Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 20


*SIAPA MEREKA*

......~•°♥°•~......

Aku berjalan-jalan menuju ke dalam hutan. Entah mengapa aku sudah ada di sini. Dalam kesunyian hutan berkabut aku kembali pulang. Dengan singkat rumahku yang terlihat suram ada di depan mataku. Aku memasukinya dengan santai. Keadaan nampak sepi dan kosong. Tidak ada barang-barang yang aku lihat. Aku berjalan menuju ke kamar, tetapi aku dikejutkan oleh seorang anak laki-laki yang berlari dari atas turun ke bawah.

"Hahaha hahaaha." Tawa anak itu membawa sebuah kain turun ke bawah melaluiku.

"Elian jangan lari-lari, nanti jatuh!" Aku mendengar teriakan halus dari luar memanggilku.

"Hahaha, ibu ibu. Charle yang jaga." Tawa anak itu lagi dari arah yang sama. Aku yang penasaran mencoba mencari mereka. Suara mereka berasal dari dapur.

"Hahahha ibu, hahahaha ibu!" Tawa anak itu dari dapur. Aku mengintipnya dari balik pintu takut ketahuan. Di sana ada seorang wanita yang tidak asing bagiku. Ibu Lilian Gleeson tersenyum cantik mengamati seorang anak yang berlarian di sekitarnya.

"Kalian lagi main apa? Sini, makan kue dulu!" Suara merdunya seakan terdengar samar di telingaku. Kenapa rasanya aku merindukan momen seperti ini.

"Hahaha, kita lagi main kejar-kejaran bu. Hahaha Carlie, hahaha Carlie hahaha. Tidak kena, tidak kena." Tawa anak itu dengan senang berlarian ke mana-mana. Siapa charle? Yang aku lihat dia hanya berlari sendirian di sekitar ibu Lilian. Aku melihat wajah ibu kandungku lagi. Wajahnya yang aku rindukan, aku ingin memeluknya dengan erat. Tanpa sadar aku sudah berjalan mendekat ke arahnya.

"Elian, sini sebentar nak. Ini ambilah kuenya."  Serunya melihat ke arahku. Seketika perasaanku terasa berat, rasanya ingin menangis. Dia mengarahkan tangannya yang memegang kue coklat ke arahku dengan senyum manisnya. Aku ingin memeluknya, aku sungguh ingin memeluknya. Kakiku bergerak ke arah ibu, aku ingin memeluknya. Namun, kakiku tersandung dan tubuhku terjatuh terduduk ke bawah. Air mataku sudah mengalir dengan derasnya. Ibu, aku rindu dengan ibu.

"Ibu, ibu, ibu.....!' Panggilku berulang kali berharap tanganku yang kecil bisa meraih tangan lentik dan cantik itu. Ibu, jangan tinggalkan aku.

Aku terbangun karena tanganku yang berada di atas tiba-tiba dipegang seseorang. Nafasku memburu tiada henti dengan dadaku yang naik turun. Aku menarik tanganku kembali dan memutar kepalaku untuk melihat orang yang tersenyum mencurigakan di belakangku.

"Mimpi buruk!" Seru Orlan sambil tersenyum manis. Aku menenggelamkan wajahku ke bantal berusaha menenangkan nafasku yang memburu. Kenapa baru sekarang aku mengingatnya.

"Tidak juga. Aku mau mandi dulu, badanku lengket." Kataku beranjak berdiri. Karena gegabah langsung berdiri membuat kepalaku terasa pening seketika, lalu aku duduk kembali untuk meredakan sakit kepalaku. Hanya bermimpi singkat kepalaku terasa pusing. Orlan memelukku dari belakang dan mencium pucuk kepalaku. Apa yang dia lakukan membuatku geli.

"Apa yang kau lakukan, lepaskan aku!" Kataku melepaskan pelukannya.

"Aku ingin memelukmu!" Ucapnya dengan seringai mesum di wajahnya. Aku hanya mendengus malas dan berlalu pergi. Aku mandi membersihkan tubuhku yang seharian belum mandi dan bersiap berpakaian. Aku melihat Orlan yang masih rebahan di kasurku dengan senyum mesumnya.

"Cepat mandilah, apa kau tidak mau pergi ke sekolah!" Perintahku agar Orlan tidak bermalas-malasan di tempat tidurku.

"Tidak, aku hanya ingin melihatmu!" Serunya tersenyum mesum menghampiriku yang sedang memakai pakaian.

"Cepat mandi sana!" Perintahku lagi mendorongnya ke kamar mandi. Aku tidak ingin dia menggodaku di pagi hari seperti ini.

Aku bersiap-siap memakai sepatu dan menata buku pelajaranku sambil menunggu Orlan mandi. Setelah selesai semua, aku duduk di kasur dan membuka ponselku. Aku mencoba melihat akun sosial media milik ibuku Lilian, siapa tahu foto-fotonya ada di sana. Tetapi kenyataannya tidak ada sama sekali. Semua sosial media yang telah aku telusuri, nama ibu tetap saja tidak ada yang muncul. Ini aneh sekali, walaupun orang anti sosial pun pasti mereka mempunyai setidaknya satu akun sosial media. Apa mungkin karena sudah lama tidak dipakai, membuat akun ibu akhirnya terblokir. Aku tahu siapa yang bisa membantuku.

"Aku harus memakai baju apa kentang? Bajumu pasti tidak muat di badanku!" Serunya dengan wajah songongnya ke hadapanku. Bahkan badannya yang bagus atletis dia pamerkan padaku. Aku sudah kenyang melihat bentuk tubuhnya itu.

"Di almariku lihatlah, berapa banyak kau membawa pakaianmu! Kau dulu sering menginap di kamarku, bajumu bertebaran di sana." Kataku melihatnya sekilas, lalu memasukan ponselku ke dalam tas.

"Benarkah, coba aku lihat! Ternyata banyak juga." Ucapnya membuka almariku. Lihat berapa banyak bajunya memenuhi almariku. Dia hanya tersenyum tipis dan memakai pakaiannya.

Setelah menunggu Orlan yang telah selesai bersiap-siap, kami berdua turun ke bawah untuk sarapan. Mama dan papa sudah siap di meja makan. Papa duduk dengan tenang meminum tehnya dan membaca koran berita hari ini.

"Elian sayang, Mama masakin makanan kesukaanmu. Udang bakar madu, kau suka kan. Ayo makan yang banyak." Seru mama menyiapkan sarapan untukku dan Orlan.

"Terimakasih ma." Kataku mencoba masakan ibu bukan, tetapi masakan mama. Kenapa saat aku makan rasanya terasa hampa. Lidahku tidak bekerja dengan maksimal. Apa karena kesedihan yang aku rasakan  membuat nafsu makanku menghilang.

"Kenapa makananya sedikit sayang. Ayo makanlah yang banyak." Ucap mama yang membuyarkan lamunanku. Aku hanya tersenyum tipis sambil menundukan kepalaku melihat makanan di piring. Pertanyaanku tentang ibuku masih mengganjal di hatiku. Aku tidak rela jika ibuku meninggal dengan tragis seperti itu. Aku tahu jika mama sangat menyayangiku, tetapi dulu aku juga mempunyai seorang ibu yang sayang padaku. Aku menyayangi mereka berdua.

"Ma, pa! Aku mau tanya sesuatu seperti kemarin." Kataku menghentikan aktivitas makanku. Kemudian menatap mama dan papa bergantian. Papa terlihat tidak perduli denganku, kenapa sekarang sifatnya berubah kasar padaku.

"Kau mau tanya apa El?" Tanya mama yang mengalihkan perhatianku melihat papa.

"Bagaimana bibi Lilian Gleeson meninggal?" Tanyaku yang membuat suasana menjadi hening. Jika papa dan mama tidak ada hubungan tentang kematian ibuku, mereka tidak akan menutup-nutupinya. Apa lagi papa yang bertingkah aneh saat aku mencari tahu siapa Lilian Gleeson yang ternyata adalah ibu kandungku.

"El!" Panggil mama dengan wajah sendu.

"Papa tidak tahu!" Jawab papa enggan menatapku.

"Papa yakin, dia istri papa!" Paksaku agar papa mau mengatakan apa yang dia ketahui atas kematian ibuku. Papa pasti bohong jika dia tidak mengetahui bagaimana ibuku meninggal.

"Istriku hanya Mamamu!" Ucap papa menatapku dengan tajam.

"Kenapa papa tidak mau mengakuinya." Kataku yang tersulut emosi juga.

"Elian! Sudah cukup kamu membuat papa emosi!" Bentak papa yang membuatku takut. Selama ini aku selalu menjadi anak yang baik dan penurut. Aku tidak pernah merasakan dibentak oleh papa. Sekarang hanya demi megetahui kematian ibuku papa rela memarahiku. Kenapa hatiku rasanya terluka dan sakit.

"Baiklah, aku berangkat sekolah dulu!" Kataku meletakan sendokku di atas piring dan beranjak berdiri.

"Habiskan makananmu baru berangkat sekolah. Kasihan mamamu yang sudah bekerja keras memasak untukmu." Ujar papa menyuruhku menghabiskan makananku yang kenyataannya aku sudah tidak selera makan.

"Kenapa papa memaksaku?" Bentakku balik. Aku rasanya ingin menangis namun aku berusaha untuk menahannya.

"Karena kamu berani membantah papa! Kau sekarang bertindak sangat keterlaluan." Bentak papa balik. Apa yang papa katakan. Hanya karena aku ingin nengetahui identitas ibu kandungku papa melarangku mengetahuinya. Papa pasti merahasiakan sesuatau tentang kematian ibu kandungku.

"Elian sayang...." Seru mama memegang lenganku yang membuatku kaget.

"Jangan sentuh aku!" Bentakku menarik lenganku dari sentuhan mama. Seketika aku melihat wajah sedih mama yang membuatku juga ikut bersedih. Aku sangat menyayangi mama seperti ibuku sendiri. Karena emosi aku jadi ikutan membentak mama.

"Elian!" seru mama lirih dengan nada sendu. Aku berbalik menatap papa yang menatapku dengan tajam dan melihat Orlan yang hanya diam mengamati makanan di meja. Aku kalah, aku tidak berani membantah kedua orang tuaku. Aku anak yang lemah dan penurut sehingga tidak berani untuk melawan mereka berdua.

"Maaf ma, aku sedang emosi. Aku berangkat dulu ma!" Kataku meminta maaf atas sikap kasarku pada mama. Aku beranjak pergi keluar rumah untuk bersekolah. Orlan entah mengapa sudah berjalan di sampingku. Dia memeluk pundakku untuk menenangkanku. Kita berangkat sekolah bersama dengan menaiki bus sekolah yang sudah menanti kehadiran kami.

........~•°♥°•~.......

Jika papa dan mama tidak mau mengatakan semuanya. Jangan salahkan aku jika aku akan mencari tahunya sendiri dengan caraku. Tidak akan aku biarkan mereka (sekte jubah merah) bisa hidup tenang setelah membunuh ibu kandungku. Aku akan mengatakan semuanya.

"Elian, hai! Apa aku membuatmu menunggu lama?" Sapa Arash yang baru datang dan duduk dihadapanku. Aku menunggunya di taman tempat biasa kami mengerjakan tugas.

"Tidak juga. Apa kau bisa membantuku!" Kataku seperti apa yang aku katakan pagi tadi di pesan yang aku kirim padanya.

"Bisa, aku haker yang cukup hebat di sekolah kita!" Serunya bangga.

"Bisakah kau tanyakan ke ibumu nama akun sosial media yang dimiliki Lilian Gleeson. Jika tidak menemukannya, aku ingin kamu melihat daftar akun Lilian Gleeson yang terblokor atau dihapus." Pintaku pada Arash. Permintaan yang cukup sulit aku berikan pada Arash.

"Lilian Gleeson ibumu?" Tanya Arash tiba-tiba.

"Benar!" Jawabku dengan tepat.

"Sudah aku duga dia memang ibumu. Kemarin ibu menangis karena terharu senang melihat hasil tes DNA milikmu." Serunya tersenyum padaku.

"Tolong sampaikan ucapan terimakasihku pada ibumu." Kataku dengan senyum manis. Aku tidak menyangka jika ada orang baik yang membantuku. Jika mereka tidak melakukan tes DNA itu mungkin aku tidak akan percaya dengan perkataan paman Boby.

"Baiklah! Kau tenang saja, aku akan segera mungkin menemukannya untukmu." Ucapnya menepuk pundakku untuk percaya padanya.

"Terimakasih, maaf telah merepotkanmu!" Kataku.

"Santai saja, kita ini saudara." Ucap Arash menyandarkan tangannya ke bahuku.

"Elian!" Panggil Erisha yang baru datang dan duduk di sampingku. Dia menatap tajam Arash yang membuatnya tidak nyaman.

"Aku mungkin harus pergi. Aku tidak mau mengganggu acara kalian. Sampai jumpa Elian!" Sapa Arash tidak nyaman dengan kehadiran Erisha.

"Terimakasih atas bantuannya!" Kataku sebelum Arash pergi. Arash melambaikan tangan ke arahku dan tersenyum manis kemudian berlalu pergi.

"Elian sayang, aku mau mengatakan semuanya padamu." Ucap Erisha dengan wajah sedih menatapku.

"Kau mau bicara apa?" Tanyaku membiarkannya berbicara. Aku sudah siap mendengarkan apa yang ingin dia katakan padaku. Hatiku tidak semarah kemarin saat kita putus.

"Tetang Marco. Aku mengakui jika memang dia dulu adalah pacarku. Tetapi dia sangat kasar dan kejam, maka dari itu aku memutuskannya. Dia selalu saja mengganggu hubunganku dengan pacar baruku. Elian, aku sangat mencintaimu. Aku harap kau mengerti dengan perasaanku. Sedangkan pak Adam kita hanya sebatas saudara, itu saja Elian. Aku harap kau mengerti." Ceritanya memegangi tangan kananku berharap aku percaya dengan perkataannya. Mau bohong atau tidak, aku masih ingin sendiri.

"Iya aku mengerti!" Kataku mengambil tangannya dari tanganku dan meletakkannya dipangkuannya.

"Berarti kita bisa balikan lagi seperti dulu kan?" Ucap Erisha dengan mata berbinar-binar. Aku hanya menimpali dengan senyum tipis andalanku.

"Maaf Erisha, aku masih banyak masalah. Mungkin untuk saat ini kita temanan saja." Kataku yang sedang mengesampingkan percintaanku dan ingin fokus mengungkap kematian ibu kandungku sendiri. Jika masalah ibuku sudah selesai kita bisa berpacaran kembali.

"Tapi Elian, kenapa kita tidak pacaran kembali. Semua masalah sudah selesai, masalah apa lagi yang membuat kita tidak bisa pacaran lagi." Paksa Erisha dengan wajah sedih tergambar di wajahnya. Maaf Erisha, aku tidak bisa mengatakannya padamu. Masalah ini sangat sensitif bagiku.

"Tidak apa-apa. Aku harus kembali, aku masih ada kelas. Aku pergi dulu!" Kataku berpamitan pada Erisha sebelum pergi. Aku tidak ingin membahas tentang ibu kandungku yang bisa menjadi bahan pembicaraan jika tersebar dari mulut ke mulut.

"Elian, tunggu. Elian!" Panggil Erisha yang tidak aku perdulikan dan pura-pura tidak mendengarnya. Aku terus saja berjalan masuk ke dalam sekolah.

........~•°♥°•~.......

Siang hari setelah pulang sekolah, aku memantapkan hatiku untuk datang ke tempat ini. Di depanku sudah berdiri bangunan yang kokoh dan megah. Papan namanya yang tertulis besar 'kantor polisi' membuatku merinding untuk memasukinya. Dengan langkah penuh keyakinan aku masuk ke dalam kantor polisi dan menemui salah satu polisi yang masih berjaga di sana.

"Ada keperluan apa kau datang kemarin nak. Mau buat laporan?" Tanya polisi penjaga setelah aku duduk di depannya. Jantungku sudah berdisko ria karena tengang. Sangking takutnya aku bingung harus berkata apa.

"Permisi pak, saya hanya ingin bertemu seseorang!" Tanyaku bersikap tenang.

"Siapa nak, di sini bukan penjara. Hahaha." Serunya sambil tertawa mencibirku. Apakah ke kantor polisi mencari orang berarti menjenguk tahanan. Apakah kebingunganku pantas ditertawakan. Aku mendengus kesal mendengar tawa polisi itu.

"Saya ingin bertemu dengan pak Adam Wright. Apa beliau ada?" Tanyaku memberanikan diri mencari pak Adam.

"Apa kau ingin bertemu dengan komandan?" Tanyanya balik tidak percaya. Bahkan dia meremehkanku.

"Iya!" Jawabku singkat. Ada seorang polisi lain yang datang mengambil beberapa berkas di meja belakang polisi yang berjaga. Aku lihat dia tergesa-gesa mengambil dan membawanya.

"Sam, apa komandan Adam ada di dalam kantor?" Tanya polisi di depanku pada polisi yang sedang mengambil beberapa berkas di mejanya.

"Beliau sedang rapat membahas kasus meninggalnya 7 remaja kemarin pak." Jawabnya tanpa memperdulikan kami dan masih fokus mengambil berkas-berkas. Setelah dia selesai mengambil dokumennya dia pergi lagi masuk ke dalam. Apakah semua polisi bersikap kasar dan acuh seperti itu. Aku akui pelayanan di kantor polisi ini sangat kurang. Mereka bersikap seenaknya sendiri.

"Bagaimana nak, kau sudah mendengarnya bukan. Komandan sedang sibuk sekarang, kau bisa datang kembali lain waktu." Ucapnya dengan malas.

"Kapan aku bisa bertemu dengannya?" Tanyaku masih bersikeras untuk menemui pak Adam.

"Tidak tahu, akhir-akhir ini dia sibuk!" Jawabnya acuh, tidak perduli. Bahkan dia masih fokus ke komputer di sampingnya.

"Bolehkah aku meminta nomer telfonnya." Tanyaku lagi, mungkin saja aku bisa bicara di tempat lain bersama pak Adam selain di kantor polisi yang membuatku tidak nyaman.

"Boleh, sebentar aku carikan dulu, ini!" Jawabnya memilah dokumen di bawah laci dan memberikan satu dokumen bermap biru padaku.

"Terimakasih pak." Kataku berbasa-basi walaupun tidak iklas sama sekali. Aku mencari nama pak Adam dari sekumpulan nama di dalam dokumen ini. Setelah menemukannya aku mencatat nama dan nomernya diponselku. Setelah berhasil tersimpan aku mengembalikan dokumen itu pada polisi penjaga itu.

"Siapa namamu nak, biar aku katakan nanti jika komandan selesai rapat." Tanyanya sambil mengabil kertas kunjungan di kantor polisi ini. Aku lihat kertasnya hanya berisi sedikit orang yang berkunjung memberi laporan. Jika polisinya tidak ramah seperti ini siapa yang mau memberi laporan ke kantor polisi ini.

"Namaku Elian Hemswarth." Jawabku tersenyum ramah.

"Pak, di mana berkas sidik jari Korban kemarin, pak adam menyuruhku mengambilnya." Tanya polisi yang tadi turun mengambil berkas tadi. Rapat kenapa tidak disiapkan semuanya sebelum rapat dimulai, kasihan polisi itu harus berkali-kali keluar mengambil berkas.

"Di brangkas nomer 5. Kenapa kamu pelupa." Jawabnya dan pak polisi itu memberi salam hormat lalu pergi kembali.

"Namamu Elian Hemswarth, aku sudah mencatatnya di daftar kunjungan hari ini. Nanti akan aku sampaikan ke komandan." Ucap polisi penjaga itu menujukan namaku tertulis di daftar kunjungan. Jika begitu aku bisa kembali pulang dan menbuat janji dengan pak adam nanti.

"Terimakasih banyak pak atas bantuan nya. Saya permisi dulu." Pamitku beranjak berdiri dan keluar dari kantor polisi yang suasananya membuatku tidak nyaman.

"Elian!" panggil pak Adam dari arah belakangku saat aku membuka pintu kaca kantor polisi. Aku berbalik dan melihatnya.

"Pak Adam!" Kataku menimpali panggilan pak Adam.

"Kau datang mencariku?" Tanyanya bergegas berjalan ke arahku dan berdiri tepat berada depanku.

"Pak Adam sedang sibuk, aku tidak akan mengganggu waktu anda. Mungkin lain waktu kita bisa bertemu." Kataku menjauh dari pak Adam. Dia berdiri terlalu dekat denganku.

"Tidak perlu, ayo masuklah." Serunya menarik lenganku dan menyeretku mengikuti langkahnya. Aku lihat beberapa polisi yang turun melihatku dengan tatapan aneh. Aku merasa menjadi penjahat yang tertangkap basah dan diseret ke penjaga. Dia membawaku ke lantai dua. Pak Adam membuka salah satu ruangan di sana lalu melemparku ke sofa begitu saja. Dia duduk dengan angkuh di atas meja, bahakan di depan mataku. Dia menatapku dengan tajam seakan ingin mengulitiku.

"Bukannya kau marah padaku karena merebut pacarmu?" Tanyanya yang sekarang menatapku lekat-lekat. Aku sedang tidak ingin membahas itu sekarang. Aku hanya ingin mereka yang membunuh ibuku harus dihukum dengan berat.

"Kesampingkan masalah itu. Aku tidak ingin membahas itu sekarang." Kataku memberanikan diri menatap pak Adam.

"Lalu untuk apa kau datang mencariku!" Tanganya yang membuatku harus bersiap-siap mengolah kata-kataku. Pak Adam menelisik wajahku yang dari tadi menatapnya dengan ragu-ragu. Aku harus berani mengatakannya tanpa harus menyangkutkan orang lain.

"Aku ingin menyampaikan berita tentang Jasmine." Kataku akhirnya terucap.

"Jasmine Freya, salah satu mata-mataku." Seru pak Adam. Aku hanya mengangguk tanda jika benar dia yang aku maksud.

"Sebenarnya kejadiannya sudah satu bulan yang lalu, tapi aku baru berani mengatakannya." Kataku malu-malu mengingat sikap pak Adam yang membuatku emosi. Jika dia tidak bersikap menyebalkan mungkin saja dari awal aku sudah mengatakan semuanya padanya.

"Kenapa baru mengatakannya, padahal kita sudah sering bertemu." Ucapnya mengintimidasiku.

"Karena kau menyebalkan!" Kataku keceplosan. Pak Adam hanya memberikan senyum miringnya padaku. Sepertinya tidak masalah jika aku mengumpatnya.

"Dulu aku pernah bertemu dengan Jasmine di mensen sekte jubah merah. Sayangnya Jasmine sudah meinggal." Kataku mulai bercerita. Pak Adam terlihat biasa saja nampak tidak terkejut sama sekali. Dia sepertinya sudah terbiasa melihat dan mendengar kematian seseorang.

"Tidak perlu takut, aku mengerti. Kau bisa bercerita kembali." Ucapnya mengangkat wajahku yang menuduk menghadap ke arahnya.

"Aku tidak akan menuduhmu pembunuh. Lebih enak jika kau bicara sambil menunjukkan wajahmu." Serunya lagi yang membuat wajahku memerah. Aku melepas tangannya yang mengangat wajahku tadi. Aku bahkan melempar pandanganku ke samping untuk menenangakan jantungku yang bergerak cepat. Setelah cukup tenang aku menatapnya dalam diam, dengan penuh persiapan aku menceritakannya kembali.

"Sebelum meninggal, Jasmine menceritakan semua yang dia tahu padaku tentang sekte jubah merah itu dan menyuruhku mengatakanya pada anda. Dimana sekte jubah merah itu menyembah iblis dan memberikan tumbal setiap bulannya. Tumbalnya adalah seorang wanita yang akan diperkosa oleh iblis itu lalu ketika sudah selesai mereka membunuhnya. Mereka ingin membuat keturun untuk raja iblis yang mereka sembah. Mereka menculik dan mengatasnamakan merekrut anggota baru untuk dijadikan tumbal. Salah satunya aku, tetapi Jasmine menyelamatkanku." Ceritaku yang aku buat sesingkat mungkin dari apa yang dikatakan Jasmine dulu. Jujur saja aku hampir lupa sebagian yang aku ingat.

"Bagaimana bisa kau menjadi tumbal sekte jubah merah itu." Tanya pak Adam penasaran.

"Aku ingin menyusup ke anggota mereka dan membalaskan dendamku. Tetapi ternyata tidak semudah itu." Kataku emosi namun segera aku meredakannya. Aku menundukkan kepalaku mengingat kembali bagaimana mereka menyiksa dan membunuh ibuku. Mereka sangat kejam.

"Dendammu!" Serunya yang langsung aku jawab dengan sarkas. Aku terbakar emosi jika mengingat betapa kejamnya sekte sesat itu.

"Ya, ibu kandungku salah satu korban mereka. Aku tidak ingin ibuku tersiksa karena rohnya penasaran dibunuh oleh mereka." Kataku menatap pak Adam dengan kesedihan tergambar jelas di mataku.

"Jangan sedih, kita selesaikan masalah ini bersama. Aku tidak akan membuatmu terluka." Seru pak Adam memegang kedua pundakku untuk menguatkanku.

"Aku sedih karena telah menjadi anak yang tidak berguna." Gumanku merasa sedih karena tidak memperdulikan ibu kandungku yang menderita cukup lama karena bersikap acuh padanya.

"Tidak perlu khawatir, aku di sini akan membantumu." Ucap pak Adam duduk di sampingku. Dia bahkan menggeser pingganggnya menempel dengan badanku. Apa yang dia lakukan sekarang, sikapnya membuatku risih. Dia malah tersenyum mesum dan mengarahkan tangannya menyentuh rambutku. Sebisa mungkin aku menghalangi tangannya yang jahil dan secepatnya kembali pulang.

"Hanya sebagian jalan yang aku ketahui, anda bisa menghubungkan jalannya sendiri. Semoga bisa membantu menangkap dan menghukum mereka." Kataku memberikan kertas yang bergambar rute ke mensen aliran jubah merah itu. Aku berharap mereka cepat tertangkap dan dihukum seberat mungkin. Agar tidak ada korban pembunuhan lagi.

........~•°♥°•~.......

Aku pulang ke rumah dan disuguhi mama yang nampak senang menghampiriku.

"Elian, sini sayang lihat mama habis belanja. Mama dapat ini buat kamu." Seru mama menarikku ke dalam rumah dan menunjukan 3 kotak sepatu.

"Apa ma? Sepatu!" Kataku bingung. Aku melihat tiga kotak sepatu yang mama berikan padaku. Mama membelikanku tiga pasang sepatu dengan model yang berbeda.

"Lihat, pasti cocok buat kamu sayang." Ucap mama tersenyum senang. Aku malah terkejut karena setelah aku lihat harganya super mahal bahkan semuanya brand terkenal.

"Tapi Mama beli tiga lho ini. Semua merek brand terkenal. Lagian sepatuku masih banyak yang belum berpakaian." Protesku karena mama terlalu banyak memberikan barang yang tidak terlalu penting.

"Tidak apa-apa, papa beri mama uang yang lebih buat kamu." Ucap mama mengelus pundakku.

"Terimakasih ma." Kataku membawanya ke kamar. Lihatlah rak sepatuku saja sudah tidak muat lagi untuk meletakan tiga sepatu ini. Aku meletakkannya di atas almariku. Aku melihat sekilas pintu rahasia di belakang almariku dan tidak memperdulikannya.

Aku melempar tasku ke kursi dan menjatuhkan badanku yang lelah seharian ke atas kasur. Badanku terasa sakit karena membentur benda keras di atas kasurku. Aku berdiri dan membuka selimutku. Alangkah terkejutnya aku melihat lima batu sungai tertata rapi di atas fotoku yang berdiri sendiruan di sana. Aku mengambil semuanya. Aku bertanya-tanya, bukannya aku sudah menyimpannya di laci meja. Kenapa bisa ada di sini. Aku memastikan ke dalam laciku dan ternyata hanya ada kotak kecil berisi kalung peninggalan ibu kandungku saja. Siapa yang menatanya di sini, apa mama. Pasti mana tahu sesuatu. Aku turun ke bawah mencari keberadaannya mama di seluruh ruangan tetapi tidak ada. Aku mencarinya di dapur tidak ada juga.

'Ngikkkk krekkk Brakkk'. Seketika pintu belakang terbanting kertas sekali yang membuat jantung terlonjat kaget. Aku mencoba menutupnya, aku terkejut lagi melihat ibuku. Lilian Gleeson berjalan keluar menuju ke halaman belakang rumah. Aku mengikutinya sampai di hutan belakang rumah yang rimbun. Perhatianku teralihkan oleh pohon besar yang berada di bekalang rumah. Aku merasa pernah ke sini sebelum. Aku terkejut dengan sesuatu yang jatuh tergantung di depan mataku.

"Arkhh!" Teriakku berlari masuk ke dalam hutan. Hantu wanita lusuh yang terganggu di sana membuatku merinding. Sekujur tubuhku terasa dingin karena ketakutan. Aku melihat di sekelilingku dipenuhi pohon-pohon besar menjulang tinggi. Aku harap hantu gantung diri tadi tidak mengikuti sampai ke sini. Aku heran kenapa aku terlihat familiar dengan tempat ini.

Aku mendengar sebuah air beriak ke dalam hutan. Aku begitu penasaran sehingga aku mencarinya masuk ke dalam. Aku terkagum saat membuka semak-semak ada sungai kecil dipenuh dengan bebatuan besar di sana. Pemandangan di sini sangat bagus, tidak kalah dengan pemandangan wisata di kota lain. Aku menyapukan pandanganku ke hamparan air yang mengalir. Di sebelahku, di atas batu besar berdiri seorang wanita berpakaian renang berwarna pink menatap ke bawah air sungai yang mengalir. Dia hantu atau manusia sungguhan.

"Nona!" Panggilku menghampirinya. Namun langkahku terkejut saat kepalanya berputar ke arahku dan tubuhnya jatuh ke bawah.

"Kyaahhhh!" Teriakku berlari pergi masuk ke dalam hutan lagi. Nafasku ngos-ngosan karena lelah.

Kakiku gemetaran karena letih berlari. Aku sandarkan tangan dan badanku ke pohon untuk istirahat sebentar. Aku melihat sekelilingku dipenuhi pohon-pohon besar lagi. Aku bahkan tidak tahu tempat ini. Sepertinya aku tersesat. Jam berapa sekarang, sebentar lagi jam lima sore, hari mulai senja. Jika aku tidak cepat-cepat kembali ke rumah, aku bisa bermalam di sini. Sedangkan aku tidak membawa ponsel untuk menerangi jalan nanti jika hari mulai gelap.

"Untuk apa aku membawa kelima batu ini. Apakah batu ini berguna untuk mengusir mereka. Kita coba saja!"  Seruku saat aku merogoh saku celanaku yang berharap mendapatkan sesuatu di sana. Aku berusaha mencari jalan keluar sesuai instingku, semoga saja tuhan selalu melindungiku dan memberiku petunjuk untuk keluar dari hutan di belakang rumahku sendiri.

Sepanjang aku mencari jalan kenapa hutan terasa sunyi, hanya detak jantung dan suara nafasku yang bisa aku dengar. Apa ini hanya mimpi, kenapa aku tersadar dalam mimpiku. Aku melihat kedua tanganku sendiri yang terlihat tidak nyata. Seketika di sekelilingku dipenuhi kabut yang membuat pohon-pohon dan semak-semak seakan menghilang. Suara jeritan demi jeritan aku dengar bersahutan di telingaku. Aku menutup telingaku rapat-rapat dan melihat di sekelilingku yang hampa. Aku memejamkan mataku berharap akan bangun dari mimpiku yang mengerikan. Jeritan wanita itu mulai melemah, membuat mataku perlahan terbuka dan melihat banyak daun berguguran di bawah sepatuku. Aku melihat ke sekelilingku lagi di mana hanya ada pohon meranggas daunnya. Hanya tinggal batang pohon yang menjulang tinggi dengan ranting dan  ialang yang mengering. Kenapa musim gugur datang sangat cepat. Aku sudah tidak tahan dengan keanehan di dalam hutan ini. Aku berlari menginjak dedaunan yang menimbulkan suara sangat nyaring di telingaku. Aku berharap cepat kembali ke rumah.

Di depanku ada sebuah gubuk kecil yang hampir roboh. Apakah ada orang di dalam sana. Aku berjalan ke sisi depan rumah dan membuka pintu. Seketika pintunya roboh jatuh ke dalam. Astaga untung tidak jatuh menimpaku. Aku masuk ke dalam, melihat berbagai alat dari paku, gergaji, pisau, kapak, isolatip, tali dan sejenisnya ada di sini. Apa tempat ini bekas untuk menyimpan alat pemotong pohon. Ada satu tempat tidur dan kursi di dalam sini yang semuanya hampir hancur.

Aku membuka almari kecil yang sudah bolong-bolong. Di sana ada banyak toples yang di dalamnya ada sesuatu yang sudah hitam dan mengering.  Ada juga yang masih tersisa sedikit air di dalam toples yang lain. Bahkan ada beberapa buku yang sebagian di makan rayap. Aku mengambilnya satu dan membukanya, astaga berisi sesuatu tentang pemujaan setan. Buku yang lain berisi banyak sekali foto- foto. Aku mengambil satu foto seorang wanita bergaun putih. Aku balikan foto itu bertuliskan nama Balarica Jean. Aku membuka halaman selanjutnya, ada foto lagi dan ternyata Balarica adalah seorang ibu dengan lima anak. karena tidak terlalu penting, aku meletakannya di meja. Kenapa di zaman modern seperti ini masih mau bersekutu dengan setan. Aku mengambil satu tobles untuk melihat isinya. Tetapi tanganku yang tidak hati-hati menyenggol beberapa toples yang lain menbuatnya jatuh dan pecah. Bau busuk menyengat di hidungku. Aku meletakkan toples yang aku pegang di meja dan berjongkok melihat sesuatu yang menghitam kehijauan karena  berlumut itu. Dengan pisau yang ada di atas meja tadi, Aku menggerak-gerakan benda hitam itu. Membelahnya, astaga ini sepasang bola mata manusia yang membusuk dan rusak.

"Elian, aku ingin kau melihatnya!"  Aku kaget mendengar bisikan seorang wanita di belakangku. Aku berbalik untuk melihatnya, malah ada seorang kakek tua ada di belakangku membawa kapak.

"Siapa kau!"  Tanyanya dengan rahang mengeras dan sorot mata yang tajam. Aku panik dan ketakutan. Kakek tua itu berjalan dengan langkah cepat dan melayangkan kapaknya ke arahku. Aku menutup mata karena tubuhku mematung ketakutkan. Kenapa tidak terjadi apa-apa. Aku membuka mataku perlahan-lahan dan terkejut dengan apa yang aku lihat. Kedua tanganku yang membawa pisau menembus dadanya. Dia menatapku dengan mata merah serta darah yang keluar dari mulutnya membanjiri tanganku. Aku panik dan melepas tanganku. Aku berlari keluar dengan mataku yang membulat tidak percaya. Apa aku sudah membunuh orang. Kedua tanganku dipenuhi oleh darah. Seketika kepalaku pusing karena terkejut.

Brakkkk. Suara mengerikan itu berasal dari dalam gubuk itu. Sosok kakek tua itu keluar dari dalam gubuk dengan keadaan mengerikan. Matanya hilang, hanya ada kekosongan dan darah hitam keluar dari matanya membanjiri wajahnya. Mulut dan dadanya  yang tertancap pisauku tadi juga mengeluarkan darah hitam begitu banyak.

Dia berjalan menuju ke arahku dengan seringai yang menakutkan. Aku berjalan mundur berusaha kabur, tetapi aku dikejutkan dengan banyaknya mayat tergantung di depanku. Ada banyak kain merah yang terikat di banyak ranting pepohonan di sekelilingku juga. Mayat wanita, laki-laki, anak-anak, semua ada di sini. Mereka menatapku dalam kekosongan lalu bibir mereka bergerak mengukir senyum mengerikan padaku. Aku bingung harus berlari ke arah mana. Dalam ketakutanku tiba-tiba rambutku ditarik dengan sangat kuat dan diseret oleh kakek itu. Aku menjerit yang aku bisa.

"Lepaskan aku! Lepaskan!" Seruku meronta-tonta mencoba melepaskan tangannya dari rambutku. Aku langsung dijatuhkan ke bawah dan dia dengan cepat memasangkan tali tambang di leherku. Dia menarik tali itu yang membuatku tergantung ke atas.

Nafasku tercekik. Leherku sakit sekali. Aku tidah bisa bernafas tolong aku. Tanganku berusaha merai sesuatu dalam kekosongan dan kakiku bergerak mencari pijakan. Semua yang aku lakukan hanya sia-sia. Astaga aku tidak bisa bernafas lagi. Seketika aku ingat batu yang aku bawa. Aku gunakan tangan kiriku untuk menyangga tali di leherku. Dengan susah payah tangan kananku mengambil batu itu di saku celanaku. Aku tersentak lagi saat tali yang mengikat leherku ditarik dengan kuat sampai aku tertarik semakin ke atas. Aku mohon tolong aku, aku tidak kuat lagi menahan leherku.

"Elian, ini aku!" Seru seorang wanita yang tiba-tiba muncul dihadapanku yang membuatku terkejut. Matanya yang hilang dan senyum mengerikannya menakutiku. Aku langsung melempar batu itu ke arahnya seketika aku terjatuh ke bawah. Nafasku memburu. Paru-paruku memompa oksigen dengan sangat cepat. Aku terkejut melihat keadaan di sekitarku penuh dengan tumbuhan ilalang dan semak-semak yang begitu banyak. Aku berdiri dan memeriksa leherku yang terikat tidak terasa sakit sama sekali. Gubuk itu juga sudah hancur tertimbun tumbuhan rambat dan lumut. Apa yang aku lihat tadi sangat mengerikan. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Aku berlari lagi entah ke mana menembus banyak semak-semak dan pepohona, yang terpenting aku harus keluar dari hutan ini secepatnya.

Aku menemukan sebuah jalan beraspal. Akhirnya aku bisa pulang, batinku tertawa senang. Tetapi aneh, ini bukan jalan di sekitar rumahku. Aku berjalan menyusuri jalan beraspal itu sampai aku menuju ke sebuah trowongan yang gelap. Aku rasa jalan trowongan masih jauh dari rumah, Kenapa sudah ada di depan mataku sekarang. Sejauh itukah aku berjalan. Aku melihat jam tanganku yang menunjukan jam setengah 5. Dari tadi Kenapa masih jam setengah lima. Bahkan jarum detiknya juga tidak bergerak. Apa jam tanganku mati.

Tiba-tiba keadaan gelap begitu saja. Aku kaget, ternyata aku sudah berada di dalam trowongan. Aku yakin tadi masih berdiri diambang trowongan, tetapi sekarang sudah ada di dalam. Aku mendengar suara langkah sepatu yang semakin lama semain mendekat. Suara tawa seorang laki-laki yang lumayan banyak juga mengiringinya. Sampai aku melihat 3 orang preman bertampang sangar berjalan menuju ke arahku. Mereka membawa belati, kapak dan golok ke arahku. Aku menelan ludahku dengan kasar karena ketakutan. Apa mereka akan merampokku sekarang. Namun, pakaian mereka sangat aneh dan jadul.

"Mau pergi ke mana kau, jahhaha!" Serunya tertawa keras lalu menghalangi jalanku. Aku didorong terus menerus sampai menghantam dinding dibelakangku.

"Hahahaha!" Tawa jahat mereka menggema di dalam trowongan ini. Mereka memojokanku ke dinding trowongan dan mengelilingiku.

"Aku tidak membawa apa-apa, jangan sakiti aku." Kataku ketakutan.

"Kau harus membayarnya, hahaha!" Serunya melayangkan kapak ke arahku. Aku memejamkan mataku karena terkejut. Keadaan kembali hening. Aku membuka mata perlahan-lahan, nafasku mencekik leherku. Aku terkejut mereka berubah menjadi mayat hidup dan mulutnya terbuka lebar mengeluarkan cairan hitam menakutkan. Aku bergeser untuk pergi dari mereka, tetapi kakiku menyenggol sesuatu. Seseorang laki-laki terbujut kaku dengan kapak dilehernya. Dengan badan gemetaran aku melompatinya dan berjalan mundur menghindari mereka. Salah satu penjahat yang sudah menjadi mayat hidup mengambil kapak dan menghujamkannya kembali ke leher laki-laki itu sampai kepalanya bergulir menyentuh kakiku. Tubuhku mengejang ketakutan.

"Ini aku, Elian!" Serunya dengan mulut yang memuntahkan darah hitam berbau busuk. Aku menelan ludah dan berlari kabur dari sana.

Akhirnya aku bisa keluar dari tempat itu. Nafasku ngos-ngosan karena berlari menghindari mereka. Saat aku ingin menyeka keringat di keningku, aku terkejut tanganku menbawa sebuah tas lusuh. Aku membukanya karena penasaran. Ada beberapa buku paket cetakan tahun 1980. Aku mencari lagi dan mendapatkan sebuah dompet berisi sejumpah uang lama serta ada tanda pengenal yang bernama Tyson Marker lahir tahun 1970.  Yang membuatku terkejut wajah pemuda yang dibunuh itu sama persis dengan yang di tanda pengenal ini. Aku mengarahkan pandanganku ke arah depan, badan dan tanganku membeku berkeringat dingin. Sunggu sangat menakutkan, badannya yang membawa kepala berdiri tepat berada di depanku. Badanku merinding bergetar ketakutan. Tanganku yang gemetaran berusaha mengambil batu di saku celanaku. Kakiku perlahan melangkah ke belakang sambil melempar batu itu ke arahnya dan menutup mata. Kakiku tersandung sesuatu yang membuatku jatuh ke bawah.

Aku dengan takut-takut membuka mata dan melihat ke depan lagi, tetapi yang aku lihat sekarang adalah sebuah ruangan yang penuh dengan boneka. Aku berada di rumah yang penuh dengan boneka. Aku berjalan ke depan dan menemukan sebuah tangga menuju ke bawah. Aku menyusuri tangga itu dan melihat sebuah toko mainan dengan boneka begitu banyak tertata rapi. Aku tidak menyangka aku bisa berada di sebuah toko mainan. Aku membuka pintu toko tetapi terkunci. Aku berusaha menggedor pintu yang terbuat dari kaca, namun tidak ada yang mau membantuku membuka pintu ini. Aku kerkejut dengan banyaknya orang yang lewat, mereka tidak memiliki wajah sama sekali. Bahkan mereka sesekali melihat ke arahku. Kenapa mimpi ini tidak kunjung berakhir. Aku mohon tolong bangunkan aku.

"Mau lari ke mana kau!" Seru seseorang yang memegang tanganku dengan kuat. Aku melihatnya dengan bingung. Dia menarikku masuk ke dalam rumah dan memasukan tubuhku ke dalam sebuah jeruji besi. Aku ditahan di tempat yang gelap dan sempit.

"Keluarkan aku dari sini! Aku mohon keluarkan aku dari sini." Teriakku panik yang diiringi teriakan anak kecil yang sama. Aku melihat ke sampingku, ternyata banyak anak-anak menangis di sana. Nafasku sudah mencekik leherku lagi, kapan aku bisa keluar dari lingkaran mimpi buruk ini. Aku mengamati anak-anak itu yang meringkuk menutupi wajah mereka.

"Hahhh!" Kagetku saat mereka mendongak melihat ke arahku, mereka tidak memiliki wajah.

Aku merasakan rambutku ditarik keluar dari jeruji besi dan dipaksa tidur di sebuah ranjang yang berbunyi derit menakutkan. Kedua tanganku diikat dengan ranjang oprasi oleh pemudah mengerikan itu. Aku melihat dua anak kembar di tempatkan di ranjang yang berbeda dihadapanku. Anak kembar satunya astaga, aku ingin muntah. Air liurku sudah mengalir tidak tahan merasakan mual. Aku ingin muntah. Aku menutup mata tidak berharap melihatnya.  Jeritan demi jeritan mengganggu telingaku. Tangis pilunya menyayat hatiku.

"Aku tidak mau melihatnya. Lepaskan aku!" Jeritku berusaha melepaskan diri. Aku sudah tidak mau melihat sesuatu yang mengerikan lagi.

"Elian, lihat aku!" Suara anak kecil itu membuatku membuka mata.

Astaga, oh tuhan. Tidak, aku mohon jangan. Hahh hahh aku menangis sejadi-jadinya.  Air mata dan ingusku berhamburan keluar. Tubuh seorang anak yang dibedah di depan mataku. Pemuda itu membuang semua daging, otot, tulang anak itu. Darah bercucuran dengan derasnya mengalir dari ranjang turun ke bawah seperti sungai mengalir. Darah merah mengotori ranjang yang berwarna abu-abu kusam. Tubuh anak itu kini tinggal kepala, leher, sampai isi di dalam tubuhnya. Badanku lemas tidak bertenaga sekarang.

Aku tidak kuasa untuk melihatnya lagi. Pandanganku yang mulai kabur aku lihat pemuda itu mengambil boneka di sampingku. Dia memotong kepala boneka itu serta membelah bagian tengah badan boneka itu. Dia dengan keji meletakan kepala dan isi organ dalam anak itu ke dalam badan boneka dan menjahitnya. Menyatukan badan boneka itu dengan kepala anak itu yang terlihat pucat. Aku tidak mau melihat ini semua, aku harus pergi dari sini. Aku  berusaha dengan sekuat tenaga menari tanganku agar lepaskan dari ranjang ini. Satu tanganku akhirnya bisa terlepas. Sekarang tinggal melepas ikatan tangan kananku.

"Elian, lihat aku!" Suara itu lagi. Aku sekarang melihat anak kecil yang satunya menatap ke arahku.

Dia menatapku dengan seringai tajam di bibirnya. Pemuda itu dengan tanpa berperasaan memenggal kepala anak itu dengan kejam. Aku menutup mataku karena terkejut melihat adegan kejam itu. Membaranikan membuka mata lagi dan melihat darah mengotori baju dan tangan pemuda pesikopet itu. Kepala boneka yang dia potong tadi dijahit ke badan anak itu. Aku mohon hentikan semua ini. Aku dengan susah payah melepas ikatan  ditanganku dan berhasil kabur. Namun, aku terjatuh karena kakiku di tarik oleh sesuatu. Orang pesikopet itu menarikku menuju ke tempat tadi di mana dia membunuh anak-anak itu. Aku meraih apapun yang bisa aku sentuh. Aku berpegangan pada jeruju besi dan menendangnya sampai dia terjungkal ke belakang.

Pisau berkarat yang dia gunakan untuk membunuh anak-anak itu aku ambil dan aku hunuskan ke dadanya berkali-kali sampa darah bercucuran keluar dari dada dan mulutnya. Dia diam tidak bergerak dengan mata melotot. Aku bangkit dengan ketakutan karena telah membunuh seseorang lagi. Berapa kali aku telah menbunuh orang dengan tanganku yang penuh darah. Aku melihat ada banyak tumpukan foto tubuh anak-anak yang dimodifikasi dengan tubuh boneka. Kenapa dia begitu kejam. Aku juga melihat tumpukan koran lama. Aku membaca koran yang terbit di tahun 2003. Ada berita anak kembar perempuan hilang. Kedua anak itu bernama lily Edelyn dan Lyla Edelyn. Saat aku fokus membaca aku dikejutkan oleh kehadiran mereka berdua.

"Kak Elian main yuk!"  Seru mereka yang membuatku ketakutan.

"Kyaaa!" Teriakku berlari ke pintu dan berusaha membukanya.

Tanganku yang gemetaran berusaha memutar kunci yang sebenarnya sudah tertancap di lubang kunci ini. Tenanglah Elian, tenang. Kamu pasti bisa kabur. Akhirnya dengan perjuangan aku bisa membuka pintu. Sebelum kabur dari sana aku melempar satu batu ke arahnya dan berlari melewati lorong-lorong yang panjang. Kenapa ini, kenapa suasananya berbeda dengan ditoko boneka tadi. Aku melihat banyak pintu dan jendela. Aku intip ternyata sebuah sekolah. Walaupun remang-remang aku bisa melihat papan tulis, meja, kursi, dan beberapa hasil karya anak-anak di sana.

Aku berjalan melewati lorong-lorong sekolah dan menemukan sebuah kelas yang diterangi cahaya. Aku membukanya dan masuk ke dalam. Tiba-tiba pintu tertutup sendiri dengan keras, brakkk. Jantungku terlonjat kaget sampai aku harus mengelus dadaku agar bisa tenang kembali. Aku melihat banyak sekali coretan demi coretan di dinding. Aku melihat lagi dan lagi. Ada sebuah foto  besar tertempel di dingin. Ada beberapa Anak berkebutuhan khusus di sini. Aku menunjuknya satu persatu, alangkah terkejutnya tanganku yang dari tadi dipenuhi darah kini bersih kembali. Hanya ada tangan kotorku penuh dengan debu dan tanah. Aku tidak memperdulikannya karena ini hanya mimpi.

Aku melihat foto itu lagi, ada tiga anak cacat yang bersekolah di sekolah umum. Yang pertama adalah anak yang  matanya tertutup satu dan tidak memiliki hidung, hanya ada dua lubang hidung di wajahnya. Yang kedua, anak itu tidak memiliki tangan. Yang ketiga tangannya sangat panjang, mungkin dua kali tangannya. Aku tidak asing dengan anak ini. Bukanya dia hantu yang ada didapurku. Aku ingat semuanya, hantu yang tergantung itu hantu yang jatuh ke atas meja. Hantu kepala laki-laki yang dirampok itu menggelinding di kamarku. Hantu anak berkepala boneka adalah anak yang di bunuh oleh pesikopet itu. Mereka sudah mati dan menghantuiku. Kenapa mereka menunjukan kematiannya padaku, apa hubungan kematian mereka denganku. Sekarang hantu siapa lagi, batu di sakuku tinggal dua.

Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan beberapa anak di sampingku. Ada yang menangis dan tertawa terbahak-bahak. Namun, saat aku mencari dan menyapukan pandanganku ke seluruh ruangan ini, tidak ada apapun yang terlihat. Hanya ada suara mereka yang menggema di seluruh ruangan. Batu di kantongku tinggal dua. Berarti tinggal dua hantu lagi yang harus aku lihat bagaimana mereka mati. Aku melihat lagi siapa anak yang memiliki lengan panjang itu yang ternyata bernama Charle Lee.

Sreekkk brakkk. Suaranya sangat nyaring sekali. Aku melihat ke sampingku lagi. Ada beberapa anak yang berusaha mendorong Charle keluar dari jendela. Sedangkan di seluruh ruangan ini ada banyak anak yang tidak memiliki wajah menghadap ke arahku.

"Elian, kau lihat aku kan!" Serunya sebelum jatuh dari jendela.

"Jangaannn!" Teriakku menghampirinya yang sudah jatuh ke bawah berlumuran darah. Aku kesal dengan kelakuan anak itu. Cara bercandanya sungguh keterlaluan. Tanpa pikir panjang aku mengambil kursi dan menghantamkannya ke kepala anak nakal itu sampai dia tidak bergerak lagi. Darah keluar mengalir menyentuh kakiku. Aku terkejut, apakah aku membunuh orang lagi.

"Elian, kau membunuhnya!" Seru hantu Charle berada di sampingku yang membuatku terkejut. Aku berlari ke pintu depan. Aku melihat tidak hanya Charle yang berdiri di sana, tetapi tiga anak yang sudah membunuhnya berlari ke arahku. Aku sontak mengambil batu itu dengan tergesa-gesa dan melemparkannya ke arah mereka sambil menutup mata.

Seketika keadaan di sekitarku terasa sunyi kembali. Aku membuka mataku perlahan-lahan dan melihat di sekelilingku yang terdapat banyak tumpukan dokumen. Ruangannya ber-ac, dingin sekali. Aku berusaha membuka pintu, namun terkunci. Astaga, apa aku terkunci di ruangan dingin seperti ini. Ayolah cepat buka. Aku menggedor pintu berulang kali sampai ada seseorang yang membuka pintunya.

"Siapa kau?" Tanyanya terkejut melihatku. Ada seorang wanita berpakaian rapi seperti pekerja kantoran menatapku dengan aneh.

"Kau bukan hantu?" Tanyaku ketakutan. Apakah aku masih bermimpi atau masuk ke dalam dunia mereka yang sudah meninggal.

"Apa yang kau katakan? Tempat ini ruangan penyimpanan dokumen. Kenapa kau ada di sini? Atau jangan jangan kau pencuri!" Serunya panik dan berlari keluar dari ruangan kerja ini.

"Aku bukan pencuri nona!" Kataku yang tidak dia perdulikan. Aku berjalan mengikuti ke mana dia pergi.

"Scurity-scurity, ada pencuri data di brangkas kantor. Pasti dia mau mencuri data di perusahaan kita." Panggilnya histeris yang membuat beberapa orang kantoran keluar melihat aku yang berpakaian kusut mengikuti wanita itu.

"Nona, tapi-tapi aku tidak mencuri!" Kataku lagi berusaha meyakinkannya jika aku tidak mencuri. Dia berhenti dan menunjuk ke arahku. Ada dua satpam yang menghampiri dan memegangi kedua tanganku dengan kuat.

"Kau harus ikut dengan kami!" Ucapnya memaksaku ikut dengan mereka.

"Tapi pak, aku bukan pencuri!" Kataku berusaha memberontak. Kenapa mimpi ini terasa nyata sekali, genggaman tangan para satpam ini sangat nyata.

Banyak para pekerja kantoran yang melihatku sambil berbisik-bisik. Sepertinya mereka menghinaku pencuri. Aku ditarik sampai ke lantai bawah di lobi perusahaan. Aku ingat dengan tempat ini. Aku tidak asing dengan perusahaan ini.

"Ada apa ini?" Seru suara berat yang sangat aku kenal dari belakangku. Aku dan kedua satpam berbalik menatap ke arah sumber suara yang kami dengar. Ada papa dan beberapa orang berjas rapi. Mungkin rekan kerja atau klaien papa.

"Lapor, ada pencuri pak!" Ucap salah saru satpam memberi hormat pada papa. Papa melihatku dengan aneh dan membuang nafas dengan kasar.

"Papa!" Panggilku dengan nada sedih. Apa ini nyata. Ada papa dihadapanku. Kedua satpam itu terkejut karena aku memanggil direktur mereka dengan sebutan papa.

"Elian, Kenapa kau ada di sini?" Tanya papa bingung dengan kehadiranku yang lusuh, kumel, kotor, dan berantakan. Kedua satpam itu melepaskan tanganku.

"Maaf pak kami tidak tahu jika dia anak bapak." Ucap mereka berdua sebelum pergi.

"Aku tidak tahu pa, apa ini mimpi. Apa ini halusinasi. Aku takut pa, aku tidak ingin melihatnya lagi!" Kataku gemetaran mendekat ke arah papa.

"Kau kusut dan kotor sekali. Kau habis dari mana?" Tanya papa nampak bingung dengan keadaanku.

"Seingatku aku pergi ke belakang rumah, aku tidak tahu jika bisa sampai ke sini. Aku yakin jika ini hanya mimpi. Papa, tolong bangunkan aku. Aku tidak ingin melihatnya lagi." Kataku sesenggukan menahan tangis. Aku ingin cepat sadar kembali dari mimpi buruk yang terasa nyata.

"Sudah, sudah! Bersihkan dirimu dulu, nanti pulang bersama papa." Seru papa menepuk pundakku. Apa semua ini nyata.

"Temani aku ke kamar mandi pa. Aku mohon, aku takut sekali." Pintaku pada papa karena aku masih ketakutan dengan apa yang aku lihat hari ini.

"Iya ayo, papa tunggu di luar." Ucap papa memeluk pundakku dan membawaku ke toilet perusahaan yang berada di lantai satu.

Aku membuka pintu toilet, hanya kegelapan yang bisa aku lihat. Karena papa ada di sampingku, aku jadi tidak perlu khawatir dan takut lagi. Aku hanya perlu memencet lampu yang ada di kiri pintu. Aku terkejut kembali saat kakiku melangkah ke dalam toilet aku tidak bisa menginjak lantainya.

"Papa!" panggilku sebelum keseimbanganku goyah dan aku benar-benar jatuh ke dalam air. Aku juga melihat wajah papa yang nampak terkejut mengulurkan tangan ke arahku sebelum tenggelam ke dalam air. Aku berusaha menggerakan tubuhku berenang sampai ke atas.

"Hahh hahhh hahhh!" Nafasku terputup-putus karena berenang tanpa persiapan. Aku terkejut karena aku sudah berada di sebuah kolam renang.

"Kau baik-baik saja." Sapa seorang bapak-bapak berpakaian renang mengulurkan tangannya ke arahku. Aku langsung meraihnya dan mengeluarkan tubuhku dari kolam renang. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena aku tidak memakai kacamata.

"Apa kau pengunjung baru. Aku baru melihatmu!" Tanyanya heran.

"Tidak! Sepertinya kacamataku jatuh ke bawah." Jawabku sambil melihat-lihat ke dalam air mencari kacamataku dengan keadaan mataku yang rabun jauh.

"Kau berenang dengan pakaian seperti itu." Tanyanya lagi duduk di sampingku sambil meletakan pelampung di sampingnya.

"Aku tidak berniat berenang. Aku juga bingung kenapa aku bisa sampai di tempat seperti ini." Jawabku yang juga kebingungan.

"Kau bicara dengan aneh, biar aku ambilkan!" Seru paman itu turun ke dalam kolam dan menyelam ke dalam air sampai aku tidak bisa melihat siluet tubuhnya lagi.

"Elian, aku akan mengajarimu berenang!"  Bisik seorang wanita di telingaku.

"Siapa di sana?" panggiku pada seorang wanita yang berbisik di telingaku tadi. Aku melihat di sekelilingku, namun tidak ada orang sama sekali. Paman itu juga tidak kunjung muncul dari dalam kolam renang. Aku samar-samar melihat dua wanita memakai baju renang sedang bertengkar. Semakin lama wajah mereka nampak jelas di mataku

"Kau berani mengambil pelangganku!" Marah seorang wanita memakai baju renang biru membawa ban pelampung menunjuk ke arahku. Dia marah-marah tidak jelas ke arahku yang terdengar seperti bunyi mic yang melengkin rusak.

"Enyahlah kau dari dunia ini." Serunya memukul ban pelampung itu ke arahku. Sontak aku membuat tameng dari kedua tanganku. Aku merasakan tidak terjadi apa-apa. Aku membuka mata dan melihat wanita berbaju renang pink terjatuh ke dalam kolam renang. Wanita berbaju renang biru langsung turun ke bawah kolam dan mencekik leher wanita berbaju renang pink dengan kedua tangannya. Dia menenggelamkan tubuh wanita berbaju renang pink yang terbatuk-batuk kesusahan bernafas ke dalam air sampai wanita itu tidak bergerak lagi.

"Elian, anak yang hebat!" Suara itu. Aku pernah mendengarnya. Aku pernah ke tempat ini sebelumnya. Aku mengarahkan pandanganku melihat wanita berbaju renang biru yang membunuh wanita berbaju renang pink tadi. Aku benci melihat wajah yang menyebalkan itu, aku turun ke bawah kolam renang dan menariknya. Mencekiknya seperti apa yang dia lakukan pada wanita itu. Tiba-tiba wanita itu hilang dari pandanganku. Tanganku seketika menjadi kosong di dalam air. Aku merasakan baju atasku ditarik ke atas oleh seseorang. Aku dipaksa naik ke atas. Setelah sampai di atas, aku terbatuk-batuk karena meminum banyak air di kolam renang.

"Apa yang kau lakukan terjun ke kolam renang tanpa bergerak sedikitpun. Apa kau ingin mati!" Marah paman itu padaku. Aku berusaha mengatur nafasku yang ngos-ngosan kembali mereda.

"Aku tidak ingin mati pak." Seruku mengusap wajahku untuk menghilangkan air yang membasahi wajah dan rambutku.

"Ini kacamatamu. Aku pikir kacamata renang, ternyata kacamata sungguhan." Ucapnya tersenyum geli. Dia nampak tidak perduli dengan sikapku yang aneh. Aku juga terkekeh geli dengan kelakuanku yang aneh sambil mengusap-usap kacamataku dengan bajuku yang basah kuyup.

"Kau akan memakai kacamata basah seperti itu. Kemarilah, aku punya baju ganti." Tawarnya memberiku baju ganti.

"Terimakasih." Kataku tersenyum manis padanya karena sudah membantuku.

Aku mengikutinya masuk ke dalam ruang ganti baju. Dia memberiku handuk dan pakaian ganti. Aku mandi di kamar mandi dan memakai pakaian yang diberikan paman tadi. Tidak lupa membersihkan kacamataku yang basah dan memakainya kembali. Sebelum membuang bajuku ke tong sampah, aku mengambil batu sungai yang hanya tinggal satu. Kemudian aku keluar dari kamar mandi dan masuk ke ruang ganti di mana  paman itu menungguku.

"Sudah mau pulang paman." Tanyaku duduk di sampingnya. Karena sejak tadi hanya ada kita berdua.

"Namaku Steff Brown, panggil aku Paman Steff. Hari ini jadwal pelangganku cukup sedikit. Jadi, aku bisa menutupnya. Aku heran denganmu, kau bisa muncul tiba-tiba di kolam renangku. Itu sunggu sangat mustahil jika dipikirkan." Seru paman Steff heran dengan kedatanganku. Aku juga sedang bingung dengan apa yang aku alami sendiri, bahkan tidak tahu harus bagaimana menceritakannya.

"Aku juga bingung bisa jatuh ke kolam renang paman Steff. Aku yakin tadi pergi ke toilet. Sepertinya aku bisa berpindah tempat atau aku hanya berhalusinasi." Kataku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Aku hanya tersenyum bingung ke arah paman Steff.

"Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Jika ada kematian, berpindah tempat pun mungkin bisa terjadi. Hanya saja tidak semua manusia bisa melakukannya." Seru paman Steff yang membuatku terheran. Dia bisa begitu bijak menyikapi keanehan yang dia lihat.

"Anda percaya hal seperti itu!" Tanyaku terkekeh geli mengingat ketakutanku saat berpindah-pindah tempat ke tempat yang mengerikan. Aku menyadari jika sebenarnya semua ini adalah nyata. Hanya saja mereka para hantu yang ingin menunjukan kenangan mereka membuat aku harus terseret ke dunianya untuk menyaksikan apa yang ingin mereka perlihatkan.

"Karena aku sudah melihatnya tadi, aku tentu saja percaya. Sudahlah, ayo cepat keluar. Aku ingin menutup gedungnya." Seru paman Steff menepuk bahuku untuk tidak memikirkannya lagi.

"Baiklah!" Kataku beranjak berdiri dan berjalan mengikuti paman Steff keluar dari ruangan ganti baju. Di sepanjang ruangan yang aku lewati sepertinya aku tidak asing dengan tempat ini. Langkahku terhenti melihat beberapa foto yang terpajang di dinding. Paman Steff yang menyadari aku berdiri mematung melihat foto-fotonya berbalik menghampiriku.

"Ini beberapa foto prestasi para perenang serta pelangganku yang ingin berfoto." Jelas paman Steff berdiri di sampingku. Aku masih fokus melihat foto seorang wanita berpakaian renang berwarna unggu di sebelah kanan dengan empat anak yang membawa piala dan sisi kirinya ada wanita pembunuh itu serta paman Steff. Tanpa aku sadari tanganku menunjuk foto wanita berbaju renang unggu itu.

"Namanya Cristina Faren. Dia dulu calon istriku. Tapi sayang maut memisahkan kita. Dia meninggal tenggelam di kolam renang. Sampai sekarang aku tidak bisa melupakannya." Ucap paman Steff yang nampak sedih menatap foto wanita itu. Kehilangan sosok yang dicintai memang sangat menyakitkan.

"Ini!" Tunjukku pada sebuah foto yang di dalamnya ada wanita bernama Cristina Faren memakai baju renang pink dan seorang anak laki-laki serta ibuku Lilian Gleeson. Akhirnya aku bisa menemukan foto diriku bersama ibuku.

"Itu Cristina Faren bersama anak temannya. Aku lupa namanya siapa. Saat itu hari ulang tahun anak itu yang ke empat tahun, kalau tidak salah. Cristina memberi hadiah baju renang biru muda untuknya. Dia sangat ingin cepat menikah dan mendapatkan anak setampan itu. Aku juga ingin segera menikahinya. Tapi sayangnya impian itu harus sirna." Jelas paman Steff dengan wajah sedihnya lagi. Paman Steff ternyata orang yang sangat ramah. Dia menceritakan sesuatu yang dia ketahui dengan baik dan lembut. Memang sangat cocok dengan bibi Cristina.

"Anak ini adalah aku!" Kataku tersenyum manis menatap paman Steff.

"Dia kau. Astaga, aku tidak menyangka sekarang kau sudah sebesar ini. Siapa namamu, aku tidak ingat dengan namamu karena kau salah satu pelanggan Cristina dulu." Seru paman Steff tidak percaya. Dia tertawa senang sambil menepuk bahaku tanda rindu karena lama tidak bertemu.

"Namaku Elian Hemswarth dan ini ibuku Lilian Hemswarth." Kataku menunjuk fotoku yang masih kecil bersama ibuku Lilian dan bibi Cristina.

"Senang bertemu denganmu Elian. Jika Cristina melihatmu, dia pasti akan sangat senang. Anak didiknya sudah tumbuh menjadi pria yang tampan." Puji paman Steff dengan menahan kesedihan di matanya. Aku bisa melihatnya, matanya yang memerah menandakan dia ingin menangis. Wajahnya yang sendu membuatnya terlihat merana. Aku mengeluarkan senyum lebar dan memeluk sekilas paman Steff untuk menguatkannya.

"Aku merasa dia selalu ada disampingku." Kataku masih dengan senyum tergambar di wajahku. Sekali pun aku berusaha mengingat kenangan bersama mereka, aku tetap saja tidak bisa mengingatnya. Tapi perasaanku mengatakan jika mereka selalu ada disampingku.

"Kau pasti merindukannya!" Ucap paman Steff mengusap air mata yang mengumpul di matanya.

"Tidak juga, karena dia selalu ada disampingku. Kau yang sangat merindukanya paman. Dia juga merindukan paman." Kataku menyangkal jika aku merindukan bibi Cristina. Jujur saja aku tidak merasakan rindu padanya karena aku tidak mengingat apapun tentangnya. Aku hanya merindukan kenanganku bersama ibuku.

"Kau benar jika aku sangat merindukannya. Cintaku hanya untuknya. Aku akan pulang, kau tidak bisa berlama-lama di sini karena gedungnya akan aku kunci." Ucapnya berusaha tenang kembali. Kami sama-sama menepuk pundak satu sama lain untuk saling menguatkan.

"Bisakah aku menumpang di kendaraan paman. Aku tidak membawa kendaraan." Pintaku berjalan beriringan dengan paman Steff.

"Boleh! Ini, bantu aku mengunci beberapa pintu yang lain." Paman Steff mau memberiku tumpangan. Aku menerima kunci yang di berikan padaku. Paman Steff pasti paham dengan keadaanku yang datang ke sini tanpa diduga.

"Baiklah." Kataku berjalan pergi membantu paman Steff menutup beberapa pintu ruang renang di gedung ini. Saat hendak mengunci pintu tempat renang aku mendengar Bisikan yang sangat lembut di dekat telingaku.

"Baju renang pink ini sangat indah, Terimakasih Steff."  Ungkapnya yang hanya aku balas dengan senyuman kecil di bibirku.

Setelah selesai mengunci semua pintu dan gerbang geung renang kami kembali pulang. Aku diantar pulang oleh paman Steff yang ternyata rumahku berada di kota lain. Jaraknya tidak terlalu jauh karena rumahku berada dibatas kota. Di sepanjang jalan aku mendengar banyak hal tentang diriku dulu waktu masih aktif berenang di tempatnya. Bahkan dia juga sering menceritakan bagaimana bibi Cristina yang begitu menyayangiku.

"Terimakasih atas tumpangannya paman Steff. Baju renang pink yang anda berikan sangat indah, dia menyukainya. Ini untuk paman, jaga baik-baik batu ini dari bibi Cristina." Kataku sebelum turun dari mobil.

Aku memberikan batu itu ke tangan paman Steff. Dia membuka tangannya dan melihat batu itu dengan sangat dalam. Aku turun dari mobilnya tanpa mengganggu wajahnya yang terbengong karena kata-kataku. Setelah paman Steff tersadar dia membunyikan klaksonnya lalu mengemudiakan mobilnya berlalu pergi dari rumahku. Aku masuk ke dalam rumah yang disambut oleh omelan mama yang khawatir padaku.

"Elian, kemana saja kau. Kenapa baru pulang? Pergi tanpa pamit. Tidak membawa uang, dompet, bahkan ponselmu. Mama sangat khawatir." Ucap mama dengan khawatir menarikku masuk ke dalam rumah.

"Aku hanya sedang jalan-jalan." Timpalku.

"Ayo cepat masuk makan malam dulu. Mama masak sup iga sapi kesukaanmu. Ada pepes ikan salmon juga. Hari ini kamu pasti makan banyak, Elian harus habiskan semuanya." Seru mama senang menawari makan malam dengan makanan kesukaanku.

"Iya ma!" Kataku mengikuti langkah mama masuk ke ruang makan untuk makan malam bersama.

........~•°♥°•~.......
.
.
.
.
.
To be continue



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro