Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Episode 16

*Hantu Di Rumahku*
.....***.....

Aku membuka mata perlahan-lahan nampak cahaya yang mulai jelas bentuknya, aku melihat langit-langit di kamarku. Apa aku ada di kamar, kepalaku pusing sekali mengingat kejadian kemaren. Kenapa aku bisa ada di sini, siapa yang menyelamatkanku. Bagaimana keadaan Erisha dan pak Adam. Aku berusaha bergerak ke samping berharap bisa sadar sepenuhnya. Aku mendapati mama yang duduk di sampingku dan mengelus tanganku. Tok-Tok-Tok,  ada suara ketukan pintu kamarku.

"Kau sudah bangun sayang." Seru mama sekarang gantian membelai rambutku. Aku hanya bisa diam menanggapi mama. Kepalaku masih sangat pusing, rasanya lelah untuk sekedar bicara. Aku hanya bisa diam menanggapi omongan mama.

"Masuklah tidak apa-apa, dia sedang istirahat." Ucap mama mengijinkan orang yang mengetuk pintu kamarku untuk masuk. Siapa yang datang ke kamarku.

"Iya bibi, terimakasih. Ayo kak Adam kita masuk." Seketika pintu kamarku terbuka menampakkan Erisha datang bersama pak Adam. Aku sudah sadar namun belum sepenuhnya sadar. Aku masih mencerna apa yang sedang terjadi padaku. Kenapa aku bisa selamat dari monster itu. Padahal aku sangat yakin jika waktu itu dia benar akan membunuhku. Semua kejadian seakan hanya mimpi diingatanku.

"Sayang kau sudah bangun, kau tidak apa-apa kan? Kau baik-baik saya?" Tanya Erisha khawatir. Aku hanya mengamatinya sekilas, tidak memperdulikannya. Aku hanya bisa bergerak ke kanan dan ke kiri menyamankan posisi tidurku.

"Tidak apa-apa Erisha. Biarkan Elian istirahat. Tolong jaga dia sebentar, aku akan ambilkan sarapan dulu." Mama berdiri dan pergi dari kamarku meninggalkan aku dan dua orang itu.

"Iya bi." Jawab Erisha duduk di sampingku menggantikan posisi mama dan mulai mengambil tanganku. Dia membelainya seperti apa yang dilakukan mama, namun aku langsung menarik tanganku kembali dan menyembunyikan tanganku dibalik selimut. Aku berbalik memunggungi mereka. Sampai sekarang mereka tidak ada yang bersuara.

"Sayang jangan seperti ini, kau baik-baik saja kan? Aku khawatir sekali saat kau ditemukan dalam keadaan berlumuran darah. Untung kau selamat sayang." Ucap Erisha terlihat sangat khawatir. Sudahkah kalian berakting perhatian padaku.

"Biarkan dia istirahat dulu, dia kelihatannya masih syok. Tunggu sampai dia sadar sepenuhnya." Timpal pak Adam yang aku lihat dari ekor mataku sedang berkeliling melihat kamar baruku. Kamar baru karena semua barang-barang di sini masih baru saja dibeli oleh mama karena kemaren dirusak oleh Orlan.

"Aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing." Ucapku menimpali mereka agar tidak mengkhawatirkan aku lagi. Aku harap mereka berhenti berputar-putar baik di depan mataku.

Aku mengingat kembali ucapan orang jahat yang menculikku. Seketika perasaanku terasa sakit melihat wajah Erisha dan pak Adam kembali. Aku tidak menyangka wanita yang aku cintai akan menjadi jalang dan berselingkuh dengan pak Adam. Harusnya aku sadar diri jika aku tidak setampan dan segagah pak Adam yang bisa bersanding dengan Erisha yang cantik. Hatiku rasanya sakit sekali seperti tertusuk ribuan jarum yang membuatnya nyeri tidak tertahankan sampai susah sekali disembuhkan. Pak Adam yang mendekatiku demi merebut Erisha dariku. Erisha yang berpacaran denganku hanya demi uang. Erisha diam-diam memadu kasih dengan pak Adam di belakangku. Aku benci mereka berdua. Kepalaku sakit sekali mengingat luka di hatiku.

"Sayang! Aku khawatir sekali saat melihatmu tidak ada di bawah air mancur. Aku menunggu lama sekali dan mencarimu ke mana-mana, ponselmu juga susah dihubungi. Untung ada kak Adam yang membantuku mencarimu. Kak Adam melacak sinyal GPS di HPmu dan akhirnya kami bisa menemukanmu. Di sana hanya kamu yang selamat. Semua orang yang menculikmu mati dengan mengerikan." Ucap Erisha panjang lebar. Aku bersyukur bisa selamat dari monster mengerikan yang membunuh para penculik itu. Tapi aku juga marah kenapa dia tidak membunuhku juga, agar aku tidak harus merasakan sakitnya dihianati.

Entah mengapa kata-kata yang Erisha keluarkan seakan meminta pembelaan. Di mana memang aku yang salah dan membuat mereka khawatir. Aku tidak menyangka kau selicik ini Erisha, padahal aku sudah sangat mencintaimu. Saat ini aku merasa sangat emosional, aku tidak ingin melihat wajah yang pura-pura lugu ini. Aku diculik dan hampir mati karena Erisha, namun sekarang terasa aku yang terlihat bodoh bisa diculik dengan mudahnya. Kalau kalian tidak lama bermain di belakangku, sudah pasti mereka tidak akan menculikku. Membuatku seakan menjadi laki-laki yang lemah dan tidak berdaya di mata Erisha. Walaupun kalian yang menyelamatkanku, tidak bisa dipungkiri jika kalian juga bersalah. Aku tidak ingin melihat kalian sekarang.

"Elian! Kau baik-baik saja kan?" Panggil Erisha menyentuh pundakku. Entah mengapa aku masih tersulut emosi.

"Pergi dari sini!" Bentakku merasa jijik karena Erisha berusaha memegang pundakku. Aku sangat terluka saat kau hianati aku seperti ini Erisha. Kau mendekatiku demi kenikmatan dan uang. Kau mejajakan dirimu ke laki-laki lain yang bisa memuaskanmu di ranjang. Betapa sakitnya aku mendengar itu semua.

"Elian, kau kenapa?" Seru Erisha lagi.

"Jangan sentuh aku jalang!" Bentakku lagi. Erisha langsung menurunkan tangannya enggan menyentuhku lagi.

"Kenapa kau menghinaku jalang, sayang. Kau menyakiti hatiku!" Ucap Erisha terasa aku yang jahat di sini. Aku tidak perduli lagi siapa yang jahat sekarang, yang aku inginkan hanya sendirian sekarang. Hatiku sakit sekali, rasanya ingin menangis histeris namun aku tidak bisa.

"Pergi kalian berdua dari sini. Aku benci kalian berdua!" Bentakku terbakar emosi. Sudahkah kalian berakting sebagai pahlawan dihadapanku. Aku menutupi wajah sedihku dengan selimut, tidak berharap mereka melihat kesedihanku.

"Sayang apa yang mereka lakukan sampai kamu seperti ini. Tenang saja, aku akan menjagamu." Ucapnya lagi berusaha menyentuh pundakku namun aku membentaknya lagi.

"Apa kau tuli!" Cibirku agar dia bisa menjauh dariku.

"Lebih baik kita pergi, Elian masih trauma. Jangan paksa dia dulu." Pak Adam membawa Erisha pergi dari kamarku.

"Maafkan aku Elian!" Seru Erisha sebelum berlalu pergi dari kamarku.

Mereka berdua menutup pintu kamarku dengan perlahan, aku bisa mendengarnya. Bahkan langkah sepatu mereka bisa aku dengar perlahan menjauh dari pendengaranku. Apakah aku terlihat buruk sekali. Apa wajahku sangat jelek dan sifatku sangat egois, sampai wanita yang aku cintai begitu mencampakkanku.

Tiba-tiba aku mendengar pintuku terbuka kembali. Aku berbalik melihat siapa orang itu. Orlan tiba-tiba membuka pintu kamarku. Aku terperanjak kaget melihat kehadirannya yang sangat aku rindukan. Aku bangun dan berusaha duduk bersandar di dinding. Aku tidak menyangaka Orlan akan datang menemuiku. Dia duduk di sampingku sambil tersenyum tipis.

"Kau tidak apa-apa kan kentang?" Tanyanya bersimpati kepadaku. Dia bilang tidak akan mau bertemu denganku lagi. Dia akan pergi menjauh dari hidupku. Tetapi, kenapa dia datang menemuiku. Aku sangat bersalah padanya.

"Aku baik-baik saja." Jawabku menunduk sedih. Orang yang paling aku sayangi sekarang ada di depanku bahkan aku sudah membuat hatinya sakit. Bukannya aku orang yang sangat jahat.

"Syukurlah!" Ucapnya tersenyum lebar menghiasi bibirnya yang mempesona. Aku dari dulu mengakui ketampanan yang dimiliki oleh Orlan. Tetapi entah mengapa aku merasa Orlan sekarang semakin mempesona di mataku.

"Kenapa kau ke sini?" Tanyaku menahan sedih. Aku sedang merasakan kesedihan yang amat dalam sekarang. Kehilangan orang yang aku cintai dua kali. Menolak Orlan dan di selingkuhi Erisha. Atau memang sejak awal Erisha tidak pernah menganggapku kekasihnya.

"Aku rindu padamu!" Lihatlah siapa yang benar-benar perduli denganku sekarang. Siapa yang benar-benar mencintaiku sekarang. Tiba-tiba air mataku mengalir dengan sendirinya tanpa perintahku. Aku memang bodoh telah menyianyiakan orang yang mencintaiku. Bolehkah aku menerima cintanya sekarang.

"Kenapa begitu. Kau bilang akan menjauh dariku. Jika benar kau tidak perlu memperdulikanku." Aku sudah mengusap airmataku berkali-kali, tetapi air mata ini terus membanjiri pipiku. Aku tidak kuasa melihat wajah Orlan. Setiap melihat wajahnya, selalu saja kata-kataku yang menyakiti hatinya teringat. Maafkan aku Orlan telah melukaimu.

"Apa kau mengusirku. Baiklah aku akan pergi." Serunya tersenyum lebar lagi dan berdiri dari duduknya. Dia seakan menggodaku dengan candaannya yang sangat tidak lucu, yang terjadi malah air mataku semakin deras mengalir menutupi mataku. Ingusku juga sudah ikut mengalir seirama dengan air mataku. Selimutku sampai basah penuh air mata dan ingusku karena aku gunakan untuk menghapus kesedihan yang aku rasakan.

"Orlan?! Jangan pergi!" Ucapku menarik lengan bajunya. Aku tidak ingin dia pergi sekarang. Aku ingin dia selalu ada di sisiku. Aku ingin bahunya yang menenangkan hatiku. Aku ingin pelukkannya yang hangat. Aku ingin senyumnya yang membuatku tersipu malu. Aku ingin suaranya yang membuat diriku merasa nyaman. Jika kalian bertanya siapa orang yang paling egois di dunia ini jawabannya adalah aku.

"Bukannya kau mengusirku!" Serunya tersenyum manja sambil menggenggam tanganku. Aku jadi tidak bisa membuang air mata dan ingusku jika Orlan menggenggam tangan kananku. Alhasil aku hanya bisa mengusapnya dengan tangan kiri yang menyisakan bekas-bekas luka kesedihan di wajahku.

"Tidak, bukan seperti itu. Jika kau benci aku, kamu boleh pergi mejauhiku." Kataku tidak ingin mengekang Orlan. Aku sudah menolaknya dan membuat hatinya sakit. Jika dia sudah membenciku dan ingin pergi jauh dariku untuk mencari cinta yang baru, aku tidak akan menghalanginya walaupun aku sangat mencintainya.

"Aku tidak membencimu. Aku mencintaimu." Serunya memelukku. Tangisku pecah dalam pelukannya. Aku tidak menyangka jika aku selemah ini. Aku juga mencintaimu Orlan, tetapi aku takut mengakuinya karena ini adalah hubungan yang aneh dan tidak normal.

"Tetapi, aku telah menolakmu. Bukannya kau pasti sangat marah padaku. Aku telah berbuat kasar padamu." Kataku meminta kepastian karena aku yakin sudah menyakiti hatinya, seharusnya dia marah dan membenciku.

"Aku tetap mencintaimu." Ucapnya memelukku lagi. Aku menenggelamkan wajahku di bahunya yang lebar. Aku tidak menyangka bahu ini bisa menampung kesedihanku. Jika bisa aku tidak ingin melepaskannya.

"Terimakasih untuk kasih sayang yang telah kau berikan padaku. Maafkan aku sudah berkata kasar padamu. Aku memang egois, bisakah kau temani aku sebentar." Ucapku masih di dalam dekapannya. Aku masih nyaman berada dipelukannya yang hangat.

"Aku mengerti! Tidak perlu khawatir, aku akan menjagamu." Orlan semakin mempererat pelukannya, aku pun juga melakukan hal yang sama. Seakan aku tidak ingin melepas kenyamanan ini.

"Aku tidak menyangka dulu Erisha wanita seperti itu. Dia selalu ramah ceria dan manja. Dia bukan wanita jalang. Tapi kenyataannya sangat membuat hatiku sakit." Kataku mulai bercerita tentang kesedihanku karena Erisha.

"Maka terimalah cintaku. Aku tidak akan membiarkanmu terluka." Ucapnya yang membuatku tenang.

"Apakah hubungan sesama lelaki itu baik-baik saja." Tanyaku heran. Aku merasa hubungan antara sesama laki-laki bahkan kita adalah sahabat sejak kecil terlihat tabu di mataku. Namun perasaanku berkata lain, seakan memang seharusnya hatiku untuk Orlan.

"Jika kita mencintai, itu bukan masalah." Ucapnya mengecup pucuk kepalaku dengan bibir kenyalnya. Kesedihanku seakan sirna luluh oleh kasih sayang yang Orlan berikan padaku.

Waktu seharian ini aku habiskan bersama Orlan. Aku enggan menceritakan tentang Erisha yang menghianatiku pada Orlan lagi, aku hanya ingin tenang hari ini bersama Orlan. Aku ingin selalu ada dipelukannya yang hangat, nyaman, dan aman. Apakah aku bisa seperti ini selamanya. Orlan, aku tidak bisa menjawab perasaanmu sekarang, tapi secepatnya aku akan menerima cintamu sepenuhnya. Akan aku berikan segala hatiku yang memang selama ini hanya untukmu. Orlan aku mencintaimu.

......***......

Besoknya aku mulai bersekolah lagi. Karena aku tidak mendapat luka serius jadi aku bisa berangkat sekolah seperti biasanya. Aku berangkat sekolah bersama Orlan karena nanti sore aku akan pergi bersama Orlan ke rumah Arash untuk menemui bibi Pamela yang ingin mengetahui kabar tentang bibi Lilian. Aku memanggilnya bibi Lilian sekarang karena memang seharusnya aku memanggilnya bibi karena dia salah satu teman mama dan papaku.

Di sekolah sepanjang hari Serena selalu mengikutiku. Dia selalu mengatakan jika Orlan kerasukan iblis. Rasanya telingaku terbakar karena emosi mendengarnya. Bahkan sekarang dia mengikutiku sampai ke parkiran.

"Elian, Elian tunggu sebentar. Aku tahu caranya agar kau percaya padaku." Serunya menarik tanganku, menghentikan tanganku membuka pintu mobil.

"Minggirlah, kau menghalangi jalanku." Kataku malas berdebat dengannya. Sudah cukup aku dibohongi sekarang. Terasa memang semua orang sudah banyak membohongiku.

"Tubuh Orlan sudah tidak bisa bertahan lama. Rambutnya akan rontok, pupil matanya menyempit. Kukunya menghitam. Dan ....." Serunya menggebu-gebu. Aku hanya memutar bola mata malas dan menghentikan omong kosongnya.

"Dan apa lagi? Carilah orang yang bisa kau bodohi, jangan aku lagi. Aku tidak akan percaya lagi." Bentakku yang terkesan mengusir Serena pergi. Aku sudah lelah diikuti Serena terus menerus.

"Elian, aku mohon dengarkan aku. Ambil beberapa helai rambutnya dan kita bawa ke nyonya Lhara, dia pasti akan bisa melihat iblis macam apa yang memasuki tubuh Orlan. Kau tinggal mengambil rambutnya dan akan aku antar ke rumahnya nyonya Lhara." Serunya memegang kedua lenganku berharap aku bisa mempercayainya. Aku hanya bisa mendengus kesal karena dia terus memaksaku untuk percaya.

"Berhentilah membual Serena. Bibi Lhara itu bukan dukun, mengerti! Dia membantumu bukan berarti dia dukun."  Kataku agar dia berhenti mengikutiku dan mengatakan sesuatu yang aneh tentang Orlan. Aku mengatakan semua yang aku tahu tentang bibi Lhara agar dia tidak salah mengartikan bibi Lhara seorang dukun. Bibi lhara hanyalah seorang ibu yang memiliki kemampuan indri ke enam. Tetapi dia bukan seorang dukun, neneknyalah yang seorang dukun. Namun aku sudah tidak ada alasan lagi pergi ke rumahnya karena Orlan bukan iblis, dia tenyata sahabat baikku yang selama ini aku sayangi.

"Apa kau sudah bertemu dengannya." Tanya Serena nampak terkejut dengan katak-kataku.

"Tentu saja sudah. Dan jangan membohongiku lagi." Kataku memperingatinya agar tidak mengikutiku dan mengatakan Orlan yang tidak-tidak.

"Tapi Elian...." Protesnya yang terpotong olehku, karena aku melihat Orlan di belakang Serena berjalan mendekat ke arah sini.

"Orlan!" panggilku karena Orlan sudah mulai mendekat ke parkiran mobilku. Serena langsung bergegas pergi bersembunyi dari Orlan. Astaga, ada apa dengan anak itu. Atau jangan-jangan mentalnya terganggu dan gila.

"Sudah siap berangkat!" Tanya Orlan yamg audah bersiap ikut denganku pergi.

"Tentu saja!" Jawabku hendak membuka pintu namun aktivitasku terhentikan oleh panggilan seseorang yang sangat aku kenal. Orlan aku lihat dia berjalan ke arah berlawanan arah denganku dan masuk ke mobil.

"Elian!" Panggil Erisha yang Tiba-tiba datang.

"Ada apa kau menemuiku?" Tanyaku terbakar emosi. Melihat wajah lugu Erisha terasa aku ingin menghujaninya dengan celaan. Aku sudah tidak ingin melihat wajahnya yang selalu dibuat polos di mataku.

"Kenapa kau marah padaku, apa salahku!" Tanyanya dengan wajah sedih yang sekarang aku bisa merasakannya jika kesedihannya seakan dibuat-buat.

"Aku lupa mengucapkan terimakasih padamu dan satu lagi, selamat ya. Selamat atas hubunganmu dengan pak Adam. Semoga lenggeng sampai ke pernikahan." Ucapku berterima kasih sekaligus memberi selamat padanya karena mereka berdua berselingkuh di belakangku.

"Apa yang kau katakan, aku tidak ada apa-apa dengan kak Adam." Sangkalnya masih menatapku sedih. Berhentilah berpura-pura Erisha kenapa kalian para wanita terus saja mengatakan kebohongan. Tidak Serena, tidak kau Erisha, kalian sama saja. Penuh kebohongan.

"Bukanya kau berselingkuh di belakangku. Bukanya kau selau mengaguminya. Satu lagi kalian sudah dijodohkan oleh kedua orang tua kalian. Sekarang kau boleh pergi pacaran dengan pak Adam." Kataku memperjelas keadaan. Penculiknya sudah mati dan pak Adam akan menjadi pacar dan suami Erisha selamanya tanpa ada gangguan. Aku akan melepas Erisha karena memang semua ini adalah kemauannya dan keluarganya. Aku tahu memang aku bukan orang yang tampan dan baik, jadi aku akan melepaskannya sekarang.

"Elian, kenapa kau berkata seperti itu." Ucap Erisha bertingkah seolah terluka dengan perkataanku. Apakah kata-kataku menyakitkan untuk didengar, aku rasa aku sudah mengatakannya dengan lembut seperti biasanya.

"Aku tanya padamu apa kau mengenal orang yang menculikku?" Tanyaku untuk mempertegas jika Erisha ada hubungan dengan penculikan itu.

Bukannya penculikan itu adalah salah satu rencananya juga. Setelah berhasil membunuhku, Erisha bebas pacaran dengan pak Adam. Bahkan dengan Marco si ketua geng itu lagi. Aku baru tahu nama-nama penculik itu dari berita tv tadi pagi dan yang masih aku ingat adalah nama bos geng itu yang bernama Marco Brock.

"Tentu saja mana aku tahu sayang. Apa hubungannya denganku!" Lihat dia masih berbohong dihadapanku. Dia berpura-pura tidak mengenalnya.

"Bukannya kau dan pak Adam yang menyelamatkanku?" Tanyaku perlahan agar dia bisa mengingat kembali bagaimana mereka menemukanku. Lihat bagaimana dia mengenali para penculiknya dengan jelas jika mereka adalah mantan pacar Erisha.

"Iya tapi, aku tidak mengenal mereka. Walaupun kepala mereka terpenggal tetap saja aku tidak mengenal mereka. Mungkin saja mereka perampok di sekitar sini. Mana aku bisa berteman atau kenal orang jahat seperti itu." Jelasnya yang membuatku terkekeh geli. Sampai kapan kau akan berbohong Erisha. Mereka mengenalmu lebih baik daripada aku.

"Apa kau tahu siapa yang menculikku dan ingin membunuhku? Namanya Marco Brock, dia mantan pacarmu! Seharusnya kau ingat siapa dia." Kataku menegaskan 'mantan pacarmu'. Aku melihat reaksi wajah terkejut Erisha dengan jelas. Aku tahu semuanya, tidak ada alasan lagi kau bisa berbohong lagi padaku.

"Astaga sayang maafkan aku, bukanya aku ingin membohongimu, aku hanya tidak ingin menyakitimu." Serunya menarik lenganku dan memeluknya dengan erat tidak ingin aku pergi darinya. Maaf Erisha sudah tidak ada cinta lagi untukmu. Kau sudah terlalu lama menyakitiku. Aku selalu membelamu di saat orang lain mengataimu jalang dan berusaha tidak percaya pada mereka. Namun nyatanya memang kau adalah jalang yang sesungguhnya.

"Elian apakah masih lama? Aku akan tidur di perjalanan nanti." Panggil Orlan yang sudah lama menunggu di dalam mobil. Aku berusaha membuka mobil namun Erisha masih enggan melepas tanganku.

"Sekarang minggir dari hadapanku. Kita putus! " Kataku telak. Kita sudah tidak ada alasan lagi untuk bersama. Carilah orang lain yang bisa kau manfaatkan. Aku menyalakan mobil dan berusaha pergi dari sana meninggal Erisha yang masih menangis meminta maaf.

"Elian, maafkan aku. Elian!" Serunya menggedor-ngedor kaca mobil berharap aku mendengarkannya. Aku sudah memaafkanmu Erisha walaupun hatiku sangat sakit melepaskanmu. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk kita berdua.

Aku melajukan mobilku keluar dari sekolah. Aku meninggalkan Erisha sendirian di sana. Aku muak dengan dirinya yang terus saja berbohong padaku. Aku tidak ingin mengurusinya lagi. Arash pulang dengan mobilnya sendiri, jadi aku membawa mobilku sendiri dengan Orlan yang menemaniku. Walaupun masih canggung berada di sampingnya setidaknya dia tidak marah padaku. Aku tidak ingin kehilangannya walaupun aku belum mengakui perasaanku padanya. Setidaknya dia selalu ada di sampingku. Akhirnya aku sampai di rumah Arash. Arash ternyata sudah menungguku di luar rumah.

"Ayo masuklah! Ibu, Elian Datang." Dia menyuruh kami masuk ke rumah dan memanggil ibunya. Tidak lama wanita paru baya datang dan duduk di depanku. Ternyata wajahnya sama persis dengan yang ada di film dokumenter itu hanya saja  sudah terdapat beberapa kriput di sekitar matanya.

"Astaga Elian, kamu tampan sekali. Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu." Ucapnya tersenyum senang padaku. Orlan dia sudah memejamkan mata bersandar di kursi. Aku rasa Orlan mengantuk karena terlalu lama menunggu debatku dengan Erisha. Biarkan saja dia tidur, jika urusanku selesai aku akan segera mengajaknya pulang.

"Iya bibi. Aku ke sini memenuhi undangan bibi." Kataku bersikap ramah.

"Arash, buatkan teh untuk mereka dan bawakan makanan enak juga." Perintah bibi Pamela kepada Arash, Arash pun langsung patuh dan masuk ke dalam. Astaga, aku hanya sebentar di sini. Namun aku sudah sangat merepotkannya.

"Bibi tidak perlu repot-repot." Kataku berusaha menolak karena aku tidak akan lama di rumahnya. Kasihan Orlan dia sepertinya sedang kelelahan tetapi dia paksakan untuk menemaniku ke sini.

"Lalu siapa anak gagah ini." Tanya bibi Pamela hanya sekedar berbasa-basi saling mengenal dengan aku dan Orlan.

"Dia temanku, namanya Orlan." Jawabku mengenalkan Orlan pada bibi Pamela.

"Orlan anak yang gagah dan tampan sekali. Sepertinya temanmu mengantuk. Suruh dia tidur di kamar tamu, ayo bawa dia ke dalam." Puji bibi Pamela serta mempersilahkan Orlan tidur di kamar tamu sebentar. Aku tidak lama di sini, jadi biarkan Orlan tidur bersandar di pundakku.

"Biarkan dia istirahat di sini saja. Aku tidak mau membangunkannya." Kataku seramah mungkin menolak tawaran bibi Pamela. Bibi terlihat tersenyum memaklumi keputusanku.

"Elian apa yang telah terjadi dengan Lilian Gleeson, kenapa dia bisa meninggal?" Bibi Pamela mulai bertanya membuka obrolan tentang bibi Lilian. Memang inilah tujuanku datang ke rumahnya, demi bibi Lilian.

"Dia dibunuh oleh sekte sesat jubah merah waktu mengandung. Dan aku menemukan barang peninggalanya di halaman belakang rumahku." Aku menyerahkan kalung berliontin permata panjang itu kepada bibi Pamela.

"Benar sekali, ini kalung milik Lilian. Aku awalnya tidak percaya padamu, tapi kau membawa buktinya." Bibi Pamela menerimanya dan menelitinya. Dia memeluk dengan sayang kalung Lilian itu. Aku rasa bibi Pamela benar-benar rindu padanya.

"Bibi tahu orang seperti apa Lilian itu." Tanyaku ingin tahu identitas Lilian di mata orang lain bahkan sahabatnya sendiri.

"Hahh, kau tanya padaku. Bukannya kamu anaknya!" Serunya terkejut dan menganggapku anaknya Lilian.

"Hahaha bukan bibi, anaknya Lilian sudah meninggal dalam kandungan. Ibuku bernama Sarah Sheika Sheikh dan ayahku Allan Hemswarth." Jelasku jika aku anaknya mama Sarah dan papa Allan. Aku juga bersimpati jika bibi Lilian dan anaknya harus mati dengan mengenaskan.

"Seperti itu ceritanya. Aku pikir kau anaknya lilian yang datang kemari ingin memberi tahu berita atas kematian Lilian. Aku baru tahu jika Allan menikah lagi dengan Sarah dan memilikimu." Ucap bibi Pamela nampak terkejut dan salah mengira aku anaknya Lilian. Aku juga terkejut karena ayahku menikah dua kali. Namun kenapa selama ini aku tidak pernah melihat foto pernikahan  papa dan mama dipajang di rumah. Bahkan aku tidak pernah melihat album foto pernikahan papa dan mana, ini aneh sekali.

"Apa ayahku menikah lagi. Siapa istri pertama ayahku." Tanyaku penasaran. Yang ada dibenakku adalah bibi Lilian. Kenapa aku tidak ingin mendengar kenyataan jika bibi Lilian adalah mantan istri papa, aku masih berharap jika dia orang lain.

"Tentu saja Lilian. Aku hadir di pernikahan mereka. Walaupun sederhana namun cukup mewah karena mereka berdua sepasang kekasih yang tampan dan cantik. Aku dan Boby yang menjadi wali mereka berdua. Mereka sangat bahagia waktu itu. Aku pikir kau anaknya yang membawa kabar duka. Matamu mirip sekali dengan Allan." Jelas bibi Pamela yang membuat jantungku seakan sedang bersenandung lagu kesedihan. Inilah kenyataan yang tidak aku ingin tahu. Kedua orang tuaku ada hubungan yang dalam dengan Lilian. Aku berharap jika kematian Lilian tidak ada hubungannya dengan mama dan papa.

"Jadi ayahku pernah menikah dengan Lilian. Aku takut sekali kematian Lilian ada hubunganya dengan kedua orang tuaku. Apa lagi papa!" Seruku dengan sedih. Aku sudah mengusap wajahku beberapa kali menolak kengataan yang tidak aku harapkan.

"Aku juga tidak tahu pasti, mereka bertiga terlibat cinta segitiga. Aku juga tidak tahu apa hubungan mereka dengan sekte sesat jubah merah itu. Sepertinya Lilian ada teka-teki yang ingin kamu tahu." Ucap bibi Pamela memegang kedua tanganku berusaha menguatkanku.

"Memang seperti itu, tapi aku masih bingung apa yang ingin dia sampaikan padaku!" Kataku mengingat kejadian demi kejadian bagaimana bibi Lilian menakutiku. Aku tidak mengerti sama sekali apa yang dia ingin aku tahu.

"Aku akan memberitahumu sedikit yang aku tahu tentang mereka. Semoga saja membantu. Sarah dan Allan, mereka teman sejak kecil. Allan di jurusan managemen perfileman sedangkan sarah di bidang make up artis. Sedangkan Lilian, dia satu jurusan denganku di jurusan editor. Waktu kita membuat proyek film, Lilian mendapat bagian pengeditan suara di film. Allan terlihat perhatian sekali dengan Lilian. Mereka semakin lama semakin dekat." Bibi Pamela mulai bercerita dan menelisik masa lalunya saat masa-masa kuliah bersama teman-temanya termasuk bibi Lilian, papa dan mama.

"Sampai Lilian memberitahuku jika mereka sudah resmi berpacaran. Bahkan mereka menikah setelah lulus kuliah. Yang mengejutkan adalah ibumu Sarah dia juga sudah lama mencintai ayahmu. Walaupun sering bertengkar namun Lilian dan Sarah terlihat sangat akrab." Bibi Pamela kembali bercerita menerawang ke atas mengingat kembali kenangan yang sudah lama terjadi. Aku tersenyum lega saat mama dan bibi Lilian sangat akrab. Mereka tidak akan berbuat jahat satu sama lain jika mereka sudah sangat dekat. Yang membuatku heran kenapa mama membakar perhiasan milik bibi Lilian, apa karena ada hubunganya dengan sekte sesat jubah merah itu, mama jadi takut dan khawatir.

"Aku berharap kedua orang tuaku tidak bersalah." Gumanku sedih yang masih bisa didengar bibi Pamela.

"Tenangkan dirimu. Lilian dia wanita yang sangat cantik dan baik hati. Dia pintar dan ceria. Waktu itu pernikahan mereka tidak direstui oleh keluarga Lilian. Karena yang aku tahu keluarga lilian lebih mementingkan pernikahan antar ras (klan) untuk tetap menjaga darah ras (klan) mereka. Maka dari itu Lilian tidak pernah mengajakku main ke rumahnya. Aku harus bersikap netral. Aku harus bisa menjaga privasi orang lain terutama sahabatku sendiri. Jika aku tahu rumahnya, mungkin aku bisa memberitaku berita kematian Lilian kepada mereka." Jelas bibi Pamela juga turut merasa sedih lagi. Aku rasa kematianya sungguh membawa duka bagi teman-teman dan keluarganya.

"Mungkin saja bibi Lilian ingin aku memberitahu keluarganya jika dia sudah meninggal." Kataku mengajukan diri untuk mencari rumah keluarga bibi Lilian. Memang sejak awal aku yang sudah menerima tugas ini.

"Mungkin saja." Ucap bibi Pamela setuju dengan perkataanku.

"Tetapi anda tidak tahu kediaman keluarga bibi Lilian, bagaimana saya bisa pergi ke sana!" Tanyaku kepada bibi Pamela, siapa tahu dia bisa membantuku mencari informasi tentang keluarga bibi Lilian.

"Jika kau ingin tahu alamat rumahnya yang dulu kau bisa pergi ke kampus kesenian X dan melihat catatan profil biografi milik Lilian. Aku tidak menyangka jika hidup lilian sampai di sini, kenapa mereka tega membunuhnya." Ucap bibi Pamela membantuku dibmana aku bisa mencari informasi tentang keluarga bibi Lilian. Aku besok akan segera ke kampus itu untuk melihat catatan profil Lilian.

"Aku juga bersimpati dengannya. Semoga segera mungkin aku bisa menyelesaikan permintaan terakhirnya." Kataku yang juga bersimpati atas kematian bibi Lilian yang menyedihkan.

"Aku tidak pernah tahu kematian Lilian karena Allan dan Sarah juga tidak memberitahu tentang kematian Lilian." Timpal bibi Pamela terlihat sedih namun dipaksa tegar kembali. Walaupun aku tahu mungkin bibi Pamela sedang menyalahkan kedua orang tuaku yang bungkam.

"Maafkan atas kesalahan kedua orang tuaku jika dia pernah berbuat salah pada anda. Aku akan berusaha membuat Lilian tidur dengan tenang. Bibi doakan saja bibi Lilian bisa tidur dengan tenang." Kataku mewakili maaf atas sikap kedua orang tuaku yang menutupi kematian bibi Lilian.

"Iya aku akan terus mendoakanya. Ini, berikan kepada keluarga Lilian agar mereka percaya padamu." Ucapnya sambil mengusap-usap rambutku dengan sayang dan mengembalikan kalung Lilian padaku.

"Terima kasih bibi, kami permisi dulu, hari sudah gelap takut mama mencariku." Pamitku sebelum pulang karena hari sudah malam, apa lagi jarak rumah Arash jauh berlawanan arah dengan rumahku.

"Sepetinya sarah sangat sayang padamu." Ucap bibi Pamela tersenyum memuji mama. Mamaku memang yang terbaik dalam hidupku.

"Karena aku anak satu-satunya mama. Jadi, dia sangat menyayangiku." Kataku tersenyum ramah. Aku membangunkan Orlan yang sejak tadi tidur dan mengajaknya pulang. Dia menurut saja berjalan dengan wajah sayup penuh kelelahan.

"Berhati-hatilah." Ucap bibi Pamela dan Arash sebelum aku pergi dari rumahnya. Aku pun menyapa balik.

"Sampai jumpa bi, selamat malam." Sapaku dari dalam mobil dan mengemudikan mobilku pergi dari rumah Arash.

Dari rumah bibi Pamela Orlan tidur terus, bahkan di mobil pun juga tidur. Sepertinya dia sangat kelelahan, aku telah merepotkannya. Di perjalanan mama memberi kabar jika dia akan telat pulang dari rumah bibi Stella. Mama hoby banget pergi ke rumah bibi Stella. Bahkan aku sampai sekarang tidak tahu seperti apa rumahnya, mama tidak pernah mengajakku pergi ke rumahnya. Aku membelai rambut Orlan yang nampak kasar dan kusut. Kenapa dia tidak merawat diri, bahkan rambutnya banyak yang rontok di tanganku. Aku membangunkannya agar dia bisa tidur dengan nyenyak di kamarnya sendiri.

"Orlan, sudah sampai. Bangunlah, cepat tidurlah di kamarmu." Kataku membangunkannya. Mengusap-usap pipinya yang dingin dan kasar. Dia bangun dan terkejut karena wajahku terlalu dekat dengannya. Namun dia malah meraih tanganku kembali dan mengusap-usapkan wajahnya di sana. Sungguh lucu sekali.

"Cepat turun jika masih mengantuk." Kataku berusaha menarik tanganku kembali dan menyuruhnya cepat masuk ke dalam rumah untuk beristirahat.

"Cium aku dulu!" Serunya mendekatkan wajahnya kehadapanku. Nafasnya yang dingin mengenai wajahku. Bibirnya juga sudah mulai bergerak ke arah bibirku. Wajahku langsung berubah memanas dan memerah.

"Cepatlah turun!" Kataku menghindari ciumannya karena malu. Orlan dia malah tersenyum puas menggodaku. Aku sungguh malu sekali.

Orlan kemudian turun dari mobilku dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak bisa mampir karena sudah larut malam. Mungkin lain waktu aku akan main ke rumah Orlan bertemu dengan bibi Margaretha. Aku menjalankan mobilku menuju ke rumah. Setelah sampai di rumah dan memasukan mobil ke bagasi, aku berjalan masuk ke dalam rumah menuju ke kamar untuk bersih-bersih diri karena badanku sudah terasa lengket. Aku ingin mandi lalu tidur agar badanku segar kembali.

'Prankk!' Aku dikejutkan sebuah suara benda jatuh dari arah dapur. Seperti ada panci jatuh. Bukannya mama belum pulang kenapa ada suara seperti itu. Apa paman Martin pergi ke dapur, tapi aku rasa dia tadi ada di depan menutup gerbang. Tapi siapa tahu pak Martin masuk ke dapur untuk membuat kopi.

"Pak martin? Pak! Pak martin!" Panggilku dengan perlahan-lahan masuk ke dapur. Keadaan dapur kosong tidak ada seseorang pun.

Aku mengeceknya lagi benar ternyata ada panci yang jatuh, aku mengabilnya dan menggantungkannya di tempat semula. Sekarang aku mendengar tempat sendok jatuh. Sendoknya berserakan ke mana-mana. Aku mengambilnya dan memungutinya satu persatu. Ada yang masuk ke kolong laci. Aku berusaha mengambilnya. Namun aku terkaget ada tangan hitam yang menyentuh tanganku. Sepontan aku menarik tanganku dan menjatukan sendok yang aku pungut. Aku memegangi tanganku yang disentuh tangan hitam dan dingin itu. Apakah ada hantu lagi. Nafasku memburu, aku berusaha pergi dari dapur karena bulu kudukku berdiri merambat ke seluruh tubuh. Hantu itu muncul lagi di rumahku. Aku hendak berdiri tiba-tiba terdengat suaran barang-barang seperti tempat garam, gula, lada, wijen, minyak jatuh berhamburan ke lantai sampai bergulir ke sampingku. Aku berdiri mengamati proses jatuhnya. Yang membuatku kaget adalah di mana tempat bumbu itu berada di pojokan dan sangat tidak memungkinkan untuk jatuh  ke bawah. Seperti ada yang melemparkannya dari sana, bahkan wadah yang terakhir di lempar mengenai dadaku.

Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Kenapa bisa aku diganggu hantu lagi. Cukup hanya bibi Lilian saja, jangan yang lain. Aku berusaha menutup mata dan menenangkan nafasku yang memburu karena tegang dan takut. Membuang nafas dengan kasar dan membuka mata. Aku berbalik ke belakang mengambil sebotol air di dalam kulkas namun aku terkejut saat membuka kulkas ada sebuah kepala hitam tersenyum di sana. Persis seperti apa yang aku lihat di kamar. Jantungku menderu bak sepeda motor benar-benar menakutkan. Kakiku lemas dan gemetaran seakan melayang tanpa tenaga. Aku perlahan mundur namun aku dikagetkan ada benda jatuh lagi seperti memang sengaja dilempar. Saat aku berbalik melihatnya ternyata ada anak kecil berwajah rusak dengan kaki dan tangan yang panjang sekali tertawa mengerikan ke arahku. Aku berusaha kabur dengan langkah seribu, namun aku berhenti dengan kemunculan seorang hantu wanita langsung jatuh ke atas meja makan dengan keras.

"Arkh!" Kagetku.

Aku berusaha keluar dari dapur tapi aku perlahan mundur ketakutan karena melihat hantu wanita berjalan menunduk dengan susah payah berjalan ke arahku. Dia terlihat kusuh basah berantakan dan menakutkan. Dia memutar kepalanya dan menampakan wajah hancur dan mengerikan padaku. Aku syok melihat wajah itu. Kemudian dia mengarahkan kedua tangannya ke arahku dan berlari dengan cepat kearahku. Aku  yang panik dan ketakutan berusaha kabur berlari ke belakang namun naas aku menginjak tempat lada dan terjatuh. Belakang kepalaku terbentur meja makan dengan sangat keras. Aku jatuh ke lantai dengan kesakitan. Aku memengang kepalaku yang rasanya nyut-nyutan sakit sekali. Kenapa pandanganku menjadi sangat tidak jelas. Aku melihat di depanku ada tubuh berkepala boneka beruang merangkak dengan cepat ke arahku. Aku terkaget dan menelan nafasku dalam-dalam.

"Akh!"

.....***.....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro