Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 24

*TERJERAT*

.......~•°♥°•~......

Dalam kesedihan aku membawa mobilku ke rumah Orlan. Dimana di sana adalah rumah keduaku. Aku ingin memberitahu semuanya kepada Orlan dan berharap Orlan dapat menenangkanku. Aku memarkirkan mobilku di depan rumah Orlan. Aku lihat ada mobil ayah Orlan di depan garasi. Apa paman Jordan sudah pulang. Aku menghapus air mataku dulu agar tidak terlihat sedang sedih. Tapi penampilanku terlihat kotor dan mengerikan. Biarkan saja, lagi pula aku juga tidak membawa baju ganti. Aku turun dari mobil perlahan-lahan karena punggungku rasanya sudah nyeri. Aku berjalan menghampiri pintu, tetapi ternyata pintunya sudah terbuka sebagian. Bahkan aku mendengar suara ribut-ribut dari dalam rumah, aku bergegas masuk tanpa permisi.

Alangkah terkejutnya melihat Orlan sedang mengangkat tinggi-tinggi paman Jordan sampai matanya melotot dan wajahnya memerah kehabisan nafas. tanpa perduli rintihan kesakitan paman Jordan dia langsung mematahkan lehernya. Kemudian sesuatu bayangan hitam keluar dari seluruh tubuh Orlan dan langsung menusuk tubuh paman Jordan sampai terkoyak dan hancur berserakan. Aku yang kaget berteriak histeris bersama dengan bibi Margaretha dan Maggie.

"TIDAKKKK!" Teriak kami bersamaan. Mendengar teriakanku, Orlan langsung berbalik dan menatap tajam ke arahku. Perlahan dia mendekatiku dengan senyum menakutkan. Aku menelan ludah dengan kasar. Apakah yang aku lihat ini nyata atau tidak. Kenapa Orlan bisa menjadi monster menakutkan seperti itu.

"LARIIII!" teriak bibik Margaretha membuat Orlan mengalihkan perhatiannya ke bibi Margaretha, dengan sepontan aku bergegas berlari keluar dari rumah. Langkahku terhenti saat aku merasakan perutku terlilit oleh sesuatu yang hitam menjijikan. Lilitannya semakin lama semakin erat.

"Tidakkkk!" Teriakku terseret ke dalam rumah dan dibanting di atas meja sampai meja kayunya hancur. Aku mengerang kesakitan.

Aku merasakan sakit diseluruh tubuhku seakan dicabik-cabik. Luka yang aku dapat dari pertarungan tadi dengan papa semakin menyiksa tubuhku. Sesuatu yang hitam itu merambat keleherku, mencekiknya sampai aku kehabisan oksigen. Orlan mengangkat tubuhku tinggi-tinggi. Aku menutup mata, bersiap merasakan bagaimana tubuhku hancur terkoyak seperti paman Jordan. Namun, yang aku rasakan tubuhku terayun ke belakang dan membentur sebuah lukisan. Lukisan itu sampai terjatuh bersamaan dengan tubuhku yang terjatuh.

"Arkhh!" Seruku merasakan semua tubuku yang terasa sakit tiada tara. Aku berusaha berdiri bersandar pada dinding sambil memegang belakang punggungku yang nyeri menyakitkan. Aku tidak menyangka jika Orlan akan menjadi monster menakutkan seperti ini. Dia berbohong padaku jika dia tidak pernah kerasukan iblis, tapi nyatanya aku telah termakan oleh omongannya. Orlan pasti sedang tersiksa di dalam sana. Aku harus bisa menyelamatkannya. Orlan yang aku cintai tidak boleh pergi meninggalkan aku.

Aku mengambil lukisan yang jatuh dan melemparkannya ke arah Orlan yang secara sigap dihancurkan oleh Orlan. Aku langsung mengambil kayu kaki meja yang rusak dan memukulkannya tepat ke kepalanya sampai berdarah. Orlan terlihat hanya memalingkan wajah, lalu menatapku dengan tajam. Dia tidak merasakan rasa sakit sama sekali akibat pukulanku. Aku bersiap memukulnya kembali, tetapi Orlan menggunakan benda hitam menjijikan itu untuk melamparku membentur dinding yang terdapat banyak bingkai foto. Lalu tubuhku terjatuh menghantam meja yang terdapat banyak vas bunga sampai hancur. Aku tergulung ke bawah lantai merasakan nyeri di punggung dan perutku. Aku menyentuh perutku yang terasa sakit, ternyata perutku mengeluarkan banyak darah. Aku mengambil sesuatu yang tertancap di perutku. Beberapa pecahan vas bunga menancap di perutku. Aku berusaha berdiri, tetapi kepalaku rasanya berkurang-kunang. Aku menjatuhkan kepalaku ke lantai merasakan rasa sakit yang terus menggroggoti tubuhku. Apa aku akan mati sekarang, aku perlahan melihat siluet ibu, papa, dan seorang anak bergandengan tangan di ruangan serba putih. Kebahagiaan terpancar dari mereka, mereka berbalik melihatku yang berada jauh di belakang mereka. Ibu, papa, adikku, tunggu aku. Tunggu sebentar, aku masih di sini. Ibu, papa jangan tinggalkan aku.

......~•°♥°•~........

Perlahan mataku terbuka, masih terasa samar. Kesadaranku mulai pulih sepenuhnya, aku langsung terduduk di atas kasur karena mengingat kejadian kemarin. Aku ternyata masih hidup, belum mati. Aku melihat ke tubuhku yang memakai kemeja putih bersih. Wangi sabun dan parfum menusuk hidungku. Aku sudah bersih kembali. Badanku juga tidak terasa sakit sama sekali, hanya kepalaku saja yang terasa sedikit pusing. Aku melihat ke sekelilingku yang ternyata ada di kamar Orlan.

Aku membuka kemeja putih, memastikan luka di perutku yang ternyata sudah menghilang. Rasa sakit di punggungku juga menghilang, kenapa bisa seperti ini. Ini sangat mustahil. Aku baru menyadari jika ternyata tanganku terantai, aku tidak bisa kabur dari sini. Aku membuka selimut dan melihat kakiku yang juga terantai. Aku berusaha melepaskan diri, tetapi tetap saja tidak berhasil. Aku hanya bisa tidur dan duduk di tempat tidur Orlan.

Kenapa aku menjadi manusia paling bodoh di dunia ini. Orlan tidak akan berubah menjadi monster jahat dan mengerikan seperti itu jika aku mendengarkan semua perkataan Serena. Ternyata benar yang dikatakan oleh Serena, jika Orlan memang sudah dirasuki iblis seperti papa. Kenapa aku tidak menyadarinya sampai sekarang. Kenapa aku begitu bodoh. Lalu bagaimana dengan bibi Margareth dan Maggie, apakah mereka baik-baik saja.

"Bibi Margareth! Bibi Margaretha! Maggie! Maggie!" Aku berusaha memanggil mereka berkali-kali, sayangnya tidak ada jawaban. Apa mereka juga sudah mati seperti paman Jordan. Aku tidak bisa membayangkan jika bibi Margaretha dan Maggie mati. Kenapa hanya aku saja yang tetap hidup dan terikat di sini.

"Bibi Margareth!" Panggilku saat pintu kamar Orlan terbuka. Ternyata bukan bibi Margaretha yang muncul, melainkan Orlan.

"Apa kau rindu dengannya sampai harus memanggilnya berulang-ulang." Serunya menatapku dengan wajah sinis. Kenapa harus dia yang datang, kenapa bukan bibi Margaretha. Bagaimana dengan keadaan mereka, kenapa aku sangat khawatir.

Orlan datang mendekat ke arahku. Aku bergeser dan meringkuk di ujung sisi kasur menghindarinya. Aku takut melihat wajah mengerikan makhluk itu di depan mataku. Badanku bergetar, aku langsung menutup tubuhku dengan selimut tidak berharap melihat wajah Orlan yang dirasuki oleh monster.

"Bukankah aku tampan dan sangat berwibawa, tapi kenapa kau begitu takut padaku." Ucapnya meraih selimut yang menutupi seluruh tubuhku. Aku membuka mata dan melihat wajah Orlan menghiasi mataku. Walaupun wajah Orlan yang aku lihat sekarang, tetapi dia bukan Orlan yang sebenarnya. Aku tidak boleh hanyut dalam buaiannya. Dia kemudian membelai pipiku dan mendekatkan wajahnya ke hadapanku.

"Apa yang kau takutkan? Kau nanti akan terbiasa jika pernikahan kita sudah terjadi. Kau akan menjadi pendampingku dan melahirkan anak-anakku." Bisiknya di telingaku. Apa ini yang dikatakan mama. Aku harus melahirkan anak iblis. Omong kosong apa ini, aku laki-laki yang tidak akan bisa melahirkan seorang anak.

"Jangan berharap terlalu tinggi iblis jahanam. Keluar kau dari tubuh Orlan!" Teriakku di telinganya. Dia hanya memalingkan wajah dan tersenyum sinis merendahkanku.

"Apa kau tidak mencintaiku?" Tanyanya mengecup pipiku yang langsung aku tampar.

"TIDAK AKAN PERNAH!" Bentakku menatapnya dengan tajam. Orlan menjatuhkanku di kasur dan mengunci kedua tanganku yang membuatku tidak bisa bergerak.

"Aku hanya ingin menjemput calon istriku yaitu kau. Ingat! Kau tidak akan lahir tanpa aku. Kau memang ditakdirkan menjadi istriku." Serunya menjilat leherku yang membuat tubuhku merinding kegelian. Persetan dengan istri dan anak, yang terpenting dalam hidupku adalah mengeluarkan iblis kejam itu dari tubuh Orlan.

"Jangan pernah bermimpi terlalu tinggi. Kau tidak akan mendapatkan semuanya." Cibirku menertawakannya. Orlan hanya tersenyum sinis lalu menggigit leherku, kemudian beralih ke pundak. Aku meringis kesakitan merasakan gigitannya.

"Kau banyak bicara. Bersikaplah lembut seperti biasanya agar aku semakin jatuh cinta." Serunya yang sekarang beralih menggigit leher dan pundak kiriku.

"Iblis bodoh sepertimu pantasnya terbakar di neraka. Aku tidak akan sudi menikah denganmu." Kataku menghinanya. Dia melepas tanganku, lalu mencekik leherku semakin erat. Leherku sakit, aku tidak bisa bernafas. Matanya menatapku dengan tajam yang menakutkan. Tubuhku mengeliat merasakan leherku yang tercekik. Wajahku sudah memerah kekurangan oksigen dan darah. Kepalaku langsung berkunang-kunang melihat sesuatu yang nampak berputar-putar.

"Kau berani melawanku. Hei ayo bersikap romantis seperti kemarin. Itu sangat menyenangkan." Serunya tersenyum tipis.

Melihat aku yang hampir kehilangan nyawa, dia melepaskan cengkraman tangannya di leherku. Seketika darah kembali mengalir ke otakku dan oksigen memenuhi paru-paruku. Aku terus terbatuk-batuk sampai dadaku terasa nyeri. Paru-paruku berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Kau manis sekali bungaku! Aku lapar sekali. Aku ingin makan, bagaimana jika aku makan saja wanita tua itu dan anaknya!" Serunya dengan senyum menakutkan. Dia beranjak berdiri berjalan menuju ke pintu kamar.

"Jangan kau sentuh mereka!" Ucapku memohon pada Orlan agar dia tidak menyakiti mereka berdua.

"Hanya ada mereka sekarang!" Serunya mengancamku. Orlan tersenyum sinis membuka pintu kamar untuk menakutiku.

"Jangan berani kau melukai mereka, dasar iblis jahanam!" Bentakku ketakutan. Jantungku sudah bergemuruh merasakan kesedihan dan ketakutan yang beradu menjadi satu. Aku belum siap kehilangan mereka berdua.

"Aku sudah lapar sekali, mereka berdua cukup untuk persediaan satu bulan." Ucapnya sebelum pergi lalu menutup pintu kamar.

"KYAAA AAA AAA JANGANN JANGAN...!" Teriak Maggie dari dalam rumah berkali-kali. Aku langsung membulatkan mata tidak percaya. Oh tuhan jangan biarkan mereka berdua terluka.

"TIDAKKKK! ORLAN! KUMOHON JANGAN... ORLAN, TIDAKKK ORLAN... KUMOHON JANGANNN! ORLAN!" Jeritku berkali-kali berusaha menghentikan iblis itu menyakiti bibi Margareth dan Maggie. Tangisku sudah berhamburan. Tangan dan kakiku yanga terantai aku tarik-tarik agar bisa lepas. Sayangnya usahaku sia-siap karena belenggu yang terbuat dari besi ini susah untuk dilepas dengan tangan kosong. Aku terduduk kembali dengan perasaanku yang menangis histeris. Kenapa aku harus menjadi orang yang lemah seperti ini. Jika aku kuat aku tidak akan membiarkan mereka membunuh orang-orang yang aku sayangi.

Suara Maggie sudah tidak terdengar lagi. Apa Orlan sudah membunuh mereka. Badanku terjatuh ke kasur, hatiku rasanya sakit sekali menghadapi kenyataan ini. Kenapa kalian membunuh semua orang yang aku sayangi. Aku sudah tidak punya tempat untuk pulang. Ibu, papa, bibi Margaretha, paman Jordan, siapa lagi yang akan mereka bunuh. Kenapa kalian tega membunuh semua keluargaku. Tangisku kembali pecah, nafasku mulai terputu-putus karena kesusahan menghirup oksigen. Lebih baik bunuh saja aku, aku tidak kuat merasakan penyiksaan menyedihan ini.

"Kenapa kau menangis. Mereka tidak pantas kau tangisi." Seru Orlan datang tiba-tiba membuka pintu. Dia tersenyum puas membuatku ketakutan. Badannya bersih tanpa ada darah yang mengotori mulut dan bajunya. Bagaimana dia membunuh bibi Margaretha dan maggie, aku takut membayangkannya.

"Berhentilah menangis, aku tidak suka melihatmu menangis!" Ucapnya duduk di sampingku. Dia menarik tanganku yang aku gunakan untuk menutupi wajahku yang menangis.

"Kau membunuh mereka, kau membunuh mereka. Kenapa kau jahat sekali!" Tagisku semakin bertambah histeris.

"Kau harus berjanji menikah denganku, maka aku tidak akan menyakiti mereka berdua!" Ucapnya yang membuatku tersentak. Seperti dia belum membunuh bibi Margaretha dan Maggie. Perasaanku kembali tenang karena Orlan belum membunuh mereka berdua.

"Iya aku mau menikah denganmu." Jawabku sambil mengusap air mataku yang terus berhamburan.

"Bagus! Jadilah anak yang baik!" Serunya mengusap rambutku dengan lembut. Aku menatapnya yang tersenyum lembut padaku. Kenapa Orlan terlihat sama saja seperti Orlan yang asli. Apakah semua ini hanya mimpi. Jika benar hanya mimpi bangunkan aku, agar orang-orang terdekatku yang mati bisa aku lihat lagi.

"Apa mereka berdua baik-baik saja?" Tanyaku penasaran.

"Untuk saat ini. Jika ingin membunuh mereka hanya masalah mudah. Memakan mereka aku tidak selera. Jadi, jika kau berani kabur aku akan langsung membunuh mereka di depan matamu. Kau mengerti!" Jawabnya yang membuatku lega walaupun mengancamku dengan kata-kata yang mengerikan. Ternyata mereka berdua masih hidup, perasaanku kembali tenang.

"Aku mengerti!" Kataku antusias agar Orlan tidak membunuh mereka berdua. Aku harus mencari cara untuk bebas agar bisa menyelamatkan bibi Margaretha dan Maggie.

"Apa kau lapar?" Tanyanya memeluk tubuhku. Aku hanya diam dengan apa yang dia lakukan. Aku tidak boleh memancing kemarahannya, yang bisa membuatnya membunuh orang-orang di sekitarku.

"Tidak!" Tolakku menunduk dalam pelukannya.

"Kau terlihat lemah dan letih. Aku akan menyuruh tikus-tikus itu melayani calon istriku tercinta." serunya mengangkat wajahku sampai mendongak melihat wajahnya yang tersenyum tampan. Kenapa perasaanku menjadi aneh, seakan dia memang Orlan yang aku cintai. Tidak, dia iblis. Hanya tubuhnyalah tubuh orang yang aku cintai.

"Tidak, aku tidak lapar. Sungguh! Aku baik-baik saja." Tolakku berusaha menjadi anak yang baik dan penurut.

"Aku akan pergi mencari makan. Ingat! kau tidak bisa pergi dariku, sejauh apapun kau kabur, aku akan tetap bisa menemukanmu." Serunya mengancamku. Dia mengecup pipiku sekilas sebelum pergi.

"Iya aku tidak akan kabur." Jawabku patuh. Dia kemudian berlalu pergi meninggalkan aku sendirian di kamar.

Aku memegangi pergelangan tanganku yang memerah dan terasa sakit karena ulahku menarik-narik tanganku agar bisa bebas dari belenggu rantai ini. Aku duduk merenungi nasibku yang terkurung di kamar Orlan, kenapa mereka membunuh keluargaku. Membuat iblis bersemayang di tubuh papa dan Orlan. Hanya demi ingin mengeluarkan anak iblis, mereka sampai mengusik hidupku. Menyiapakan begitu banyak nyawa manusia untuk sebuah ritual yang tidak berguna. Orlan, apakah aku masih bisa menyelamatkanmu nanti.

Tiba-tiba pintu kamar Orlan dibuka dan memperlihatkan bibi Margareth berdiri di sana dengan mata memerah bekas menangis. Bibi Margaretha membawa senapan makan malam untukku. Aku bersyukur dalam hati karena bibi Margareth baik baik saja. Bibi lalu mendekatiku yang sedang duduk di kasur yang terus-menerus menyeka air mataku. Beliau menghampiriku dan meletakan nampan itu di meja.

"Aku takut bi!" Gumanku menangis ketakutan.

"Aku juga Elian. Bibi juga tidak bisa apa-apa." Seru bibi Margaretha duduk di pinggiran kasur dan mengelus pundak untuk menenangkanku.

"Aku baru menyadari semuanya." Kataku meringkuk menahan tangis. Aku menangisi kebodohanku yang baru menyadari jika Orlan dalam pengaruh iblis setelah kembali dari sekte sesat itu.

"Tidak apa-apa! Kebenaran itu butuh proses. Sekarang semua sudah terungkap. Kau sudah melihatnya sendiri." Seru bibi Margaretha menenangkanku.

"Makanlah. Bibi akan berusaha membantumu kabur darinya." Ucapnya sambil mengambil makan malam dan memberikannya padaku.

"Tidak bibi, kita harus kabur bersama-sama dari iblis itu!" Tolakku sambil mengajaknya kabur bersama. Aku harus membawa pergi bibi Margaretha dan Maggie ke tempat yang aman agar Orlan dan anggota sekte jubah merah itu tidak bisa menyakitkan mereka berdua.

"Tidak Elian! Orlan adalah anak bibi, bibi akan berusaha membuatnya sembuh dan kembali lagi kepelukan bibi. Bibi sayang sama Orlan." Bibi Margareth menahan tangisnya dengan menggigit bibir bahwahnya, tetapi tangisannya tidak bisa membendung air matanya untuk mengalir.

"Bibi! Aku juga akan membantu bibi membawa Orlan kembali lagi seperti dulu. Aku janji bibi, aku janji!" Tanggisku juga pecah dan tidak bisa membendung air mata untuk tidak mengalir. Tanpa aku sadari bibi Margareth memelukku dan mencium puncak kepalaku.

"Terimakasih Elian, terimakasih. Kamu makan dulu, bibi akan keluar." Ucap bibi Margaretha menyodorkan makanan padaku lagi.

"Aku tidak lapar bi. Bibi makan saja, pasti bibi dan Maggie juga lapar." Tolakku lagi. Aku sungguh tidak lapar sekarang. Yang aku rasakan adalah kesedihan yang bercampur dengan penyesalan dan ketakutan. Di hatiku terasa bergejola sangat kuat.

"Ini untukmu, kami sudah makan." Seru bibi Margaretha memaksaku untuk makan malam. Aku tetap menolaknya sampai bibi Margaretha meletakan piringnya ke meja lagi.

Bibi Margaretha Nampak murung memikirkan sesuatu. Kira-kira apa yang sedang dipikirkan bibi Margaretha. Aku teringat Everyn, adik perempuannya Orlan. Jika aku menyelamatkan bibi Margaretha dan Maggie, aku harus menyelamatkan Everyn juga. Bagaimana keadaan Everyn di rumah adiknya bibi Margaretha, apa dia aman di sana. Apa bibi Margaretha menitipkan Everyn untuk menjauhkannya dari Orlan yang sedang dirasuki iblis. Pasti bibi Margaretha sangat merindukan Everyn karena sudah beberapa bulan tidak bertemu.

"Bibi!" Panggilku yang membuatnya tersentak lalu mengusap air mata yang tertampung di matanya. Bibi pasti sangat sedih sekali melihat Orlan yang menjadi moster mengerikan. Semua ini salahku, jika aku tidak lebih cepat mencegah Orlan pergi, dia tidak akan dirasuki iblis.

"Ada apa nak?" Tanyanya berusaha tegar kembali.

"Bibi, setelah kita kabur bersama nanti. Aku akan mengantar bibi menjenguk Everyn di rumah adik bibi." Kataku memeluknya dari belakang. Aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri sejak kecil. Karena aku dan Orlan sudah dekat sejak kecil, bibi Margaretha juga sangat baik padaku.

"Tidak perlu, dia sudah sangat bahagia sekarang." Jawabnya sambil menahan tangis lagi. Air matanya berkali-kali ingin keluar, tetapi bibi Margaretha terus menyekanya sampai matanya semakin sembab.

"Bibi, apakah bibi tidak rindu dengan Everyn?" Tanyaku melepas pelukanku. Kenapa bibi enggan pergi ke rumah adiknya untuk membawa Everyn pergi.

"Bibi baik-baik saja. Everyn, dia sudah bahagia dan aman di sana. Bibi tidak perlu khawatir lagi." Jawabnya yang kini mengalihkan wajahnya enggan menatapku.

Tangisanya semakin deras membanjiri pipinya yang terus dia seka. Aku ingin menyentuh pundaknya tapi aku urungkan, karena pundaknya naik turun menahan tangis. Apa aku salah bicara yang membuat bibi Margaretha semakin sedih. Kenapa bibi sangat sedih saat aku membahas tentang Everyn. Apa yang terjadi dengan Everyn. Sesuati terlintas di benakku jika Everyn sudah meninggal. Apa benar jika Everyn meninggal, kenapa tidak ada kabar tentang kematianya.

"Bibi, kenapa bibi terus menangis saat aku bicara tentang Everyn. Apakah Everyn sudah meninggal?" Tanyaku menyentuh pundak bibi Margaretha. Bibi Margaretha menatapku dengan air mata yang terus membanjiri pipinya yang mulai keriput. Aku juga tidak kuasa untuk menahan tangis. Kenapa aku terlalu acuh dengan kehidupan orang lain.

"Ya!" Jawab bibi Margaretha menutup wajahnya. Astaga, Kenapa aku baru menyadari jika satu persatu keluargaku sudah mati tanpa aku tahu. Kepalaku tiba-tiba pusing, kenapa aku baru mengetahui semua ini. Siapa lagi yang akan mereka bunuh sebelum aku, siapa lagi. Aku yang mereka cari, kenapa harus membunuh orang-orang yang aku sayangi. Bunuhlah aku sekarang, jangan libatkan orang lain yang aku sayangi. Aku tidak mau mereka mati karena aku, aku tidak layak dilindungi bahkan diselamatkan.

"Kenapa bibi tidak memberitahuku! Apa Orlan yang membunuhnya?" Tanyaku sambil mengusap air mataku yang sudah berkali-kali tumpah. Ingusku juga berkali-kali keluar. Aku sudah tidak perduli kemeja putih yang sekarang basah karena aku gunakan untuk menyeka ingus dan airmataku.

"Kejadiannya sudah lama, bibi sudah baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir tentang bibi." Jawab bibi Margaretha mengelus pundakku menenangkanku yang menangis dalam diam.

"Bibi kenapa bibi tidak pernah cerita padaku. Aku takut bi, aku takut kalau dia akan membunuh bibi dan Maggie." Kataku menutup wajahku di dalam lipatan kedua kakiku. Aku tidak ingin bibi Margaretha melihat kesedihanku yalau sudah nampak jelas di matanya.

"Sudah-sudah! Pasti akan ada jalan yang terang nantinya. Tidak perlu disesali." Ucap bibi Margaretha mengelus kepalaku. Kenapa bibi Margaretha bisa setegar ini menghadapi masalah. Anaknya yang paling besar dirasuki iblis, sedangkan anak yang paling kecil harus mati di tangan anaknya sendiri. Sekarang suaminya juga mati di depan matanya. Siapa yang akan kuat melihat ini semua selain bibi Margaretha.

"Aku sudah menelfon mamamu, dia akan membantumu kabur dari sini. Kamu tenang saja, besok mereka akan datang." Seru bibi Margaretha yang menbuatku mendongak karena terkejut. Bibi Margaretha menelfon mama, bagaimana bisa. Mama dan papa sudah meninggal karena aku sendiri yang membunuh mereka. Apa jangan-jangan para anggota sekte jubah merah itu.

"Bibi, bibi yakin sudah menelfon mama?" Tanyaku memastikan. Jika benar para anggota jubah merah itu, aku sudah tidak aman berada di rumah ini. Mereka akan menbawaku secepatnya dan membunuhku.

"Tentu saja, apa ada yang salah?" Jawab bibi Margaretha nampak terkejut dengan pertanyaanku.

"Mama sudah meninggal, aku yang membunuhnya!" Jawabku sepontan.

"Apa! kau membunuh ibumu sendiri, lalu siapa yang mengangkat telefonnya! Suaranya mirip sekali dengan mamamu." Seru bibi Margaretha heran. Dia nampak tidak percaya dengan Jawabanku.

"Seluruh keluargaku ternyata adalah penganut aliran sesat jubah merah itu. Mereka ingin menumbalkanku. Mereka bahkan telah membunuh 1000 wanita untuk tumbal. Makanya aku kabur dan membunuh mereka semua. Aku takut mereka membunuhku." Jelasku ketakutan. Tubuhku gemetaran dan berkeringat dingin.

"Berarti selama ini mereka juga yang telah membuat Orlan menjadi monster. Aku tidak menyangka mereka sejahat itu pada kami." Ucap bibi Margaretha menyentuh dadanya tidak menyangka dengan kejahatan yang telah dilakukan kedua orang tuaku. Maafkan atas perbuatan kedua orang tuaku yang telah menyebabkan banyak kekacauan.

"Mereka pasti akan menemukanku dan membawaku untuk tumbal di ritual mereka. Kita harus kabur dari sini secepatnya bibi. Bagaimana ini bibi, aku takut menjadi tumbal mereka." Kataku menggenggam tangannya ketakutan.

"Bibi akan secepatnya membantumu. Akan aku carikan kunci untuk membuka rantai besinya, kamu tunggu sebentar." Seru bibi beranjak berdi, lalu pergi meninggalkanku.

Aku menunggu dengan gusar. Aku terus berdoa agar bibi cepat menemukan kuncinya. Semoga Orlan tidak cepat kembali sampai aku bebas. Jam menunjukan pukul sebelas malam. Cukup lama aku menunggu, lalu bibi datang membawa sebuah kunci berbentuk aneh.

Bibi Margaretha bilang jika itu adalah kunci serba guna untuk membuka semua gembok. Awalnya aku tidak percaya. Setelah melihatnya sendiri kunci itu bisa membuka gembok di tanganku, aku menjadi percaya. Akhirnya aku bisa bebas. Aku dan bibi Margaretha tersenyum puas karena bisa melepas belenggu di tangan dan kakiku.

Aku dan bibi Margaretha turun ke bawah, bersiap pergi dari rumah itu. Aku sudah menyusun rencana untuk mengurung Orlan di kamarnya seperti dia mengurungku. Lalu pergi ke tempat nenek Samara untuk meminta bantuanya mengusir iblis jahat dari dalam tubuhnya.

Bibi Margaretha memeluk Maggie saat Maggie keluar dari kamar. Aku langsung berjalan melewati mereka menuju ke dapur yang diikuti bibi Margaretha dan Maggie. Aku mengambil pisau yang paling besar di sana dan menyelipkan di belakang celanaku. Bibi Margaretha nampak kaget dengan apa yang aku lakukan.

"Elian, apa yang kau lakukan?" Tanya bibi Margaretha menghampiriku bersama Maggie yang ingin keluar dari dapur.

"Kalian tunggu sebentar di dalam kamar. Aku ingin mengunci Orlan sebentar." Kataku memegang pundak bibi Margaretha untuk mempercayaiku.

"Apakah harus menggunakan pisau?" Tanya bibi Margaretha khawatir.

"Hanya untuk perlindungan diri. Kalian tunggu di kamar, kita akan pergi saat aku berhasil mengunci Orlan di kamar. Lalu aku akan mencari bantuan untuk mengeluarkan iblis dalam tubuh Orlan. Kalian mengerti!" Kataku Menjelaskan rencanaku. Mereka mengangguk mengerti.

Bibi Margaretha dan Maggie bergegas masuk ke dalam kamar bibi Margaretha. Sedangkan aku langsung masuk ke kamar Orlan kembali, menata kasur dan selimutnya. Lalu berputar-putar tertidur di sana. Lama aku menunggu sampau jam menunjukan pukul dua malam. Mataku semakin lengket ingin tidur. Aku juga sudah menguap berkali-kali. Tahan, aku harus tahan sampai Orlan kembali. Aku entah mengapa sudah sangat mengantuk, aku hampir masuk ke dunia mimpi sampai aku dikagetkan oleh suara jendela yang di terbuka. Mata dan pikiranku tersadar kembali. Orlan kembali dengan wajah dan badan penuh darah muncul dari jendela. Dia tersenyum senang melihat ke arahku.

"Hai sayang. Aku sudah pulang, bagaimana kabarmu sekarang hahh?" Sapanya mendekatiku.

"Menjauhlah dariku!" Bentakku berpura-pura ketakutan. Atau memang aku sedang ketakutan melihat orlan penuh darah dua kali. Waktu pulang dari festival itu dia juga sangat mengerikan, dia memang sudah membunuh orang waktu itu. Namun, dia berbohong padaku jika dia sedang tampil di rumah hantu. Iblis memang penuh tipu daya.

"Apa aku sangat menakutkan?" Tanyanya mendekatiku dan berbaring di sampingku.

Kemudian dia memelukku yang berbaring membelakanginya dengan wajah, tangan dan baju penuh darah. Dia mencium leherku yang terbuka. Aku kegelian merasakan sentuhan bibirnya yang kenyal. Jantungku bergemuruh kencang entah perasaan apa yang sedang aku rasakan. Sedih, tenang, khawatir bercampur menjadi satu. Kami saling menatap dengan tatapan yang dalam tanpa menyadari kalau sebenarnya yang ada di dalam tubuh Orlan bukan Orlan, tetapi ibils yang jahat dan kejam.

"Menjauhlah dariku!" Seruku berbalik yang langsung menusuk perutnya dengan pisau. Aku berpindah tempat menjadi di atas tubuh Orlan sekarang. Dia diam menahan sakit akibat tusukanku. Aku menarik pisaunya dan menendang tubuhnya sampai terjatuh di bawah kasur. Aku berdiri di depan Orlan yang menatapku dengan senyum miring meremehkanku. Dia hendak berdiri, tetapi aku mendorongnya sampai jatuh ke atas kasur. Aku langsung menduduki tubuhnya dan melayangkan pisau ke atas untuk bersiap menusuknya.

"Aku tahu kau tidak akan mati dengan mudah. Luka seperti ini tidak akan membunuhmu. Tunggulah di sini sampai aku bisa menyelamatkanmu Orlan." Kataku langsung menancapkan pisau di dadanya. Dia mengeram menahan sakit, tetapi senyum sinisnya masih terukir di bibirnya yang membuatku muak. Aku langsung memasangkan rantai pada tangan dan kaki Orlan agar dia tidak bisa kabur.

"Kau tahu aku datang ke dunia manusia untuk menjemputmu! Anakku sekaligus istriku!" Gumannya sambil tertawa.

"Aku tidak perduli!" Kataku menatapnya dengan tajam dan bersiap mencabut pisau dari dadanya.

"Aku akan menjemputmu karena kau adalah anakku dan kau yang akan melahirkan anak-anakku. Mengerti! Aku sedang mengumpulkan tumbal-tumbal untuk upacara kepulanganmu. Jadi tunggu saat hari upacara itu telah tiba. Kita akan bersama selamanya." Aku tidak menanggapi omongannya. Dia menghembuskan nafas di depan wajahku yang membuatku mengingat masa-masa hidup bersama dengan Orlan, berbagi suka dan duka bersama. Ingatan itu, ingatan bersama Orlan, bukan dengan iblis jahanam ini. Aku langsung menepisnya.

"Kau manis sekali bungaku. Aku sangat mencintaimu!" Serunya saat aku berusaha menarik pisau di dada Orlan. Aku langsung menariknya, darah mulai terus bercucuran dari perut dan dadanya. Aku bangkit dari atas tubuh Orlan dan menatapnya dengan sinis.

"Aku memang manis. Tapi aku tidak mencintaimu!" Kataku sebelum pergi menutup pintu kamar, lalu menguncinya. Aku buang kuncinya ke sembarang tempat agar tidak ada yang membantunya pergi sebelum aku kembali.


........~•°♥°•~........

Aku menyembunyikan pisau di belakang punggungku. Aku melihat tanganku yang berlumuran darah, aku membersihkannya dengan mengusapkannya ke pakaianku. Aku berjalan turun menghampiri bibi Margaretha dan Maggie yang bersembunyi di dalam kamar. Mereka berdua langsung berdiri melihat kedatanganku. Aku bergegas mengajak mereka keluar. Bibi Margaretha memberiku kunci mobil milik paman Jordan, aku langsung menerimanya. Kami bersiap pergi dari rumah ini. Saat aku membuka pintu sudah ada tiga orang memakai jubah merah datang menghadang di depan pintu.

"Hallo Elian, hehehehe!" Sapa orang yang wajahnya tidak asing terawa menakutkan padaku. Dia laki-laki penjaga ruangan pusat informatika di kampus papa. Dia juga yang memukulku dulu saat di ruangan itu dan membuatku gila. Aku bergegas menutup pintu kembali, tetapi dia juga berusaha untuk mencegahnya.

"Bibi, cepat sembunyi!" Perintahku pada bibi Margaretha agar dia bersembunyi dari sekte sesat jubah merah itu. Bibi langsung pergi kembali lagi ke kamar. Sedangkan aku masih adu dorong mendorongan pintu dengan orang itu.

"Kau tidak bisa kabur dari kami, Elian!" Serunya mengancamku dengan seringai menakutkan. Aku langsung membuka pintu dan secara sigap menendang orang itu sampai jatuh terjungkal ke belakang. Sedangkan dua yang lain datang menghampiriku yang ingin menutup pintu. Aku langsung berlari ke dalam rumah. Mengambil vas bunga yang baru di ganti bibi Margaretha dan melemparkanya kepada mereka bertiga yang sekarang ingin menangkapku.

Orang satunya berhasil menghindar dan memukul wajahku sampai aku terjatuh. Dia juga mengunci tanganku ke belakang. Aku menendang perut orang lainnya yang ingin memukulku juga. Aku benturkan kepalaku ke belakang membentur wajahnya. Dia kesakitan merasakan hidungnya berdarah karena terbentur kepalaku, dia juga melepas kuncian tangannya sehingga aku bisa bebas. Aku menarik tudung jubahnya sampai tertutupi seluruh wajahnya, lalu memukul wajahnya dan menendang perutnya.

Orang yang satunya berusaha menyerangku, tetapi aku bisa menghindar. Aku mundur ke belakang, mereka bertiga mengelilingiku berusaha menangkapku. Aku terpojok di jendela sampai tanganku memegang sebuah korden. Aku menarik korden sampai jatuh berserta penyangganya. Aku melempar korden ke orang itu yang ada di sebelah kananku sampai seluruh badannya tertutupi korden. Aku secara sigap menendang dada orang satunya yang mulai menyerangku.

Ak menarik penyangga korden dan memukulkannya ke penjaga ruangan informatika di kampus papa itu. Sampai dia terhuyun kebelakang karena merasakan pingganggnya yang sakit sebab terkena pukulanku. Aku memukulkan gagang korden itu padanya secara bertubi-tubi sampai ada orang yang memegangi tanganku dan melemparku membentur kursi kayu di ruang tamu. Tubuhku berguling di lantai merasakan sakit di tangan dan tubuhku yang ke sakitan. Kayu yang terbuat dari kualitas yang lumayan bagus tidak mudah hancur saat terbentur dengan badanku, yang ada badanku terasa remuk. Aku berusaha berdiri dan mengambil beberapa sepatu, lalu melemparkannya ke arah mereka. Nampak mereka berhasil menghindarinya. Aku berjalan menghindar dengan tertatih-tatih merasakan perutku yang terasa sakit. Orang itu menendangku yang kesakitan sampai terjatuh.

"Kau tidak akan bisa kabur lagi. Sudah cukup bermain-mainnya!" Serunya berdiri di depanku dengan angkuh. Aku menendang kakinya sampai tubuhnya terjatuh menimpa tubuhku. Aku langsung mengambil pisau dari belakang dan menusuk perutnya.

"Arkhhh sialan!" Teriaknya merasa kesakitan memegangi pisau yang tertancap di perutnya.

"Kau pikir sedang melawan siapa." Bisikku di telinganya, lalu mencabut pisau itu yang menyayat tangannya dan menghujamkannya ke perutnya lagi.

"Arkhh!" Teriaknya kesakitan. Aku langsung menjauhkan tubuhnya dariku.

Lalu rambutku ditarik dan diseret ke belakang. Tubuhku dibanting ke meja sampai dadaku terasa nyeri. Tanganku yang membawa pisau juga digenggam erat di atas meja untuk membuatku melepaskan pisaunya. Aku lihat orang satunya membantu penjaga ruangan itu yang aku tusuk untuk berdiri. Tiba-tiba aku mendengar suara benturan yang terdengar keras di belakangku. Orang itu terjatuh dan melepas kuncian di kepala dan tanganku. Aku lihat bibi Margaretha membawa kayu bakar dan memukul kepala orang itu berkali-kali sampai bersimpah darah. Dia tidak bergerak lagi, aku yakin jika dia belum mati.

Seperti yang terjadi pada pak Martin yang aku cekik sampai mati lalu hidup kembali. Apa yang dikatakan Serena benar, aku harus menusuk jantungnya jika ingin mereka mati. Aku arahkan pisauku menembus jantungnya yang sudah tidak bergerak. Darahnya mulai mengalir dari jantungnya mengotori lantai. Mereka berdua yang melihat aku membunuh salah satu temannya berusaha melawanku. Aku langsung menyayat lehernya saat dia menghampiriku, darah segar keluar dari lehernya. Darahnya mengalir dengan deras sampai suaranya yang kesakitan tidak terdengar. Aku langsung mendorongnya sampai jatuh dan mendudukinya.

"Waktunya terbakar di neraka!" Seruku yang langsung menghujamkan pisau ke jantungnya. Dia mengejang sampai meregang nyawa. Aku berdiri dan melihat laki-laki sombong penjaga ruangan pusat informasi itu. Dia sedang berusaha kabur dariku. Aku mengikuti langkahnya yang tertatih-tatih lalu menendang bokongnya sampai terjatuh ke depan. Aku membalikan badannya sampai telentang. Melihat dengan jelas wajahnya yang terkekeh sinis merendahkanku. Nafasnya ngos-ngosan seirama dengan dadanya yang naik turun.

"Kau hebat juga." Pujinya sambil memegangi pergelangan tanganku. Aku langsung menancapkan pisau ke tangannya dan menariknya ke bawah. Luka sayatan lebar tergambar jelas penuh darah di tangannya. Dia berteriak memilukan karena ulahku.

"Arkhhh!" Teriaknya lagi sampai matanya berair merasakan sakit di tangan satunya. Kedua tangannya aku sayat cukup lebar agar dia tidak bisa menyakitiku. Aku lihat luka tusukan di perut tadi berangsul mengecil. Ternyata begitu, mereka cepat sekali pulih dari luka.

"Hah hahh hahh, kau tidak akan bisa kabur dari kami Elian!" Serunya yang tidak aku perdulikan.

Kedua tangannya memegangi pergelangan tanganku sangat erat. Aku langsung menarik tangan kananku yang membawa pisau dengan kasar. Lalu tanpa perasaan aku menusuk dadanya berkali-kali sampai matanya melotot ingin keluar. Darahnya mengalir dari dada dan mulutnya sangat deras. Tubuhnya mengejang sampai mulutnya menganga. Aku menarik pisaunya saat aku lihat dia sudah mati.

"Ayo kita pergi bibi!" Kataku menyembunyikan pisau berlumuran darah ke celana belakangku.

Bibi yang mematung melihat aku membunuh mereka langsung tersentah. Dia bergegas menarik dan membawa Maggie pergi mengikutiku keluar dari rumah. Aku mengambil kunci mobil dari saku celanaku. Bibi Margaretha duduk di sampingku sambil memangku Maggie. Maggie tidak henti-hentinya terisak menangis. Aku mengemudiakan mobil pergi dari rumah bibi Margaretha dengan keadaanku yang berlumuran darah.


......~•°♥°•~.......

Aku membawa Bibi Margaretha ke kantor polisi. Hari sudah pagi, cahaya matahari sudah menerangi jalan kami menuju kantor polisi. Kami akhirnya sudah sampai di depan pintu polisi.

"Bibi turunlah, kalian di sini saja dulu!" Kataku menyuruh mereka turun segera. Aku ingin pergi ke rumah nenek Samara sendirian tanpa mereka. Aku takut mereka akan terluka jika masih ikut denganku.

"Kau meninggalkan kami di sini, lalu kau mau pergi kemana sendirian." Tanya bibi Margaretha khawatir.

"Aku akan meminta bantuan pada nenek Samara untuk mengeluarkan iblis jahat dalam tubuh Orlan." Jawabku singkat berharap bibi Margaretha mengerti. Aku sudah berjanji padanya untuk membantunya membawa Orlan kembali.

"Aku akan ikut menemanimu ke cenayan itu." Seru bibi Margaretha ingin ikut denganku.

"Tidak perlu bibi. Bibi dan Maggie akan aman di sini. Aku akan menjemput kalian jika semuanya sudah berakhir. Aku janji akan menyelamatkan Orlan bi." Kataku menyakinkan bibi Margaretha agar mau menungguku di kantor polisi sebentar.

"Tidak, aku tetap ikut denganmu. Orlan adalah anak bibi, bibi akan menyelamatkannya juga." Paksa bibi Margaretha ingin ikut denganku. Aku tidak ingin mereka terluka. Aku langsung turun dari mobil lalu membuka pintu sisi samping. Aku menarik Maggie dan menggendongnya keluar.

"Elian, tunggu Elian!" Panggil bibi Margaretha mengikutiku masuk ke dalam kantor polisi.

Aku sudah tidak perduki jika aku akan ditangkap polisi karena sudah membunuh begitu banyak orang. Yang harus aku lakukan adalah menyelamatkan Orlan terlebih dahulu. Aku menurunkan Maggie yang langsung berlari ke pelukan bibi Margaretha sambil menangis tersedu-sedu. Beberapa polisi terlihat terkejut dengan kedatangan kami dan malah asik melihat drama kami.

"Kalian tunggu di sini." Kataku beranjak pergi dari kantor polisi. Aku lihat bibi Margaretha dan Maggie menangis dalam diam melihat kepergianku. Sudah cukup mereka saja yang hidup, aku sudah sangat bahagia. Kalian harus hidup baik-baik nantinya.

"Elian!" Panggil pak Adam menghampiri mobilku yang bersiap pergi. Aku membuka kaca pintu mobil agar aku bisa melihat wajahnya.

"Kau tahu ke mana mencariku jika aku tidak kunjung kembali. Tolong jaga mereka untukku." Kataku menutup kaca mobil kembali lalu berlalu pergi meninggalkan kantor polisi. Meninggakkan pak Adam yang berdiri menatap kepergianku. Aku mohon jangan halangi aku untuk menyelamatkan Orlan sekarang, karena aku sangat mencintainya. Tangisku pecah di dalam mobil, aku memukul-mukulkan kepalaku ke stir mobil mengingat betapa bodohnya aku. Orlan tunggu aku.

......~•°♥°•~......

Aku mengemudikan mobilku berjalan ke arah rumah nenek Samara yang cukup jauh. Aku melewati toko milik ayah Ned. Di sana aku melihat Ned yang sedang mengangkat beberapa stok barang yang baru datang. Aku tanpa sadar memelankan laju mobil saat ingin melewati toko itu, memperhatikan Ned yang terlihat aman di sana. Syukurlah jika dia baik-baik saja, aku tidak perlu melihat orang yang aku sayangi mati dibunuh oleh mereka. Aku langsung mengurangi gigi mobil untuk mempercepat lajuku.

"Elian!" Panggil Ned yang membuatku menginjak rem agar mobilku berhenti.

"Ned!" Sapaku saat Ned menghampiriku.

"Kemana kau pergi, sudah tiga hari kau tidak masuk sekolah?" Tanya Ned khawatir.

"Aku baik-baik saja. Aku pergi dulu." Kataku berpamitan. Aku tidak ingin membuat Ned dalam bahaya jika bersamaku.

"Mau pergi ke mana, aku ikut. Hari ini libur, ayo bersenang-senang bersama." Ajaknya yang hanya bisa aku jawab dengan senyum tipis.

"Aku sedang ada urusan penting. Kau bersenang-senanglah bersama yang lain." Tolakku yang tidak ingin Ned ikut denganku.

"Urusan apa Elian. Kenapa bajumu bersimpah darah. Bicaralah padaku Elian, jangan kau pendam sendiri masalahmu. Aku akan membantumu." Seru Ned saat aku ingin menginjak gasnya.

"Tidak perlu Ned. Aku tidak ingin kau terseret dalam masalahku. Lagi pula kau tidak akan percaya padaku." Tolakku menginjak gasnya perlahan-lahan.

"Elian, aku temanmu. Aku tidak bisa melihatmu bersedih seperti ini. Aku akan membantumu." Seru Ned berjalan mengikuti langkah mobilku. Aku terpaksa harus menghentikan mobilku. Ned langsung berjalan ke sisi mobil dan membuka pintu mobil. Ned masuk ke dalam mobil dan memakai sabuk pengaman dengan cepat.

"Ned kenapa kau masuk? Masalahku terlalu bahaya. Aku tidak ingin kau terluka. Keluarlah!" Usirku memaksa.

"Tenang saja, aku akan baik-baik saja. Aku akan selalu membantumu sebisaku. Jangan membuat dirimu terus larut dalam rasa bersalah. Ayo cepat jalan!" Ucap Ned memegang pundakku untuk menguatkanku. Aku memang sedang diliputi rasa bersalah. Baiklah jika Ned memaksa mengikutiku, aku harap tidak akan terjadi apa-apa nanti di jalan. Aku menjalankan mobil berjalan melewati jalan yang cukup sepi.

"Aku ingin bicara tentang Orlan. Aku akan pergi ke rumah dukun karena di dalam tubuh Orlan itu bukan Orlan, tapi iblis. Jadi, bisa dikatakan kalau Orlan sekarang sedang dirasuki iblis jahat." Jelasku mengatakan sesuatu tentang Orlan yang membuatku ingin pergi ke rumah nenek Samara untuk membantuku melawan iblis jahat itu. Hanya dialah dukun yang aku kenal.

"Maksudmu kesurupan, hahahahh Elian sadarlah. Jika Orlan kesurupan dia pasti sudah kek gini hukk akk heekk...." Serunya memeragakan orang kejang-kejang seperti orang kesurupan. Dalam keadaan seperti ini bisa-bisanya dia membuat adegan lucu di hadapanku. Aku terkekeh geli melihat tingkahnya.

"Bukan seperti itu. Tubuhnya yang sekarang sedang dikendalikan oleh iblis dari sekte jubah merah itu. Semua itu karena ulah aliran jubah merah. Seluruh keluargaku mati karena dibunuh oleh mereka." Jelasku mengingat kembali bagaimana mereka membunuh ibuku, menjadikan papa dan Orlan seorang iblis. Aku benar-benar membenci mereka.

"Aku sungguh tidak percaya Elian!" Seru Ned tidak mempercayaiku.

"Ned! Kau harus percaya padaku. Kapan aku pernah berbohong padamu. Sekarang aku ingin ke rumah nenek Samara untuk membantuku mengeluarkan iblis itu dari tubuh Orlan." Kataku berusaha meyakinkan Ned tentang Orlan.

"Baiklah. Aku akan percaya padamu untuk saat ini." Ucapnya berusaha mempercayai perkataanku. Aku lihat dia mengeluarkan ponsel dan memainkannya. Aku lihat sekilas dia sedang mengetik sesuatu.

"Kau sedang apa?" Tanyaku padanya yang memegang ponsel seperti sedang mengirim pesan pada seseorang.

"Memberi kabar pada orang rumah, jika aku pergi denganmu." Jawabnya dengan santai. Seketika aku iri pada Ned yang masih memiliki keluarga.

Aku langsung menepis ingatanku tentang keluargaku. Aku tidak boleh larut dalam kesedihan lagi. Mereka sudah tiada, aku harus kuat menerima kenyataan ini. Aku percepat laju mobilku agar cepat sampai. Langit sudah bergemuruh menandakan akan menurunkan hujan. Semoga ketika sampai di rumah nenek Samara awannya tidak mengikutiku kami. Sehingga tidak turunkan hujan yang mengganggu perjalanan kami.

"Elian, di mana rumahnya. Kenapa jauh sekali, jangan-jangan dia bukan paranormal tapi dukun ilmu hitam. Kau tidak salah mencari orang kan?" Tanya Ned yang mulai bosan di tengah perjalanan kami.

"Tidak! Dia nenek yang baik. Tenang saja, sebentar lagi sampai." Jawabku sekenanya karena masih fokus menyetir.

"Tapi ini melewati hutan-hutan dan kita sudah berapa jam di perjalanan. Lihatlah, langit mulai gelap seperti ini." Protesnya.

"Tenanglah, sebentar lagi sampai. Hari masih sore, langit mulai gelap karena sebentar lagi sepertinya akan turun hujan. Kamu tenanglah, siapa suruh kamu ikut denganku." Kataku sedikit meninggikan suaraku karena Ned banyak mengeluh.

"Aku hanya ingin menemanimu." Serunya yang tahu aku sedang tidak bisa bercanda.

Perlu perjalanan dua jam lebih untuk sampai di desa tempat nenek Samara tinggal. Awan sudah semakin gelap, Tetesan air turun dengan rintih-rintih. Ternyata langit tidak mendukungku. Kami akhirnya sampai di depan rumah nenek Samara. Aku ragu untuk mengetuk pintu rumahnya karena rumahnya masih gelap. Apa dia tidak ada di rumah.

"Elian, kau yakin ini rumahnya. Rumahnya cantik, tapi sepi, gelap dan jauh dari pemukiman. Di sebelahnya hutan pula." Seru Ned berkomentar tentang rumah nenek Samara. Siapa yang perduli dengan keadaan rumahnya, yang terpenting adalah menemui orangnya.

"Kita coba ketuk pintunya dulu, semoga saja dia ada di rumah." Kataku mulai mengetuk pintunya berulang kali dan aku panggil nama nenek Samara dengan keras. Namun, tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. Apa dia tidak ada di rumah. Aku pikir dia selalu ada di rumah. Klontang prakkk, brukkk. Aku mendengar suara benda jatuh yang begitu nyaring dari dalam rumah. Bibi Samara masih ada di dalam rumah, seharusnya dia menyalakan lampu dan mendengar panggilan kami. Apa ada pemadaman listrik.

"Elian, suara apa itu, apa mungkin hantu?" Ucap Ned bersembunyi di belakangku.

"Mungkin dia ada di rumah. Jangan jadi penakut Ned. Lebih baik langsung masuk saja, mungkin dia lagi sakit sehingga tidak bisa menemui kita di luar." Kataku memutar kenop pintu rumahnya. Ternyata tidak terkunci rumahnya.

"Elian dia itu dukun lho, mungkin saja dia punya makhluk halus untuk menjaga rumahnya. Aku takut." Cegah Ned saat aku ingin masuk ke dalam rumah nenek Samara.

"Perasaanku tidak enak. Aku harus masuk." Kataku membuka pintu lebar-lebar. Hanya kegelapan yang aku lihat. Aku memasuki rumah yang diikuti Ned dibelakangku.

"El, tunggu El. Elian, El! Elian, tunggu..." Panggil Ned mengikutiku. Menarik baju belakangku agar tidak terpisah dariku. Aku berusaha mencari tombol lampu dengan meraba-raba tembok yang ada.

"El, dimana tombol lampunya. Kenapa tidak ada. Gelap sekali." Seru Ned tidak sabaran. Aku juga sedang mencari tombol lampunya.

"Elian, kita keluar yuk, dia pasti tidak ada di rumah." Ucap Ned menarik-narik bajuku.

Benar juga apa yang dikatakan Ned. Jika rumahnya gelap seperti ini, dia pasti tidak ada di rumah. Namun, kenapa pintunya dibiarkan tidak terkunci jika tidak ada di rumah. Aku sangat membutuhkannya sekarang, aku akan menunggu kedatangannya kapanpun itu. Ceklek, lampu hidup dengan remang-remang. Aku berhasil menemukan tombol lampu dan menghidupkanya. Brakk, suara benda jatuh dari dalam lagi. Aku masuk ke dalam melihat benda apa yang terjatuh bersama Ned yang masih mengikutiku.

"Hahhh..." Hela nafasku yang begitu kaget dengan apa yang aku lihat di depan mataku saat ini sampai tubuhku mematung.

"El kenapa? Hahhh Elian!" Seru Ned yang menabrak pundakku. Dia juga ikut terkejut melihat apa yang aku lihat.

Aku dan Ned begitu kaget bercampur takut melihat seorang wanita tua terbujur hancur di lantai. Semua bagian dalam tubuhnya terburai keluar berceceran ke mana-mana. Yang lebih menakutkan lagi di sana ada Orlan berdiri kokoh sambil melihat kita berdua dengan tajam. Dia membawa kepala nenek Samara dan menunjukannya pada kami. Mulut dan bajunya bersimpah darah. Orlan membunuh nenek Samara dengan mengerikan di depan mataku. Kenapa dia lebih cepat dari aku. Aku hanya bisa diam dan menarik nafas dengan kasar. Denyut jantungku sudah tidak karuan begitu juga dengan Ned yang nampak terkejut. Dia tahu kalau aku akan ke sini. Nenek Samara maafkan aku.

"Elian kau lama sekali aku sudah menunggumu. Ayo makan bersama, aku sudah menyiapkannya dengan cantik. Darah cenayan memang sangat enak." Ucapnya berjalan mendekat ke arah kami. Secara sigap aku langsung menarik Ned pergi dari sana. Kami pergi dengan ketakutan yang menguasai tubuh kami sampai berlari terpontang-panting menuju ke luar rumah.

"Ned, ayo cepat cepat masuk ke mobil. Ayo cepat pergi dari sini sebelum dia mengejar kita. Ayo cepat!" Aku dan Ned masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa.

"Elian kau benar, dia bukan Orlan." Serunya mengemudiakan mobil dengan tergesa-gesa. Sekarang Ned yang menyetir. Karena ketakutan kami asal membuka pintu mobil. Hujan turun semakin lebar, langit juga semakin bertambah gelap. Entah ke mana kami pergi kami tidak tahu. Tubuhku sudah gemetaran hebat karena panik. Bagaimana ini, bagaimana jika Orlan mengikuti kita dan membunuh Ned. Oh tuhan selamatkan kami.

"Ned, semua salahku. Jika aku tidak membawanya pulang semua ini tidak akan terjadi. Semua itu salahku." Rancauku ketakutan. Tangisku pecah tiba-tiba, aku menyalahkan diriku sendiri yang telah menyebabkan bencana ini. Kalau bukan karena aku teman-temanku tidak akan mati begitu saja. Orlan sebenarnya kamu ke mana, aku rindu padamu. Aku membutuhkanmu.

"Sudahlah Elian semua akan baik-baik saja. Jangan menyalahkan dirimu sendiri, yang perlu kita lakukan sekarang pergi menjauh sejauh-jauhnya darinya jika ingin selamat." Seru Ned di tengah kepanikan kami. Ned juga melajukan mobilnya sekencang-kencangnya dalam keadaan hujan deras mengguyur jalan yang mulai gelap ke arah yang tidak aku tahu agar makhluk itu tidak mengejar kami.

.......~•°♥°•~.......
.
.
.
.
To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro