Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 23

KITA BERPISAH HARI INI!*
......~•°♥°•~.......

Aku tersadar, pandanganku berputar-putar melihat kehampaan di sekelilingku. Mengedipkan mata beberapa kali berharap semua akan nampak normal kembali. Aku terduduk di ruangan kosong yang hanya ada satu cahaya yaitu diriku sendiri. Aku berdiri dan berjalan di tengah kegelapan. Setiap langkah yang aku ambil, satu per satu langkah sepatuku terdengar jelas. Sampai langkahku terhenti karena ada pintu berwarna coklat berdiri kokoh dihadapanku. Aku membukanya sampai terlihat sebuah rumah berkabut. Rumahku yang sepi dan hening, hanya suara nafasku yang terdengar. Lampu yang temarau dan berkedip-kedip membuat tubuhku merinding.

"Elian, hahaha!" Suara anak wanita berhembus di samping kananku lalu menghilang.

"Elian, hahhaha!" Panggil suara anak laki-laki berhembus di samping kiriku lalu menghilang.

"Elian, aku di sini." Seru seorang laki-laki di belakangku tetapi tidak ada apapun di belakangku.

"Elian datang kemari!" Ucap seorang wanita jauh  menggema di telingaku.

"Elian, hahaha. Elian, hahaha. Elian, hahaha." Tawa mereka menggema bersama di ruangan ini yang membuat kepalaku pusing. Aku menutup mata dan telingaku berharap suara itu menghilang, tetapi suara tawa mereka justru terdengar semakin dekat.

"Hentikan, siapa kalian? Kenapa kalian menggangguku!" Bentakku tersulut emosi dengan tawa mereka. Seketika suara tawa mereka menghilang.  Aku membuka mata dan telingaku kembali. Kini aku sudah berada di ruang tamu.

"Aku Lily Edelyn!" Seru seorang anak berkepala boneka berdiri di bawah kakiku saat aku membuka mata.

"Kyaaaa!" Teriakku kaget berlari pergi ke dapur. Nafasku memburu. Aku melihat seluruh isi ruangan di dapur yang masih lengkap. Namun, pandanganku terasa berkabut. Aku berusaha menenangkan nafasku yang ngos-ngosan karena berlari ketakutan. Pandanganku terhenti di depan seorang anak bertangan panjang yang duduk di atas meja dapur.

"Aku Charle Lee!" Serunya tersenyum lebar dengan wajahnya yang hancur.

"Kyaaa!" Teriakku ketakutan. Aku berlari pergi meninggalkan dapur menuju ke perapian. Tiba-tiba ada hantu yang jatuh tergantung di depan perapian yang membuatku terkejut.

"Aku Balarica Jean!" Ucapnya dengan mulut menganga lebar yang membuatku ketakutan dan berlari menuju ke tangga.

Aku menaiki tangga berharap segera sampai di kamar dan berlindung di bawah selimut. Langkahku terhentu di tengah-tengah tangga karena ada kepala anak perempuan berbadan boneka menghalangi jalanku. Aku langsung menelan ludahku dengan kasar.

"Aku Lyla Edelyn." Serunya tersenyum lebar dengan wajah penuh luka. Aku tersentak dan berbalik menuruni tangga. Di bawah aku sudah disambut tubuh laki-laki tanpa kepala. Aku membulatkan mata ketakutan. Lalu aku mendengar suara benda jatuh bergulir dari atas melewati tangga dan berhenti di bawah kaki tubuh tanpa kepala. Kepala yang terlihat hitam, bergulir ke samping dan menunjukan wajahnya yang penuh darah.

"Aku Tyson Marker." Serunya yang membuat nafasku tercekik.

Lalu aku berbalik dan berlari ke atas menuju ke kamarku. Aku membuka pintu kamar dan memasukinya dengan nafas memburu.  Aku melihat tubuhku di atas kasur yang terikat. Tiba-tiba aku mendengar suara yang nyaring dari arah kamar mandiku, ngikkk krekk brakk, ngikk krekk brakkk. Pintu kamar mandiku beberapa kali membuka dan menutup sendiri sampai ada sosok wanita berwajah putih pucat berdiri di sana lalu berlari ke arahku.

"Aku Cristina Faren!" Serunya yang membuatku terkejut dan berlari mundur keluar dari kamarku. Nafasku semakin memburu, pikiranku mulai panik, dan tubuhku gemetaran berkeringat dingin. Aku melihat ke kanan dan kiriku yang nampak lorong panjang tanpa ujung. Di tengah lorong, suara mereka muncul kembali. Seperti gemma yang memekakkan telingaku. Membuat kepalaku terasa pening seketika.

"Elian! Elian! Elian! Elian!' Panggilnya berulang kali yang membuat telingaku mengadu kesakitan.

Aku berlari ke belakang melewati lorong yang begitu panjang. Sampai semakin lama, ada foto besar terpampang Jelas di depan mataku. Aku terpojokan di sini. Foto itu, fotoku yang tersenyum sendiri di ruang perapian.

"Elian! Elian! Elian!" Panggil mereka lagi. Mereka perlahan muncul satu persatu dari depanku, sampingku, atasku, bawahku, dan di belakangku yang membuatku terkejut. Aku menutup mata dan telingaku rapat-rapat berharap tidak mendengar suara dan melihat wajah menyeramkan mereka. Aku sampai terduduk di lantai, meringkuk ketakutan.

"Jangan ganggun aku, aku mohon pergi kalian semua." Teriakku sambil menangis sesenggukan karena ketakutan.

"Elian!" Seru seseorang menyentuh pundakku. Aku terkejut dan mendongak melihat wajah wanita pucat di depanku. Aku mengenali wajahnya, tapi aku asing dengan suaranya.

"Tenanglah Elian, kita ini adalah temanmu. Tidak ada yang akan menyakitimu." Serunya lagi memelukku yang meringkuk ketakutan.

"Elian, akhirnya kau datang ke sini. Kami sangat merindukanmu." Seru seorang anak wanita berkepala boneka beruang. Aku ingat jika namanya adalah lily Edelyn. Seketika mereka berkumpul di belakangku. Wajah mereka terlihat lebih baik dari sebelumnya.

"Bibi Cristina, bibi Balarica, Lily dan Lyla, Carlie, dan paman Tyson." Kataku menunjuk mereka satu persatu. Mereka langsung bersorak senang karena menyebut nama mereka.

"Elian masih ingat nama kita!" Seru Charle tersenyum senang. Sejenak perasaanku mulai terasa hangat. Seperti suasana ini adalah momen yang pernah aku alami. Mereka duduk mengelilingiku, bersenggama dengan tubuhku.

"Lihatlah ke lima anakku." Ucap bibi Balarica duduk di sampingku dengan kelima anaknya yang tersenyum lebar padaku.

"Hai kak Elian, ayo main!" Ajak anak-anak bibi Balarica antusias. Aku hanya bisa tersenyum manis menanggapi mereka.

"Dulu aku dan Lily yang sering main bersama Elian, kalian selalu mengganggu permainan kami." Sanggah Charle tidak terima aku bermain dengan kelima anak bibi Balarica. Aku sudah besar, sudah tidak berminat bermain lagi.

"Bukannya kita sering main bersama, kamu jangan curang." Timpal Lyla tidak suka jika dirinya tidak ikut di sebut. Mereka malah memasang adu tatapan yang membuatku merinding. tidak ada yang mau mengalah di antara mereka.

"Hahaha, sudah tidak apa-apa. Aku mengerti!" Kataku menengahi mereka.

"Biarkan saja, mereka selalu seperti itu!" Ucap bibi Cristina dengan lembut.

"Aku mati saat masih muda, jangan panggil aku paman. Aku tidak setua itu." Seru kepala paman Tyson cemberut di bawah kakiku.

"Maafkan aku!" Kataku tersenyum kaku.

"Panggil aku kakak!" Suruhnya untuk memanggil kakak. Aku mengangguk tanda mengerti.

"Sebenarnya aku tidak mengingat seberapa dekat kita semua. Aku hanya tahu sedikit dari apa yang kalian tunjukan padaku. Maafkan aku, bisakah kita mengenangnya sekarang. Kita baru bisa berkumpul bersama, rasanya sangat menyenangkan jika mengingat momen sedih dan bahagia bersama." Kataku menyuruh mereka bercerita agar aku bisa mengingat kenangan-kenangan yang telah terhapus dari memori ingatanku. Aku berharap cerita mereka bisa meningkatakan kembalinya ingatanku. Rasanya sangat nyaman bisa berkumpul bersama seperti ini.

"Kami semua adalah temanmu, lihatlah foto itu! Kita sudah berfoto bersama." Ucap Lily Edelyn menunjuk fotoku waktu masih kecil berdiri di perapian yang berada di depanku. Terlihat foto besar yang terpampang jelas di depanku, tidak hanya aku yang berdiri di sana, tetapi ada mereka semua di sampingku. Kita berfoto sangat bahagia. Senyum manis tergambar di wajah kami, meskipun wajah mereka terlihat pucat. Apakah kita sedekat itu dulu, aku tersenyum malu melihat foto kita bersama. Seakan perasaan itu muncul kembali.

"Aku merindukan Elian!" Seru Charle memelukku. Aku sudah tidak terlalu takut dengan kehadiran mereka, sehingga aku membiarkannya memeluk dan menyentuh tubuhku.

"Elian sekarang sudah besar." Seru paman Tyson menggerakan tangannya untuk mengelus kepalaku. Namun, tidak berhasil menemukan kepalaku. Aku terkekeh geli melihatnya. Lalu aku mengarahkan kepalaku di bawah tangannya yang mencari di kehampaan sampai dia berhasil mengelus rambutku dengan lembut.

"Sayangnya Elian sudah besar, dia tidak bisa bermain lagi." Seru Lily menyandarkan kepala boneka ke pangkuanku dengan manja.

"Bukankah kita sudah bermain kemarin. Wajah ketakutannya waktu itu sangat lucu, aku sampai tertawa terbahak-bahak." Timpal kak Tyson tertawa terbahak-bahak bersama kami semua. Aku juga menertawakan kebodohan diriku sendiri waktu itu.

"Waktu itu wajah kalian sangat menyeramkan, aku jadi takut." Kataku terkekeh geli. Waktu itu mereka memang sangat menyeramkan.

"Dari mana kita mulai bibi Cristina?" Tanyaku pada bibi Cristina yang duduk santai bersama bibi Balarica  mendengarkan debat kami.

"Sebelum aku di sini, kau sudah mengenal mereka. Aku baru beberapa bulan menjadi hantu di sini sebelum kau melupakan kami semua. Biarkan mereka bercerita, aku akan mendengarkan dengan baik." Jawanya tersenyum ramah.

"Sebelumnya, kami semua berterimakasih banyak padamu. Karena kau telah membunuh pembunuh kami, tetapi kami tidak pernah memintamu untuk membalaskan kematian kami. Sayangnya kau bersikeras menghukum mereka, karena kami adalah teman terbaikmu." Ucap kak Tyson yang kepalanya bergulir ke arah bibi Cristina. Lalu, bibi Cristina mengangkat kepala kak Tyson dan memangkunya.

"Kita sering bermain bersama daan kau menceritakan semuanya pada ibumu Lilian. Dia juga wanita yang sangat cantik dan baik. Dia tidak marah pada kami yang sering bermain denganmu." Jelas Lyla jika mereka sangat dekat dengan keluargaku. Mereka juga sangat menyayangi ibuku.

"Tapi ibuku sudah meninggal. Aku tidak menyangka jika papa dan mamaku yang telah membunuh ibuku." Kataku tersenyum sedih mengingat bagaimana kejamnya mereka membunuh ibuku.

"Dia bukan papamu Elian. Dia Iblis!" Ucap Charle yang membuatku terkejut. Papaku yang selama ini hidup denganku adalah iblis. Berarti mereka juga membunuh papa. Sekarang aku hidup sebatang kara tanpa keluarga, betapa menyedihkannya hidupku.

"Bagaimana kau tahu!" Janyaku penasaran.

"Kami bisa melihatnya. Waktu itu ulang tahun papamu. Kita membuat kue bersama. Aku yang melumuri tepung di pipimu, Elian lucu sekali hahaha." Seru Lily tertawa senang mengingat kenangan membuat kue dulu. Perlahan aku mengingatnya, tidak hanya mata kecilku memandang sosok mama saja. Namun, wajah yang lain juga terlihat semakin jelas. Suara yang biasa hanya satu terdengar, kini nampak banyak dan ramai. Aku tersenyum tipis mengingat momen itu, momen sebelum ibu meninggal.

"Wanita jahat itu yaitu Sarah datang bersama iblis yang mendiami tubuh papamu. Mereka menyiksa ibumu dan adikmu. Kami hanya hantu biasa yang tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya bisa melihat dari jauh perbuatan mereka. Lalu kau diseret pergi dari rumah ini. Paginya kalian kembali lagi ke rumah, tapi pandanganmu kosong. Kami memanggilmu berkali-kali, tetapi tidak ada respon darimu sampai kau bisa tertidur." Tambah Lily memeluk lenganku dengan sedih. Ternyata mereka menangkap papa dan membunuhnya lalu membunuh ibuku. Aku mengepalkan tanganku menahan emosi mengingat betapa kejamnya anggota sekte jubah merah.

"Elian, kami terus menjagamu di sampingmu. Menunggumu sampai terbangun. Tapi saat terbangun kau mengabaikan selamat pagi dari kami. Aku sangat sedih waktu itu kau mengabaikan kami. Berhari-hari kami mengikutimu, mengganggumu, kamu malah menangis ketakutan. Sampai Sarah mengurang kami di ruang bawah tanah selama bertahun-tahun. Kami akhirnya bisa bebas dan melihatmu kembali. Elian sekarang sudah besar." Seru Charle tersenyum senang melihat aku kembali. Mungkin waktu dibawa oleh sekte jubah merah itu, mereka menghipnotisku lalu semua ingatanku dihapus. Bahkan kemampuanku melihat mereka juga diambil. Sehingga aku menjalani hidupku seperti orang normal setiap harinya sampai pertama kalinya aku bertemu dengan hantu ibuku yang merubah segalanya.

"Hanya aku yang tidak ikut terkurung, karena aku sedang menahan jiwa ibumu agar tidak menjadi budak oleh iblis. Aku yang menyamar menjadi ibumu dulu, hahaha. Aku selalu mengamatimu tumbuh besar dari luar." Tambah bibi Cristina terkekeh geli. Aku terkejut ternyata bibi Cristina yang menghantuiku bukan arwah ibuku. Setidaknya dengan cara itu, aku bisa mengingat mereka lagi.

"Sarah adalah wanita yang jahat. Dia suka membentakmu, tidak memperdulikanmu, menghinamu, memukulmu, tetapi kau terus saja menempel padanya. Sampai aku lihat kau demam parah waktu itu. Aku hanya bisa melihatmu dari luar jendela dengan khawatir. Sampai aku tahu Sarah terlihat semakin lama semakin berbeda. Dia nampak sangat menyayangimu." Tambah bibi Cristina menggenggam tanganku sebentar untuk menguatkanku.

"Tetepi dia tetap jahat. Dia dulu membuat Lilian kegururan sampai tiga kali. Lalu dia menghasut Lilian untuk membuat anak dari bunga iblis. Yaitu kau Elian, kelahiranmu telah ditentukan, kau harus hati-hati Elian. Aku tahu ini karena aku hantu pengungsi di dirumahmu dulu, tetapi aku tidak mengganggu kehidupan kalian karena kita punya kehidupan masing-masing." Seru bibi Balarica memperingatiku. Jadi, selama ini mamaku memang wanita yang amat jahat. Mereka membuat ibuku keguguran dan membunuh papa, ibu dan adikku dengan sadis. Mama aku sangat menyayangimu, tetapi ternyata kau lebih kejam dari iblis.

"Aku yang membuat tulisan di kamar mandi  jika kau masih ingat. Kau harus bisa pergi dari sini secepatnya. Jangan sampai mereka menemukanmu dan membunuhmu. Kau adalah incaran mereka." Tambah bibi Cristina yang memperingatiku juga. Ternyata mereka sudah merencanakan semua ini, merawatku sampai besar lalu menumbalkanku. Kenapa keluargaku menjadi hancur seperti ini.

"Setelah aku bangun, aku akan pergi dari rumah ini apa pun caranya. Tapi sebelumnya apakah kalian tahu di mana mereka mengubur atau membuang mayat ibuku, aku ingin melihatnya di saat terakhirku?" Kataku menahan tangis. Mataku sudah berair, sekali bergerak saja air matanya akan tumpah. Aku ingin kembali ke momen di mana kami bisa hidup bahagia bersama tanpa mama Sarah yang kejam itu. Aku ingin rasanya berkumpul bersama ibu dan papa, berserta teman-teman hantuku. Potongan kenangan demi kenangan melintasi mataku yang menyisahkan kesedihan mendalam dalam hatiku. Kilatan memori yang hilang seperti pecahan kaca yang kembali menyatu. Ibu, papa, aku merindukan kalian.

"Di sana!" Mereka menunjuk ke arah belakangku. Aku berusaha berbalik dan melihat kebelakang di mana tadi terdapat foto besar terpampang jelas di sana. Namun, sekarang telah berganti menjadi jendela kaca yang sangat besar. Ada kilatan cahaya putih remang-remang dari luar jendela. Aku berjalan mendekati jedela itu dan melihat ada sebuah pohon bessr yang di bawahnya terapat bebatuan yang tertata rapi. Aku menyentuh kaca jendela itu dan menatap ke bawah lekat-lekat.

"Di sanalah mereka mengubur ibumu. Aku yang menata batu itu agar jiwa ibumu tidak dirusak oleh mereka. Setelah kau mengetahui semuanya kau bisa melihat dengan jelas lagi tanpa kaca mata, karena sebenarnya kau tidak menderita rabun mata. Raja iblis yang mengambil matamu untuk menghapus semua kenanganmu, makanya kau tidak bisa mengingat kami." Jelas bibi Cristina berdiri di sampingku.

"Kami akan selalu mendukungmu Elian. Kamu harus kuat!" Seru Lily memeluk tubuhku dari belakang.

Mereka sekarang berdiri bersamaku menatap kuburan ibuku dengan wajah sedih. Jika tuhan menakdirkan kita bersama kembali, aku akan menerimanya ibu. Aku ingin segera mungkin bisa bahagia bersama dengan kalian di dunia lain. Seketika batu penahan jiwa itu bercahaya putih, lalu berkumpul membentuk sebuah siluet ibu dan papa nyang berdiri dan berpelukan bersama. Aku menangis sesenggukan melihat mereka kembali, rasanya aku ingin memeluk mereka sekarang. Mereka berdua mendongak melihat ke mana aku berada, mereka juga tersenyum manis padaku. Kemudian mereka berdua melambaikan tangan dengan senang ke arahku. Seketika tangisku semakin pecah dan histeris.

"Ibu, papa!" Gumanku di sela tangisanku. Teman-teman hantuku memelukku. Mereka berusaha membuatku tenang, tetapi mereka juga terbawa suasana dan menangis bersama denganku.

"Elian tenanglah, jangan menangis. Kami ada di sini untukmu!" Seru mereka berkali-kali berharap aku bisa kembali tenang dan berhenti menangis. Mantra itu membuatku semakin bertambah mengeluarkan airmata kesedihan yang terus meluap-luap. Aku terduduk di lantai karena tidak kuasa menahan sedih. Kenapa mereka (Sekte Jubah merah) mengusik hidupku, kenapa mereka ( Sekte Jubah merah) tega memisahkan kami semua. Aku benci mereka. Kembalikan keluargaku, aku mohon kembalikan keluargaku sekarang. Kalian jahat, aku benci kalian semua. Tangisku semakin histeris, air mataku tidak terbendung lagi untuk keluar. Aku ingin kembali bersama ibu dan papa lagi seperti dulu. Kenapa tuhan tidak adil pada kami, memisahkan keluarga kecil kami yang bahagia. Kenapa kalian mengusik hidupku, hahh kembalikan mereka berdua sekarang.

"Elian tenanglah! Tidak apa-apa, semua sudah takdir, kami akan selalu menemanimu." Seru bibi Cristina menenangkanku yang menangis histeris. Karena terlalu banyak menangis, aku menjadi lelah. Aku berterimakasih pada teman-teman hantuku yang selalu setia menemani dan mendukungku untuk waktu yang lama. Aku diam dalam dekapan bibi Cristina. Biarkan aku beristirahat sebentar dipelukan bibi Cristina yang sama hangatnya dengan ibu.

"Semuanya maafkan aku yang telah egois. Terimakasih kalian sudah mengisi masa kecilku dengan kebahagiaan. Esok dan seterusnya tidak akan tahu bisa melihat kalian lagi atau tidak. Lalu aku pasti akan semakin tua. Aku tidak akan bisa menemani kalian lagi. Sekarang aku tidak ingin mengikat kalian, kalian bebas sekarang. Mulai sekarang kalian bisa mencari orang lain untuk menggantikan aku. Jika tidak tidurlah dengan tenang bersama ibuku." Kataku mengambil kelima batu di sakuku. Aku ingat dulu saat bertemu dengan mereka, mereka harus menyerahkan batu penahan jiwa mereka jika ingin berteman dan tinggal di rumahku. Sekarang mungkin kita tidak bisa bersama lagi, mereka juga tidak bisa terlalu lama berada di rumah penuh iblis jahat ini. Lagi pula aku juga akan pergi jauh dari sini, alangkah lebih baik jika melepaskan belenggu diantra kami. Membiarkan mereka memilih jalan hidup masing-masing.

"Kami sangat menyayangimu Elian, kami tidak ingin berpisah." Ucap Charle menggenggap tangabku tidak ingin berpisah.

"Kami ingin selalu bersama Elian!"  Seru Lyla enggan berpisah denganku.

"Aku akan memutuskan ikatannya sekarang. Mari kita akhiri, tugas kalian sudah selesai. Aku kembalikan batu penahan jiwa pada kalian. Maafkan aku telah terlalu lama menahan jiwa kalian. Kalian bisa memberikannya pada orang baru." Kataku tersenyum manis pada mereka. Aku mengeluarkan kelima batu itu di kedua tanganku dan membiarkan mereka mengambilnya. Mereka mengambilnya satu persatu sesuai batu mereka.

"Kami sangat menyayangimu Elian, jika ada waktu mampirlah ke sini!" Ucap kak Tyson tersenyim lebar di gendongan bibi Cristina.

Aku mengangguk mengerti. Bagiku kalian adalah teman-teman terbaikku dari dulu sampai sekarang. Walaupun sudah menjadi hantu sekali pun, hati kalian masih baik sekali. Aku heran kenapa kalian tidak langsung pergi ke surga malah hidup di dunia penuh kegelapan ini. Mereka pantas menyentuh surga. Jika takdir mempertemukan kita lagi, aku akan mampir dan berbincang-bincang dengan kalian lagi. Aku berdiri dan berjalan menuju ke tubuh asliku yang tertidur di kasur dengan kedua tangan dan kaki terikat.

"Sampai jumpa Elian, kami selalu menyayangimu." Seru lyla dan Lily melambaikan tangan diikuti oleh mereka semua sebelum berpisah. Mereka berdiri dengan wajah sedih melihat kepergianku.

"Aku juga menyayangi kalian." Kataku sebelum masuk ke tubuhku sendiri. Aku berharap  kita bisa bertemu kembali suatu hari nanti.

......~•°♥°•~......

Aku tersadar dari pingsanku. Nafasku memburu berusaha untuk cepat tersadar. Mataku mulai berusaha melihat sesuatu dengan jelas. Sampai aku melihat kamarku yang terang benerang. Namun, sayangnya kedua tanganku terikat di atas kasur tidak bisa bergerak. Kakiku juga tidak bisa bergerak. Aku terikat di kamarku sendiri. Mereka tidak ingin melepaskanku. Aku harus bisa keluar dari sini dan pergi jauh.

"Elian, kau sudah bangun!" Seru mama membawa nampan berisi makanan dan minum dan meletakannya di atas meja.

"Lepaskan aku! Kau pembunuh!" Bentakku masih berusaha melepaskan tanganku dari ikatan di atas kasur.

"Elian, mama sayang sama kamu. Mama melakukan ini untukmu. Jika semua persiapan selesai dan kamu melahirkan anak itu, kita bisa hidup kembali lagi seperti biasanya. Menurutlah seperti biasanya." Seru mama mengelus lembut rambutku. Aku langsung membuang muka agar dia berhenti melakukannya.

"Kau pikir aku akan bodoh sekarang. Aku tahu semuanya. Kau membunuh ibuku dengan kejam. Seorang pembunuh tetaplah seorang pembunuh." Bentakku lagi terbakar emosi karena perkataan mama. Aku tidak menyangka jika mama yang aku sayangi memiliki niat jahat padaku. Semua kasih sayang yang dia berikan palsu atau tidak siapa yang perduli sekarang. Aku benci melihat wajahnya yang mengingatkan betapa buruknya dia menyiksa dan membunuh ibuku.

"Iya, mama mengaku jika mama tidak pernah menyukai ibumu. Aku yang membunuhnya karena aku cemburu dia menikah dengan papamu. Mama sangat membenci Lilian, tetapi tidak denganmu Elian. Mama sangat menyayangimu lebih dari apa pun." Seru mama dengan wajah sedih yang terlihat jelas. Hanya karena cemburu mama sampai membunuh orang. Kenapa kau dibutakan oleh cinta yang tidak pernah terbalas. Ibu dan papa sangat mencintai satu sama lain. Sedangkan mama menghancurkan kebahagiaan mereka dengan mudahnya. Kehidupanku juga hancur karena mama.

"Sampai sekarang kau masih menyebut dirimu mamaku. Kau tidak lebih dari wanita jalang dijalanan." Cibirku terbakar emosi.

"Sudah cukup! Mama tidak suka kau berkata kasar seperti itu. Mama tidak pernah mengajarimu berkata kasar dan membantah mama." Bentak mama tidak menyukai perkataanku. Bagiku mama adalah wanita perusak rumah tangga orang.

"Pergi kau dari hadapanku. Kau pembunuh, kau bukan mamaku. Lepaskan aku sekarang. Jika tidak mau melepaskanku, kau bisa membunuhku sekarang." Bentakku memaki mama dan berusaha melonggarkan ikatan di kedua tanganku.

"Diamlah, sekarang waktunya makan!" Seru mama tidak memperdulikanku yang memakinya. Dia malah mengambil mangkuk bubur dan menyuapkannya ke mulutku.

"Aku tidak akan makan makanan darimu." Tolakku menatap mama tajam lalu memalingkan wajahku berlawanan arah dengan keberadaan mama.

"Sudah cukup, jangan bicara lagi dan makan sekarang." Seru mama emosi lalu menarik wajahku menghadap ke arahnya.

Mama membuka mulutku dengan paksa, lalu menyuapkan sesendok bubuk ke mulutku tanpa melepas cengkramannya di mulutku. Mama berkali-kali memasukan bubur dengan paksa yang membuatku mau tidak mau harus menelannya sampai aku tersedak dan terbatuk-batuk. Mama melepaskan cengkraman tangannya dari mulutku. Membiarkan aku terbatuk-batuk sampai tenang kembali. Mama lalu memberikan minuman jus jeruk dengan paksa ke mulutku. Aku tersedak kembali sampai minumannya tumbah dari mulutku dan mengotori rambut sampai bantal. Aku rasa mama ingin menyiksaku sebelum membunuhku. Mama memberesi gelas dan mangkuk buburnya yang belum habis dimakan.

"Jadilah anak baik Elian. Mama tidak akan menyakitimu." Seru mama membersihkan bibirku sampai bersih. Dia lalu beranjak berdiri dan pergi meninggalkanku sendiran di kamar dengan keadaan terikat. Aku masih sedikit terbatuk-batuk, tenggorokanku perih karena tersedak tadi.

Setelah aku mulai tenang. Aku menarik tubuhku sampai setengah terduduk. Memiringkan tanganku dan tubuhku agar bisa melihat tali yang mengikat tanganku. Aku gunakan mulutku untuk membuka ikatan tali di tanganku. Aku terus berusaha sampai tanganku bisa terbebas dari ikatannya. Setelah tanganku terbebas, aku membuka ikatan tali di kakiku. Aku berjalan turun ke bawah dengan langkah pelan. Aku berjalan ke gudang mencari sekop untuk menggali kuburan ibuku. Waktu aku melewati dapur, aku melihat mama yang serang mencuci piring. Seketika ingatan dimana mama dan papa palsu membunuh ibu membuatku tersulut emosi. Aku benci orang itu yang telah membunuh kedua orang tuaku dengan kejam. Tanganku mempererat genggamanku pada skop. Aku ingin memukulnya dengan puas seperti apa yang dia lakukan pada ibuku. Tanganku sudah bersiap untuk memukulnya dengan skop.

Seketika terlintas diingatanku betapa baik dan sayangnya mama padaku. Momen-momen kebahagiaan bersama dengannya membuatku menangis. Dia menggantikan peran ibu dengan sangat baik. Tidak terasa perasaanku terasa berat untuk membunuhnya. Aku tidak bisa membunuhnya. Dia mamaku juga, aku sangat menyayanginya. Aku urungkan niatku untuk membunuh mama. Aku pergi keluar rumah menuju ke halaman samping rumah. Langin dipenuhi awan hitam dan kilatan petir yang menggelegar. Hujan segera turun, aku harus bergegas menggali kuburan ibu. Aku tidak perduli lagi jika badai akan datang. Aku dengan tangis histeris yang memandang kuburan ibuku mulai menancapkan skop ke tanah. Aku terus berusaha menggalinya dengan sekop.

"Elian!" Panggil mama dari dalan rumah. Aku berbalik melihat ke arah jendela di mana mama melihatku dengan wajah khawatir. Aku hanya menatapnya sekilas lalu melanjutkan aktivitas menggaliku.

Hujan turun membasahi tubuhku yang kelelahan. Aku terus menggali lebih dalam lagi sampai aku menemukan sobekan kain lusuh berwarna hitam. Namun, setelah aku bersihkan lagi dengan air hujan ternyata berwarna navi(biru tua). Sebentar lagi aku akan menemukan mayat ibuku di sini. Aku terus menggali sampai benar-benar membuatku menangis, aku menemukan tengkorak. Dengan air mata yang terus mengalir aku masih menggali sampai menemukan tulang-belulang ibuku dan adikku. Hahh aku menangis sejadi-jadinya. Mamaku sudah berdiri di atas menatapku dengan sedih. Dia berkali-kali menarik kaosku menyuruhku keluar dari kuburan ibuku. Namun, aku terus menepisnya. Aku ingin lebih lama lagi memeluk tengkorak ibuku untuk melepas rinduku. Air semakin banyak menggenang di kakiku yang membuat tanah licin dan becek.

"Ibuu! Kenapa ini semua terjadi padamu. Hahh!" Tangisku pecah bersama lelehan air hujan yang turun semakin lebat. Aku berusaha keluar dari lubang kuburan ibukku, tetapi tanahnya licin sekali membuatku kesusahan keluar. Berkali-kali aku tergelincir dan jatuh. Air sudah menggenang semakin tinggi sedangkan aku tidak bisa keluar dari lubang ini. Aku berusaha dan terus berusaha sampai ada sebuah tangan terulur ke arahku. Itu adalah Mama. Sambil menangis dia berusaha menolongku naik ke atas, tetapi aku menepisnya lagi.  Aku bisa mengurus hidupku sendiri.

"Elian, Keluar dari sana, cepat!" Seru mamaku menangis mengulurkan tangannya lagi dan lagi padaku.

"Minggir! Kau bukan mamaku, kau bibi Sarah!" Bentakku menampar tangan mama. Mama nampak terkejut sampai membulatkan mata aku menyebutnya bibi Sarah. Aku masih berusaha naik dengan tanganku sendiri walaupun harus gagal berkali-kali. Badanku basah dan kotor penuh dengan lumpur.

"Enggak! Kamu tetep anak mama. Percaya sama mama." Seru mama menagis sedih berusaha membantuku keluar dari lubang kuburan ibuku yang terus tidak aku perdulikan.

Hujan semakin deras mengguyur tanah bekas galianku. Mengalirkan air dan lumpur yang aku buang sembarangan menjadi licin dan becek. Kami juga larut dalam tangisan masing-masing sampai aku bisa merangkak keluar dari lubang kuburan ibuku. Dalam tangisanku yang semakin keras aku berusaha pergi dari rumah ini seperti apa yang dikatakan oleh sahabat hantuku. Tiba-tiba mama menarik bajuku. Sampai aku terpeleset jatuh ke lumpur. Aku terusa berusaha pergi dari sana tanpa memperdulikan mama yang mencegahku pergi. Aku mendorong mama pergi menjauh dariku. Aku berjalan tertatih-tatih dan terjatuh berulang kali karena terpeleset di tanah berlumpur yang licin. Aku terus berusaha berjalan sampai ada sebuah kaki kokoh menghalangi pandanganku. Aku mendongak ke atas dan melihat sosok yang tinggih dan gagah itu adalah papa. Papa palsuku. Dia menarik rambutku yang membuat tubuhku juga tertarik sampai berdiri. Aku menendang perut papa sampai dia terdorong kebelakang dan melepaskan rambutku. Aku terjatuh ke bawah, dengan erangan di kepalaku yang terasa sakit. aku berdiri dan berusah kabur dari sana, tapi mama menangkapku dan menarik lenganku.

"Elian, aku mohon jangan pergi nak!" Seru mama memeluk lenganku.

Aku langsung mendorong mama sampai terjatuh dan mengambil sekop yang ada di sana dengan susah payah. Aku pukulkan ke kepala papa yang berusaha menangkap tanganku untuk menghentikanku. Aku pukul sekali lagi badannya lalu berjalan pergi. lagi-lagi aku terjatu berulang kali, kakiku rasanya sakit sekali. Namun, aku tetap bersemangat untuk keluar dari jeratan sekte jubah merah. Bibirku tersenyum senang karena aku sampai di depan rumah, satu kali langkah aku akan sampai di jalan beraspal. Dari arah depan rumah ada seseorang datang membawa payung berjalan menghampiriku. Aku berdiri dengan susah payah dan menginjak aspal, tetapi aku tergelincir karena kakiku penuh dengab lumpur. Aku merasakan sakit di kakiku karena tergelincir berkali-kali. Orang itu sudah berdiri di depanku membawa payung, ternyata dia adalah pak Martin.

"Tuan Elian, kenapa hujan-hujanan seperti ini. Air hujan tidak baik untuk kesehatan anda. Mari saya antar masuk ke dalam rumah." Serunya lemah lembut mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri.

"Pak Martin tolong saya, aku mohon tolong saya." Rancauku meminta tolong pada pak Martin.

"Tolong apa tuan Elian?" Tanyanya mengulurkan tangan yang langsung aku raih. Wajahnya seakan dibuat polos, aneh sekali.

"Mereka bukan kedua orang tuaku, tolong bawa aku kabur dari rumah ini." Pintaku memohon bantuanya kabur dari tempat ini. Dia membantuku berdiri sejajar dengan tubuhnya.

"Kabur dari rumah!" Serunya menatapku dengan wajah polos yang dibuat-buat itu. Tanpa aku sadari ternyata dia mencengkram pergelangan tanganku kuat-kuat. Tangan keriputnya yang memakai cincin itu memgingatkanku akan sebuah foto yang ditunjukan oleh pak Marx. Mungkinkah dia yang membawa mobilku pergi. Dia adalah anggota sekte jubah merah itu. Aku membulatkan mata tidak percaya.

"Membantumu seperti ini!" Dia membuang payungnya dan merogoh sesuat di dalam saku.

Aku melihat benda kotak hitam yang aku tahu itu alat kejut listrik. Aku menarik tanganku yang digenggam erat olehnya. Dia melayangkan kejut itu ke arah leherku yang langsung aku tangkis dengan tangan kiriku. Lalu aku tendang perutnya dan menarik tanganku yang dia genggam erat. Aku tergelincir dan jatuh karena tanganku langsung terlepas dari cengkramannya. Dia mengarahkan kejut liatrik ke arah perutku yang membuat seluruh tubuhku mengejang dan lemas. Aku tidak bisa mendengar ataupun bergerak. Yang aku dengar hanyalah keheningan. Aku terjatuh di tanah dengan kesadaranku masih ada.

Air hujan terus saja menetes menbuat mataku perih dan sakit. Udara dingin yang sempat tidak bisa aku rasakan kini menusuk kulit dan dagingku. Aku merasakan tangan dan kakiku diangkat dan dibawa pergi. Tetesan hujan tidak mengenai wajah dan tubuhku lagi. Badanku berangsur-angsur mulai bisa digerakkan. Aku berusaha melihat  lsekelilingku dengan susah payah. Aku didudukan di sebuah kursi kayu. Samar-samar aku mendengar suara papa menyuruh seseorang mengambil bius dan tali. Aku perlahan bisa menggerakan tanganku untuk berdiri, tetapi secara sigap papa menarik tanganku ke belakang dan mengikat seluruh tubuhku di kursi.

Aku mendongak menatap wajah sedih mama yang nampak berputar-putar. Sampai aku merasakan sebuah jarum menusuk leherku yang membuat semuanya terasa melayang dan menghilang. Aku baru bisa mendengar suara hujan tetapi tiba-tiba menghilang begitu saja.

......~•°♥°•~.....

Suara riuh angin dan burung-burung memaksaku untuk membuka mata. Perlahan aku melihat di sekelilingku. Aku masih berada di ruang tamu, badanku masih kotor berlumuran lumpur. Tubuhku juga masih terikat dikursi. Aku berusaha melepas ikatan di tanganku. Ikatanya terlalu kuat aku susah untuk meraih ujung talinya.

"Elian! Kau sudah bangun. Tenanglah sebentar, jika persiapannya selesai, semua sudah beres. Kau tidak perlu menderita lagi." Ucap mama mengecup keningku. Aku lihat mama dan papa sudah bersiap pergi memakai jubah merah.

"Jangan berani kabur lagi!" Seru papa mengancamku.

"Kalian menjijikan!" Bentakku menatap tajam ke arah mereka berdua.

"Martin, kau jaga Elian jangan sampai kabur. Aku butuh satu korban lagi untuk menenuhi tumbal 1000 jiwa wanita." Perintahnya kepada pak Martin untuk menjagaku. Aku membulatkan mata tidak percaya dengan apa yang aku dengar. 1000 jiwa wanita menjadi tumbal. Mereka sangat kejam, menbunuh para wanita tidak berdosa demi kepuasan seorang iblis.

"Baik tuan!" Ucap pak Martin patuh.

"Jadi selama ini, kalian yang telah membunuh banyak wanita dan teman-temanku." Seruku terkejut begitu banyaknya wanita menjadi korban mereka.

"Tidak semuanya!" Ucap papa menatap sinis padaku.

"Dasar kalian pembunuh, biadap, penjahat, iblis laknat. Aku tidak akan melepaskan kalian." Kataku mencaci-maki mereka. Aku tidak menyangka jika mereka adalah salah satu diantara para sekte jubah merah. Keyle, Ellie, Erisha maafkan aku. Aku menangis mengingat mereka semua. Papa dan mama pergi begitu saja meninggalkanku yang menangis dalam diam.

"Anda mau sarapan apa tuan!" Seru pak Martin menawari sarapan padaku dengan langkah sombongnya. Aku tidak menyangka jika pak Martin yang selama ini aku lihat baik dan sopan ternyata orang yang menyebalkan. 

"Jangan bicara padaku." Kataku sambil mengeratkan genggamanku menahan emosi.

"Kenapa tuan menjadi kasar sekarang, tidak seperti dulu yang lemah lembut dan penurut, hahaha." Cibirnya mendekatkan mulutnya di telingaku.

"Jika aku bebas akan aku gigit jantungmu!" Kataku menatapnya tajam. Dia malah memasang wajah meremehkanku.

"Waoww pasti saya akan takut sekali, hahaha." Serunya meremehkanku lagi.

"Kenapa kau membantu anak buah Marco mengambil mobilku dan membunuh mantan pacarku?" Tanyaku mengingat kejahatan yang pernah dia buat.

"Anda bicara dengan saya tuan!" Serunya tersenyum meremehkanku. Rasanya ingin aku memukul wajahnya.

"Jika aku bisa lepas, aku akan membunuhmu. Membuat wajah sombongmu hancut." Kataku menggertaknya. Aku sunguh ingin membunuhnya.

"Kau pikir anak buah Marco yang membunuh Erisha. Dia yang membunuhnya khekhekhe. Jika semua berjalan lancar, kita akan mendapat keabadian, hahaha." Jelasnya tertawa mengerikan.

"Kalian menumbalkan 1000 wanita untuk keabadan. Kalian memang pantas terbakar di neraka. Arkhh!" Seruku mencaci maki mereka, tetapi mendapat tamparan keras dari pak Martin. Aku lihat dia tersenyum puas berani menamparku.

"Kami anggota jubah merah selalu berselisih. Aku dan mamamu memiliki tujuan yang berbeda. Kau mengerti! Kau hanya tumbal yang sudah disipakan sejak awal, maka kau tidak akan bisa lari. Hidup bertahun-tahun dengan keluarga palsu lalu mati menjadi tumbal hahaha. Lucu sekali!" Serunya mencibirku dengan tawa menjijikannya. Dia tertawa sampai menggema di seluruh ruangangan.

Dia pergi meninggalkan aku sendirian di sini. Waktunya untuk berusaha kabur dari orang-orang jahat itu. Aku berusaha menggerakan jari-jariku meraih ikatan di tanganku, tetapi sayangnya tidak berhasil. Aku melihat ke belakang berharap bisa melihat di mana mereka meletakan ujung ikatannya. Ternyata di tengah-tengah punggungku yang tidak bisa dijangkau oleh tanganku. Mereka pintar sekali mengikatnya. Lalu bagaimana aku bisa kabur dari sini. Sampai perlahan aku mendengar suara seseorang memanggiku dengan lirih di tengah kebengonganku.

"Elian, hei Elian! Di sini! Di sini! Ya di sini!" Panggilnya lirih dari arah dapur. Aku menajamkan pengelihatanku sampai sesuatu terlihat jelas di sana. Mataku sudah bisa melihat dengan jelas kemarin saat aku bisa mengingat sebagian kenanganku yang terlupakan. Kini aku tidak membutuhkan kaca mata lagi.

"Kalian tidak pergi!" Kataku terheran.

"Kami tidak akan pergi sebelum Elian bisa bebas, arahkan kursimu perlahan ke sini. Kami akan menjatuhkan pisau untukmu."  Seru Charle menyuruhku mengikuti mereka yang berkumpul di dapur.

Aku mengikuti istruksi yang mereka berikan. Aku berusaha menggeser kursiku ke arah dapur sampai aku terjatuh di depan pintu dapur. Lengan kanan dan pahaku rasanya sakit sekali terbentur lantai. Karena terjatuh, semakin mempermudah tubuhku untuk bergeser ke dapur. Dengan peluh keringat  usahaku akhirnya berhasil. Aku sampai di dapur, bibi Cristina menjatuhkan pisau dapur sampai berbunyi nyaring ke hadapanku. Aku memutar tubuhku berusaha mengarahkan tanganku ke pisau yang dijatuh tadi. Aku gerakan jari-jariku mencari pisau dan menggeser tubuhku ke belakang. Akhirnya aku bisa meraih pisaunya. Perlahan aku arahkan ke talinya naik turun agar talinya terkikis. Cukup sulit untuk memotongnya sampai tanganku pegal. Aku berhenti sejenak mengumpulkan tenaga lalu begosok pisau ke tali sampai talinya terputus. Aku menghembuskan nafas lega akhirnya aku bisa bebas. Aku menggeser tali yang mengikat lengaku dengan kursi ke atas agar bisa terlepas dari kursi. Lalu aku melepas ikatan di kedua kakiku.

"Akhirnya kau bebas Elian." Sorak mereka senang akhirnya aku bisa bebas.

"Terimakasih atas bantuan kalian semua." Seruku mengucapakan terimakasih kepada sahabat hantuku. Mereka melambaikan tangan lalu menghilang.

Aku meraih pisau itu dan menyelipkan dicelana belakangku. Aku berjalan ke kulkas dan meminum sebotol air dingin sampai habis. Aku mendengar suara deru mobil berhenti di depan pintu. Mereka sudah kembali, cepat sekali. Ternyata bukan mereka yang terlalu cepat, aku yang terlalu lama melepaskan diri. Aku buru-buru memilih sapu dan pel, ternyata gagang pel lebih kuat dari gagang sapu. Aku mengambil gagang pel dan mematahkannya. Aku bersembunyi di samping pintu dapur bersiap untuk menyerang mereka.

"Dimana dia? Bukanya aku sudah menyuruhmu menjaganya."  Tanya papa yang terdengar marah.

"Sepertinya dia kabur." Jawab pak Martin santai.

"Dia tidak akan bisa kabur jauh jika kursinya hilang bersama dengannya. Cepat cari dia." Seru papa menyuruh yang lain untuk mencariku.

Aku bersiap-siap menyerang. Perlahan aku mendengar suara langkah sepatu semakin mendekat. Saat dia mendekat aku memukul gagang pel ke punggungnya beberapa kali sampai gagang pel patah. Aku terus memukulnya yang terjatuh dengan sisa gagang pel yang sudah patah. Dia mengerang kesakitan dan berbalik melawanku, memukul perutku sampai aku terjatuh. Aku lalu menendang perutnya saat dia mendekat, dia pun juga terjatuh. Aku mencari sesuatu untuk melawannya, tetapi dia menarik tanganku dan membawa kepalaku membentur meja dapur. Aku menendang kakinya sampai dia mengadu kesakitan. Lalu menendangnya sampai terjatuh menimpa kursi kayu yang digunakan untuk mengikatku.

Aku mengambil barang-barang yang ada di dapur dan melemparkannya sampai mengenainya. Dia mengerang kesakitan dan berusaha kabur. Dia meraih kursi dan melemparkanya ke arahku. Sayangnya aku berhasil menghindar dan kursi itu membentur dinding sampai kursinya rusak. Dia memukul wajahku sampai aku terjatuh. Aku langsung menendang kakinya sampai tubuhnya terjatuh menghantam meja. Dia mulai berdiri, tetapi aku sudah mengambil kaki kursi yang rusak dan memukulkanya ke kepalanya sampai berdarah. Aku lalu menduduki perutnya dan mencekik lehernya. Dia mengeluarkan lidah sambil meringis kesusahan bernafas. Aku semakin mempererat cekikanku sampai matanya melotot ingin keluar dan dia mengejang tidak bergerak lagi.

Aku menelan ludah gemetaran. Aku telah membunuh pak Martin, rasanya sunguh menyedihkan sekali membunuh orang walaupun dia orang jahat sekali pun. Di tengah memejamkan mata menahan tangis, tangan kananku dicengkram dengan erat. Saat aku menoleh melihat ke depan, pak Martin tertawa mengerikan melihatku. Dia menarikku ke samping dan berbalik mencekik leherku. Aku kesusahan bernafas. Aku meronta-ronta berusaha melepaskan cekikan tangannya di leherku.

"Dasar anak kurang ajar!" Bentaknya mempererat cekikan tangannya dileherku. Aku tidak bisa bernafas dan wajahku sudah memanas.

"Elian!" Panggil mama lantang yang membuat pak Martin dan aku terkejut.

Mama membulatkan matanya melihat pak Martin yang mencekiku. Sedangkan pak Martin langsung melepas tangannya dari leherku. Di tengah keterkejutannya aku mendorong dadanya ke belakang sampai dia terjatuh. Aku menarik kaki kursi tadi dan memukulkanya ke kepala pak Martin. Kepalanya berdarah lagi dan dia terlihat merasa pusing.

"Elian sudah!" Seru mama menghampiriku, tetapi aku mendorong dia sampai jatuh. Aku tidak ingin mama ikut terluka.

Aku ingin membunuh pak Martin yang ternyata memang susah untuk dihabisi nyawanya. Sebelum aku memukulnya dengan kayu, pak Martin sudah ada di bawahku mengarahkan kejut listrik ke perutku. Hasilnya aku tersengat dan menggeliat di lantai merasakan tubuhku yang tiba-tiba lemas karena sengatan listrik. Aku berusaha bangkit kembali saat tangan dan kakiku dipegangi oleh pak Martin dan mama. Aku menendang mama sampai terjatuh ke belakang, lalu menarik tanganku yang di pegang pak Martin dengan kasar. Aku mengambil pisau di belakang celanaku dan mengarahkannya menembus perut pak Martin. Dia terdiam dan menatapku dengan urat yang tergambar jelas di sekitar matanya. Wajahnya memereha dan berkeringat dingin. Dia terjatuh, lalu aku menarik pisaunya dan menghujamkannya ke jantungnya sampai dia muntah darah dan berteriak memilukan.

"Ini untuk Erisha!"  Seruku sekali lagi menghujamkan pisau ke lehernya sampai darah mengalir dari leher dan mulutnya.

Aku menarik pisau yang berlumuran darah, lalu berusaha berdiri tegak kembali. Aku melihat mama yang terduduk lemas menangis ketakutan melihatku. Dari ekor mataku aku melihat papa yang hadir di pintu dapur. Aku sepontan melempar pisau itu mengarah ke wajahnya. Namun, sayangnya meleset dan mengenai pinggiran pintu. Aku melawan papa, memukul wajahnya dan menendang tubuh papa sampai terjatuh. Aku langsung melompati tubuhnya dan berlari kabur. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menusuk punggung kiriku, aku terduduk meringis merasakan sakit. Aku melihat kebelakang punggungku yang ternyata ada pisau yang menancap di punggung kananku.

"Jangan berani kabur dariku!" Seru papa menatap tajam ke arahku dan menghampiriku. 

"Arkh!" Teriakku kesakitan saat mencabut pisau itu dari punggungku.

Aku bersiap melawan papa dengan melemparkan pisau ini ke arahnya. Seketika papa sudah ada di depanku, menarik kedua tanganku dan menjatuhkan tubuhku di lantai. Dia mengunci kedua tanganku ke lantai. Aku berusaha keras mengarahkan tangan kananku yang membawa pisau ke arah papa, tapi sayangnya papa memegang tanganku sangat kuat. Bahkan dia mencengkramnya lebih kuat lagi.

"Arkhhh!" Teriakku kesakitan melepas pisau itu dari tanganku. Aku lalu menatap wajah papa yang tersenym sinis.

"Menyerahlah, kau tidak akan bisa lari lagi!"  Serunya mengancamku.

Aku tidak boleh kalah dari mereka. Aku langsung menarik kaki kananku dan menendang perut papa yang kokoh beberapa kali. Namun, tidak ada reaksi kesakitan maupun berpindah tempat. Kenapa susah sekali, seperti menendang tembok besi.

"Kalian tidak akan pernah bisa menangkapku!" Cibirku, lalu menarik kaki kiriku dan menggunakan kedua kakiku dengan sekuat tenaga mendorong tubuh papa menjauh. Akhirnya aku bisa terlepas dari cengkramannya. Aku langsung membalik tubuhku berusaha bangkit dari sana, seketika tanganku ditarik oleh papa dan mengunci tanganku ke belakang punggungku. Lalu membenturkan tubuhku ke dinding sampai dadaku berhimpitan dengan dinding.

"Kau keras kepala juga ternyata!" Cibir papa kewalahan melawanku.

Aku menendang kakinya yang kokok. Astaga, tetap saja tidak bergerak. Aku langsung menginjak kakinya yang membuat papa meringis kesakitan dan melonggarkan kuncian tanganku. Aku langsung menjatuhkan tubuhku ke bawah sehingga kuncian di tanganku terlepas. Lalu aku bergeser ke belakang. Mengambil penyangga tanaman hias dan memukulkanya ke tubuh kuat papa. Lalu aku meraih tanah tanaman hias yang terjatuh berserakan di lantai dan menyabarkanya ke arshe papa sampai mengenai mata papa yang membuatnya mengerang kesakitan tidak bisa melihat. Aku langsung memukul wajahnya dan menendang perutnya sampai terjatuh. Aku mengambil guci hiasan di sebelahnya dan bersiap memukulkannya ke kepala papa.

Namun, mama menghentikanku, "Elian jangan!" ucap mama menghentikan perbuatanku. Mama memasang wajah sedih dan menangis sesenggukan. Dia membawa gagang sapu menghampiriku perlahan-lahan.

"Tapi ma, dia bukan papaku, ma!" Kataku sedih. Aku terkejut kakiku dicengkram papa, aku berisap memukulkan guci itu ke kepala papa. Namun, mama malah memukul lenganku yang membuatku menjatuhkan guci tanpa persiapan sampai pecah mengenai kepala papa. Aku terjatuh mengadu kesakitan di lenganku.

"Elian, maafkan mama sayang. Jangan melawan lagi!" Serunya sesenggukan menahan tangis mengulurkan tangan ke arahku.

Di sampingku ada pot bunga dan aku meraihnya. Aku melemparkanya ke wajah mama. Mama langsung berteriak kesakitan matanya terkena tanah. Aku berdiri dan mengambil guci satunya yang ukuranya lebih besar. Aku berniat memukulkannya ke arah papa yang hendak bangkit, tetapi mama menghentikanku. Dia memegangi tanganku yang membawa guci itu. Aku mendorong mama yang tidak henti-hentinya memegangi tanganku. Karena emosi aku memukulkan guci itu ke arah kepala mama sampai berbunyi nyaring benda pecah. Gucinya sampai pecah menjadi bagian kecil-kecil. Darah keluar dari kepala mama yang sempoyongan lalu jatuh pinsan.

"Kau memang susah diatur!" Seru papa beranjak berdiri bersandar di dinding dengan mata merahnya.

Aku bergeser mundur, kakiku Menyenggol sesuatu yang ternyata adalah pisau tadi. Aku mengambilnya dan bersiap bertarung dengan papa. Papa menghampiriku berusaha memukul wajahku, tetapi aku berhasil menghidarinya. Aku juga berusaha menyerangnya dengan pisau mengarahkanya ke tubuh papa yang selalu dia hindari. Papa menendang perutku sampai terpental jatuh ke belakang. Tangan kananku masih memegang erat pisau. Dalam kesakitan aku berusaha berdiri. Aku bersandar di dinding merasakan sakit di perutku. Papa berusaha memukulku lagi, aku bergeser sampai pukulannya mengenai dinding.

Aku bergerak menjauh dari papa sampai sakit di perutku sedikit mereda. Nafasku sudak tidak karuan berhembus. Aku bersiap menyerangnya beberapa kali dengan pisau di tanganku. Sayangnya tangan kananku berhasil di cengkram papa dan menguncinya ke belakang punggungku. Lalu tubuhku dijatuhkan di meja. Tangan satunya memegangi leherku, mencekik leherku berusaha menggertakku agar aku menyerah. Aku mengambil pisau di tangan kananku dan menghujamkanya ke perut kiri papa. Dia langsung mengadu kesakitan dan melepas tubuhku. Perut papa mengeluarkan darah yang ditahan dengan tangan kirinya.

"Kurang ajar!" Umpatnya yang langsung aku tendang sampai terjatuh. Tanpa pikir panjang aku menghujamkan pisau ke jantungnya.

"Elian!" Panggil seseorang dengan lirih yang membuat tusukanku malah mengenai dada papa. Jika aku tidak mendengar suara lirih mama aku tidak akan meleset. Papa menatap tajam wajahku dengan mulut dan hidungnya yang mulai mengeluarkan darah, lalu berhenti bergerak lagi. Aku bangkit dari sana dan menghampiri seseorang yang memanggilku.

"Mama! Mama! Maafkan Elian, mama. Elian sayang sama mama. Apapun yang terjadi Elian tetap sayang sama mama." Seruku terduduk menangis memegangi tangan mama yang terasa dingin.

Tidak ada respon lagi dari mama. Aku menangis histeris dan mencium tangan mama berkali-kali berharap mama akan sadar kembali. Sayangnya mama tidak akan bangun lagi. Aku harus merasakan kehilangan seorang ibu dua kali dalam hidupku. Kenapa aku harus memukul mama juga. Seharusnya aku tidak membunuh mama. Tangisku sesenggukan melihat tiga mayat yang terbujur kaku di hadapanku. Sejak awal aku memang pembunuh, seorang pembunuh tidak pantas dicintai. Aku mengusap air mataku dengan kasar. Aku berdiri berjalan keluar dengan merasakan punggungku yang perih dan sakit karena tertusuk pisau tadi. Aku melihat ada kunci mobil di meja. Aku langsung mengambil kunci mobil yang ada di sana, lalu berjalan keluar rumah sambil tertatih-tatih.

......~•°♥°•~......
.
.
.
.
To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro