Episode 17
KECELAKAAN!
.....~•*♥*•~.....
"Arkh!" Erangku merasakan sakit di kepalaku. Aku menyentuh belakang kepalaku yang terasa sakit saat kepalaku bergerak. Astaga, belakang kepalaku sampai bengkak. Aku bangun dari kasurku berjalan menuju ke balkon. Membuka korden seketika sinar mentari menyilaukan mataku. Ternyata sudah pagi, padahal aku belum mandi dari semalam. Tadi malam terasa sangat menakutkan. Aku seakan tidak percaya dan menganggap semua itu adalah mimpi, tapi luka benturan dikepalaku terasa berkedut sakit.
Aku berjalan kembali ke dalam menuju kamar mandi untuk membersihkan diri alias mandi. Aku juga sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Walaupun kepalaku masih sakit, setidaknya aku tidak merasa pusing yang membuatku harus istirahat di rumah. Aku turun ke bawah untuk sarapan. Sudah ada mama dan papa yang menungguku di meja makan.
"Sayang, kamu sudah bangun!" Tanya mama saat aku turun dari tangga dan duduk di samping mama.
"Iya ma!" Jawabku sekenanya.
"Kepalamu masih sakit? Kemarin kamu pinsan di dapur, membuat mama sangat khawatir." Tanya mama lagi memegang kepalaku memastikan benturan yang aku dapat tadi malam.
Aku tidak menyangka ada banyak hantu di rumahku. Bahkan selalu menggangguku dengan tampang mereka yang aneh dan menyeramkan. Pasti karena ruangan rahasia itu, para hantu dari ruangan itu menghantuiku. Jimatku telah dibuang Orlan kemarin saat di jalan, sehingga aku tidak memiliki perlindungan diri lagi. Sekarang aku hanya bisa berdoa agar para hantu itu tidak menyakitiku dan seluruh keluargaku.
"Sudah mendingan ma!" Kataku sambil makan sarapan yang dibuat mama.
"Tadi malam kau kenapa pingsan di dapur. Bahkan dapurnya berantakan sekali. Sampai kepalamu bengkak seperti itu. Tapi, syukurlah kemarin malam mama kompres, sekarang jadi lebih mendingan tidak sebesar tadi malam." Ucap mama terkekeh geli mengingat keadaanku tadi malam yang pinsan dengan bengkak di kepalaku. Setelah pinsan itu aku sudah tidak tahu apa-apa. Padahal aku pikir aku akan mati karena terkejut ketakutan.
"Tidak tahu ma. Mungkin aku kelelahan!" Jawabku mengelak jika semalam sebenarnya aku sedang ketakutan karena melihat hantu. Aku mengingat kembali tentang bibi Lilian, aku ingin menanyakan langsung kepada mama. Apakah mereka tahu atas kematian bibi Lilian. Terutama papa yang mantan suami bibi Lilian.
"Ma, aku mau tanya sesuatu. Aku harap mama jawab dengan jujur!" Tanyaku menatap mama dan papa secara mendalam. Aku ingin mereka serius menjawab pertanyaanku tanpa ada kebohongan lagi.
"Iya sayang, kamu mau tanya apa?" Ucap mama tersenyum lebar yang sudah siap menerima pertanyaanku. Jika sudah mendapat lampu hijau aku akan memulai pertanyaan pertama yang sedari awal mengganjal di hatiku.
"Apa hubungan mama dengan bibi Lilian? Apa hubungan papa dengan bibi Lilian? Apa hubungan kalian berdua dengan bibi Lilian?" Tanyaku beruntun yang intinya sama saja menanyakan hubungan mereka berdua dengan bibi Lilian. Aku melihat mama nampak terkejut sedangkan papa hanya bersikap biasa saja seperti tidak pernah mengenal bibi Lilian.
"Bukannya papa pernah meni(kah dengan bibi Lilian)!" Kataku terpotong oleh kehadiran seseorang yang mengejutkanku. Orlan sudah ada di belakangku menepuk pundakku yang membuatku terkaget.
"Elian! Ayo berangkat sekolah!" Serunya mengajakku berangkat sekolah bersama dengan dirinya. Aku hanya bisa menjawab dengan keterkejutanku.
"Kalau tidak bergegas kita bisa telat." Tukasnya berusaha menarik lenganku untuk ikut dengannya. Padahal aku belum selesai bertanya pada mama dan papa, bahkan mereka belum menjawab pertanyaanku. Kenapa Orlan datang di waktu yang tidak tepat.
"Baiklah. Ma, pa, aku berangkat dulu!" Kataku berdiri dan merapikan kursiku kembali untuk bersiap berangkat sekolah.
"Kalian tidak mau sarapan dulu?" Tanya mama menawarkan sarapan padaku dan Orlan. Tentu saja aku belum selesai sarapan Orlan sudah datang mengajakku berangkat sekolah.
"Tidak perlu bi, aku sudah sarapan!" Tolak Orlan langsung berjalan keluar rumah sambil menyeret lenganku mengikuti langkahnya. Tumben anak ini semangat sekali bersekolah.
"Tunggu sebentar!" Seru mama berlari dari dalam rumah menghampiri kami yang sudah masuk ke mobil. Orlan sudah menyalakan mesinnya dan bersiap berangkat.
"Ada apa ma!" Tanyaku heran kenapa mama memanggilku.
"Mama titip ambilkan kue pesanan mama di toko kue milik bibi Lessa setelah pulang sekolah ya, ini uangnya. Hati-hati di jalan jangan ngebut-ngebut." Seru mama memberikan uang padaku lewat jendela mobil dan memberi pesan untuk berhati-hati saat berangkat sekolah. Aku hanya mengangguk mengerti apa yang dikatakan mama lalu Orlan menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan rumahku.
.....~•*♥*•~.....
Di sekolah aku sedang mengerjakan tugas kelompokku di taman bersama tiga murid sekelasku. Aku dikejutkan oleh seseorang yang menyenggol punggungku dari belakang. Aku mengamati orang yang menabrakku, ternyata dia Serena. Untuk apa dia menggangguku lagi, raut wajahku sudah terlibat tidak suka akan kehadiran Serena. Dia tersenyum dan bertingkah aneh ke arahku.
"Hehehhe maafkan aku!" Serunya berlalu pergi. Sebelum pergi, Serena melempar surat berwarna pink di atas bukuku. Seketika aku mendapat cibiran oleh teman-teman satu kelompokku.
Aku membalik surat itu ada tulisan yang terbaca dari Erisha Forest. Ternyata dari mantan pacarku. Walaupun aku sudah memutuskannya, tetapi aku sebenarnya masih mencintainya. Karena kelakuannya yang begitu rendahan membuatku harus melepaskannya.
"Dari siapa Elian?" Tanya Arash tersenyum ingin tahu.
"Dari pacarku!" Jawabku singkat lalu membacanya sekilas. Ternyata isi suratnya adalah Jika Erisha ingin aku menemuinya di taman belakang sekolah, di mana saat itu aku menembak Erisha di sana.
Erisha mengirimkan surat seperti ini di mana surat sudah tidak ngetren untuk jaman sekarang, alasannya adalah karena aku sudah memblokir nomernya. Erisha menjadi tidak bisa memberi pesan ataupun memanggilku. Tunggu, ada kertas kecil di belakangnya. Kertas itu bertuliskan: 'Elian aku tahu jika kau sudah tidak percaya lagi padaku. Aku hanya berusaha membantumu. Sekarang aku tidak akan mengganggumu lagi. Jika butuh bantuan silahkan temui aku. Ngomong-ngomong surat yang kau berikan padaku, sebelum aku menyimpan nomermu, Orlan telah mengambil dan merobeknya. Aku harap kau bisa berhati-hati.'.
Itu yang tertulis di kertas dari Serena, ternyata dia menitipkan surat di dalam surat Erisha agar aku mau membacanya. Aku bersyukur jika Serena tidak menguntitku lagi. Tidak ada yang akan mengatakan Orlan adalah monster. Masalah Orlan sudah selesai sekarang, tinggal masalah yang ditinggalkan oleh Bibi Lilian. Melihat kematianya tidak mungkin jika kedua orang tuaku yang membunuhnya. Menurut pemikiranku bibi Lilian dibunuh saat menjadi istri papa oleh sekte sesat jubah merah yang sedang mencari tumbal. Karena terpuruk dengan kematian istri dan anaknya, papa menjadi sedih. Lalu datang mama sahabat papa sejak kecil yang bisa menenangkan kesedihan papa. Lalu mereka menikah karena mereka sekarang sudah saling mencintai. Aku jadi terharu, tapi aku ingin langsung mendengarnya dari bibir mama dan papa tentang kematian bibi Lilian.
"Tugasnya sudah selesai, aku akan mengumpulkan tugasnya dan Clary yang mengeprint tugasnya. Kalian setuju?" Arash membagi tugas mengumpulkan tugas kami. Setidaknya aku tidak mendapat jatah lain selain mengerjakan tugas.
"Oke! Max ayo temani aku ke tempat fotocopy." Seru Clary mengajak Max pergi menemaninya mengeprint laporan tugas kita.
"Jangan lama-lama!" Ucap Arash tidak sabar menunggu. Aku hanya bisa menunggu dan semua sudah selesai.
Setelah mengerjakan tugas sekolah aku mencari informasi tentang bibi Lilian. Aku lupa kampus yang dimasuki oleh papa dan bibi Lilian. Kalau tidak salah filmnya 'The Sadness' Film horor yang menakutkan. Aku lihat pemain dan kru-kru yang terlibat serta dalam produksi film pendek ini cukup bekerja keras. Yang mengejutkan, tentu saja produsernya adalah perusahaan yang sekarang dipimpin oleh papa. Mereka adalah mahasiswa dari universitas negeri Kesenian di kota Astley. Tidak terlalu banyak data diri tentang mereka. Karena mereka bersama hanya karena tugas kelompok pembuatan film tersebut. Yang tertera hanya nama dan nomer induk mahasiswa serta program studi yang mereka tempuh. Sepertinya mereka tidak terlalu terkenal sekarang. Bibi Lilian dan papa berada si fakultas yang sama yaitu fakultas pertunjukan film dengan progam studi yang berbeda.
"Kau sedang sibuk apa?" Tiba-tiba Arash bertanya padaku.
"Hanya mencari sesuatu yang tidak terlalu penting!" Kataku menimpali Arash tanpa melihatnya. Aku masih fokus dengan hpku mencari informasi tentang kampus itu.
Aku mencari informasi tentang universitas tersebut di internet dan bagian ruangan-ruangan yang dipromosikan terdengar sangat menjanjikan. Aku menemukan ruang pusat informatika didekat ruang akademik di setiap jurusan. Di dalamnya terdapat data diri semua mahasiswa yang pernah menempuh kuliah di sana. Aku tinggal mencari ruang pusat informatika di jurusan yang bibi Lilian tempuh yaitu progam studi editorial. Aku akhir pekan akan ke sana, semoga saja kampusnya tidak tutup karena hari Sabtu libur.
.....~•*♥*•~.....
Pulang sekolah aku langsung pergi ke toko kue bibi Lessa ditemani oleh Orlan. Aku juga berencana akan membeli beberapa kacamata, karena aku sudah tidak punya cadangan kaca mata lagi. Dari empat kacamata yang aku miliki, hanya tinggak satu yang masih utuh. Dari kejadian awal bertemu hantu bibi Lilian sampai sekarang, sudah berapa kacamataku yang pecah. Sudah tidak terhitung karena lupa.
"Setelah membeli kue, antar aku ke toko optik ya. Aku ingin membeli kacamata." Kataku pada Orlan yang masih fokus menyetir.
"Baiklah! Tapi, setelah itu ikut aku ke hutan." Serunya tersenyum manis ke arahku lalu fokus menyetir lagi.
"Ke hutan, untuk apa?" Tanyaku penasaran.
"Aku akan menunjukkan padamu bunga yang indah di sana!" Jelasnya terkekeh geli lalu tersenyum lembut lagi padaku. Apa dia tidak ada kerjaan mengajakku pergi ke hutan hanya untuk melihat bunga.
"Kau ini, banyak bunga di toko bunga. Di taman juga ada banyak, kenapa harus ke hutan? Banyak binatang buas di sana, aku takut." Kataku ikut terkekeh geli menertawakan omongannya.
"Aku hanya ingin berdua denganmu!" Serunya yang membuat hatiku serasa memanas karena malu. Astaga, padahal sudah sering Orlan menggoda. Kenapa sekarang rasanya berbeda, seakan rayuannya bisa membuatku terlena.
"Jangan membuatku malu!" Bentakku memalingkan wajah berusaha menutupi wajahku yang memerah. Dia hanya tersenyum puas karena berhasil menggodaku.
"Sudah sampai, aku akan menunggumu di mobil." Ucapnya tidak ingin ikut denganku masuk ke toko kue.
"Kau tidak mau ikut?" Tanyaku.
"Tidak!" Tolaknya dengan sepontan.
"Kau mau kue apa? Biar aku belikan sekalian." Kataku melepas sabuk pengaman dan bersiap untuk turun.
"Belikan kesukaan ibu saja." Jawabnya dengan tenang.
"Baiklah, tunggu sebentar ya. Aku tidak akan lama." Kataku membuka pintu mobil dan keluar.
Aku berjalan dengan langkah cepat memasuki toko kue bibi Lessa agar Orlan tidak terlalu lama menungguku di mobil. Di depan kasir aku dikejutkan oleh Rhein dan temannya berada di sana. Apa dia juga membeli kue di sini. Aku dengar dia suka makanan manis. Aku langsung menghampiri mereka.
"Hai Rhein, kau ada di sini juga!" Sapaku dengan senyum ramah.
"Hai kak Elian, senang bertemu denganmu lagi. Mau membeli kue?" Sapanya balik dengan wajah lucunya yang selalu aku ingat.
"Iya. Aku mau mengambil pesanan mamaku." Kataku yang bisa di dengar bibi Lessa.
"Hai Elian, tunggu sebentar ya. Kuenya baru disiapkan." Seru bibi Lessa yang baru datang dari dalam dan menyapaku.
"Iya bi. Sekalian Aku juga mau membeli kue coklat madu dua kotak ya." Pesanku saat bibi Lessa hendak masuk ke dalam lagi.
"Baiklah akan aku siapkan." ucap bibi Lessa mengerti.
"Ibu, ini strowbery yang aku petik bersama kak Mike. Buatkan aku kue strowbery yang enak ya." Seru Rhein tiba-tiba menyuruh bibi Lessa untuk membuat kue strowbery. Yang membuatku terkejut dia memanggil bibi Lessa dengan sebutan ibu. Apa dia ibunya Rhein.
"Kau tidak perlu membawanya ke toko." Timpal bibi Lessa terkekeh geli mengambil beberapa kotak strowbery yang diberikan oleh Rhein.
"Aku ingin memberikannya pada teman-temanku juga bu." Tukas Rhein dengan santai.
"Baiklah, besok ibu buatkan." Seru bibi Lessa kembali masuk ke dalam. Tidak lupa sebelum masuk ke dalam dia mengusap rambut Rhein gemas. Aku rasa memang mereka berdua pasanggan ibu dan anak. Seperti mama dan aku, kami sangat dekat. Mamaku wanita terbaik di dalam hidupku.
"Bibi Lessa ibumu?" Tanyaku memastikan jika mereka adalah keluarga.
"Tentu saja. Bagaimana dengan ibuku, cantik kan?!" Jawabnya dengan nada seperti biasanya. Aku lupa jika aku pernah meminjam buku pada Rhein, lebih baik aku kembalikan sekarang.
"Iya, aku tidak menyangka bisa bertemu dengan keluargamu juga. Aku lupa, ini aku kembalikan padamu!" Jawabku dengan ramah tidak lupa mengeluarkan buku yang sempat aku pinjam dan memberikannya kepada Rhein. Aku mengembalikkannya karena aku sudah tidak membutuhkannya lagi.
"Buku itu, aku rasa pak tua tidak terlalu mementingkan buku itu. Kak Elian simpan saja. Jika pak tua mencarinya, akan aku minta kembali." Serunya tidak ingin menerima buku ini. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi, karena aku sudah tahu nama bunga yang aku miliki.
"Ambillah. Aku sudah tidak membutuhkannya lagi." Kataku memaksanya untuk menerima buku ini. Aku takut malah menghilangkannya dan tidak bisa mengembalikkannya lagi.
"Baiklah!" Dia menerima bukunya dan langsung memasukkan buku itu ke tasnya.
"Rhein, tolong bantu ibu ambilkan pesanan Elian!" Suruh bibi Lessa pada Rhein untuk mengambil pesananku. Aku langsung membayarnya kepada bibi Lessa yang ada di depanku. Bibi Lessa langsung mengambil uangku dan memberikan kembaliannya padaku.
"Nak Mike silahkan pilih kue yang kamu suka, bibi berikan gratis untukmu." Bibi Lessa menyuruh temannya Rhein memilih kue kesukaannya karena dari tadi aku lihat dia hanya diam saja tidak ikut berbicara dengan kami.
"Terimakasih bi!" Tukasnya mengerti apa yang dikatakan bibi Lessa, tetapi dia tetap diam sambil mengamati beberapa kue di etalase dengan senyuman ramah. Mungkin saja dia bukan tipe orang yang mudah bergaul seperti aku.
"Elian, aku tahu kemarin kamu mendengar semuanya. Aku mohon jangan katakan itu pada Rhein, aku tidak ingin membuatnya sedih." Seru bibi Lessa tiba-tiba yang membuatku kaget. Bibi memegang kedua tanganku dengan lembut menyuruhku mengerti apa yang dikatakannya. Aku ingat perkataan bibi Lessa, yang dimaksud bibi Lessa adalah waktu pertengkarannya dengan ibu-ibu pengunjung itu tempo lalu. Walaupun aku tidak tahu pasti apa masalahnya aku hanya bisa mengiyakannya. Aku tidak tahu sikapku sudah benar atau tidak yang pasti aku berharap tidak ada yang tersakiti.
"Iya bi, aku tidak akan mengatakannya pada Rhein." Kataku tersenyum mengerti.
"Terimakasih nak." Ucap bibi Lessa tersenyum senang karena aku mau mengikuti perkataannya. Rhein datang membawa kue pesananku dan meletakkannya di meja.
"Kak, ini pesananmu." Seru Rhein menggeser kotak kue ke arahku. Aku langsung menerimanya.
"Terimakasih, aku permisi dulu ya." Pamitku sebelum pergi pada mereka semua.
"Iya hati-hati dijalan." Sapa mereka balik. Aku rasa aku mendapat teman dekat baru, meskipun berbeda umur. Tanpa disadari kita sering bertemu dan semakin dekat.
Aku keluar dari toko kue yang sudah disambut oleh seseorang yang tidak ingin aku lihat. Pak Adam dengan seragam dan badanya yang kekar menghalangi jalanku. Aku rasa tidak ada hubungan lagi aku dengan pak Adam. Aku sudah cukup puas dihianati. Aku tidak memperdulikannya dan berjalan menghindarinya menuju ke tempat parkiran. Namun, dia menghentikan langkahku dengan menarik lenganku sampai menghadap ke arahnya.
"Apa yang kau inginkan?" Tanyaku sambil mendengus kesal. Apa yang dia inginkan lagi dariku. Masih belum puaskah dia menuduhku pembunuh lalu merebut pacarku. Meskipun tidak berselingkuh dengan pak Adam aku akan tetap meninggalkan Erisha. Karena Erisha bukan wanita baik seperti yang aku pikirkan.
"Bukan seperti itu cara seorang laki-laki memperlakukan seorang wanita." Ucapnya yang membuatku menatapnya dengan tajam. Apa dia sedang meremehkanku. Ambilah, aku tidak membutuhkannya lagi.
"Apa kau membelanya. Bagus, kau bisa bersama dengan Erisha tanpa ada gangguan dariku." Kataku membiarkan pak Adam dengan Erisha, toh sekarang aku sudah tidak ada hubunganya dengan Erisha.
"Apa yang kau katakan. Aku hanya memperingatimu tidak boleh membiarkan Erisha menangis menunggu kehadiranmu." Ucapnya lagi memperingatiku untuk tidak membiarkan Erisha menungguku. Aku sudah mengatakannya dengan jelas jika kita sudah putus. Aku tidak perduli lagi jika semua orang menganggapku seorang lelaki yang jahat memperlakukan seorang wanita dengan kejam. Aku punya urusanku sendiri yang lebih penting daripada harus mengurusi urusan dengan kalian yang selingkuh dariku. Aku sedang tidak ingin melihat kalian berdua yang sudah menyakiti hatiku.
"Jika bapak laki-laki hebat, silahkan temui dia dan buat hatinya bahagia. Maaf, aku bukan orang yang baik." Kataku sarkas meninggalkan pak Adam, tetapi dia menarik lenganku lagi untuk menatap wajahnya yang membuatku kesal.
"Tunggu sebentar, jangan bilang kau cemburu padaku karena dekat dengan Erisha. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Erisha." Sangkalnya dengan memohon agar aku percaya. Kedekatan kalian berdua membuatku iri. Tetapi sayangnya aku sedang tidak ingin mengurusi urusan percintaan lagi.
"Jangan mengelak. Aku sudah tahu jika kalian berselingkuh dariku. Ambilah, aku sudah tidak ada hubungan lagi dengan Erisha." Kataku memberitahu semuanya jika aku sudah putus dengan Erisha.
"Hei nak, aku tidak berselingkuh dengan pacarmu. Justru aku malah meng...." Ucapnya lagi. Namun, langsung aku potong. Aku berusaha melepas tangannya yang memegang tenganku dengan kasar.
"Jangan menggangguku pak!" Bentakku meninggalkan pak Adam sendirian di depan toko kue bibi Lessa. Aku rasa pertemuan kita hanya sampai di sini. Sudah tidak ada urusan lagi pak Adam mengejar-ngejarku karena dia sudah mendapatkan Erisha.
Aku kembali lagi ke dalam mobil dengan wajah penuh amarah. Sesekali aku mendengus kesal karena mengingat kejadian tadi dengan pak Adam.
"Kau kenapa?" Tanya Orlan yang tahu raut wajahku berubah drastis menjadi penuh amarah.
"Tidak ada!" Jawabku memalingkan wajah tidak ingin membahas tentang pak Adam maupun Erisha. Orlan juga tidak bertanya lebih lanjut lagi dan masih fokus menyetir mobil. Aku rasa memang Orlan yang selalu setia ada di sisiku.
"Sudah sampai, aku akan menemanimu memilih frame kaca mata." Serunya yang membuatku heran. Tadi dia tidak bersemangat seperti waktu aku mengajaknya pergi ke toko kue.
"Kenapa sekarang kau semangat sekali?" Tangaku tersenyum heran.
"Aku ingin kau tampil lebih cantik lagi!" Tukasnya yang membuatku malu sekaligus marah. Mana ada aku cantik, seharusnya tampan. Apa dia ingin menghinaku secara tidak langsung.
"Seharusnya tampan, bukan cantik!" Kataku terkekeh geli sambil turun dari mobil.
Orlan juga turun dari mobil dan menghampiriku, mensejajarkan langkah kami berdua menuju ke toko optik. Aku berdiri sejenak mengamati plakat nama toko ini. Sudah lama aku tidak pergi ke sini. Ternyata Orlan masih ingat tempat di mana aku sering membeli atau memperbaiki kacamataku di sini. Aku heran kanapa Serena masih saja menyebutnya bukan Orlan. Lihat, sekarang yang tersenyum di sampingku adalah Orlan yang asli. Aku tersenyum balik pada Orlan dan menarik lengan bajunya untuk masuk ke dalam toko. Aku dan Orlan masih sibuk memilih dan kadang berdebat tentang frame kacamata yang cocok untukku. Aku mencobanya beberapa dan melihat pantulan wajahku di cermin. Aku terlihat keren sekali.
"Coba yang ini!" Suruhnya memberikan kacamata berbentuk bulat sempurna berframe hitam bergaris putih. Aku mencobanya dan melihat wajahku sendiri yang terlihat culun. Kenapa seleranya aneh sekali.
"Kau imut sekali memakai yang itu. Kita beli tiga frame ini. Semua bentuknya terlihat cocok dengan wajahmu." Serunya yang sudah memilih tiga frame yang berbeda. Memberikan frame itu ke penjualnya.
"Kau yakin ini cocok untukku?" Tanyaku khawatir karena aku melihat wajahku sendiri di cermin terlihat sangat aneh.
"Kau nampak sempurna." Pujinya dengan senyum lebar terhias di bibirnya. Seketika wajahku memerah karena rasanya senang sekali dipuji olehnya.
"Anda mines berapa tuan?" Tanya penjual yang membuyarkan lamunanku karena hatiku sedang berbunga-bunga.
"Kanan mines 7 dan kiri 6.5." Jawabku.
"Baiklah. Tunggu sebentar tuan!" Ucap penjual masuk ke dalam membawa frame dan catatannya. Aku masih menunggu kacamataku selesai dibuat bersama Orlan. Orlan selalu saja mengganggu saat aku ingin mencoba frame kacamata yang lain. Dia jahil seperti biasanya.
Setelah kacamataku sudah jadi dan aku mencobanya, ternyata sudah sesuai dengan ukuran mines mataku. Rasanya lebih nyaman daripada kacamata sebelumnya, mungkin karena kacamata baru. Aku dan Orlan keluar toko dan melanjutkan ke tempat selanjutnya yang Orlan maksud. Langkahku terhenti karena aku seperti mendengar seseorang memanggilku dari kejauhan.
"Kak Elian!" Panggil seseorang yang membuatku menengok ke belakang. Aku melihat di sebrang jalan ada Ellie bersama Serena melambaikan tangan ke arahku. Serena telihat menunduk malu-malu. Aku melambaikan tangan pada mereka juga dan tersenyum manis.
"KAK ELIAN! TUNGGU AKU!" Seru Ellie berteriak dari sebrang sana. Aku lihat lampu hijaunya segera berganti menjadi merah. Aku memutuskan untuk menunggu mereka berdua sampai di tempatku. Setelah dipastikan lampu berubah merah Ellie berlari denga senang ke arahku diikuti oleh Serena. Mereka saling mengenal.
"Jangan lari-lari!" Timpalku agar dia berhati-hati karena kita ada di jalan raya. Ada mobil putih yang awalnya mau berhenti tiba-tiba melaju dengan sangat kencang ke arah Ellie, sontak aku kaget hendak menyelamatkan Ellie. Namun, Orlan malah menarik tanganku.
"ELLIE!" panggilku khawatir.
'Brackk chittt sretttt brackk'. Suara mengerikan itu. Astaga, apa yang aku lihat ini. Tubuh kecil dan ramping itu terbujur kaku berlumuran darah di tengah jalan. Aku tidak kuat untuk melihatnya. Tangan dan kakiku terasa mati rasa. Seakan tanah ini menghilang. Kenapa aku menjadi tuli seketika. Suara kegaduhan demi kegaduhan seakan terdengar tabu di telingaku. Orlan menarik badanku dan memeluknya dengan erat. Aku tidak bisa merasakan tubuhku sendiri. Nafasku semakin memburu, yang semakin lama semakin menghasilkan air mata yang menutupi pengelihatanku.
"Elian, Elian! Elian, tenangkan dirimu!" Panggil Orlan beberapa kali sambil menggoyang-goyangkan tubuhku menyuruhku cepat sadar kembali. Namun, tidak ada yang bisa aku lihat, hanya ada kekosongan. Suara Orlan terasa hampa di telingaku.
"Kau, kau siapa!" Tanyaku dengan tangisku pecah begitu saja. Bahakan tangisku sudah tersedu-sedu membuatku kesusahan bernafas. Aku mengingat Orlan yang menakutkan dihadapanku. Mengingat kata-kata Serena, bibi Margaretha, Keyle, Jasmine, jika dia bukan Orlan. Seketika aku melihat mayat Keyle kembali yang membuatku ketakutan.
"Elian tenangkan dirimu!" Seru Orlan lagi yang hanya bisa aku dengar. Tubuhku masih kaku tidak bisa bergerak. Pikiran itu terus saja melintasi mataku, seakan Orlan yang ada dihadapanku tidak ada. Orlan, ke mana dirimu Orlan.
"Kau, kau siapa? Siapa kau!" Rancauku histeris bingung dengan keadaan yang sedang aku lihat. Banyak potongan memori yang tidak aku mengerti terlintas di mataku. Sampai momen itu berakhir dengan aku melihat Orlan membunuh Serena di depan mataku. Tidak, dia bukan Orlan kan. Dia bukan Orlan. Dia meninggalkan tubuh hancur terkoyak Serena dan berbalik melihatku. Wajah monster mengerikan menghiasi mataku. Orlan, aku takut. Dia menangkapku yang tidak bisa bergerak. Tidak, aku mohon jangan bunuh aku, jangan. Akh, jangan bunuh aku. Tangisku semakin histeris.
"Aku Orlan, Elian. Ini aku, Orlan!" Seru Orlan menangkap wajahku dengan kedua tangannya yang besar, tapi tetap saja wajah Orlan tidak bisa aku lihat. Aku mohon cepat tolong aku, Apa yang terjadi denganku. Aku ingin kembali. Suara tangisan dan jeritan itu berangsur-angsur menghilang di gantikan suara sirine mobil. Entah mobil polisi atau ambulan, mereka terdengar sama saja sekarang di telingaku. Aku berusaha mencari sumber suara itu, tetapi kedua tangan itu tidak membiarkanku pergi.
"Orlan, di mana kau! Orlan, di mana kau!" Rancauku penuh kekawatiran. Suaraku sudah semakin serak untuk menangis.
"Elian! Ini aku, Orlan. Teman masa kecilmu. Orlan yang selalu memberikan susu kotaknya padamu. Orlan yang selalu menyembunyikan kaca matamu di lokerku. Orlan yang selalu membocengkanmu dengan sepeda bututku. Orlan yamg selalu mendorong ayunanmu. Orlan yang memberimu kado kaos abu-abu dengan uang tabunganku. Orlan yang mengubur kucingmu di samping rumah. Kau ingat siapa aku. Jangan ragukan aku lagi!" Suara itu, suara Orlan.
Tangisku semakin pecah mendengar semua perkataan Orlan. Makhluk mengerikan itu tiba-tiba lenyap dari pandanganku. Sekarang wajah tegas Orlan menghiasi mataku. Mataku dipenuhi air mata yang terus saja mengalir. Seketika aku mengingat momen-momen masa kecul kita dulu yang sangat menyenangkan. Aku memeluknya semakin dalam tidak berharap dia pergi dariku lagi. Setelah diriku merasa lebih baik bahkan sudah menjadi lebih kuat lagi melihat kenyataan yang terjadi. Aku melepas pelukanku pada Orlan, lalu melihat ke belakangku yang penuh kegaduhan.
"Jangan melihatnya!" Orlan menangkap tubuhku lagi tidak ingin aku melihatnya. Biarkan aku melihatnya, aku sudah cukup tegar merasakan kehilangan ini.
"Tidak apa-apa!" Kataku melepas pelukan Orlan dan menghapus semua air mataku. Aku memakai kacamataku kembali yang sudah berembun terkena nafasku. Aku menghampiri tempat yang begitu banyak polisi serta petugas rumah sakit. Aku melihat tanda yang di atasnya tertutupi sebuah kain menjuntai ke bawah. Semoga dia baik-baik saja.
"Kak Elian, kak Serena bagaimana, hikks hikks!" Seru Ellie memelukku dengan erat saat aku menghampirinya yang sedang dipeluk seorang polisi untuk menenangkannya. Tangisannya pecah tiada henti dipelukanku. Aku mencoba menenangkanya. Aku juga mengalami syok berat lebih berat darimu Ellie, tapi untung ada Orlan yang menenangkanku. Sekarang giliranku menenangkanmu.
"Tidak apa-apa, Serena pasti baik-baik saja." Kataku menenangkan Ellie yang masih menangis di dalam pelukanku.
"Semua salahku kak. Jika bukan karena aku, kak Serena pasti tidak akan tertabrak." Tangisannya pecah lagi. Ned datang bersama ibunya. Mereka menghampiri kami yang masih berdiri mematung dengan isakan tangis tiada henti.
Sebelum kembali ke mobil pak Adam memanggilku, tetapi aku hanya menatapnya sekilas lalu berlalu pergi masuk ke mobil Orlan. Kami pulang ke rumah masing-masing dengan duka atas kecelakaan yang menimpa Serena.
.....~•*♥*•~.....
Esok harinya setelah pulang sekolah aku menyempatkan diri menjenguk Serena di rumah sakit. Aku membawa kue dan buah untuk Serena. Aku ingin melihat keadaannya sekarang. Semoga dia tidak mengalami luka yang amat parah. Aku masuk ke dalam rumah sakit dan menanyakan ke resepsionis ruang di mama Serena di rawat. Aku menuju ke lantai dua di mana Serena dirawat. Aku berjalan menyusuri koridor yang gelap dan penuh bau obat menusuk hidungku. Di depan ruangan Serena dirawat, duduk seorang laki-laki tua yang aku pastikan ayahnya Serena. Aku menghampiri dan menyapanya.
"Paman? Bagaimana keadaan Serena?" Tanyaku menyapa ayahnya Serena sambil berjabat tangan dengannya.
"Dia baru selesai oprasi. Serena mengalami pendarahan otak yang menyebabkannya koma. Tidak bisa dipastikan kapan dia bisa sadar kembali. Kami hanya bisa berdoa." Ucap ayahnya Serena menangis mengingat keadaan anaknya yang terluka parah. Aku tidak menyangka jika Serena akan mengalami luka yang sangat parah.
"Paman harus kuat. Semoga Serena cepat sadar dan sembuh." Kataku memeluk ayahnya Serena sekilas untuk menguatkkanya.
"Iya terimakasih atas doanya. Kamu temannya kan! Masuklah, dia ada di dalam. Mungkin dengan kehadiran teman-temanya bisa merangsangnya untuk bisa cepat sadar." Ayahnya Serena menyuruhku masuk ke dalam menemui Serena yang masih koma. Aku mencoba menguatkan diriku untuk melihat keadaan Serena, karena aku memiliki banyak salah padanya. Jika Serena sadar, pasti dia akan mengusirku dari ruanganya karena aku adalah orang jahat yang tidak percaya kata-katanya.
"Iya paman." Kataku tersenyum ramah.
"Di dalam ada Ellie temannya juga. Masuklah. Aku akan menunggu istriku di sini." Seru ayahnya Serena menepuk bahuku untuk cepat masuk menemui anaknya.
"Terimakasih paman." Kataku berlalu masuk ke dalam.
Aku melihat Ellie yang terus menangis dalam diam menatap Serena yang terbujur lemah di atas ranjang rumah sakit. Aku menghampirinya dan meletakan barang bawaanku di atas meja. Aku pegang pundaknya dan membelainya pelan untuk menenangkannya. Aku juga merasa bersalah karena menjauhinya. Aku menahan air mataku untuk tidak jatuh karena mengingat betapa jahatnya diriku pada Serena.
"Kak Elian, kalau bukan aku kak Serena tidak akan tertabrak." Guman Ellie yang terus saja menyalahkan dirinya.
"Sudah jangan salahkan dirimu." Kataku menyuruhnya tidak menyalahkan dirinya sendiri, semua sudah terjadi sesua takdir yang digariskan. Jangan sesali lagi.
"Kak Serena menyelamatkanku." Serunya dengan sesenggukan menahan tangis. Lihat, matanya sudah bengkak menghitam. Sudah berapa jam dia menangis.
"Ini sudah takdirnya. Tenangkan dirimu, yang perlu kanu lakukan adalah mendoakannya agar cepat sembuh. Tangisanmu tidak akan membuatnya sembuh, malah membuatnya semakin sedih. Dia menyelamatkanmu bukan tanpa alasan. Jadi jangan menangis lagi. " Kataku mulai duduk di pinggiran kasur Serena.
Ellie dia mengangguk paham dan mulai berhenti menangis. Aku menghela nafas meratapi Serena yang terbaring koma di atas ranjang. Seharusnya aku tidak berperilaku kasar padanya waktu itu. Sebenarnya dia orang yang baik, hanya saja dia mengatakan kebohongan yang membuatku marah. Maafkan aku Serena, semoga kau cepat sembuh.
"Aku baru kenal kak Serena saat aku mengikuti organisasi paranormal di sekolah. Kak Serena itu adalah alumni dari sekolahku. Dia pintar dan memiliki kemampuan yang luar biasa. Dia tidak pernah menghinaku yang tidak memiliki kemampuan indra keenam, dia selalu memujiku. Bagiku kak Serena seniorku yang paling hebat." Ellie mulai bercerita tentang dirinya dan Serena. Aku rasa mereka memiliki ikatan pertemanan yang cukup dalam, sehingga membuat Ellie merasa begitu sedih melihat Serena seperti ini.
"Tetapi banyak orang yang menganggapnya gila. Selalu menuduh kak Serena hanya omong kosong. Tapi aku percaya kalau dia memilih indra keenam." Lanjutnya lagi bercerita dengan menggebu-gebu memuji Serena. Aku termasuk salah satu orang yang tidak percaya akan perkataan Serena. Maafkan aku Ellie, bukan maksudku menghina Serena. Hanya saja aku belum percaya semua kata-katanya.
"Kami semakin dekat. Kak Serena mengatakan bahwa dia sekarang bersekolah di sekolah yang sama dengan kak Ned, kak Elian, dan kak Orlan. Aku jadi ingin bersekolah di sana. Bahkan saat aku mengatakan nama kalian bertiga kak Serena mengenal kalian bertiga." Ucapnya lagi yang sesengguan menahan tangis. Dia tidak kuasa untuk bercerita karena mengingat kenangan bersama Serena membuatnya menangis.
"Sudah, jangan diingat lagi." Kataku mengusap pundaknya agar dia tenang kembali. Yang berlalu biarlah berlalu, jika diulang kembalipun tetap tidak akan pernah bisa. Kita hanya bisa menjalaninya dengan kuat dan berani.
"Kemarin, jika aku tidak merusak kacamata kak Serena. Aku tidak akan membawanya ke toko optik, sehingga kecelakaan itu tidak akan terjadi." Serena menangis lagi. Airmatanya tidak pernah surut walaupun dia sudah tidak kuat lagi untuk membuka mata. Tidak akan ada hentinya jika mengingat kesalahan yang telah berlalu. Yang ada hanyalah penyesalan dan tangis pilu yang membuatmu jatuh tidak ingin bangkit lagi.
"Kak Elian, kemarin kak Serena menitipkan surat ini untukmu. Aku belum membacanya. Kak Serena berpesan, jika kau tidak percaya abaikanlah surat ini." Seru Ellie membuka tas kecilnya. Mengambil surat dan memberikannya padaku. Aku menerimanya dengan ragu-ragu. Bahkan aku ragu-ragu untuk membukanya. Aku langsung menasukkanya ke saku jaketku, akan aku baca nanti saat di rumah.
Karena hari semakin malam aku dan Ellie segera pulang. KamibBerpamitan dahulu dengan kedua orang tua Serena sebelum pulang. Saat berjalan melewati koridor rumah sakit tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang membuatku hampir jatuh. Aku terhuyun ke samping yang membuatku hampir menabrak Ellie.
"Kau Kenapa kak Elian!" Tanya Ellie binggung dengan sikapku yang Tiba-tiba terhuyun hampir jatuh. Aku berusaha melihat seseorang tinggi, berpakaian putih dan menunduk yang menabrakku tadi namun dibelakang tidak ada orang sama sekali. Aku heran cepat sekali hilangnya, bahkan aku tidak mendengar langkah kakinya.
"Kak Elian!" Seru Ellie lagi membuyarkan kebengonganku.
"Tidak ada apa-apa, ayo aku antar kau pulang." Kataku mengalihkan perhatian. Ellie hanya mengangguh setuju.
.....~•*♥*•~.....
.
.
.
.
To be continue
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro