Episode 19
*KEBENARAN TENTANG LILIAN GLEESON*
.....~•°♥°•~......
Kemarin setelah berhasil mengingat semua tentang bibi Lilian aku mengeluarkan kotak besi itu dari bawah kasurku. Aku menelitinya kembali. Kotak Besi yang keras serta gembok kuncinya yang ada di dalam membuatku kesusahan untuk membukanya. Berbagai cara sudah aku lakukan untuk membobol lubang kuncinya, tetapi tetap tidak bisa terbuka. Aku mencoba menbukanya dengan linggis. Tetapi celah diantara tempat dan tutupnya hampir tidak terlihat, kotak besi ini sangat rapat. Aku mengintip ke arah lubang kuncinya seketika aku mengingat patung di ruang kerja papa yang membawa kalung berbandul kunci. Apa itu kuncinya.
Tiba-tiba ponselku berbunyi nyaring yang mengganggu lamunanku. Ada yang menelfonku. Aku geser kotak besi ke bawah kasuruku kembali dan mengangkat telfonku. Ternyata dari Ellie. Kenapa dia menelfonku, apa terjadi sesuatu pada Serena.
"Hallo Ellie, ada perlu apa?" Tanyaku menerima panggil dari Ellie.
"Kak Elian! Kak!" Jawabnya dengan nada ketakutan. Kenapa perasaanku menjadi aneh.
"Iya tenanglah. Ada yang kau ingin katakan?" Tanyaku berusaha tenang.
"Kak Elian Ternyata..." Serunya lagi dengan nada bergetar. Seakan dia bimbang untuk mengatakannya. Aku sudah menguatkan hatiku untuk mendengarnya. Apakah tentang Serena. Apakah dia baik-baik saja.
"Ada apa, apa terjadi sesuatu pada Serena." Tanyaku khawatir. Jangan-jangan Selena menginggal.
"Bukan itu kak, aku takut! Kak Elian ternyata kak...." Seru Ellie yang tiba-tiba terhenti.
"Hallo Ellie. Ellie! Astaga sudah mati telfonnya." Panggilku berulang kali ternyata telfonnya sudah mati.
Apa yang terjadi dengan Ellie, kenapa Ellie mematikan telfonnya dengan tiba-tiba. Kenapa aku jadi begitu resah seperti ini. Lebih baik aku tanya Ned apa yang dilakukan oleh Ellie sekarang. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya.
"Hallo Ned!" Ucapku saat telfonku sudah di angkat.
"Ada apa Elian, kenapa kau menelfonku?" Tanyanya dengan malas.
"Apa Ellie ada di rumah. Tadi dia menelfonku, tapi dimatikan olehnya." Tanyaku balik menanyakan keberadaan Ellie. Dia di rumah atau di rumah sakit menjenguk Serena.
"Sebentar, akan aku cari dia di kamarnya. Tunggulah!" Ucap Ned yang membuatku sedikit lebih tenang. Tanpa menunggu lama Ned langsung menjawabnya.
"Dia di kamarnya sedang belajar. Katanya pulsanya habis." Jawabnya yang membuatku lega. Aku terlalu berpikir berlebihan. Karena banyak kejadian pembunuh itu, aku jadi sangat khawatir.
"Baiklah jika seperti itu. Dia seperti ingin bicara sesuatu padaku." Kataku jika memang penting, bisa dikatakan sekarang dengan ponsel Ned.
"Ellie! Apa kau ingin bicara dengan Elian?" Ucap Ned lantang begitu keras di telingaku. Bukanya dia ada didekatnya, kenapa harus teriak begitu keras sampai aku menjauhkan ponselku dari telingaku.
"Kapan-kapan saja, dia akan mengatakannya sendiri padamu." Seru Ned lagi. Sepertinya tidak terlalu penting. Jadi, aku tidak perku khawatir.
"Baiklah jika Seperti itu. Besok sabtu temani aku ke kediaman Gleeson. Kau bisa kan? Orlan aku telfon tidak diangkat." Kataku mengajak Ned ikut pergi menemaniku ke kediaman keluarga Gleeson.
"Baiklah, aku senggang besok. Aku akan menemanimu!" Ucap Ned menerima ajakanku.
"Baiklah, terimakasih. Sampai jumpa besok." Kataku sebelum menutup telfonnya.
"Sampai jumpa!" Sapa Ned sebelum sambungan aku putus.
Aku letakan kembali ponselku di meja. Aku ingin bisa mendapatkan kunci itu segera. Aku bergegas turun dari kamarku menuju ke ruang kerja papa. Aku membukanya dengan pelan-pelan, takut papa masih ada di sana dan memarahiku karena lancang masuk tanpa mengetuk pintu. Aku mengintip ke dalam dan ternyata papa sudah ada di sana menatapku dengan kacamatanya.
"Papa!" Sapaku membuka pintu lebar-lepar.
"Masuklah, tutup pintunya kembali!" Ucap papa mengijinkanku masuk ke dalam. Aku langsung bergegas menutup pintu dan duduk di depan papa. Aku lihat di samping papa sudah ada tanaman hias bukan lagi patung membawa kunci seperti kemarin.
"Ada apa kau datang ke sini?" Tanya papa membuyarkan lamunanku menatap satu pot tanaman hias di samping papa.
"Aku ingat ada patung wanita di sini." Kataku menunjuk tanaman bunga hias itu.
"Ibumu membuangnya. Dia bilang patung itu terlalu kuno." Jawab papa masih fokus dengan dokumen-dokumennya. Berarti kunci itu sudah hilang. Astaga aku terlambat mengetahuinya sebelum mama membuangnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang. Mau tidak mau aku harus membawanya ke tukang kunci agar aku bisa membukanya. Bibi Lilian, aku yakin akan menyelesaikan masalahmu secepat mungkin. Maka aku akan bebas darimu secepatnya.
"Kenapa diam saja!" Seru papa menghancurkan lamunanku.
"Tidak ada apa-apa. Papa aku mau tanya tentang bibi Lilian!" Tanyaku pada papa tentang mantan istri papa. Papa tidak mungkin melupakkannya.
"Siapa Lilian, papa tidak mengenalnya." Jawab papa yang membuatku heran. Papa tidak mengenal bibi Lilian. Padahal mereka dulu satu kampus, satu kelompok, dan sepasang kekasih sampai sepasang suami. Kenapa papa melupakkan itu semua. Apa papa hilang ingat. Kenapa aku jadi bingung.
"Papa tidak mengenal bibi Lilian? Padahal papa dulu pernah menikah dengan bibi Lilian." Kataku agar ayah mengingatnya. Atau ayah berbohong jika dia tidak mengenal bibi Lilian.
"Aku tidak ingat memiliki istri bernama Lilian. Istriku hanyalah ibumu. Kenapa kau bertanya seperti itu?" Papa sama sekali tidak mengenal bibi Lilian dan hanya tahu istrinya hanyalah mama. Sekarang malah bertanya padaku kenapa aku bertanya seperti itu. Bagaimana aku harus menjawabnya.
"Aku hanya penasaran. Papa yakin tidak mengenal bibi Lilian. Dulu kalian satu kampus, satu kelompok kerja pembuatan sebuah film, sampai kalian menjadi sepasang kekasih. Papa tidak ingat itu!" Kataku mencoba mengingatkan papa.
"Tidak! Lebih baik kamu kembali ke kamarmu dan belajar." Jawab papa jika dia tidak mengingatnya. Papa malah menyuruhku kembali ke kamar. Aku tahu papa sedang mengusirku. Dia tidak ingin membahas ini lagi.
"Tapi pa!" Kataku masih ingin membahas tentang bibi Lilian.
"Apa lagi yang ingin kau tahu. Semua itu tidak ada gunanya. Yang terpenting untukmu adalah belajar." Seru papa sedikit meninggikan suaranya.
"Apa papa bohong jika papa tidak mengenal bibi Lilian?" Paksaku yang masih belum puas dengan Jawab papa.
"Untuk apa aku berbohong. Kau jadi semakin memberontak saat mengenalnya. Papa tidak ingin mendengarnya lagi, lebih baik kau kembali lagi ke kamarmu dan belajar. Aku banyak kerjaan sekarang." Ucap papa marah sedikit membentakku. Papa meletakan dokumennya kembali dengan kasar. Dia tidak ingin aku mengungkitnya lagi. Papa juga mengusirku dengan sangat jelas. Aku hanya menghela nafas pasrah jika papa tidak mau bicara lagi denganku tentang bibi Lilian.
"Baik pa." Kataku pergi dari ruang kerja papa dengan kesal. Kenapa papa tidak mau jujur mengatakannya. Percuma saja jika aku tanya kepada papa dan mama, mereka berdua bungkam tentang bibi Lilian. Seakan mereka berdua tidak ingin mengungkit masalah tentang bibi Lilian.
Aku kembali ke kamarku dan menguncinya. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbanting dengan sendiri yang membuatku terkejut. Berhentilah menggangguku kalian para hantu, aku sedang emosi sekarang. Aku mendengus dan menutup pintu kamar mandi kembali. Aku tidak ingin diganggu sekarang.
.....~•°♥°•~......
Aku memarkirkan mobilku di depan rumah yang cupuk besar dan luas. Sekarang aku sudah berada di depan rumah keluarga Lilian Gleeson. Aku memutuskan pergi bersama dengan Ned yang mau menemaniku. Aku berterimakasih sekali pada Ned yang selalu ada untukku. Kediaman keluarga Gleeson, di mana Lilian Gleeson pernah tinggal. Aku menyiapkan hati dan pikiranku untuk mengatakan apa yang harus aku katakan pada mereka nanti. Aku menghela nafas sebelum akhirnya mengetuk pintu rumah itu dengan hati-hati sampai akhirnya seorang wanita paruh baya membuka pintu dengan wajah senang sambil berguman "Lilian!" Yang masih bisa aku dengar dengan jelas.
Dia terkejut, aku pun juga terkejut. Apa dia dari dulu sudah sangat merindukan wanita yang bernama Lilian. Wajah bibi ini hampir mirip dengan bibi Lilian. Mungkin dia kakak atau adiknya.
"Maafkan aku, aku terlalu terkejut. Sudah lama tidak ada tamu yang datang ke rumahku." Ucapnya sambil tersenyum ramah.
"Tidak apa-apa bibi. Saya Elian Hemswarth dan teman saya Ned Olesh datang berkunjug, benarkah di sini kediaman keluarga Lilian Gleeson?" Sapaku ramah. Kami menyapanya dengan sangat ramah agar kami diterima dengan baik, karena aku dengar keluarga mereka tidak menyukai warga lain yang tidak se ras dengan mereka. Mereka masih memegang teguh budaya dahulu di klan mereka.
"Iya benar! Ada yang bisa saya bantu nak?" Jawab bibi ini dengan ramah pula. Tidak seperti rumor yang aku dengar. Mereka terlihat sangat ramah.
"Iya nyonya, saya hanya ingin menyampaikan informasi dari bibi Lilian Gleeson." Kataku menyampaikan maksudku datang ke sini.
"Kabar apa yang ingin kau sampaikan pada kami?" Tanyanya masih mempertimbangkan ucapanku seperti tidak menpercayai perkataanku.
"Saya akan memberitahu sebenarnya pada anda semua, meskipun hanya sedikit yang saya tahu." Kataku Menjelaskannya. Aku masih ragu untuk mengatakannya karena dia seakan tidak menpercayaiku sepenuhnya.
"Panggil saja aku bibi Liana, masuklah! Duduklah di dalam. Kita bicarakan dengan baik-baik. Ayo masuklah." Ucapnya mempersilahkan kami berdua masuk. Ned dari tadi diam saja, dia takut bicara sembarangan yang bisa membuat kami bisa diusir sebelum bicara dengan mereka.
"Terimakasih bibi." Kataku tersenyum ramah mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Aku senang sekali kami disambut dengan hangat di sini. Walapun kami harus menjaga omongan kami setidaknya mereka menyambut kami dengan ramah. Kami sekarang duduk di ruang tamu. Bibi Liana dia menawari kami minum dan aku membiarkannya mengambilkan yang ada karena aku tidak ingin merepotkannya. Setelah menyuguhkan kami dengan teh hangat dan beberapa kue, bibi Liana malah masuk ke dalam rumah dan beberapa menit muncul kembali bersama wanita tua di kursi roda. Dia mendorongnya sampai berhadapan dengan kami.
"Informasi apa yang ingin kalian sampaikan pada kami. Apakah anak itu membuat masalah dengan kalian sampai membuat kalian harus datang ke sini." Tanya nenek itu dengan sarkas.
"Oh maaf Nek bukan begitu!" Kataku menyangkalnya walaupun memang benar Jika arwah bibi Lilian mengusik hidupku. Tetapi setidaknya aku sudah menerimanya.
"Tidak apa-apa, aku mengerti nak! Anak itu memang selalu membuat masalah dalam keluarga ini. Dia anak yang nakal namun aku sangat menyayanginya. Berapa aku harus membayar kerugiannya?" Ucapnya yang membuatku hanya bisa tertawa kecil berusaha menyangkalnya. Aku ke sini buejan untuk bayaran, aku masih punya kedua orang tuaku yang masih sanggup manghidupiku.
"Ibu pelan-pelan saja bicaranya." Seru bibi Liana menenangkan nenek itu sambil mengelus tangan nenek itu.
"Tenang saja, aku mengerti." Ucap nenek itu menepuk tangan bibi Liana yang mengelus tangannya untuk menenangkan dirinya.
"Aku hanya ingin mengatakan jika bibi Lilian sudah tidak ada." Kataku dengan hati-hati takut mereka terkejut dan syok berat karena mereka sudah tua. Pasti mereka sangat terpukul atas meninggalnya bibi Lilian.
"Sudah aku duga!" Seru nenek itu menangis sedih. Dia seperti sudah menduganya tapi masih menyangkalnya. Tidak ingin mendengar kenyataan yang ada. Kenapa aku ikut merasa sedih sekarang seakan ragu untuk mengatakan semuanya.
"Tenanglah ibu!" Bibi Liana mencoba menenangkan nenek itu dalam tangisnya yang dia pendam. Sepertinya ada yang mau masak besar, bau bawang merahnya sampai ke sini membuat mata perih dan menangis.
"Kenapa kau bisa tahu jika dia sudah meninggal!" Tanya nenek itu lagi setelah merasa tenang kembali.
"Sebenarnya tujuanku kemari hanya ingin membantunya tidur dengan tenang. Dia menghantuiku sepanjang malam. Aku juga tidak tahu kenapa dia hanya menghantuiku sehingga aku memutuskan untuk membantunya. Pasti ada satu masalah yang belum dia selesai semasa hidup sehingga dia membutuhkan bantuan dariku. Mungkin dia ingin aku memberi tahu keluarganya jika dia sudah meninggal. Semoga ini bisa membantu." Kataku Menjelaskan semuanya, tidak lupa memberikan kalung bibi Lilian pada mereka agar percaya. Nenek itu menerima dengan tangan gemetaran. Dia mengamati dan menelitinya dengan serius. Tiba-tiba tangisnya pecah lagi. Bibi Lilian sudah menutup bibirnya untuk menahan tangisnya. Air matanya sudah dia usah berkali-kali. Aku hanya menahan air mata dan ingusku agar tidak ikut turun ke bawah. Aku juga mengatupkan kedua bibirku dengan kuat agar tidak ikut bersedih. Melihat orang lain menangis rasanya juga ingin menangis.
"Terima kasih sudah memberitahu semuanya sehingga kini aku tidak akan menunggunya pulang lagi. Sudah sampai di sini penantianku." Seru nenek itu masih dalam tangisnya. Air matanya dia usap dengan tangannya yang sudah keriput berulang kali.
"Maafkan aku Nek, sudah membuat kalian bersedih!" Kataku merasa bersalah karena datang hanya memberi berita sedih ke hadapan mereka.
"Tidak apa-apa aku mengerti. Setidaknya beritahu aku di mana dia dimakamkan sehingga aku bisa melihat kuburannya dan meminta maaf karena telah mengusirnya." Ucapnya yang membuatku bingung. Aku juga tidak tahu di mana tubuhnya di kubur atau dibuang.
"Aku juga tidak tahu nek, yang aku tahu dia dibunuh sangat keji saat hamil besar dan aku tidak tahu siapa yang membunuhnya." Jawabku sebisaku. Aku tidak ingin mereka tampah penasaran dan sedih. Karena aku juga tidak tahu pasti di mana mereka mengubur atau membuang mayat bibi Lilian.
"Lilian, dia anak yang sangat anggun dan cantik. Dia anak yang baik dan patuh sebelumnya. Dia ceria dan aktif banyak bicara. Aku selalu senang jika dia cerita banyak apa yang terjadi kepadanya. Kenakalannya masih aku toleransi namun ketika dia memilih menikahi seorang laki-laki yang bahkan tidak tahu asal usulnya yang membuatku marah besar dan akhirnya mengusirnya dari rumah. Sebenarnya aku tidak ingin mengusirnya namun kata-kata itu keluar dengan sendirinya saat aku terbakar emosi. Dia benar-benar bersikeras menikahi laki-laki itu, padahal aku sudah menjodohkannya dengan laki-laki lain yang se-ras (Seklan) dengan keluarga kami. Sudah lama keluarga kami menganut sistem perjodohan agar darah dari keluarga kami tidak tercampur dengan darah dari orang lain. Dia sangat keras kepala dan memilih meninggalkan keluarga kami dan pergi dengan laki-laki itu. Nasi sudah menjadi bubur, kata-kata yang terucap tidak bisa ditarik kembali. Aku sungguh menyesali perbuatanku saat itu. Saat aku sudah benar-benar memaafkan dia, Lilian tidak pernah datang. Berhari-hari, berbulan-bulan, sampai bertahun-tahun aku menunggunya pulang. Namun, sampai sekarang dia tidak kunjung muncul ke hadapanku. Aku sungguh sangat merindukannya. Dan sekarang kau membawa kabar duka padaku." Nenek itu bercerita banyak tentang bibi Lilian. Aku sudah tahu jika penyesalan selalu datang di akhir. Seperti yang dirasakan nenek itu, dia benar-benar menyesal telah mengusir bibi Lilian. Keluarga mereka sangat emosional menurutku.
Lagian papaku bukan orang jahat. Dia juga dari keluarga orang kaya, buktinya papa mempunyai perusahaan perfilman yang cukup terkenal. Papa bilang jika dia anak tunggal jadi hanya dia yang mewarisi perusahaan kakekku dulu. Kakek dan nenek dari ayah sudah meninggal saat aku berumur satu tahu karena sakit parah. Sedangkan kakek dari mama dia pergi dengan wanita lain saat mama masih kecil, nenek menjadi single parent membesarkan mama sendirian. Nenek meninggal karena kecelakaan kerja saat mama masuk kuliah. Jadi aku tidak memiliki keluarga besar seperti kakek, nenek, paman, bibi, sepupu, maupun keponakan.
"Sudahlah Bu, jangan dipikirkan lagi. Ini sudah takdirnya." Ucap bibi Liana menenangkan nenek itu yang membuyarkan lamunanku tentang keluargaku.
"Aku sudah menunggunya sampai selama ini. Setidaknya aku ingin berkunjung ke makamnya." Pinta nenek itu dalam tangisnya yang mendalam.
"Maaf nek, aku juga tidak tahu di mana mereka menyembunyikan mayat bibi Lilian." Jujur saja aku tidak kuat mengatakan hal ini. Aku sudah menahan air mataku agar tidak jatuh.
"Jika Lilian tidak memilih laki-laki itu, dia tidak akan mati dengan mengerikan seperti itu. Bukannya boby lebih baik dari pada laki-laki itu." Seru nenek itu tidak terima jika bibi Lilian menikah dengan papa. Semua sudah takdir jika bibi Lilian meninggal. Papa bukan pembunuhnya. Walaupun papa bungkam tentang bibi Lilian yang pasti dulu papa sangat mencintai Bibi Lilian.
"Dia tidak jahat nek, hanya saja mungkin mereka tidak ditakdirkan untuk bersama." Kataku menyembunyikan jati diriku. Aku takut jika mereka tahu aku anak dari laki-laki yang menbawa bibi Lilian pergi, mereka pasti akan marah padaku dan mengusirku.
"Tetapi Boby Hansson Laki-laki yang menurutku cocok dengan Lilian." Kekehnya Memuji paman boby lebih baik dari ayahku. Yang aku tahu papaku orang baik di mataku.
"Iya nek!" Timpalku mengalah. Aku juga tidak tahu orang seperti apa paman Boby itu, mungkin dia memang orang yang sangat baik melebihi papa.
"Berikan dia nomer telepon agar dia bisa menghubungi kita nanti jika dia mengetahui di mana Lilian dikuburkan." Suruh nenek itu pada bibi Liana untuk memberikan nomer telfon mereka padaku. Bibi Liana pergi ke dalam, sesaat dia kembali lagi membawa buku note kecil dan memberikan secarik kertas bertuliskan nomer rumah dan pribadi bibi Liana padaku.
"Terimakasih nek!" Kataku menerimanya dengan senang hati.
"Seharusnya aku yang berterima kasih pada kalian. Terimakasih telah memberitahu kebenaran tentang anakku. Aku harus memberitahu kabar ini pada Boby jika Lilian sudah meninggal." Seru nenek tiba-tiba ingin memberitahu kabar meninggalnya bibi Lilian pada paman Boby. Sejenak aku menyadari jika sebenarnya bibi Lilian sangat disayangi banyak orang.
"Tapi bu, nomer telfonnya sudah mati. Dia mengganti nomer tanpa mengabari kita." Sanggah bibi Liana jika dia tidak tahu nomer telfonnya. Padahal aku ingin pamit pulang, tapi malah mereka berdebat di depan kami berdua. Ned juga sudah menyenggolku berulang kali mengajak untuk cepat pulang, karena dia tidak nyaman di kediaman keluarga Gleeson.
"Bolehkah aku minta bantuan kalian. Aku janda hanya hidup berdua dengan anakku Liana. Suami Liana pergi bertugas ke luar kota dan kedua anakknya sudah bekerja dan kuliah di kota lain juga. Kita hanya orang tua yang tidak bisa berpergian jauh." Ucap nenek itu tiba-tiba meminta bantuan kami.
"Tolong sampaikan berita itu pada Boby Hansson. Bisakah kalian membantuku untuk yang pertama dan terakhir?" Pintanya memohon pada kami untuk membantunya menyampaikan berita kematian bibu Lilian pada paman Boby Hansson. Ned sudah menyenggolku, memberikan isyarat untuk tidak menerimanya. Tapi aku merasa kasihan pada mereka. Tidak ada salahnya pergi jauh sekali dua kali. Jarang sekali aku jauh dari rumah. Bisa menenangkan pikir sejenak dengan jalan-jalan sambil membantu orang.
"Iya nek, aku akan membantu sebisaku." Kataku menerima permintaan mereka. Aku juga tidak tega melihat wanita tua yang harus berpergian jauh hanya untuk memberikan kabar duka. Pasti akan banyak adegan menangis nanti jika mereka yang pergi.
"Aku tahu dimana dia tinggal. Berikan aku kertas dan bolpoin Liana!" Pinta nenek itu pada bibi Liana untuk memberinya sebuah bolploin dan buku kecil yang di bawa tadi. Bibi Liana langsung memberikan bolpoin dan buku note kecil pada nenek itu. Nenek itu menulis dengan tangan gemetaran dan sangat lama, maklum sudah sangat tua. Aku menunggunya dengan sabar.
"Ini alamatnya, datanglah ke sana. Aku rasa dia pasti ada di rumah, jika tidak tunggulah sampai dia pulang. Jika dia sudah pindah, hubungi aku." Ucap nenek itu sambil memberikan secarik kertas bertuliskan alamat paman Boby padaku.
"Terimakasih Nek, aku akan segera ke sana." Kataku menerimanya sambil tersenyum manis.
"Aku juga berterimakasih padamu. Ini, tolong simpan ini untukku. Ini kalung yang diberikan dari keluarga Gleeson secara turun temurun. Aku rasa kau pantas menyimpannya, berikan kepada anakmu nanti." Seru nenek itu memberikan kalung bibi Lilian padaku.
"Tapi nek, aku bukan bagian dari keluarga kalian!" Kataku heran berusaha menolaknya. Aku bukan bagian dari keluarga mereka tetapi nenek itu malah memberikannya padaku.
"Tidak apa-apa, aku memberikannya untukmu. Kau sudah aku anggap sebagai cucuku sendiri. Jaga kalung ini baik-baik." Seru nenek ini memaksaku untuk menerimanya. Mau tidak mau aku harus menerimanya karena dia sangat memaksa.
"Terimakasih nek." Kataku menerima kalung itu. Aku menyimpanya di saku celanaku. Bukan hanya Ned yang tidak betah dengan suasana rumah ini, aku pun juga. Mereka terlalu emosional dan keras kepala, membuat suasana di rumah ini seakan tegang dan mengerikan.
"Kami permisi dulu nek, bibi Liana." Pamitku sebelum pergi. Aku dan Ned berdiri bersiap untuk pulang.
"Hati-hati di jalan nak!" Sapa bibi Liana balik.
"Iya terimakasih bibi Liana, kami pulang dahulu." Salamku dan Ned berlalu pergi keluar dari rumah itu yang diantar oleh nenek itu dan bibi Liana yang menunggu di luar pintu rumah.
"Apa kau melihat dia mirip sekali dengan Lilian!" Guman nenek itu yang masih aku dengar dengan jelas. Aku tersenyum ramah untuk terakhir kalinya bertemu di sini. Maaf nek, tapi aku bukan anaknya bibi Lilian dan keturunan kalian. Terimakasih atas kenang-kenangannya. Kami masuk ke dalam mobil dan bergegas pulang ke rumah.
"Aku lapar, ayo kita makan." Seru Ned mengelus-elus perutnya yang besar.
"Kau sudah menghabiskan kue di sana, apa Masih lapar!" Tanyaku heran. Tapi aku juga sudah lapar.
"Tentu saja, kue itu hanya cemilan. Apa nanti kau akan ke rumah paman Boby itu. Kenapa juga kau mau membantu mereka. Biarkan mereka mengatakannya sendiri. Kau hanya membuang-buang waktumu." Ucap Ned mendengus kesal karena aku mau membantu mereka. Aku merasa jika ini sudah tugasku, jadi aku menerimanya.
"Tidak apa-apa, jangan setengah-setengah jika membantu orang lain." Timpalku agar Ned mengerti. Aku mengechek alamat paman Boby dengan gps, ternyata jarak tempuh dari sini saja butuh 3 jam lebih. Aku mencobanya dengan alamat rumahku, ternyata 4 jam setengah sanpai ke sana. Astaga, jauh sekali. Bahkan aku harus melewati dua kota yang berbeda.
"Besok saja kita ke rumah paman Boby Hansson. Jarak rumahnya sungguh jauh sekali, aku takut pulang terlalu larut malam nanti." Kataku.
"Baiklah, lagian aku juga sudah lelah." Seru Ned bersandar di kursinya. Aku mencari restoran di dekat daerah sini, aku takut cacing-cacing Ned memberontak dan menyerangku. Dia orang yang tidak bisa menahan lapar. Aku hanya terkekeh geli membayangkannya.
Akhirnya selesai sudah masalah tentang kematian bibi Lilian. Aku jadi lega jika hidupku damai seperti biasanya. Hanya tinggal selangkah lagi semua akan selesai. Semoga besok setelah dari rumah paman Boby, bibi Lilian bisa tidur dengan tenang.
......~•°♥°•~......
Pagi-pagi aku dan Ned sudah bergegas menuju ke alamat rumah yang diberikan oleh nenek kemarin. Bermodalkan gps dan bertanya ke orang-orang yang berada satu desa dengannya membuatku akhirnya bisa menemukan kediaman Boby Hansson. Walaupun sering nyasar berkali-kali akhirnya bisa sampai. Aku melangkahkan kakiku menuju ke depan pintu dan mengetuknya. Seorang wanita membuka pintu.
"Hai, siapa kalian? Ada keperluan apa kalian datang ke rumahku." Sapa bibi itu pada kami.
"Permisi bibi, nama saya Elian Hemswarth. Apa benar ini rumah dari paman Boby Hansson?" Tanyaku memastikan jika rumah itu adalah rumah paman Boby Hansson. Aku takut salah alamat lagi seperti tadi.
"Iya benar, tapi kenapa anak-anak muda seperti kalian mencari suamiku." Tanyanya lagi penasaran.
"Aku hanya ingin bertanya-tanya saja dengan suami anda tentang tugas sekolah." Kataku bersikap sopan.
"Tugas sekolah, tetapi suamiku dia bukan pengajar." Jawabnya bingung.
"Kami sedang mereview film yang berjudul The Sadness yang mana suamimu salah satu pembuatnya. Kedatangan kami ingin mewawancarainya sebentar saja tentang Film itu." Jelas Ned yang membuat tidak perlu menjelaskannya lagi. Kami berbohong jika kedatangan kami hanya ingin wawancara, kami berbasa-basi dulu takut membuat orang lain langsung syok berat karena tiba-tiba membawa kabar duka.
"Oh begitu, tapi suamiku sedang pergi mencari beberapa perlengkapan untuk properti Film yang akan dia buat. Aku rasa sebentar lagi dia akan pulang. Ayo masuklah dahulu, aku akan menelfonnya agar dia segera pulang." Ucap bibi itu menpersilahkan kami masuk.
"Terimakasih bibi!" Kataku mengikutinya masuk ke dalam bersama Ned.
"Tidak apa-apa, tidak perlu sungkan. Hanya saja aku tidak yakin akan apa yang kalian katakan nak. Karena suamiku itu orang yang sangat tertutup. Sehingga, jarang sekali dia menerima tamu atau hampir tidak pernah Hahaha. Suamiku itu rada-rada aneh." Seru bibi itu sambik membawakan makanan dan minuman banyak sekali di depan meja kami. Bibi itu terlalu berlebihan menjamu tamu. Kami hanyakah anak kecil yang bertamu tidak perlu sungkan. Lagian kami tidak lama di sini. Mencari alamat rumah ini saja susah sekali, kami harus tersesat beberapa kali. Aku takut pulang terlalu larut malam, takut mama mencemaskanku.
"Bibi tidak perlu repot-repot memberikan banyak makanan dan minuman seperti ini, ini terlalu berlebihan." Kataku mencoba menghentikan bibi itu mengambil makanan di dalam rumah dan menyuguhkannya pada kami.
"Anggap saja seperti rumah sendiri. Jarang sekali aku menerima tamu, aku jadi bingung harus menyuguhkan apa pada kalian sehingga apapun aku berikan pada kalian." Ucapnya sambil tertawa malu-malu.
"Terimakasih bi, ini sangat enek." Puji Ned mencoba semua makanan yang ada di meja.
"Terimakasih atas pujiannya." Ucap bibi itu duduk di depan kami.
"Kenapa kau makan semuanya!" Kataku sambil menyenggolku pundaknya untuk bersikap sopan di rumah orang lain.
"Tapi ini enak." Ucap Ned sambil makan. Jangan mempermalukanku di rumah orang lain.
"Tidak apa-apa biarkan saja." Seru bibi itu menenangkanku yang selalu menyuruh Ned untuk berhenti makan.
"Tunggulah di sini sebentar, aku akan menelfonnya agar segera pulang." Tambah bibi itu menyuruh kami menunggu.
"Iya terimakasih bi." Kataku berterimakasih karena sudah mau membantuku. Lalu bibi itu berlalu pergi masuk ke dalam rumah.
Tak beberapa lama terdengar deru mobil berhenti di depan rumah. Pintu dibuka dengan paksa menampilkan laki-laki yang lumayan gendut dan perutnya terlihat sedikit buncit. Brewokan yang terkesan seperti orang jahat. Dia kah paman Boby Hansson, terlihat lebih berantakan dari pada papa.
"Siapa yang mencariku Sandra." Serunya sambil meletakan barang yang dia bawa.
"Kau sudah pulang sayang." Sapa bibi itu yang ternyata bernama bibi Sandra.
"Kemarilah aku akan membantumu." Bibi Sandra datang membantu paman Boby mengambil barang-barang yang dibeli paman Boby di mobilnya.
"Aku juga akan membantumu Paman Boby." Aku dan Ned juga membantunya membawa beberapa peralatan yang dia beli. Aku melihatnya sejenak dan aku tahu kalau Paman Boby menatapku dengan aneh pula. Dia berjalan memalingkan perhatiannya saat mata kami saling bertemu.
"Terimakasih atas bantuannya, sekarang duduklah dulu. Ada keperluan apa kalian mencariku dan siapa kalian?" Seru paman Boby duduk dan mempersilahkan kami duduk di depannya.
"Perkenalkan paman, nama saya Elian Hemswarth dan temen saya bernama Ned Olesh. Tujuan kami ke sini untuk..." Kataku memperkenalkan diri, namun segera dipotong olehnya.
"Elian Hemswarth, keluarga Allan Hemswarth!" Serunya meninggikan suaranga seperti tidak menyukai keluargaku.
"Iya." Kataku sedikit takut menyinggungnya.
"Kenapa anak Allan sampai ke mari mencariku?" Tanyanya menatapku dengan sorotan mata yang tajam. Aku jadi ragu untuk mengatakanya. Aku takut jika paman Boby akan menyalahkan papa atas meninggalnya bibi Lilian. Tapi aku harus berani mengatakannya jika ingin masalah ini cepat selesai.
"Kau temannya ayahku dan ibuku Sarah. Aku kemari hanya ingin memberi tahu jika bibi Lilian sudah meninggal." Kataku dengan hati-hati karena paman Boby menatapku dengan sangat tajam lagi.
"Ibumu sudah meninggal!" Serunya lalu bersandar ke belakang kursi yang dia duduki. Aku terkejut karena paman Boby menyebut bibi Lilian adalah ibuku.
"Apa ibuku? Ibuku bukan Lilian tapi Sarah!" Kataku menjelaskan pada paman Boby jika aku bukan anak dari bibi Lilian.
"Itu tidak mungkin, aku sudah mengenalmu sejak kecil Elian. Kita pernah bertemu di pantai. Keluargamu dan keluargaku pernah liburan bersama di pantai." Serunya lagi yang membuatku tidak percaya. Itu tidak mungkin, kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Aku tidak mengenal kalian semua. Mana bisa aku anaknya bibi Lilian, dari mimpi yang aku lihat bibi Lilian meninggal bersama anak yang di kandungnya. Aku rasa paman Boby salah sangka.
"Elian anak kecil waktu itu ya sayang. Aku sebenarnya tidak asing dengan namanya. Tetapi, aku lupa pernah mendengarnya di mana. Yah waktu itu kau masih berumur 3 tahun dan masih lucu sekali, cara bicaramu yang cedal keliatan menggemaskan." Tambah bibi Sandra yang baru datang membawakan kopi untuk paman Boby.
"Ta-tapi aku tidak mengenal kalian. Ak-aku bukan anaknya Lilian. Lilian dan anaknya sudah meninggal, maka dari itu aku memberikan informasi ini sesuai yang dikatakan nenek dan bibi Liana untuk memberitahumu." Jelasku masih menyangkalnya.
"Elian tenanglah kau terlihat gelisah." Ucap Ned yang mengelus pundakku agar aku tenang. Aku sungguh sangat terkejut, mereka pasti salah sangka padaku.
"Waktu itu kau masih berumur 3 tahun pasti kau melupakannya. Dan waktu itu ibumu juga sedang hamil 2 bulan. Sabarlah." Seru bibi Sandra menjelaskan semua yang tidak bisa aku terima. Semua itu tidak mungkin, aku bukan anakknya bibi Lilian. Kenapa perasaanku tiba-tiba terasa begitu berat, kepalaku juga sakit jika aku paksa untuk mengingatnya.
"Tidak mungkin aku anaknya Lilian, aku anaknya Sarah. Ibuku Sarah." Kataku bersikeras menyangkalnya.
"Mungkin saja sarah berbohong padamu. Sarah terlibat dalam percintaan dengan Allan. Sudah lama Sarah menyukai Allan namun Allan lebih menyukai Lilian ibumu." Timpal paman Boby meyakinkanku.
"In-ini tidak mu-mungkin!" Kataku dengan bibir bergetar. Bahkan aku sudah mengusap keningku berkali-kali untuk bisa menerima apa yang aku dengar sekarang. Badan dan tanganku bergetar, rasanya aku ingin menangis.
"Elian tenanglah." Ned mencoba menenangakanku dengan mengusap pundakku lagi.
"Lihatlah wajahnya, dia mirip sekali denganmu dari pada dengan Sarah itu. Lilian menghantuimu dia ingin menunjukkan kebenaran padamu, kebenaran jika dia adalah ibumu." Seru paman Boby dengan sarkas.
"Tidak! Dia bukan ibuku!" Bentakku tidak ingin mendengarnya lagi. Aku tidak perduli jika aku dianggap anak yang kasar di mata mereka. Aku tidak sanggup menerimanya. Aku mengusap wajah dan air mataku dengan kasar. Aku berharap ini hanya mimpi.
"Ini, aku beri buktinya untukmu. 99% tes DNA cocok denganmu." Seru paman Boby melempar amplop putih bertuliskan rumah sakit kota pusat di meja.
"Sejak kapan, aku tidak pernah melakukan tes DNA." Kataku ragu. Aku mengambil amplop itu dan membukanya. Mengambil dua lembar kertas yang ternyata hasil tes DNA bibi Lilian dan aku. Hasilnya benar-benar cocok. Astaga kepalaku pusing mencoba mengingat apa yang aku lupakan. Perasaanku kacau, pikiranku bercampur menjadi satu. Seketika air mataku mengalir berusaha menolak kenyataan yang ada. Aku seperti tidak ingin mengakuinya.
"Pamela Anderson yang melakukanya. Dia mengambil rambutmu. Dia memiliki hoby aneh. Dia suka mengumpulkan rambut dari teman-temannya. Dan sekarang berguna juga kan. Apa kau masih mau mengelak!" Jelas paman Boby dengan tegas. Aku masih memandangi tes DNA ini. Aku mengingat saat bibi Pamela mengelus rambutku sebelum aku pulang. Jika tahu akhirnya seperti ini seharusnya aku tidak bersusah-susah datang kemari. Aku meremas kertas itu dan membawanya pergi keluar dari rumah itu. Aku sudah tidak ingin mendengarkannya lagi.
"Elian tunggu, Elian! Maafkan sikap temanku. Sepertinya dia masih syok dengan apa yang dia dengar."
"Tidak apa-apa aku mengerti. Pergilah, susulan temanmu. Aku rasa dia lebih membutuhkanmu."
"Iya. Kami permisi dahulu!"
Suara panggil mereka seakan samar di telingaku. Isakan demi isakan keluar dari mulutku. Air mata sudah membanjiri wajahku. Aku tidak kuat menerima kenyataan pahit ini. Kenapa dia harus menjadi ibu kandungku. Aku duduk di taman depan rumah paman Boby. Duduk sambil menutup mataku dan menangis di sana.
"Elian tenanglah, tidak apa-apa." Ucap Ned yang tiba-tiba sudah ada di sampingku dan mengelus pundakku untuk menengankanku. Pikiranku kacau, hatiku terasa berlubang sangat dalam.
"Aku tidak bisa mengingatnya!" Gumanku dalam tangisanku yang semakin pecah.
"Tidak apa-apa kau bisa mengingatnya pelan-pelan." Ucap Ned berusaha membuatku tenang. Maafkan aku Ned, sudah menyusahkanmu.
"Elian!" Panggil seseorang yang membuatku menengok ingin melihat siapa yang memanggilku. Ternyata Orlan yang berjalan ke arah kami.
"Orlan kau?!" Kataku yang entah kenapa air mataku mengalir dengan derasnya. Aku memeluknya dengan erat dan menangis di dalam dadanya yang lebar.
"Elian ayo pulang!" Ucap Orlan mengajakku pulang. Dia juga masih memelukku dengan erat.
"Orlan!" Panggilku.
"Tidak apa-apa, semua baik-baik saja sekarang. Ayo pulang." Serunya melepas pelukannya dan menarikku pergi menuju ke mobilku sendiri.
Tidak menyangka Orlan akan menyusulku sampai kemari. Padahal sejak awal dia tidak mau aku ajak pergi mencari informasi tentang bibi Lilian. Aku tidak tahu jika kau begitu perduli juga denganku. Ned yang menyupir mobilnya sekarang, sedangkan aku dan Orlan duduk di belakang. Aku masih saja memalingkan mataku ke jendela dan merenungi apa yang terjadi denganku. Mengetahui kebenarannya yang menyakitkan. Ternyata aku bukan anaknya mamaku, aku anaknya Lilian Gleeson dan papaku Allan Hemswarth. Lalu kenapa harus Lilian yang menjadi ibuku, aku meremas kertas tes DNA tadi dan memasukan ke dalam saku jaketku.
"Kemarilah Elian. Apa kau ingin melupakan wanita itu, Elian. Aku bisa melakukanya untukmu!" Seru Orlan menarik tanganku sampai aku jatuh ke dalam pangkuannya.
"Tidak!" Jawabku sarkas menolak omongan Orlan yang aneh itu. Aku membenarkan posisi dudukku kembali.
"Baiklah!" Ucap Orlan tidak memaksaku.
Akhirnya sampai di rumah. Aku menyuruh Ned membawa mobilku pulang ke rumahnya dan besok Ned yang akan membawanya ke sekolah. Aku sungguh lelah sekali mengetahui semuanya. Aku membersihkan diriku dan mengenakan baju tidur. Aku membuka jendela kaca balkonku dan melihat ke bawah. Lihat wanita yang berdiri di sama dengan tatapan sendu itu. Dia, dia adalah ibu kandungku sekarang. Hatiku sakit terasa tercabik-cabik sekarang. Melihat ibuku menatapku dari bawah dengan wajah sendu seakan berharap bahwa kita bisa bersama kembali. Tidak terasa air mataku mengalir membasahi pipiku lagi, seakan air mataku tidak ada habisnya. Aku langsung menutup jendela dan kordenku agar aku tidak bisa melihat wajahnya yang membuatku sedih. Aku tidak kuat melihatnya lagi.
Aku terkaget pintu kamarku diketuk, aku mengusap air mataku dan bersikap tenang kembali. Aku bergegas membukanya, ada Mama dan Orlan sudah berdiri di sana.
"Apa kau baik-baik saja Elian, katanya kau belum makan. Mama bawakan makanan untukmu." Ucap mama membawa makanan ke kamarku
"Tidak ma, bawa saja ke dapur. Aku tidak lapar." Tolakku, aku sudah cukup kenyang dengan menangis.
"Kamu yakin, kamu tidak tidak sakit kan sayang?" Tanya mama khawatir padaku. Dia sepertinya melihat kesedihan di wajahku.
"Aku baik-baik saja ma." Kataku tersenyum manis agar mama percaya.
"Kalau begitu mama tinggal ya." Seru mana berbalik arah pergi dari kamarku. Sedangkan Orlan dia langsung masuk ke kamarku dan berbaring di kasurku. Aku menutup pintu kamarku, lalu menghampiri Orlan yang berbaring di kasurku.
"Kemarilah, tidurlah di sampingku." Ucap Orlan menarik tanganku sampai berada di didekapannya.
"Kenapa kau memelukku seperti ini!" Seruku tersipu malu. Wajahku memerah seketika.
"Tidak apa-apa, agar kau lebih tenang." Ucapnya mengarahkan kepalaku ke dadanya lalu memeluk tubuhku dengan erat.
"Terimakasih, kau sangat perduli denganku." Kataku masih nyaman berada ri pelukannya.
"Tentu saja." Timpal Orlan dengan bangga. Anak ini benar-benar membuatku nyaman.
"Kau menyusulku sampai ke rumah paman Boby dengan apa, kau terlihat seperti berjalan jauh tanpa kendaraan." Tanyaku penasaran kenapa dia tahu jika aku pergi ke rumah paman Boby.
"Terbang. Bukanya aku orang yang hebat." Jawabnya yang membuatku terkekeh geli.
"Hahaha kau lucu sekali." Kataku terkekeh geli. Dia terlalu banyak membual.
"Kau yang lucu Elian!" Serunya Tiba-tiba mencubit pipiku. Seketika wajahku memerah lagi. Astaga, aku bukan wanita kenapa Orlan menggodaku dengan godaan wanita. Tetapi godaan itu berhasil membuatku tersipu malu.
"Aku tidak lucu!" Sangkalku tersipu malu.
"Pipi gemuk seperti ini tidak imut dan lucu, lalu apa?" Serunya memainkan kedua pipiku seperti bayi yang membuat kedua bibirku maju ke depan seperti mulut ikan. Lalu aku merasakan sebuah benda kenyal menyentuh bibirku. Astaga, wajah Orlan sudah sangat dekat di wajahku. Nafas dinginnya menggelitiki wajahku. Mataku membulat terkejut.
"Kenapa kau menciumku!" Kataku mendorongnya menjauh. Wajahku memanas karena malu.
"Sudahlah ayo tidur, pejamkan matamu sekarang." Perintahnya menggeser posisinya menjadi berhadapan denganku lalu memelukku kembali. Entah mengapa aku bisa menurutinya dan tertidur pulas dalam pelukannya.
........~•°♥°•~......
.
.
.
.
To be continue
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro