Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 22

SIAPA YANG MEMBUNUH IBUKU

.......~•°♥°•~.....

Aku merasakan dingin menjalar di sekujur tubuhku. Namun, segera kehangatan menutupi seluruh tubuhku kecuali kepalaku. Hangat sangat hangat sekali, tetapi pipi dan hidungku terasa sangat dingin. Aku mencoba memegangnya dan terasa sangat dingin seperti es. Lalu aku dengar suara bas seseorang yang aku kenal.

"Apa kau kedinginan, akan aku nyalakan penghangat ruangan." Seketika mataku terbuka dan melihat wajah yang tidak asing berada di depan mataku.

"Orlan!" Seruku menelisik wajahnya karena tidak terlalu nampak jelas tanpa kacamata.

"Kau sudah bangun!" Ucapnya membuka poni di keningku, lalu menarik kepalaku dan menenggelamkannya dibelahan dadanya yang keras.

"Iya!" Kataku melepas tangan dan pelukannya. Aku berbalik dan meraba-raba mejaku untuk menemukan kacamataku. Aku memakainya, seketika pandanganku terlihat jelas kembali.

"Apakah diluar hujan, kenapa aku mendengar suara hujan." Kataku beranjak berdiri karena mendengar suara hujan yang membuatku penasaran. Aku menghampiri jendela balkonku dan berdiri menatap hujan yang turun dengan derasnya di pagi hari.

"Dari tadi malam hujan tidak berhenti." Seru Orlan beranjak dari kasur dan menyalakan penghangat ruangan.

"Kenapa hujannya tenang sekali, seakan dibuat-buat!" Kataku memeluk tubuhku sendiri karena udaranya sangat dingin.

"Hujan ini untukmu, agar kau tidak pergi ke mana-mana." Ucap Orlan memelukku dari belakang.

"Kau ini!" Kataku terkekeh geli. Dia terlalu banyak membual untuk menggodaku.

"Sudah waktunya kita berangkat sekolah!" Kataku melepas pelukannya dan bergegas mengganti baju tidurku. Aku juga merapikan buku-buku pelajaranku yang kemarin belum sempat aku bereskan. Beruntung aku kemarin sudah mengerjakan semua tugas sekolah sekaligus, sehingga aku tidak perlu khawatir jika disuruh mengumpulkan tugas secara mendadak.

"kau tidak perlu pergi ke sekolah jika masih hujan seperti ini." Seru Orlan malah duduk di kasurku dengan tenang. Anak ini sangat pemalas, selalu membolos dan pembuat onar.

"Tentu saja aku akan berangkat, kita bisa memakai mobil jika tidak ingin basah. Cepat bersiap-siap, jangan banyak alasan lagi!" Kataku melempar jaket Orlan ke wajahnya. Aku terkekeh geli melihat wajahnya yang cemberut. Mau berangkat atau tidak bukan urusanku juga. Tetapi dia mengikutiku pergi ke sekolah juga.

.........~•°♥°•~.........

Di sekolah Arash mencolek punggungku berharap aku berbalik dan melihat ke arahnya. Aku yang terusik memutar tubuhku ke belakang melihat sosok wanita yang menggangguku.

"Elian, benarkah Erisha hilang?" Tanya Arash penasaran. Dia nampak bersemangat ingin mengetahui kebenaraannya.

"Dari mana kau tahu?" Tanyaku balik pada Arash yang cepat sekali mengetahui berita hilangnya Erisha.

"Para teman-temannya yang menyebarkan berita hilangnya Erisha. Mereka bilang semua teman-teman dekatnya Erisha ditelfon sama ibunya Erisha yang menanyakan keberadaan Erisha. Kau mantan pacarnya pasti tahulah berita ini." Jelas Arash menggebu-gebu ingin tahu.

"Erisha memang hilang. Semua itu tidak ada hubunganya denganku karena kita bukan siapa-siapa lagi. Jadi, itu bukan urusanku." Jawabku yang tidak perduli jika Erisha hilang. Yang ada di otakku dia pasti sedang pergi berkencan dengan laki-laki lain.

"Aku tidak menyalahkanmu. Justru aku sangat senang jika wanita jalang itu mati. Kalau bisa disiksa dulu." Serunya dengan wajah emosi. Lalu wajahnya berubah menjadi wajah sinis, Arash merasa puas jika Erisha menderita. Arash sangat membenci Erisha jadi dia berkata begitu kejam.

"Kenapa kau bisa kejam sekali." Kataku terkekeh geli dengan emosinya yang meluap-luap.

"Hahahah! Orang seperti itu memang pantas mendapatkan penyiksaan, itu sudah hukum alam." Serunya yang ikutan tertawa.

"Ned, kenapa diam saja dari tadi?" Tanyaku pada Ned yang terlihat murung. Biasanya dia paling semangat menghujat Erisha.

"Tidak ada apa-apa, hanya pembahasan kalian tidak menarik." Jawabnya tersenyum tipis. Aku rasa Ned masih berduka atas meninggalnya Ellie. Kehilangan seorang keluarga pasti sangat menyedihkan.

"Kau harus sabar gendut. Maaf, kemarin aku tidak bisa datang ke pemakaman adikmu." Seru Arash menepuk bahu Ned berkali-kali untuk menenangkannya. Namun malah mendapat tatapan tajam dari Ned.

"Pukulanmu terlalu keras bodoh." Cibir Ned Menyingkirkan tangan Arash dari bahunya. Namun, Arash malah semakin bersemangat menepuk bahu Ned. Aku hanya terkekeh geki melihat tingkah mereka.

"Hahaha! Agar kau tidak sedih terus." Ucap Arash tertawa senang menjahili Ned.

.........~•°♥°•~........

Waktu pulang sekolah yang aku tunggu telah tiba. Aku ingin mengunjungi Serena, memastikan keadaannya setelah kehilangan Ellie untuk selamanya. Serena pasti rindu pada Ellie karena sudah tidak akan datang menjenguknya. Sampai seterusnya Ellie tidak akan pernah menjenguknya sama sekali. Sekarang giliranku menggantikan Ellie, aku akan sering mengunjunginya setelah pulang sekolah seperti apa yang dilakukan Ellie.

"Elian!" Panggil seseorang sambil menarik lenganku saat aku ingin masuk ke dalam mobil.

"Pak Adam!" Sapaku bingung karena dia ada di sekolahku. Sejenak aku langsung teringat dengan kasus hilangnya Erisha. Apa karena kasus itu dia mencariku.

"Aku datang ingin membawamu ke kantor polisi." Serunya yang membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Apa aku bersalah. Hanya diam yang bisa aku lakukan karena ketakutan. Aku menatap pak Adam dengan wajah penuh ketakutan.

"Kau takut?" Tanya pak Adam meneliti wajahku.

"Iya! Bagaimana hasilnya pak?" Tanyaku hati-hati. Tanganku sudah gemetaran dan badanku sudah berkeringat dingin.

"Kau pelakunya!" Ucapnya yang membuat mataku membulat sempurna tidak percaya. Kenapa bisa aku menjadi pelakunya. Aku tidak pernah pergi dengan Erisha setelah putus.

"A-aku!" kataku terbata-bata gemetaran.

"Bercanda!" Ucapnya lagi tersenyum puas membuatku ketakutan.

"Anda membuat saya takut!" Kataku merasa lega.

"Mobilmu baru?" Tanya pak Adam melihat-lihat mobilku dari depan sampai belakang. Kenapa sampai sepenasaran itu melihat mobilku. Mobilku tidak terlalu mewah untuk dikagumi hanya saja mungkin warnanya yang hitam mengkilap membuat seseorang yang melihatnya terpesona.

"Iya, mama yang membelikannya kemarin saat Ellie meninggal. Sejenak aku sangat senang mendapat hadiah baru dari mama, tetapi di saat itu juga aku harus mendapat kabar duka." Jawabku berusaha tenang tidak memikirkan kesedihan atas meninggalnya Ellie.

"Lalu di mana mobil lamamu?" Tanya pak Adam lagi.

"Mobil mama? Mungkin masih di rumah. Sebelum ke kantor polisi aku ingin menjenguk temanku dulu di rumah sakit. Pak Adam bisa ke kantor dulu." Jawabku sekenanya. Aku membuka pintu mobil hendak pergi duluan ke rumah sakit.

"Tidak perlu, aku akan mengikutimu dari belakang." Seru pak Adam yang membuatku berhenti bergerak karena terkejut.

"Untuk apa?" Tanyaku heran. Apa dia tidak mempunyai pekerjaan yang lain sampai mau mengikutiku ke rumah sakit. Bukanya dia sibuk dengan banyaknya kasus pembunuhan.

"Untuk memastikanmu agar tidak kabur." Ucapnya tersenyum bercanda padaku.

"Aku tidak bersalah, kenapa aku harus kabur!" Jawabku memutar bola mata malas.

"Karena kau penjahat." Ucapnya lagi yang membuatku risih.

"Aku?" Kataku Menunjuk diriku sendiri.

"Tidak apa-apa, ayo berangkat." Ucapnya tertawa puas membuatku ketakutan. Sudah aku duga dia pasti cuma bercanda. Aku memasuki mobilku dan menjalankannya keluar dari sekolah menuju ke rumah sakit. Serta mobil polisi dari belakang yang mengikutiku.

Aku memarkirkan mobilku di parkiran rumah sakit setelah sampai di rumah sakit. Aku menunggu pak Adam yang menghampiriku untuk ikut menjenguk Serena. Aku dan pak Adam masuk ke dalam rumah sakit mencari kamar Serena di mana dia di rawat.

"Kau datang lagi Elian!" Sapa ayahnya Serena yang baru keluar dari kamar Serena.

"Iya paman, bagaimana dengan keadaan Serena?" Sapaku balik menanyakan perkembangan Serena. Pak Adam juga bersalaman memberi salam. Sejenak ayahnya Serena nampak asing dengan pak Adam, tetapi dia tersenyum kembali setelah mengingat siapa pak Adam itu. Karena kasus kecelakaan yang menimpa Serena pak Adam yang telah mengurusinya.

"Seperti biasanya. Aku akan kembali bekerja dulu. Jika kalian sudah selesai menjenguk Serena, kalian bisa langsung pulang." Serunya sebelum meninggalkan kami.

"Aku mengerti." Ucapku memberi salam pada ayahnya Serena. Kemudian aku dan pak Adam masuk ke ruangan di mana Serena di rawat.

Aku duduk di kursi sedangkan pak Adam duduk di pinggiran ranjang Serena. Aku hanya bisa menatap Serena yang tertidur pulas di dalam minpi panjangnya yang tiada ujung. Kapan pimpimu selesai dan kamu terbangun Serena. Jika melihatmu seperti ini rasa bersalahku kepadamu selalu bergejola menghantuiku. Sekarang Ellie juga tidak akan bisa menjengukmu setiap hari karena Ellie sudah tidur selamanya tanpa terusik sedikit pun oleh gangguan dari siapa pun. Akankah kalian bertemu di sana. Jika bertemu satu sama lain di sana, jangan lupa untuk kembali Serena. Karena kau masih punya kesempatan untuk hidup. Aku selalu berdoa agar kau bisa terbangun dan menjadi sehat kembali. Di saat itu, aku akan pergi menjauh darimu agar kau tidak terluka lagi karena terbawa oleh masalahku yang menakutkan. Terimakasih atas semua bantuan yang telah kau berikan padaku sebelumnya dan maafkan aku waktu itu tidak mempercayaimu.

"Kau hanya akan memandangi dia begitu saja." Seru pak Adam yang membuatku mengalihkan pandanganku padanya.

"Iya, mau apa lagi." kataku menghela napas lemah dan berbalik memandang Serena lagi. Aku memasukan tanganku ke saku jaketku bersiap untuk pergi. Tetapi aku menemukan  sebuah kertas di dalam sakuku yang sudah kaku dan menciut.

"Tunggu! Surat dari Serena." Kataku terkejut. Aku mengambilnya dan terlihat surat yang tidak beraturan bentuknya. Suratnya sudah menyatu dengan kertas di dalamnya. Aku membukanya perlahan-lahan agar tidak sobek. Aku lupa membacanya kemarin dan suratnya ikut tercuci sampai menjadi kaku seperti ini. Walaupun bolpoinnya luntur, tulisannya masih bisa terbaca. Aku membacanya dalam hati.

'Elian, aku tahu jika kau tidak akan percaya padaku. Memang selama ini aku salah mengira jika nyonya Lhara bukan seorang dukun. Nenek samara berpesan padaku untukmu. Para sekte jubah mereh tidak semudah itu dibunuh. Jika kau ingin mengalahkan para iblis itu, tusuk jantungnya dengan sesuatu berlapis tanah. Iblis lemah terhadap tanah. Korban akan selamat dari jeratan iblis, tetapi sangat disayangkan dia akan mati kembali ke sang pencipta. Aku tidak berharap kau akan membunuh Orlan. Aku hanya ingin kau jaga dirimu baik-baik. Maafkan aku Elian, dari Serena.'

"Sepertinya surat yang sangat penting?" Tanya pak Adam penasaran dengan surat yang aku baca. Aku menggulungnya menjadi sebuah bola kecil dan melemparkanya ke tong sampah yang ada di sana.

"Aku sudah selesai." Kataku beranjak berdiri.

"Orang yang kau selamatkan akhirnya mati. Aku rasa pengorbananmu sia-sia. Kau terlalu baik Serena. Terimakasih banyak atas bantuan yang kau berikan padaku." Kataku sebelum beranjak pergi dari kamar Serena. Pak Adam masih setia mengikutiku. Aku rasa pak Adam terlalu banyak membuang waktu untuk mengikutiku seperti ini. Dia bisa menyuruh orang lain untuk membawaku ke kantor polisi dengan mudahnya. Bukanya dia seorang kepala polisi yang dihormati. Dia polisi yang aneh dan mesum.

.....~•°♥°•~.....

Di kantor polisi aku langsung diintrogasi oleh pak Adam beserta tiga orang detektif. Di ruangan yang dingin ber-ac kita berkumpul. Aku sudah menarik nafas dengan gusar. Aku lihat mereka sedang berdiskusi sejenak menyisahkan diriku untuk bernafas sejenak.

"Di mana terakhir kali kalian bertemu?" Tanya pak Adam membawa berkas di tangannya. Mungkin mereka berdiskusi untuk menunjuk siapa yang akan menanyakan pertanyaan padaku.

"Di sekolah! Tiga minggu setelah putus." Jawabku dengan tegas.

"Sekitar jam 7 malam kemarin kau pergi ke mana?" Tanyanya lagi, tetapi mendapat senggolan dari rekan kerjanya. Serta salah satunya menunjuk jam tangannya untuk memperingati pak Adam. Pak adam hanya tersenyum cuek pada mereka.

"Di rumah Ned. Setelah mengikuti pemakaman Ellie, aku tidur di rumah Ned bersama Orlan." Jawabku mengingat apa yang aku lakukan kemarin.

"Begitu! Kami sudah menemukan lokasinya, di tempat dulu kau pernah diculik!" Ucap pak Adam yang membuatku terkejut. Jika sudah menemukan lokasinya, seharusnya harus bergegas ke sana agar Erisha cepat terselamatkan. Pasti para anao buah Marco yang melakukan semua ini.

"Kenapa dia pergi di sana. Apa anak buah Marco yang menyekapnya?" Kataku masih berfikir keras lagi.

"Siapa yang tahu akan hal itu. Tidak tahu Erisha akan ditemukan di sana atau tidak. Dari penelusuran cctv di jalan, memang benar mobil yang ditumpangi Erisha berjalan ke arah hutan dan menghilang di sana. Aku rasa kau bisa menguatkan hatimu." Jelas pak Adam padaku. Pak Adam juga menyuruhku untuk tenang, aku tidak perlu khawatir jika Erisha sudah ditemukan. Semua masalah ini akan cepat selesai dan aku bisa segera bebas dari jeratan kantor polisi.

"Aku tidak perlu menguatkan hatiku, aku sudah tidak ada hubungan apa pun dengan Erisha." Kataku tidak perduli karena Erisha bukan siapa-siapaku lagi.

"Aku ingin mengajakmu melihat lokasi terakhir Erisha terlacak." Ajak pak Adam padaku.

"Boleh!" Jawabku sambil mengangguk tanda mau mengikutinya.

Aku mengikuti dua mobil polisi dengan mobil pak Adam yang hanya ada kita berdua di dalam mobil. Kami terus melewati jalan sampai menemukan sebuah jalan menuju hutan seperti dulu aku menemukan Orlan. Aku menatap tikungan di mana aku menemukan Orlan di sana. Menatap dalam-dalam sambil menarik nafas dengan tenang.

"Apa kau baik-baik saja?" Tanya pak Adam yang melihatku menghembuskan nafas.

"Ya!" Jawabku sebisanya. Aku hanya mengingat sesuatu yang tidak ada hubunganya dengan pak Adam. Jadi, tidak perlu dia tahu.

Mobil mulai melambat saat akan masuk ke pekarangan sebuah bangunan rumah yang sudah tidak terpakai. Aku turun dari mobil seperti yang lainya. Mereka sibuk menyiapkan alat-alat dan bersiap untuk pencarian di dalam bangunan itu. Aku sejenak melihat ke atas, awan sudah menggulung hitam nampaknya akan turun hujan. Semua polisi sudah bersiap-siap membawa peralatan untuk berjaga-jaga. Mereka mulai masuk ke dalam sebuah bangunan rumah tua itu. Pak Adam menyuruhku hanya melihat dan tidak boleh mendekat. Aku hanya berdiri mengamati para polisi mencari bukti keberadaan Erisha. Aku berdiri dengan gusar mengamati dan mencari-cari.

Aku mendengar salah satu polisi berteriak memanggil temannya. Jantungku langsung tiba-tiba berhenti sejenak membuatku kesulitan bernafas. Aku hampir terpelosok ke bawah jika pak Adam yang baru datang tidak menangkapku. Aku berharap Erisha baik-baik saja seperti aku dulu.

"Tenanglah Elian, tidak apa-apa!" Kemudian pak Adam membalikan tubuhku dan memelukku. Sampai aku bisa lebih tenang berada di punggungnya yang lebar.

"Kami menemukannya. Cepat bawa alat-alatnya untuk membawa korban." Seru salah seorang polisi yang menbuat polisi yang lain juga panik. Pak Marx Swan selaku detektif juga hadir di sana. Dia bergegas bersama timnya membawa alat-alat entah apa aku tidak tahu. Sebelum memasuki rumah itu, tatapan kami saling bertemu sampai dia membuang muka dariku.

"Temukan barang bukti yang bisa digunakan untuk mencari pelakunya." Perintah pak Adam kepada semua rekan kerjanya yang ada di sana.

"Baik pak!" Jawab mereka patuh.

"Bagaimana keadaannya?" Tanyaku berkeringat dingin. Aku tidak bisa membayangkan bagaiman keadaan Erisha. Sepanjang aku dengar tidak ada suara Erisha sama sekali. Pasti Erisha sudah tidak bernyawa.

"Lebih parah dari biasanya." Jawab pak Adam yang masih setia menemaniku.

"Cepat bawa korbannya, kita akan mengotopsi mayatnya segera." Perintah pak Marx pada dua polisi yang membawa tandu untuk segera menuju ke lokasi di mana Erisha ditemukan. Tubuhku langsung merinding dan bergetar. Aku tidak percaya jika Erisha akan secepat ini meninggal. Aku bisa selamat tetapi Erisha tidak.

"Mau ikut denganku melihat mayat mantan pacarmu!" Seru pak Adam yang membuatku kembali tersadar dari ketakutanku.

"Tidak!" Tolakku bersandar di mobil karena tidak kuasa menahan tubuhku yang sudah kaku seperti patung karena tegang. Aku masih tidak percaya jika Erisha mati.

"Kemarilah, aku ingin menunjukan sesuatu padamu." Seru pak Adam menarik lenganku. Kakiku yang masih lemah tidak bertenaga untuk berjalan tidak kuasa menahan tarikkannya. Alhasil aku terjatuh, terduduk di tanah dengan kedua lututku sebagai tumpuan.

"Kau baik-baik saja?" Tanya pak Adam membantuku berdiri dan membersihkan celanaku yang kotor.

"Aku baik-baik saja. Hanya saja, aku masih syok melihat kematian Erisha. Aku tidak mau melihat sesuatu yang mengerikan itu." Jawabku gemetaran.

"Kita jalan pelan-pelan saja. Aku ingin menunjukan sesuatu padamu, tetapi bukan mayat Erisha. Jadi, tenangkan dirimu." Serunya dengan lembut dan hati-hati agar aku tidak ketakutan dengan omongannya yang biasanya kasar. Dia menggenggam tanganku, menyatukan jari-jari kita berdua. Sejenak aku berbengong dengan perlakuannya padaku yang lebih dari seorang teman maupun saudara.

Pak Adam membawaku ke samping bangunan rumah tua itu yang ternyata sebuah garasi. Aku heran kenapa pak Adam membawaku ke sini. Ada beberapa polisi yang sedang melihat keadaan mobil yang setengah terbakar dan hancur. Saat aku mendekat ke arah mereka, aku melihat nomer plat mobil dan beberapa hiasan mobil yang sebagian telah terbakar.

"Mobilku!" Seruku terkejut. Kenapa mobil mama yang sering aku gunakan ada di sini.

"Benar, ini mobilmu. Banyak bekas sidik jarimu di sini. Apa kau tidak tahu apa-apa?" Tanya pak Adam mengintimidasiku.

"Aku yakin setelah aku memakai mobil ini, aku sudah memasukannya ke dalam garasi. Lalu aku pergi ke rumah Ned bersama mama dengan mobil baruku." Kataku terheran kenapa mobilku bisa berada di sini.

"Ini yang sebenarnya ingin aku tanyakan padamu. Mobil yang membawa Erisha pergi adalah mobilmu." Seru pak Adam yang membuatku tambah terkejut. Kenapa mobilku yang digunakan untuk membawa Erisha pergi dan membunuhnya. Apakah aku sendiri yang membunuhnya, mengingat aku dulu pernah membunuh orang dengan keji. Kenapa aku takut sekali.

"Kita bisa membahas ini nanti di kantor polisi. Kau tidak perlu khawatir jika kau bukan pembunuhnya." Tukas pak Adam lagi menenangkanku. Aku menatap pak Adam dalam-dalam, seakan aku takut jika aku sendiri adalah pelakunya. Namun, Pak Adam malah tersenyum tipis dan merangkul pundakku. Dia membawaku kembali ke mobil.

........~•°♥°•~.........

Setelah sampai di kantor polisi pak Adam membawaku ke ruang introgasi yang hanya ada dua kursi dan satu meja. Di tengah-tengah terdapat vas bunga mawar merah. Aku sudah pasrah jika semua tuduhan pembunuhan Erisha mengarah kepadaku. Aku hanya bisa menjawab apa yang aku ketahui saja.

"Elian, ini untukmu. Kau belum makan seharian kan!" Seru pak Adam yang baru datang membawa sekotak makanan berbungkus plastik dan meletakannya di depanku.

"Terimakasih, aku tidak selera makan!" Tolakku menggeser makanan yang diberikan pak Adam ke arahnya.

"Cobalah sedikit untuk mengisi perutmu." Paksa pak Adam menggeser makanan itu lagi padaku.

"Tapi aku tidak lapar. Buat bapak saja!" Tolakku lagi. Ini masih sore, jika introgasinya lebih cepat, aku bisa pulang dan makan malam bersama mama dan papa.

"Makanlah sedikit saja. Ini juga bukan untukmu saja. Ayo makan bersama, akan aku ambilkan minum!" Seru pak Adam mengambil kotak makan di dalam plastik yang ternyata ada dua kotak. Dia meletakkannya di meja depanku.

Baru kali ini tempat introgasi untuk makan bersama. Aku sudah ketakutan membayangkan proses introgasi nanti. Apakah semenakutkan seperti yang ada di dalam film. Apakah aku akan dibentak-bentak dan dipukul sampai babak belur. Aku sedih membayangkannya. Tiba-tiba pak Adam datang meletakan soda di depanku yang membuatku sedikit terlonjat karena kaget. Dia tersenyuk miring padaku dan makan di depanku. Dia terus saja memaksaku untuk makan. Akhirnya kita makan bersama di ruang introgasi yang pengap dan membuat paru-paruku susah sekali mencari oksigen.

Setelah selesai makan, beberapa orang datang yang membuatku menelan ludah karena tegang. Pikiranku selalu berdoa semoga saja semua berjalan lancar dan aku bukan pelakunya. Ternyata beberap polisi Itu hanya menyiapkan berkas dan mengambilkan satu kursi lagi di sisi samping. Lalu pak Adam duduk di sampingku dan pak Marx duduk di di depanku. Aku menarik nafas dan mengeluarkannya perlahan agar aku bisa tenang.

"Kita mulai saja. Langsung ke intinya karena aku tidak suka berele-tele. Elian begini hasil investigasi yang kami dapat. Aku tidak menyalahkanmu, jadi kau harus tenang. Pak Marx silahkan mulai." Ucap pak Adam menepuk bahuku agar tenang. Tetap saja aku tidak bisa tenang, sesuatu yang berhubungan dengan polisi selalu membuat seseorang ketakutan.

"Sudah dipastikan Erisha pergi dengan mobilmu. Kami sudah mencari bukti ke rumahmu. Menanyakan pada ibumu tentang mobil itu. Terlihat kau dan ibumu nampak sama saja tidak tahu atas hilangnya mobilmu. Orang kaya kehilangan satu mobil tidak akan terasa, hahaha." Cibir pak Marx di sela perkataannya.

"Tetap fokus Marx!" Perintah pak Adam yang menahan tawa. Kalian boleh menertawakanku sepuasnya.

"Pencarian sidik jari di rumahmu hanya ada Kalian berempat, Elian, Sarah, Allan, dan Martin. Di sekitar rumahmu juga tidak ada cctv, kami harus mencari ke jalan di sekitar rumahmu yang ada cctv-nya. Melalui cctv di jalan arah barat kau pergi di jam 2 siang dengan mobil barumu bersama ibumu. Ini fotonya. Ini kau dan ibumu kan? Cuaca sedang hujan, jadi agak susah memastikan wajah kalian." Jelas pak Marx memberikan sebuah foto yang tidak terlalu jelas padaku. Namun, aku langsung bisa mengenalinya.

"Iya benar! Waktu itu sekolahku pulang jam 11 siang. Aku mendengar berita kematian Ellie sekitar jam setengah dua di tv." Kataku menjelaskan apa yang aku lakukan waktu itu.

"Memang berita korban dari sekte jubah merah ditayangkan di jam setengah dua di channel Megatv. Mobilmu sampai di rumah Erisha sekitar jam 7 malam. Dari cctv ke arah utara dari rumahmu mobilmu lewat jam setengah tujuh. Dari foto yang aku ambil dari cctv yang ada di sekitar rumahmu dan di sekitar rumah Erisha, mereka terlihat orang yang berbeda. Lihatlah, yang pertama keluar dari rumahmu memakai masker hitam dan jubah merah. Ada sedikit kerut di dahi dan ujung matanya. Tangannya juga berkerut dan memakai cincin. Sedangkan yang sampai di rumah Erisha memakai masker hitam, topi hitam, kacamata hitam, dan hoddie hitam. Wajahnya tidak nampak karena semua memakai serba hitam. Kemungkin ini sebuah pembunuhan yang telah direncanakan." Jelas Pak Marx memberi dua foto yang berbeda. Mereka terlihat berbeda. Orang yang memakai serba hitam tangannya lebih putih dan bersih dan posturnya lebih gagah dari sebelumnya. Sedangkan yang memakai jubah merah terlihat sudah tua. Kerutan yang ada di sekitar mata dan jarinya terlihat jelas. Dia tidak memakai sarung tangan, kemungkinan sidik jarinya bisa ditemukan, tetapi mereka membakar sebagian mobilku yang menghilangkan banyak sidik jari yang ada di sana. Mereka sangat hebat.

"Erisha ditemukan di mana aku pernah diculik. Kemungkin besar pelakunya adalah anak buah dari Marco mantar pacar Erisha yang tidak menyukaiku. Marco sempat ingin membunuhku karena berpacaran dengan Erisha. Sekarang mungkin dia menjebakku. Menuduhku membunuh Erisha agar aku bisa dipenjara." Kataku berasumsi jika semua ini adalah ulah dari para preman yang pernah pacaran dengan Erisha. Walaupun Marco sudah mati, tetapi dendam dari anak buahnya yang masih hidup membuat mereka ingin mencelakaiku dan Erisha.

"Kemungkin besar bisa terjadi. Namun, aku tidak melihat dari cctv manapun ada orang atau mobil yang lewat ke jalan di dekat rumahmu. Apa lagi rumahmu yang begitu luas dan jauh dari rumah-rumah tetanggamu." Tambah Pak Marx.

"Lalu, bagaimana mereka bisa mencuri mobilku?" Tanyaku terheran kenapa mobilku bisa keluar dengan sendirinya membawa orang lain.

"Kami akan mencari tahunya lagi. Memang mungkin dugaanmu benar jika salah satu bawahan Marco pelakunya. Mungkin dia menaruh dendam karena bosnya beserta teman-temanya dibunuh. Dia juga mengambil ponsel milik Erisha yang mungkin ada pesan atau panggilan suara dari orang itu." Timpal pak Marx sambil mencari sesuatu di dalam berkas yang dia bawa.

"Aku juga curiga ada sangkut pautnya dengan sekte jubah merah itu. Kematianya hampir sama dengan korbanyanya. Mereka mungkin juga menargetkan Erisha sebagai tumbalnya." Tambah pak Adam menunjukan gambar beberapa mayat yang dibunuh dengan keji. Aku mengalihkan pandanganku ke samping tidak ingin melihatnya. Siapapun yang melihat gambar itu pasti akan muntah karena jijik.

"Bisa jadi mereka berkerjasama. Bawahan Marco memberikan Erisha untuk dijadikan tumbal. Atau bawahan Marco adalah salah satu penganut aliran sesat itu."

"Bagaimana menurutmu Elian, mana yang benar? Atau mereka murka padamu karena telah membocorkan rahasia mereka dan membunuh pacarmu untuk peringatan!" Seru pak adam yang membuatku menelan ludah dengan kasar. Bagaiman jika benar mereka dendam padaku. Bagaimana aku harus menghadapinya. Aku melihat wajah pak Adam dalam-dalam, masih ada pak Adam yang akan membantuku.

"Mungkin saja begitu. Aku takut jika mereka mengusik hidupku lagi. Aku takut jika mereka membunuh semua orang yang dekat denganku." Kataku menunduk ketakutan. Bagaimana jika benar mereka membunuh orang terdekatku dan keluargaku.

"Tenanglah tidak perlu khawatir, kita akan berusaha agar para penganut aliran sesat itu cepat tertangkap." Seru pak Adam berusaha menenangkanku.

"Kita sudahi dulu rapatnya. Kita lanjut besok lagi. Kau boleh pulang Elian. Aku harap kau berhati-hati karena mereka mempunyai dendam padamu." Ucap pak Adam menutup rapat dan membereskan beberapa dokumen yang ada di atas meja. Aku hanya mengangguk paham. Ternyata ini hanya rapat, kenapa bilangnya introgasi yang membuatku ketakutan.

Setelah keluar dari ruang introgasi. Aku di antar pak Adam berjalan melewati lorong-lorong kantor polisi menuju ke pintu keluar sambil mengobrol bersama.

"Aku pikir introgasinya akan semenakutkan yang aku pikirkan, ternyata hanya rapat bersama." Kataku tersenyum bodoh memikirkan ketakutanku.

"Apa yang kau pikirkan coba!" Seru pak Adam terkekeh geli mendengar perkataanku.

"Aku takut jika aku akan diikat dan dipukul sampai berdarah-darah untuk mengakui perbuatanku. Ternyata hanya berdiskusi bersama. Maaf jika aku tidak banyak membantu." Jelasku ikut tertawa.

"Kau sudah lebih dari cukup membantu. Hujan semakin deras, kau yakin ingin segera pulang." Ucap pak Adam setelah sampai di depan pintu masuk kantor polisi. Hujan memang turun cukup deras.

"Iya, aku takut mama mencariku karena aku tidak memberi pesan padanya." Kataku ingin cepat pulang karena aku tidak memberi kabar kepada mama jika aku akan pulang malam.

"Ini ponselmu, aku kembalikan. Kau bisa menelfon ibumu jika kau akan pulang lebih lambat sampai hujannya mereda." Seru pak Adam memberikan ponselku yang kemarin dia sita. Aku menerimanya dan memasukannya ke saku celana.

"Terimakasih pak. Hujannya tidak berangin kencang, aku akan mengemudi dengan hati-hati. Aku permisi dulu Pak Adam." Kataku berpamitan pulang. Tidak nyaman untuk berlama-lama di kantor polisi yang tidak banyak orang yang aku kenal.

"Iya berhati-hatilah!" Ucap pak Adam yang aku balas dengan senyum manis, lalu berlari pergi menuju ke mobilku. Aku mengemudiakan mobilku dengan hati-hati agar tidak tergelincir. Aku hersn hujan turun di waktu bulan mendekati musim panas. Kapan langit berhenti menangis.

......~•°♥°•~......

Aku pulang ke rumah dan sampai di depan rumah. Pak Martin datang membawa payung dan menyuruhku turun. Perasaan ini sama seperti dulu saat aku pulang dalam keadaan hujan yang bertemu dengan hantu ibuku untuk pertama kalinya. Aku membuka pintu mobil dan menerima payung biru yang diberikan pak Martin. Aku memegangnya, bersentuhan dengan jari yang mulai keriput itu dengan tanganku. Cincin yang dia pakai selalu sama seperti dulu.

"Tuan harus segera masuk, udara dingin di luar tidak baik untuk tubuh anda." Ucap pak Martin menyuruhku segera masuk ke dalam rumah.

"Terimakasih pak, aku akan segera masuk." Kataku berjalan masuk ke depan rumah dan meletakan payung di kotak tempat payung dan bergegas masuk ke dalam rumah.

Aku mengguyur tubuhku dengan air hangat untuk menghangatkan tubuhku. Setelah selesai membersihkan diri, aku teringat akan pencurian di rumahku yang hanya mencuri mobilku. Pencurinya salah satu penganut aliran jubah merah. Mereka pasti tidak asing dengan rumahku, di mana mereka pernah membunuh ibuku di sini. Apakah dia juga menggeledah kamarku mencari bukti pembunuhan ibuku di kamar.

Aku teringat akan kotak besi yang aku temukan di ruang bawah tanah itu. Apakah kotak itu juga dicuri, aku langsung berjongkok di bawah kasurku dan mencari kotak besi di mana aku menyimpannya. Akhirnya ketemu juga, ternyata masih aman di bawah sana. Aku penasaran dengan isi dari kotak besi itu. Apakah berisi tentang kematian ibuku atau berisi sesuatu tentang masa laluku bersama ibuku Lilian.

Aku pergi ke gudang mencari solder atau apapun yang bisa aku gunakan untuk membuka kotak besi itu. Saat aku menemukan alat pemotong besi, aku menariknya sampai aku bisa mendapatkanya. Namun, kursi di depannya yang terdapat keranjang berisi kain-kain kusuh tersenggol dan jatuh. Karena mengganggu jalanku keluar dari gudang, aku merapikan kursi dan mengambil tumbukan kain yang berdebu ke dalam kranjang yang sudah aku tenpatkan di tempat yang lebih kokoh agar tidak terjatuh lagi. Keberuntungan menghampiriku, aku menemukannya ditumpukan kain korden yang tidak terpakai. Patung putih membawa kunci yang ada di dalam tumpukan kain. Aku mengambil kunci itu dari patungnya dan meletakan pemotong besi kembali ke tempatnya.

Aku tergesa-gesa pergi sampai lupa menutup pintu gudang dan berlari secepat kilat menuju ke kamarku. Apa isi dari kotak ini sampai aku sangat penasaran ingin membukanya. Mengela nafas dan mulai memasukan kepala kunci ke dalam lubang kuncinya sampai berbunyi, ckrrekk. Aku terkejut karena kunci ini adalah kuncinya. Perlahan aku membukanya dan menampilkan begitu banyak barang secara berantakan. Aku menemukan, gambar anak-anak, album foto, ponsel yang sudah mati, sekotak berisi memori card dan sebuah kamera hendicame.

Perlahan aku membuka album foto dan melihat fotoku saat masih bayi begitu banyak. Aku nampak lucu bersama papa dan ibu. Albumnya berisi masa kecilku. Aku terus membukanya tidak hanya fotoku masih kecil  tetapi ada orang lain juga. Foto ini berisi ibu, mama dan papa. Ada juga bersama paman Boby dan bibi sandra. Foto terakhir berada di pantai, di sana aku sedang membuat istana bersama ibu. Kenapa tempat itu terasa familiar. Aku teringan mimpi itu, mimpi di mana aku di pantai dengan seorang wanita berkata padaku kalau aku akan mempunyai adik. Ternyata itu adalah ibu yang sedang mengandung adikku. Di istana yang aku buat tidak hanya berisi tiga orang tetapi 9 orang. Keenam patung pasir yang lain aku bisa mengenalinya. Aku rasa kami sedekat itu.

"Lily, Lyla, Charle, Cristina, Balarica, Tyson, kalian pasti tahu sesuatu tentangku."Gumanku menunjuk gundukan pasir yang dibentuk menyerupai mereka walaupun tidak terlalu mirip, tetapi aku bisa mengenalinya.

Aku tersenyum tipis melihat semua foto kenanganku yang ada. Ada sebuah foto berbalik yang terselip di dalam sampul belakang album. Aku ambil dan ternyata berisi foto papa dan ibu saat mereka menikah. Ada mama, paman Boby, dan bibi Pamela. Mereka tersenyum bahagia berada di pernikahan papa dan ibu. Tetapi kebapa aku tidak memiliki foto pernikahan mama dan papa barang satu pun. Apa mereka tidak menikah setelah ibuku meninggal. Mungkin saja seperti itu.

Aku meraih hendicame untuk melihat beberapa isi memory card yang ada di kotak berisi banyak memory itu. Sayangnya hendicamenya mati, sepertinya baterainya habis. Aku mengechek di dalam hendicame, ternyata sudah ada satu memori terpasang di sana. Pasti di dalam memori ini ada momen terakhir tentang aku. Aku buru-buru menchargernya, tidak lupa mencharger ponsel itu juga.

"Elian, waktunya makan malam!" Panggil mama menyuruhku turun untuk makan malam.

"Iya ma, sebentar!" Jawabku menunggu batrai handicame terisi beberapa persen.

Aku memastikan batrai sudah terisi 5 persen. Aku menyalakan hendicame, ternyata masih bisa hidup. Aku memakainya sambil menchargernya agar tidak mati. Sudah ada berkas-berkas di dalam sana. Aku membuka berkas video yang terakhir ada di sana. Kemungkinan aku bisa mengingat masa laluku.

Video menayangkan dapur yang luas. Di sana secara singkat ada ibuku yang sedang subuk memasak. Suaranya tidak terlalu terdengar keras karena terhalang suara hujan. Ibu mengambil camera dan meletakannya di tempat yang lumayan tinggi agar dapur terlihat semua di dalam camera. Aku melihat ibu dan aku yang masih kecil sedang asyik memasak.

Momen ini terakhir kalinya sebelum ibu meninggal. Melihat ibu yang sedang mengandung adikku. Aku di video ini nampak bahagia sekali bersama ibu. Ibu beberapa kali mengusap pipiku yang kotor. Aku turun dari kursi dan pergi berlalu menghilang ke dalam rumah. Lalu tidak lama kembali lagi datang dengan menggeser kaca berukuran besar  sampai berada di depan pintu dapur. Aku membersihkan wajahku yang kotor karena tepung dan coklat. Ibu nampak tertawa senang melihat tingkahku.

Aktivitas mereka terganggu oleh suara bel pintu yang terdengar. Aku meminta izin ibu untuk membukanya dengan senang. Tetapi raut wajah ibu terlihat tidak tenang. Dia menarikku dan memasukanku ke dalam kolong laci dapur. Kemudian ibu pergi melangkah keluar dari dapur. Aku menunggu menit yang bergulir di dalam camera. Sampai sosok ibuku kembali lagi dengan dua orang berjubah merah. Mereka yang telah membunuh ibuku. Aku memperhatikan video yang diputar dengan serius.

Ibu didorong oleh orang itu dengan keras sampai membentur meja. Ibu nampak kesakitan karena perutnya yang sedang mengandung terbentur meja. Ibu terduduk di lantai merasakan rasa sakit yang luar biasa sampai menangis. Orang berjubah merah yang bertubuh tinggi duduk di kursi di mana tempat dudukku tadi. Serta orang satunya menarik paksa rambut ibu untuk berdiri dan membenturkan kepada ibu beberapa kali ke meja. Seketika jantungku berdetak lebih cepat memompa darah karena tersulut emosi. Kemudian dia menarik rambut ibu lagi dan mendorongnya sampai jatuh ke lantai. Tidak terasa air mataku berhaburan keluar. Hatiku sakit sekali melihat ibuku disiksa begitu kejam. Lihat saja aku akan membalas perbuatan mereka.

Orang Itu menginjak-injak wajah ibu dan menendang-nendang perut ibuku yang membesar. Aku tidak kuasa menontonnya lagi. Tanganku yang gemetaran tanpa sadar mempererat peganganku di camera hendicame. Aku benci dengan mereka berdua, aku harus bisa menemukan mereka dan membunuh mereka. Aku memencet tombol play untuk memutar video yang sempat terhenti karena aku hentikan sejenak untuk menangis.

"Dimana Elian?" Tanya orang itu dengan geram. Dia mencariku.

"Untuk apa kau mencari anakku, dia masih kecil. Jangan sakiti dia, aku mohon Sarah Sheika. Aku mohon!" Seru ibu memohon berkali-kali di kaki orang itu sambil menangis. Aku mengenali nama itu. Orang itu tidak berperasaan dan malah memukul, lalu menendang ibu berkali-kali sampai darah mengalir dari bagian bawah ibu sampai tumpah ke lantai. Orang itu menarik rambut ibu dan memaksakan kepala ibu berada di atas meja. Aku sudah sesenggukan menahan tangis, kenapa mereka tega menyiksa ibu dengan tanpa perasaan seperti ini.

"kalian berdua harus mati. Kau dan anakmu. Kalian harus mati, aku tidak akan bisa hidup tenang melihat kebahagiaan kalian berdua bersama Allan. Kalian berdua telah merebut Allan dariku, hahahah." Bentak orang itu yang suaranya sangat jelas aku mengenalinya. Ibu langsung menarik turun jubah merah lalu terjatuh ke bawah. Aku membulatkan mataku melihat siapa orang itu yang berani menyiksa ibuku dengan kejam. Orang berjubah yang duduk mengamati ibuku disiksa juga membuka tudungnya, bibirnya tersenyum sinis pada ibu. Aku menutup mata sejenak untuk menahan air mataku yang jatuh. Papa, dia adalah papa. Papa yang membiarkan ibuku disiksa oleh mama dengan kejam. Papa berjalan ke arah di mana aku bersembunyi dan menarikku yang terus saja meronta-ronta. Dia duduk dan memangkuku. Mama menghampiriku yang menangis dan menampar pipiku dengan geram. Mama, kenapa engkau jahat sekali.

"Lihatlah, ibumu akan mati di depan matamu, hahaha." Seru mama tertawa jahat ke arahku.

"Ibuuu ibuuu huhuhu hikks huhu hikks." Tangisku sedih. Sekarang pun aku juga sedang menangis. Kenapa kenyataan ini begitu menyakitkan. Kenapa harus mama dan papa yang membunuh ibuku.

"Tenanglah tuanku, kau akan menikmatinya." Bisik papa di telingaku yang membuatku bergidik ngeri. Suaranya mengerikan.

Mama menyeret ibu yang sudah kesakitan dan mendorong tubuhnya sampai membentur cermin. Serpihan cermin itu berserakan ke mana-mana. Mama mengambil serpihan cermin dan menendang wajah ibu dan perut ibu berkali-kali sampai ibu menjerit kesakitan. Mama menggunakan potongan cermin itu untuk menyayat wajah ibu sampai wajah ibu dipenuhi darah. Kemudian beralih menyayat perut ibu sampai adikku di dalam perut ibu keluar. Sayangnya adikku susah meninggal karena benturan berkali-kali yang dilalukan oleh mama. Mama menyayat perut bayi itu sampai isi di dalamnya terburai. Aku menutup mulutku karena hampir muntah melihat darah yang berceceran ke mana-mana. Setelah puas membunuh adikku, mama menancapkan serpihan cermin itu ke leher ibu yang sudah tidak berdaya. Ibu meregang nyawa penuh dengan darah mengalir di lantai membentuk danau kenangan yang menyakitkan. Aku yang terus menangis dan meronta di seret oleh mama dan papa pergi dari sana. Tiba-tiba Mama datang membuka pintu kamarku.

"Elian, kenapa lama sekali turunnya!" Mama membulatkan matanya melihat aku memegang hendicame. Lalu memutar kepalanya melihat kotak besi yang ada di bawahku. Wajahnya berubah merah menahan emosi.

"Elian! Jangan bilang kalau kau telah membukanya!" Seru mana nampak cemas dan ketakutan.

"Jadi Mama yang menyembunyikannya." Kataku menatap tajam ke arah mama.

"Berikan pada mama!" Bentak mama mengulurkan tangan meminta hendicame yang aku pegang.

"Itu milikku ma. Kau tidak berhak mengganggu urusanku " Bentakku balik karena aku merasa marah melihat wajah mama yang sekarang bukan wajah baik dan penuh kasih sayang, tetapi wajah kejam yang membunuh ibuku.

"Kau sudah melihatnya, aku tahu kau sudah melihatnya. Mama sudah susah payah menyembunyikan itu darimu. Mama sayang sama kamu Elian. Aku tahu aku bukan ibu kandungmu, tetapi mama sangat menyayangimu." Seru mama dengan panik.

"Aku tidak memiliki mama seorang pembunuh!"  Bentakku menyingkirkan tangan mama yang berisaha menyentuhku. Air mataku berhamburan menetes dengan sendirinya.

"Apa yang kau katakan, mama bukan pembunuh. Para sekte jubah mereh yang membunuh ibumu. Aku hanya merawatku seperti anakku sendiri."Ucap mama berbohong jika dia tidak membunuh ibuku. Jelas-jelas aku melihatnya membunuh ibuku dengan sangat kejam. Mama menangis dan memelukku. Aky merasa jijik dengan mama sekarang dan mendorong tubuh mama sampai terjatuh.

"Kau berkerjasama dengan papa untuk membunuh ibuku. Aku benci Kalian berdua." Bentakku pada mama. Aku lihat mama nampak kaget dengan bentakanku. Tanganku mengepal mebahab emosi. Aku tidak menyangka jika aku akan ditipu hidup dengan para pembunuh ibuku.

"Bagaimana kau mengetahuinya. Kau tidak boleh Mengetahuinya." Mamaku menangis histeris dan meraih kamera hendicame itu dan membantingnya sampai hancur.

Aku syok melihat apa yang dilakukan mama, sampai aku hanya berdiri mematung karena terkejut. Mama langsung meraih kotak besi itu dan pergi keluar dari kamarku. Aku berusaha mengikuti mama pergi karena aku tidak termia kenanganku dihancurkan oleh mama lagi. Aku meraih kunci mobilku, ponselku dan ponsel hitam itu, memasukkannya ke dalam saku. Aku terhenti saat aku menginjak sebuah kotak hitam kecil. Itu adalah serpihan dari hendicame yang dirusak Mama. Kuambil dan kubuka ada memory card di sama. Langsung aku mengambilnya dan menyusul ke mana mama membawa kotak besi berisi memori masa kecilku itu. Aku berkeliling rumah untuk mencari keberadaan mama. Sampai di belakang rumah, aku melihat mama membuang dan membakar semuanya tanpa sisa.i

"MAMA! Lihatlah, kau akan membayar perbuatanmu!" Kataku berjalan masuk ke dslam rumah dan pergi dari rumah ini. Aku akan menyerahkan ponsel dan memori card ini kepada polisi agar mereka menangkap kedua orang pembunuh kejam ini.

"Elian! Tunggu, Elian! Mama bisa jelaskan ini El. ELIAN! ku mohon jangan benci Mama, Mama sayang sama kamu." Aku meninggalkan Mama yang mengikutiku sampai terjatuh di lantai sambil menangis histeris. Aku sedih dan aku kecewa pada mama dan papa.

"Elian, jangan pergi nak!" Panggil mama lagi masih mengikutiku dan menarik lenganku.

"Kau bukan ibuku!" Bentakku mendorong mama sampai terjatuh lagi.

"Kau tidak bisa pergi dariku!" Ucap mama dengan lantang.

Bukkkk. Punggungku dihantam sesuatu sampai aku terjatuh. Rasanya sakit sekali sampai aku menggeliat di lantai. Aku melihat sosok mama yang berdiri membawa tongkat sapu. Dadanya naik turun seirama dengan hebusan nafas kasarnya. Sorot matanya yang tajam menyiratkan keserihan mendalam. Ternyata mama yang memukulku. Aku langsung berdiri dari lantai berusaha kabur dari mama.

Namun, mama memukul leherku yang membuat kesadaranku mulai berkunang-kunang. Tubuhku jatuh ke lantai kembali beserta kunciku yang lepas dari tanganku. Mataku mencari sosok tubuh mama yang menghilang. Aku berusaha untuk tetap tersadar dan mencari kunci mobilku. Mataku menemukannya di depan pintu. Tanganku berusaha meraihnya, tetapi seketika kakiku ditarik ke bawah. Sudah ada mama yang berjongkok di samping kepalaku.

"Elian, lebih baik kamu tidur dulu!" Ucap mama menarik kerah kaosku ke bawah dan menacapkan sebuah jarum suntik di leherku.

Aku menahan nafas sebentar dan menghembuskanya perlahan-lahan. Tanganku menampar tangan mama yang menyuntikku.  Perlahan tangan dan tubuhku terasa lemah tidak bertenaga. Aku berusaha untuk bangkit, tetapi mama tidak mebiarkanku pergi. Dia melihatku dengan tatapan penuh kemarahan tergambar di wajahnya. Aku sudah tidak bisa bergerak lagi, kepalaku terasa ada yang mengangkatnya. Aku melihat papa yang mengangkat kepalaku dan tersenyum sinis. Mataku beralih melihat ke arah mama yang semakin lama semakin tidak jelas. Sampai hanya kegelapan yang bisa aku lihat.

.....~•°♥°•~......
.
.
.
.
To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro