirnya sudah membiru karena kedinginan.

"Tidak apa-apa, kita beristirahat di sini dulu." Ucapku mengatur nafasku yang masih berantakan.

"Elian! Kau baik-baik saja?" Tanya Ned yang khawatir tentang keadaanku. sekarang yang terlihat membutuhkan bantuan adalah Ned bukan aku, tapi dia malah mengkhawatirkan aku.

"Ned, berhentilah mencemaskanku. Keadaanmu yang malah membuatku cemas. Semoga saja dia tidak mengejar kita lagi." Jawabku bersandar di pohon merasakan dinginnya angin menerpa tubuhku yang basah.

"Aku baik-baik, kau tidak perlu khawatir!" Ucap Ned bersandar di batang pohon sambil menatap bulan yang redup cahayanya dalam dinginya malam bersamaku. Perlahan pandanganku turun dari langit menuju sebuah bangunan megah seperti istana menjulang tinggi di hadapanku.

"Ned, lihatlah. Ada bagunan tua di depan sana. Ned ayo ke sana, mungkin saja di sana ada air dan kain untuk mengobati lukamu. Semoga saja masih ada baju yang layak dipakai untuk kita. Ayo Ned, aku bantu berdiri." Seruku kegirangan melihat bangunan itu. Setidaknya kita bisa beristirahat di sana sejenak.

"Baiklah!" Ucap Ned setuju. Aku membantunya berdiri dan memapahnya berjalan menuju ke belakang bangunan tua itu.

"Kenapa aku merasa tidak asing dengan tempat ini. Aku seperti pernah pergi ke sini. Tapi aku tidak ingat." Gumanku mencoba mengingatnya dalam pikiran dan perasaanku yang mengganjal ini. Namun, tetap saja aku tidak bisa menemukannya. Aku yakin kalau aku pernah ke sini, tapi kapan? Atau tempat ini hanya kebetulan sama dengan tempat lain. Namun, perasaanku yakin kalau aku pernah ke sini.

"Kurasa sudah waktunya Elian. Aku sudah lelah bermain-main denganmu. Ayo kita lakukan di sini. hehehehe." Ucap Orlan berdiri menyeringai di belakangku.

"Ayo pergi Ned." Seruku tanpa memperdulikannya.

aku terus membawa Ned berlari tertatih-tatih karena luka Ned yang membengkak. Orlan itu masih saja mengikuti kami dari belakang dengan langkah pelan dengan seringai menakutkan. Aku membawa Ned menuju ke bangunan besar yang kosong itu.

"Elian, sudahlah! Tinggalkan aku di sini, aku akan mengulur waktu. Kau lari yang jauh." Seru ned berusaha melepas tanganku yang membantunya berjalan. Kami bahkan sudah sampai di depan pintu belakang bangunan tua itu. Hanya kurang selangkah lagi ketika bisa memasukinya, bertahanlah sebentar Ned.

"Apa yang kau katakan, aku tidak akan meninggalkanmu." Kataku masih memapah Ned masuk ke dalam bangunan tua dan menutup pintunya. Tidak lupa menguncinya dengan kayu. Bahkan bangunan ini masih menggunakan kunci kayu, pasti bangunan yang sudah berdiri sangat lama, batinku.

.....~•°♥°•~.....

Aku membantu Ned berjalan lagi menyusuri lorong-lorong yang gelap dan pengap. Di dalam lorong bangunan yang semakin lama kami masuki seperti sebuah labirin panjang dan bercabang. Terdapat penerangan lampu api kecil tertempel di dinding dengan jarak 3 meter. Kenapa aku tidak asing dengan tempat ini.

Kenapa ada api yang menyala jika tidak ada orang. Pasti ada penghuninya di bagunan ini. Kami terus berjalan melewati lorong-lorong tanpa ujung dan berusaha membuka setiap pintu di sana yang terkunci. Kamar mana yang tidak terkunci, kenapa terkunci semua. Bahkan dari tadi aku merasa hanya berputar-putar di dalam bangunan ini.

Di persimpangan jalan aku mendengar suara langkah sepatu yang semakin mendekat. Langkahnya tidak hanya satu, tetapi banyak. Aku bersembunyi dan berusaha mengintipnya saat mereka sudah semakin mendekat. Aku lihat jubah merah yang berkibar-kibar bergerombol berjalan mendekat. Astaga, sepertinya kami berdua sudah memasuki mensen anggota sekte jubah merah itu. Aku tidak menyangka masuk ke sarang musuh.

"Ned ayo pergi!" Ajakku menarik Ned mundur. Aku harus bisa keluar dari sini. Aku harus mencari pintu masuk dan keluar dengan mobil mereka.

Aku memapah Ned dengan ngos-ngosan karena lelah dan letih bercampur menjadi satu. Tubuh Ned yang gempal menyulitkanku untuk memapahnya karena berat. Aku terus berjalan mencari jalan keluar entah ke mana itu aku berjalan. Ned juga hanya diam saja yang membuatku takut. Aku takut jika dia kehabisan darah karena lukanya lalu pingsan. Aku tidak bisa meninggalkanya sendiran di sini, lalu dibunuh oleh anggota jubah merah itu.

Langkahku terhenti saat melihat anggota jubah merah menghalangi jalanku. Aku membuka mulut terkejut, kemudian memutar tubuhku sambil memapah Ned berjalan pergi. Kami harus bisa kabur dari mereka.Sayangnya, dia berhasil menarik tanganku yang berjalan sangat lambat karena sambil memapah Ned.

"Lepaskan aku!" Seruku menghentakkan tanganku agar genggaman tangannya di pergelangan tanganku lepas. Sayangnya mereka sudah mengelilingiku.

"Elian!" Ucap Ned lemah. Astaga Ned, aku mohon bertahanlah sebentar. Aku akan cepat membawamu ke dokter jika sudah lepas dari jeratan mereka semua.

"Elian sayang, ayolah ikut dengan kami sebentar." Ucap seseorang yang membuka penutup mulut dan tudung kepalanya. Aku membulatkan mata melihat senyum sinisnya yang sering aku lihat. Bibi Stella, dia anggota sekte jubah merah juga. Kenapa aku di keliling oleh orang yang penuh tipu daya. Kenapa hidupku sesial ini. Kebahagiaan yang aku rasakan adalah palsu, orang terdekatku adalah penipu. Siapa lagi yang akan berbohong lagi seperti mereka.

"Tangkap dia, kita akan melakukan ritualnya segera." Perintah bibi Stella pada semua orang yang memakai jubah merah yang ada di sini.

Mereka menyentuh tanganku, mengunci tanganku di saat aku belum siap bertarun sampai aku melepaskan Ned dari tanganku. Ned terjatuh ke bawah dan aku langsung menginjak kaki kedua orang yang memegangiku sampai mereka berteriak kesakitan. Aku langsung memukul wajah mereka satu persatu dan menendang mereka yang berusaha menyerangku. Aku harus melawan begitu banyak orang di mana aku tidak pernah mengenyam ilmu bela diri. Aku juga harus melawan mereka dengan tenaga yang tersisa.

Aku juga mendapat pukulan dan tendangan berkali-kali sampai aku harus berbenturan dengan dinding dan terjatuh. Kakiku juga diinjak yang membuatku mengadu kesakitan dan menpermudah mereka menangkapku. Aku berjalan mundur sampai membetur dinding dan menghimpit orang yang mengunci Kedua tanganku di belakang sampai dia kesusaha bernafas. Aku menendang orang lain yang mendekat sampai terjatuh ke belakang. Aku langsung menarik tanganku yang dikunci orang itu dan memukul wajahnya. Aku mengeluarkan pisau dan mengarahkanya ke orang yang ingin menyerangku. Sayangnya meleset tidak mengenai lehernya tetapi tertancap di tembok.

"Sayang sekali meleset!" Cibirku melihat ke arah orang yang aku tahan dan ingin aku tusuk. Dia nampak gemetaran dan melepas tanganku yang menahannya.

Nafasku sudah ngos-ngosan seirama dengan dadaku yang naik turun menghirup oksigen. Tubuhku sudah kelelahan untuk melawan mereka, tetapi tekatku untuk menang melawan mereka belum luntur. Aku melawan mereka satu persatu dengan menusuk mereka sebisaku. Aku lihat bibi Stella sudah menghilang entah ke mana meninggalkan anak buahnya yang merintih kesakitan di sini. Aku harus segera pergi dari sini sebelum luka mereka kembali pulih.

Aku membawa Ned berjalan lagi menjauh dari mereka. Aku turunkan Ned karena kakiku sudah kelelahan. Tubuhku rasanya hancur dan remuk. Entah sampai kapan aku bisa bertahan dari mereka. Aku beristirahat dulu sejenak bersandar di tembok, meratapi nasipku yang malang. Mereka juga belum mengejar, untuk saat ini kami aman. Aku merasa hanya berputar-putar di dalam bangunan ini, setiap pintu di lorong-lorong bahkan persimpangannya terlihat sama.

"Ned duduk di sini dulu." Kataku membantu Ned duduk dengan perlahan-lahan. Ned terlihat pucat sekali, aku jadi takut jika dia semakin lemah. Aku menotong ujung kemeja putihku yang kebesaran dan menggunakan kainnya untuk membalut luka Ned yang dari tadi belum sempat aku balut.

"Ned, pegang pisaunya sebentar. Aku akan membalut lukamu." Kataku jongkok di depannya dan meposisikan kakinya yang terluka dengan benar. Aku gulung celana Ned semakin tinggi agar lukanya semakin terlihat. Namun, anehnya tidak ada luka di kakinya sama sekali. Aku sampai membalikan kakinya dan mencarinya.

"Ned, kenapa lukamu tidak ada?" Tanyaku bingung. Tiba-tiba mereka datang kembali mengelilingiku lagi. Orang yang sekarang datang bertambah banyak.

"Masih belum puas kah kalian menggangguku?" Tanyaku emosi. Aku bersiap melawan mereka lagi.

"Tentu saja belum sampai kami menangkapmu." Jawab bibi Stella tersenyum sinis menantangku.

"Ned, berikan pisaunya padaku!" Pintaku pada Ned yang aku suruh memegang pisau yang aku bawa tadi. Namun, Ned malah mengarahkannya ke leherku.

"Ned apa yang...." Kataku terpotong karena Ned semakin menekan pisaunya ke leherku.

"Jangan banyak bergerak. Aku hanya melakukan tugasku dengan baik." Serunya yang membuayku terkejut. Kenapa kau membantu mereka untuk menangkapku. Apa kau sudah menyerah pada hidupmu sendiri dan membiarkan kita menjadi tumbal bagi mereka.

"Ned, jangan menyerah. Aku akan melindungimu, jangan khawatir." Ucapku meyakinkan Ned agar tidak putus asa untuk kabur dari mereka. Aku menggenggam tangannya untuk meyakinkan lagi.

"Kerja yang bagus anakku, kau memang hebat. Borgol anak itu agar tidak kabur lagi, dia sangat menyusahkan." Seru bibi Stella yang membuatku terkejut tidak percaya. Dia memanggik Ned anaknya. Aku melihat Ned sekilas saat mereka memborgolku dan menariku untuk berdiri. Ned nampak tersenyum sinis dan meninggalkanku. Dia berjalan di depan bersama bibi Stella.

"Ibu, pastikan aku mendapat bagianku." Pinta Ned memanggil bibi Stella ibu. Jantungku seketika terasa berat. Ned tidak pernah cerita padaku soal ini. Aku tertawa dalam hati, menertawakan diriku sendiri. Memang aku siapa, aku hanya orang hodoh dan lemah.

"Tentu saja." Jawab bibi Stella mengelus pundak Ned dengan sayang.

Ternyata memang mereka ibu dan anak. Kenapa ini bisa terjadi. Semua orang menghianatiku hanya demi memuja seorang Iblis. Hatiku terasa sakit sekali tersayat beribu pisau yang nampak tumpul. Sayatannya membuat hatiku terkoyak dan hancur. Aku sudah tidak punya harapan hidup lagi. Tidak ada yang mencintaiku dan menyayangiku dengan tulus. Aku sudah tidak layak hidup di dunia ini.

Aku berjalan mengikuti mereka dengan kakiku yang lemah. Berkali-kali aku terjatuh karena tidak kuasa menahan tubuhku sendiri untuk berdiri. Mereka menarik paksa tubuhku untuk berdiri dan mengikuti mereka sampai di sebuah ruangan yang luas penuh coretan putih lambang setan. Aku sudah tidak perduli jika aku akan mati untuk tumbal dalam ritual mereka. Karena memang aku sudah diciptakan untuk itu.

Borgolku dilepas dan aku dibaringkan di batu bulat besar yang terukir lambang iblis di sana. Batunya terasa dingin menusuk tulangku. Aku hanya diam saja menatap kekosongan, tidak perduli lagi dengan apa yang akan mereka lakukan padaku. Lalu menangis dalam diam.

"Tidak perlu dirantai, dia sudah nampak tenang." Ucap bibi Stella mencegah mereka yang hendak merantai tangan dan kakiku. Bibi Stella juga mengelus rambutku dengan lembut sehelai demi sehelai. Senyum sinisnya tidak pernah luntur dari bibirnya. Aku tidak melihat Ned di manapun. Di mana dia, apakah dia baik-baik saja. Hahahha, dasar bodoh kenapa kau masih memikirkan orang yang sudah menjeratmu. Lama-lama aku sudah mulai gila.

"Elian, kau manis sekali. Jangan kabur lagi ya. Karena hidupmu sudah kami atur sejak kecil, hahaha. Kau tidak akan bisa lari lagi dari kami." Ucapnya tertawa menakutkan dan merendahkanku. Tiba-tiba banyak orang berjubah merah mengelilingiku memenuhi ruangan sebesar ini. Aku menarik nafas dan mengeluarkannya dengan kasar. Aku menangis dalam diam dengan air mataku yang tidak henti-hentinya mengalir keluar. Kepalaku sudah berkunang-kunang mengingat ekspresi yang mereka tunjukan selama ini berbeda dengan apa yang terlihat di mataku.

Ned yang ternyata anaknya bibi Stella. Ned yang sejak kecil bersamaku, berbagi suka duka bersamaku ternyata menghianatiku. Dari saat membatuku dan adiknya. Semua senyumnya sudah terlihat menipuku, tetapi aku baru menyadarinya sekarang. Saat aku melupakan ibuku Lilian, dia bahkan mencegah Arash untuk membantuku mengingat tentang ibuku. Kemudian waktu dia mengatakan Orlan dirasuki iblis seperti papaku. Seharusnya aku menyadarinya. Saat aku ingin Pergi ke rumah nenek Samara seharusnya aku tahu dia mengirim pesan pada mereka untuk mengikutiku. Dan seharusnya aku tahu kenapa dia yang menyetir mobil untuk kabur dari Orlan. Dia membawaku pergi ke arah mensen jubah merah itu. Aku menangis meratapi kebodohanku, aku tidak kuat untuk mengingatnya.

"Semua sudah siap!" Seru orlan datang tiba-tiba memakai jubah merah menghampiriku. Dia mengelus pipiku sebentar lalu pergi menjauh hilang dari pandanganku. Dia tidak perduli denganku yang terisak menangis di sini.

"Sudah siap rajaku." Ucap bibi Stella menunduk memberi hormat bersama yang lainnya.

Mereka semua menyalakan lilin yang berada di tangan mereka masing-masing. Lalu munculah dua orang memakai jubah merah dan slempang berbeda dari yang lain seperti bibi Stella. Dengan kata lain mereka bertiga adalah pemimpinnya. Seketika rasa takut menguasai tubuhku. Aku berusaha berdiri dan berlari, tetap dengan cepat mereka memegangiku agar aku tidak bisa kabur. Orang yang paling tinggi membawa cawan dan satunya membawa kitab. Sedangkan bibi Stella membawa belati. Lalu kedua orang yang memakai selempang itu membuka tudung jubah mereka dan menampakan wajah yang tidak asing. Seketika jantungku seakan berhenti dan nafasku seakan mencekik.

"Mama, papa!" Seruku lirih karena terkejut dengan apa yang aku lihat.

Aku benar-benar tidak percaya ini.  Aku tidak menyangka papa dan mama hidup kembali. Aku lupa mereka bukan manusia biasa, mereka bisa sembuh dengan cepat ketika mendapat luka. Aku baru ingat jika aku tidak menusuk jantung mama dan papa kemarin. Alangkah terkejutnya saat aku melihat wajah papa seketika wajahnya berubah menjadi hitam menakutkan dengan mata merah menyala. Hahh sungguh menakutkan. Lalu aku mulai tersadar jika semua orang yang mengelilingiku melihatku dengan tatapan kosong dan wajah mereka yanh berubah sama mengerikan seperti papa. Apa yang terjadi, apa pengelihatanku sudah rusak. Kenapa begitu menakutkan.

"Mama!" Panggilku saat mama mendekat ke arahku sambil membuka kitab lusuh menyembah iblis.

"Elian maafkan mama nak, mama sayang sama kamu!" Seru mama dengan nada sedu. Wajahnya seakan sedih melihatku. Aku tahu jika mama sangat menyayangiku, aku pun juga menyayangi mama.

"Ketua, sekarang ayo lakukan upacaranya, tuan tidak mau menunggu lama lagi. Kau terlalu berbasa-basi." Bentak bibi Stella yang kemudian medapat tatapan tajam dari mama.

Mama mulai membaca mantra dari dalam kitab itu.  Suara Mama keluar dengan lantunan mantra yang sangat menakutkan dan semua mengikutinya. Aku baru bisa mengerti mantra yang sering aku dengar aneh dalam ingatanku yang ternyata seperti itu.

"Kepada sang raja kegelapan kami membawa bunga dari ratu kegelapan untuk melahirkan penguasa kegelapan. Anak kami Elian Hemswarth, ibu para anak kegelapan akan kembali kepada raja kami. Puja kami pada raja Satan, raja para kegelapan."

Aku hanya berbaring pasrah mendengarkannya karena aku tidak bisa berbuat apa-apa. Perlahan aku teringat momen bahagia aku bersama mama, walaupun dia jahat aku tetap menyayanginya. Aku tidak mau kihioangan memen itu. Jika aku selamat, apakah aku bisa kembali lagi seperti dulu. Tiba-tiba mantra berhenti dan semua menatap ke arah mama.

"Mau apa kalian! Dasar kejam, lepaskan aku!" Teriakku tidak jelas karena murka. Orlan hanya berdiri mengamati dari jauh. Ternyata dia masih ada di sini. Aku teringat kembali janjiku kepada bibi Margaretha jika aku akan membantu membawa Orlan kembali. Aku tidak boleh menyerah pada mereka, aku harus bisa pergi dari jeratan mereka.

"Lepaskan! Lepaskan aku!  Lepaskan aku!" Teriakku meronta-ronta, sayangnya mereka malah semakin erat mencengkram tangan dan kakiku. Aku tidak bisa bergerak lagi.

"Berhentilah berteriak, suaramu mengganggu. Lebih baik kita selesaikan ini dengan cepat lalu semua akan selesai." Bentak bibi Stella tidak ingin aku kabur lagi.

"Lanjutkan!" Perintah bibi Stella dengan lantang. Mama yang hanya diam mematung, kemudian air matanya menetes yang perlahan menatapku. Dia mengucapkan mantra lagi dan diikuti oleh mereka semua. Suara mereka menggema membuat kepalaku berputar-putar karena pusing.

"Mekarlah bungaku! Mekarlah bungaku! Mekarlah bungaku! Mekarlah bungaku! Mekarlah bungaku!"  Ucap mereka berkali-kali.

Entah berapa kali mereka mengucapkan mantra itu. Kedua tanganku diarah ke dua lubang kecil diantar ukiran lambang setan di atas batu. Kemudian dua orang datang membawa paku dan palu. Jari-jariku dibuka paksa.

"Arkhh!" Jeritku kesakitan merasakan kedua tanganku tertusuk paku besar sampai tidak bisa bergerak. Air mataku deras mengalir tidak tertahan merasakan rasa sakit di kedua telapak tanganku. Apakah ini akhir dari hidupku, apa lagi yang akan mereka lakukan padaku.

Aku melihat ke kiri dan ke kanan. Melihat kedua tanganku yang bersimpu darah. Darah yang keluar dari telapak tangan mengalir di sela-sela ukiran lambang setan. Dadaku naik turun berusaha menarik oksigen sebanyak-banyaknya.

Ada seseorang yang membawa satu pot bunga berwarna merah menyala menghampiri mereka bertiga. Dari postur tubuhnya yang gempal aku bisa mengenalinya, walaupun menutupinya dengan jubah merah. Ned, itu kau kan. Kenapa kau menghianatiku. Kemudian bibi Stella mengambil bijinya yang berwarna merah kehitaman dan memasukannya ke dalam cawan yang dibawa papa. Aku lihat Ned berlalu pergi. Ned jangan pergi, jangan tinggalkan aku di sini. Aku takut Ned, aku takut kehilangan kalian semua. Aku berharap semua ini hanya mimpi. Aku ingin segera bangun dan semua kembali normal lagi.

"Darah dari 1000 wanita melumuri benih dari kegelapan. Bercampur menjadi segumpal daging yang akan menjadi rahim. Rahim yang kokoh untuk calon pangeran kegelapan." Ucap mama membaca mantra dengan lantang. Mereka semua yang ada mendengarkan dengan patuh. Kapan mimpi ini berakhir, aku ingin cepat melihat dunia baru.

Papa mencengkram rahangku sampai bibiku terbuka. Dengan paksa papa memasukan darah berisi benih kegelapan itu ke dalam mulutmu. Aku berusaha memberontak, sayangnya hanya tubuhku yang bisa bergerak. Tanganku terpaku di atas batu dengan erat, aku tidak bisa melarikan diri lagi. Aku meneguk darah yang berhasil masuk ke tenggorokanku. Sebagian mengalir ke pipiku karena tumpah dari mulutku. Aku terbatuk-batuk karena tersedak darah yang dipaksa masuk ke dalam mulutku.

"Jadilah rahim! Jadilah rahim! Jadilah rahim!" Ucap mama membaca matra lagi diikuti mereka lagi. Lalu aku merasakan sesuatu bergejola di dalam perutku. Aku merasakan rasa sakit yang amat sakit di dalam perutku. Perlahan perutku membesar dan bergerak-gerak yang membuatku berteriak kesakitan. Tubuhku menggeliat-liat di atas batu sendirian tanpa ada yang memperdulikanku. Aku tidak henti-hentinya menangis mengeluarkan airmataku yang tiada habisnya. Kapan penderitaanku akan selesai.

"Hahh, ahhh. Arkhhh! Emmz arkhh!" Teriakku kesakitan sampai perutku kembali normal lagi. Aku menarik nafas berkali-kali karena kelelahan merasakan sakit tiada henti. Dadaku sudah terasa sakit karena aku paksa untuk terus menghirup oksigen dengan keras.

Bibi Stella mendatangiku. Melepas celanaku sampai aku hanya memakai kemeja kebesaran milik Orlan yang menutupi kemaluanku. Aku sudah tidak ada tenaga lagi untuk melawan. Kakiku dibuka, bibi Stella langsung menancapkan belatinya di bagian bawahku.

"Arkhhhhh!" Teriakku histeris. Aku merasakan darah mengalir dari bawahku dengan derasnya. Bibi Stella mencabut belatinya yang membuatku merasakan perih di bagian bawahku akibat tusukannya. Cahaya merah mulai muncul dari celah ukiran lambang setan. Orlan yang jauh di sana mendekatiku. Aku baru sadar kalau dia tidak memakai baju, dia hanya memakai jubah merah yang menutupi tubuhnya. Tubuhnya sekarang sudah berasa di atasku.

"Auwww, arghhhh!" Teriakku tertahan merasakan sesuatu masuk ke dalam luka yang bibi Stella buat. Air mataku keluar lagi dengan sendirinya karena kesakitan. Aku merasakan sesuatu masuk ke dalam perutku. Orlan mencium pipiku dengan lembut.

"Elian, aku mencintaimu!" Bisiknya dengan lembut yang membuatku terisak. Orlan beranjak pergi meninggalkanku, dia hilang diantara banyaknya orang memakai jubah merah lagi. Berapa kali kau akan pergi dariku. Orlan, jangan pergi. Aku mohon jangan pergi. Isakanku semakin salam membuat dadaku semakin perih. Aku belum siap berpisah dengan kalian semua.

"Bangkitlah penguasa kegelapan, kami menyambut kebangkitanmu!" Ucap mama membaca mantra yang membuat suasana menjadi semakin mencekam. Perutku tiba-tiba tersentak dan merasakan sakit yang luar biasa. Rasa sakitnya bertambah dua kali lipat. Mataku sampai membelalak merah merasakan sakit menjalar di seluruh tubuhku. Kemudian perutku kembali normal lagi. Mereka langsung bersorak senang dan gembira.

"Selamat. Kita berhasil." Seru mereka kegirangan. Bibi Stella mengambil sebuah cawan yang sudah diletakan di ujung ukiran. Darah yang keluar dsri tubuhku mengalir ke celah-celah ukiran sampai ke cawan itu. Ternyata darah yang berkumpul lumayan banyak dan mereka meminum darah itu bergantian. Seperti sedang berpesata minum alkohol. Bedanya yang mereka perebutkan adalah darah. Apakah darah dari tumbal yang membuat mereka menjadi kebal terhadap luka. Sepertinya begitu. Mungkin kali ini mereka akan abadi seperti vampir. Aku melihat mama yang sudah duduk di sampingku, mengelus pucuk kepalaku dengan lembut. Senyumnya terukir manis di bibirnya. Sepertinya sudah selesai, dan aku tidak mati dalam ritual ini. Apakah aku bisa bersama lagi dengan mama seperti dulu.

"Kita akan membangun kehidupan baru lagi nanti ya." Ucap mama tersenyum bahagia. Aku pun mengangguk tersenyum melihat mama.

"Tugasmu sudah selesai, sekarang giliran tugasku, hehehhee." Seru  bibi Stella yang tiba-tiba dari belakang  menyayat leher mama sampai darah tersebar ke mana-mana. Dia juga menusuk jantung mama sampai mama tidak berdaya di depan mataku. Menampung darah mama di dalam sebuah botol kaca. Aku sangat-sangat syok berat melihat darah mama mengenai wajahku. Ibuku dibunuh di depan mataku dua kali. Bahkan sekarang mama tidak akan bisa kembali lagi ke dekapanku karena dia akan benar-benar mati. Aku menangis histeris dan berteriak-teriak memanggil mama berulang kali.

"Mama! Mama! Ku mohon jangan tinggalkan aku. Mama! Mama! Aku menyayangimu, aku mohon kembalilah. Mama!" Teriakku dalam tangisanku yang semakin histeris.

"El-lian ma-afkan ma-ma hekk. Ma-ma  sa-yang ka-mu. Ma-ma sa-yang El-lian." Ucap mama terbata bata sebelum meninggal. Aku sudah kesusahan bernafas karena isakan tangisku tiada henti. Aku tidak mau kehilangan mama lagi.

"Mama! Elian juga sayang mama, apapun yang terjadi Elian tetep sayang mama." Kataku terisak dan menangis histeris.

"Terlalu dramatis." Cibir bibi Stella merendahkanku. Aku menatapnya dengan tajam. Tidak akan aku biarkan dia lolos. Aku pasti akan membunuhnya dengan kejam.

"Angkat tangan! Kami dari kepolisian." Aku dengar suara tegas dan langkah sepatu datang berbondong-bondong datang memasuki ruangan yang penuh dengan orang berjubah merah ini.

Aku yang kesadaranku akan menghilang kembali pulih lagi dan melihat pak Adam dan yang lainya sedang bersimpangan siur mengejar dan menembaki orang-orang yang memakai jubah merah. Aku menatap bibi Stella yang mulai pergi, aku tidak akan membiarkan pembunuh mama lolos. Aku berusaha menarik tanganku yang terpaku di batu dengan susah payah. Tangan kananku akhirnya bisa lepas. Aku menarik paku yang bersarang di telapak tanganku dengan mulutku. Aku berusaha menarik tangan kiriku. Pak Adam datang dan mulai membantuku menarik paku yang menancap di telapak tangan kiriku.

Setelah bebas, aku berusaha turun dari atas batu yang dihentikan oleh pak Adam. Dia memegang kedua pipiku dengan tangannya yang besar dan menyuruhku tersadar. Aku langsung mengambil nafas yang panjang dan mengeluarkannya dengan cepat. Aku menampar tangannya dan berusaha pergi mencari bibi Stella. Saat berhasil turun tubuhku malah terjatuh ke bawah karena kakiku tidak kuat untuk menyangga tubuhku. Aku melihat ke bawah selangkanganku yang penuh darah, aku meringis melihatnya..

"Tenangkan dirimu, ayo pergi ke tempat yang aman dulu!" Ucap pak Adam membantuku berdiri. Aku langsung mendorongnya menjauh dariku. Aku berjalan tertatih-tatih mendekati mayat mama dan mengambil belati yang tertancap di jantungnya. Air mataku tumpah kembali mengingat kenangan bersama mama yang mulai sirna. Aku mengusapnya dengan kasar. Aku berdiri dan mencari keberadaan bibi Stella untuk membalaskan dendamku.

"Elian, kau mau ke mana? Kami akan membantumu. Tenangkan dirimu!" Seru pak Adam mengikutiku. Dia juga meraih lenganku untuk menghentikanku. Aku terus saja mendorongnya agar menjauh dariku.

"Menjauhlah dariku!" Bentakku mendorong pak Adam menjauh dariku.

Aku berjalan meyusuri lorong-lorong sampai berpapasan dengan anggota jubah merah yang lain. Aku mencari keberadaan bibi Stella sesuai instingku. Aku bisa mencium aromanya yang berbeda dari yang lainya. Aku hampir menemukannya. Sampai aku berdiri di depan pintu kamar yang terkunci. Aku mendobraknya berkali-kali sampai terbuka. Aku melihat Bibi Stella yang ketakutan melihatku.

"Akhirnya aku menemukanmu!" Kataku tersenyum sinis melihat bibi Stella. Dia memegang tongkat untuk pertahanan diri. Aku maju selangkah bibi Stella juga mundur selangkah.

"Kemana wajah merendahkanku tadi. Apakah terjatuh di jalan." Cibirku mendekatinya. Dia berjalan mundur lagi sampai membentur dinding.

"Jangan mendekat!" Bentaknya mengusirku. Aku tetapi berjalan mendekatinya. Bibi Stella memukulkan tongkat ke arahku yang aku tangkai dengan tanganku. Aku langsung menarik tongkat itu sampai terlepas dari genggaman bibi Stella dan membuangnya. Aku tarik jubahnya dan ku lempar tubuhnya jatuh ke bawah. Aku langsung menduduki perutnya dan mengunci pergerakannya.

"Dari mana kita akan memulai balas dendamnya. Apakah ke lehermu dulu seperti kau membunuh mama." Ucapku menakutiku. Dia malah tertawa keras meremehkanku.

"Untuk apa kau menyayangi mamamu yang telah menghancurkan hidupmu. Kau terlalu polos Elian. Asal kau tahu, tugasku belum berakhir. Kau akan menerima penderitaan lebih menyakitkan dari semua ini, hahaha." Serunya tertawa menghinaku. Aku langsung menancapkan belati ke dada kiri lalu berpindah ke dada kanannya.

"Aaarkhhh!" Jeritnya kesakitan merasakan tusukan belatinya.

"Hahaha aku sudah lama tidak merasakan ketakutan seperti ini. Sensasi ini membuatku rindu. Terakhir kapan aku merasakannya, waktu itu saat Ned baru lahir. Sangat membuatku rindu, hahaha." Ucapnya yang masih aku dengarkan dengan serius. Ternyata Ned lebih tua dari aku. Aku mengingatnya kembali saat perbedaan tinggi badan kami sangat berbeda drastis. Ternyata semua ini sudah diatur, sungguh sangat menggelikan. Aku menusuk tangan kanannya dan menariknya sampai ke pergelangan tangan, darah berhamburan keluar disertai jeritan keras yang memilukan.

"Akulah pendiri sekte jubah merah. Membuang anakku dan mengabdikan diriku memuja iblis yang aku temukan di mensen ini." Rancaunya lagi disertai tawa mengerikan. Aku kembali menyayat tangan kirinya, dia menjerit lagi.

"Kemudian aku mendapatkan apa yang aku mau. Mendapatkan pengikut yang semakin banyak. Sungguh sangat menyenangkan." Rancaunya lagi. Kini aku berpindah tempat menyayat wajahnya seperti mama Sarah menyayat wajah ibuku Lilian. Dia hanya diam saja tanpa melawan. Jika bukan karena bibi Stella yang membuat mama menjadi penganut aliran sesat jubah merahnya, mama tidak akan menyakiti ibuku. Jadi, semua ini tetapi bibi Stella yang salah.

"Sampai ada wanita ambisius yang penuh kebencian datang bergambung dengan kami. Aku menggunakan dirinya untuk menjadi pionku memenuhi hasrat rajaku. Dia dengan polos menjual rahimnya pada rajaku demi mendapatkan laki-laki yang dia cintai. Siapa lagi jika bukan Sarah, mamamu. Hahahaha, asal kau tahu Elian. Aku benci dengan kehadiran Sarah yang lebih dicintai oleh rajaku karena kebencian dalam hatinya membara sangat mengagumkan. Membuatku iri saja." Rancaunya lagi yang langsung aku tusuk perutnya. Dia terbatuk-batuk mengeluarkan darah sambil tersenyum.

"Lalu Kau membunuhnya!" Tukasku sambil mencabut belati dari perutnya. Kini perlahan aku mengetahui kejahatannya.

"Hahaha, aku punya rencana lain Elian selain menjadikanmu bunga. Ibu dari pangeran kegelapan. Aku ingin menjadikanmu iblis. Menjadi pasangan dari raja kami yang akan menjadi sempurna. Segala permohonan kami akan segera terkabul hahaha." Serunya tertawa terbahak-bahak. Aku melayangkan belati ke atas, bersiap menusuk lehernya dan jantungnya.

"Ada lagi yang ingin kau katakan sebelum aku membunuhmu!" Kataku memberinya kesempatan untuk mengatakan kata-kata terakhir sebelum mati.

"Jika bukan karena anakku, aku sudah melakukan ritualnya sekarang. Dia hanya ingin menikmati tubuhmu sebelum menjadi iblis sesungguhnya, hahaha." Serunya yang membuatku malas mendengarkannya.

"Hanya itu yang ingin kau katakan!" Tukasku bersiap menusuk lehernya.

"Ingat Elian, hidupmu tidak akan bisa tenang selama kami masih ada. Kami akan terus mengejarmu hahahha." Ucapnya menertawakanku.

"Kau menjijikan!" Seruku langsung menusuk lehernya sampai darah meleleh dari mulutnya dengan kental.

Aku juga menusuk jantungnya berulang kali sampai dia hanya bisa mengerang kesakitan dalam diam. Matanya melotot ke arahku sambil mengejang kehilangan nyawa. Aku langsung menusuk kedua matanya yang membuatku marah. Aku terus saja menusuk semua bagian tubuhnya yang sudah tidak bernyawa. Aku benci dia, aku benci wanita ular ini. Dia membuat hidupku hancur. Dia mempermainkan kehidupanku. Mati kau, wanita ular. Mati kau, pergilah ke neraka. Terbakarlah engkau di sana.

"Elian, sudah. Sudah, sudah, sudah. Elian sudah hentikan!" Ucap pak Adam yang menarik tanganku menjauh dari tubuh bibi Stella. Dia merampas belati dari tanganku. Dia juga membawa tubuhku menjauh dari mayat bibi Stella.

"Kembali belatinya, kembalikan! Dia belum mati. Dia nanti hidup kembali, aku harus membunuhnya." Pintaku pada pak Adam dengan wajah sendu. Pak Adam terus saja menjauhkan belati yang ingin aku raih.

"Elian tenangkan dirimu. Dia sudah mati. Kau sudah membunuhnya." Seru pak Adam berusaha menghentikanku.

"Tidakkkk! Dia belum mati, aku harus membunuhnya. Dia sudah merusak hidupku." Rancauku menangis histeris terduduk di bawah. Pak Adam mulai memelukku yang menangis.

"Elian tenanglah. Bibi akan selalu menjagamu." Seru bibi Margaretha yang tiba-tiba datang dan bergantian memelukku.

"Kenapa bibi ada di sini?" Tanyaku penasaran bibi Margaretha ada di sini.

"Aku yang memberitahu mereka jika sekte jubah merah mengejarmu. Beruntung pihak kepolisian sudah tahu markas mereka dan datang ke sini untuk menyelamatkanmu. Jadi tenangkan dirimu, semua sudah berakhir. Bibi akan menjagamu seperti anak bibi sendiri." Jawab bibi Margaretha yang membuatku teringat akan Orlan. Orlan, di mana Orlan berada. Aku sudah berjanji akan membawa Orlan kembali pada bibi Margaretha. Aku harus menyelamatkan orang yang aku cintai.

"Bibi ke sini pasti ingin menyelamatkan Orlan kan. Maafkan aku bi, maafkan aku. Aku belum bisa membawa Orlan kembali." Kataku menangis kembali dalam pelukan bibi Margaretha.

"Sudah, sudah. Tidak apa-apa Elian. Kita bisa mencari jalan lain. Kau tenang saja." Ucap bibi Margaretha mengelus pudakku untuk menenangkanku.

"Aku akan mengeluarkan iblis itu keluar dari tubuh Orlan dan membawa Orlan yang asli kembali." Kata beranjak berdiri dan merebut belati dari saku pak Adam.

Aku tidak perduli dengan wajah pak Adam dan bibi Margaretha yang nampak terkejut dan mengikutiku. Kemudan aku pergi mencari keberadaan Orlan. Aku mengusuri lorong-lorong yang remang-remang sampai aku menemukan tempat bekas ritual tadi. Banyak darah dan lilin berjatuhan di sembarang tempat. Aku mengambil kitab yang terjatuh di sana. Aku mencari-cari di lembaran kertas lusuh itu. Mencari bagaimana cara mengeluarkan iblis dari dalam tubuh manusia. Aku hanya menemukan ritual cara menghentikan siklus kekuatan yang mereka miliki dengan mengahiri nyawanya menggunakan sesuatu yang runcing untuk menusuk jantungnya. Berarti sama saja membunuhnya. Aku membaca lembaran terakhir yang menunjukan tiga cara bagaimana mengeluarkan iblis dari tubuh manusia dengan cara menusuk jantungnya dengan sesuatu yang berlumuran tanah, menguburnya ke tanah selama satu jam tanpa apapun menghalanginya menyatu dengan tanah, yang terakhir tersambar petir.

Semua itu sama saja membunuhnya. Aku tidak bisa membunuh Orlan. Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku cintai. Kenapa tidak ada cara lain untuk mengeluarkan iblis itu dari tubuh Orlan selain membunuhnya. Jika Orlan tidak cepat diselamatkan, dia pasti akan membunuh lebih banyak korban lagi. Bahkan menjadi buronan polisi. Jika tertangkap polisi, mereka juga akan membunuhnya. Itu sama saja kehilangan Orlan. Aku tidak boleh menjadi egois menahan iblis itu lebih lama di dunia ini demi tubuh orang yang aku cintai tetap ada di sisiku. Aku sudah memutuskanya sekarang bahwa aku akan menyelamatkannya dengan mengakhiri nyawanya sekalipun. Aku langsung menyobek-nyobek kitab laknat itu dan membuangnya. Aku bersiap mencari Orlan kembali.

Bau Orlan tercium manis di hidungku. Bau yang memabukan ini sangat nikmat. Aku mengikuti bau ini berasal, pasti Orlan ada di sana. Aku berhenti saat melihat gundukan tanah yang tidak lain adalah sarang semut yang mengeras karena sudah lama ditinggalkan dan meme sarang baru. Aku menyentuh selangkanganku yang sedari tadi meneteskan darah. Melumurkan darah itu dengan sedikit tanah dari sarang semut dan mengoleskannya ke seluruh mata pisau belati yang aku bawa. Aku kembali mencari keberadaan Orlan. berjalan melewati lorong yang gelap sampai aku bertemu dengan pak Adam dan bibi Margaretha. Aku langsung berbalik mencari jalan lain. Menelusuri setiap jalan yang aku temui.

"Elian, tunggu! Jangan pergi dulu." Panggil pak Adam yang tidak aku perdulikan.

"Kita akan menemukannya, kau harus bersabar. Ikutlah dengan kami ke tempat yang aman." Seru pak Adam mengikutiku dari belakang bersama bibi Margaretha.

"Tidak, aku akan mencarinya sendiri." Kataku mengabaikan mereka yang masih mengejarku. Aku terus mencarinya, memanggil namanya berulangkali. Aku bahkan sudah berada di luar melihat sinar bulan yang bersinar terang. Sampai aku melihat dia turun dari atas dan melemparkan mayat seorang polisi di hadapanku. Seketika pak Adam siaga dengan pistolnya.

"Elian kemarilah, ayo kita pulang!" Serunya mengulurkan tangan padaku. Aku berusaha mendekat dan meraih tangannya, tetapi pak Adam malah menembak bahu kiri Orlan dan menyuruhku menjauh darinya.

"Jangan mendekatinya Elian!" Cegah pak Adam mendorongku ke belakang sampai aku terjatuh. Aku meringis merasakan bagian bawahku yang sakit karena terjatuh. Orlan menjadi sangat marah dan dengan cepat melumpuhkan pak Adam. Mereka bertarung saling pukul dan lempar. Aku tidak menyangka bahwa pak Adam juga benar-benar kuat.

Aku memanggil Orlan berkali-kali, tetapi tidak ada tanggapan sama sekali sampai pada pak Adam terpojok dan Orlan akan menusukan tangannya yang berkuku runcing itu ke leher pak Adam. Bibi Margareth yang berada di dekat sana memukul kepala Orlan dengan kayu yang ada di sana. Pukulan itu membuat Orlan terpukul mundur dan menghampiri bibi Margareth dan melemparkannya ke tembok. Lalu tangannya berusaha mengoyak tubuh bibi Margaretha. Aku melihat dan berusaha menahannya. Aku mendorongnya sampai telentang di lantai dan menghunuskan belati berlumuran tanah dan darah tepat ke jantungnya. Air mataku tiba-tiba jatuh dengar deras menimpa wajahnya Orlan.

"Dasar bodoh! Kita hampir bersama, tapi kau menggagalkannya, uhukk uhukk! Meski begitu aku tetap mencintaimu." Serunya terbatuk-batuk mengeluarkan darah dari mulutnya. Tangannya membelai pipiku dengan lembut. Perlahan Orlan menutup matanya dan aku menangis histeris bersama bibi Margaretha. Tiba-tiba Orlan terbatuk-batuk mengeluarkan darah dari mulutnya lagi. Aku berusaha menyangga kepalanya agar bisa mendekat ke wajahku.

"Orlan!" Panggilku sambil menangis tersedu-sedu. Matanya perlahan-lahan terbuka dan menunjukan iris mata berwarna hijau menenangkan. Dia menatapku lekat-lekat dalam nafasnya yang hampir tidak bisa aku rasakan lagi.

"Siapa?" Ucapnya singkat lalu menarik nafas panjang tanpa mengeluarkannya lagi. 

"Orlan! Orlan! ORLAN! Jangan pergi, aku mohon kembali. Jangan tinggalkan aku Orlan. Jangan pergi, aku mencintaimu. Orlan, tidakkkk! Jangan tinggalkan aku, Orlan!" Tanggisku histeris memeluk tubuhnya yang dingin.

.......~•°♥°•~......
.
.
.
.

~*The End*~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro