Episode 04
*KORBAN PERTAMA*
.
.
.
.
......***......
Aku bangun dengan malas. Sebelum berangjat sekolah tidak lupa menyirami tanaman aneh yang aku temukan di samping rumahku tempo hari. Tanaman ini memiliki bunga yang indah dan unik.
Bentuknya seperti bunga lily tapi bisa menguncup kembali, seperti tidak bisa layu ataupun mati. Bisa mekar jika malam saat bulan bersinar terang. Pertama aku berpikir bunga ini adalah anggrek bulan, tapi melihat bentuk dan warnanya sangat jauh berbeda. Warnanya yang juga bisa berubah ketika siang akan berubah menjadi hitam pucat seperti bunga yang layu. Tapi ketika menjelang malam akan berubah menjadi merah darah keunguan. Aneh sekali tapi juga indah.
Tanaman ini masih jadi bahan penelitianku, tidak lupa aku meletakkanya di balkon kamarku agar terkena sinar matahari. Dalam pikiranku setiap tanaman membutuhkan sinar matahari untuk berfotosintesis kecuali tanaman laut. Tapi entah tanamanku membutuhkan sinar matahari atau tidak karena warna bunganya pucat sekali bahkan daunya berubah menggulung tidak mau mekar ketika terkena sinar mentari.
Setelah selesai mengurus tanamanku, aku tidak sengaja melihat foto keluargaku yang tidak memiliki bingkai. Aku harus membelinya nanti pulang sekolah. Aneh kenapa fotonya bisa jatuh begitu saja. Jika jatuh terkena angin, itu tidak mungkin. Melihat posisinya tidak memungkin bisa jatuh ke lantai. Apa ulah hantu itu. Kenapa dia menghantuiku, apa aku punya salah denganya. Apa aku harus ke dukun untuk mengusirnya.
Auww, Kakiku masih terasa sakit bahkan membengkak. Apa aku harus pergi ke dokter untuk mengobati infeksinya. Tapi aku rasa tidak perlu, aku masih memiliki kotak obat yang cukup lengkap. Aku obati lukaku sebelum berangkat sekolah. Aku berjalan dengan sedikit tertatih karena langkahku yang terlihat tidak baik. Sakit tapi masih aku paksakan untuk berjalan. Aku tidak mau menjadi anak yang pemalas apa lagi manja hanya luka seperti ini. Ritual pagi seperti biasa, bersih-bersih badan, sarapan dan berpamitan dengan orang tuaku.
......***......
"Pah, mah, aku berangkat dulu ya!" Salamku pada Mama dan papa setelah selesai sarapan. Aku hendak berdiri untuk berangkat, namun papa langsung menghentikan niatku sampai aku terduduk lagi.
"El tunggu! Duduk lah dulu!"
"Ada apa pah?" Tanyaku bingung.
" Tadi Orlan memberi pesan pada papa kalau dia akan menjemputmu berangkat sekolah. Jadi kamu tunggulah sampai dia datang." Jelas papa setelah meminum tehnya. Papa tersenyum lembut padaku seperti biasanya tapi aku merasa ada yang berbeda entah itu apa.
"Hahh apa! menjemputku. Memang dia tahu rumah kita?" Tanyaku kaget. aku heran dengan apa yang dikatakan papa, apa itu sebuah lelucon. Aku baru sekali menunjukan rumahku padanya mana mungkin dia ingat.
"Iya, kamu sendiri yang memberi tahunya. Kenapa kamu harus sekawatir itu." Sela Mama mengingatkanku.
"Padahal cuma sekali, mana mungkin dia ingat. Dia itu bodoh. Kalau nyasar bagaimana!" Seruku khawatir.
"Hahaha tidak mungkin sayang, dia pasti sampai. Jangan berprasangka buruk dulu." Sela Mama menenangkanku dalam kekhawatiranku kepada Orlan.
"Ah Mama, tapi aku sunggu khawatir!"
"Kamu khawatir sama Orlan, kamu perhatian sekali sayang. Mama jadi senang!" Seru mama tiba-tiba yang membuatku jadi kaget bercampur malu.
"Mama ngomong apa sih!" Protesku. Samar-samar aku mendengar suara mobil di depan rumah. Mobil siapa itu. Apa tamu papa. Aku dan Mama langsung diam dan saling memandang, namun kemudian Mama tersenyum aneh padaku.
"Tuh sayang Orlan sudah datang, buruan berangkat. Kasihan kalau dia menunggu lama di depan." Suruh mama sambil tersenyum manis.
"Iya, El berangkat dulu." Salamku pada Mama dan papa.
"Iya sayang!" Jawab mama yang terlihat senang.
Aku langsung berjalan menuju depan rumah dan aku lihat Orlan sudah berdiri di sana. Tidak lupa ada mobil terpampang di sana. 'Orlan berangkat sekolah membawa mobil', tanyaku dalam hati. Biasanya dia selalu naik bus sekolah bersamaku. Apa yang dia inginkan dengan berangkat membawa mobil.
"Sudah siap?" Tanyanya yang membuyarkan keterkejutanku karena membayangkannya.
"Ah iya, tapi kenapa kamu membawa mobil? Kita bisa naik bus sekolah seperti biasanya?" Tanyaku heran pada Orlan.
"Bukanya kita kemaren berangkat naik mobil begitu juga sekarang. Jika kita punya mobil kenapa tidak di gunakan." Terangnya.
"Iya, tapi..."
"Ayo masuk!" Serunya memaksa bahkan memotong omonganku.
"Baik lah." Hanya itu jawabanku, entah mengapa aku tidak bisa menolaknya. Lalu aku berjalan ke sisi kiri mobil hendak masuk mobilnya Orlan.
"Kau kenapa?" Tanyanya khawatir sambil melihat ke bawahku.
"Hehh apa?" Tanyaku polos.
"Kakimu!" Oh itu, dia bertanya tentang kakiku yang sakit karena terkena serpihan kaca bingkai foto, aku pikir ada apa.
"Ah iya, kakiku sakit semalam aku menginjak serpihan kaca bingkai foto, masih sakit bahkan bengkaknya belum hilang juga. Tapi tidak apa-apa, sekarang sudah mendingan." Tukasku memberi tahu kenapa kakiku bisa sakit. Lalu tersenyum lebar agar dia percaya serta tidak mengungkit tentang kakiku lagi.
"Kamu yakin, biar aku gendong." Tawarnya sambil memegang kedua pinggangku hendak ingin menggendongku. Aku langsung menolaknya karena aku masih bisa berjalan tidak perlu digendong.
"Tidak perlu, aku baik-baik saja. Aku bisa berjalan sendiri kok, tak perlu khawatir." Tolakku dengan senyum manis agar dia percaya.
"Baiklah, ayo cepat masuk." Ajaknya yang langsung aku iyakan.
"Iya!"
.......***.......
Kami berangkat sekolah seperti biasanya. Sekarang entah kenapa Orlan sudah mulai bicara bahkan bercanda denganku. Sepertinya Orlan sudah kembali ke jati dirinya yang dulu. Syukurlah kalau begitu.
Beberapa menit kami telah sampai di sekolah. Aku berpamitan dengan Orlan karena kelas kami yang berbeda. Tapi dia malah mengikutiku masuk ke kelas.
"Orlan kenapa kamu mengikutiku. Kelasmu ada di sebelah. Sudah sana masuk." Seruku sambil mendorong Orlan keluar kelasku. Untung kelas masih keadaan sepi di jam segini. Tapi aku kaget sekali saat Orlan malah memegang tanganku erat dan memandang ke dalam mataku. Apa yang dia lakukan.
"Orlan?" Tanyaku takut karena sorot matanya yang terlihat tajam dan berbeda dari biasanya.
"Iya! Aku hanya ingin mengantarmu sampai di tempat dudukmu saja. Kau tidak keberatan kan?" Pintanya padaku. Aku sungguh keberatan karena Orlan termasuk salah satu orang populer di sekolah, aku malas kalau harus ditanya ini itu sama anak lain tentang Orlan.
"Ah itu, boleh!" Jawabku langsung berjalan ke tempat dudukku didekat jendela.
Aku langsung meletakkan tas dan duduk dengan tenang. Aku lihat Orlan masih berdiri di samping mejaku. Dia menatapku sambil tersenyum tidak berkedip sekalipun. Kenapa Orlan masih berdiri di situ, bukanya aku sudah duduk seharusnya dia pergi ke kelasnya sendiri.
"Orlan, kenapa kamu masih di sini. Sana masuk ke kelasmu sendiri. Sudah sana pergi." Suruhku pada Orlan agar dia pergi ke kelasnya sendiri.
"Aku hanya ingin melihatmu. Kurasa tempat duduk di sampingmu kosong. Biarkan aku duduk di sana." Serunya langsung duduk di sampingku. Aku heran sebenarnya Orlan kenapa. Ada apa denganya.
"Orlan kenapa kamu duduk di sini. Ini tempat duduk Ned, kelasmu ada di sebelah." Jelasku pada Orlan agar dia cepat kembali ke kelasnya sendiri. Sebentar lagi masuk dan teman-temanku akan berdatangan.
"Boleh tapi jangan sekarang, nanti saja setelah pulang sekolah." Usulku agar dia tidak memaksa duduk di kursinya Ned.
"Kenapa lama sekali aku harus menunggu sampai sore. Jika aku menolak pergi bagaimana? Aku suka di sini." Kukuh Orlan dengan senyum miring. Kenapa aku merasa sikap Orlan bisa berubah-ubah. Kadang baik kadang juga menakutkan. Tatapannya begitu tajam.
"Orlan sebenarnya kau kenapa?" Tanyaku penasaran.
"Aku baik-baik saja." Jawabnya dengan menatap wajahku tanpa henti.
"Kau bicara hal aneh dari tadi." Seruku sambil memalingkan wajah ke depan untuk mengalihkan tatapan tajamnya.
"Hai Elian, Orlan juga. Kalian sudah semakin dekat lagi, selamat ya. Tapi ngomong-ngomong itu tempat dudukku jadi kalau sudah selesai ngobrolnya, tolong bereskan lagi. Aku pergi dulu mengambil buku di loker perpustakaan. Daa Elian, Orlan." Sapa Ned yang langsung pergi begitu saja, dia juga membiarkan Orlan duduk di tempat duduknya.
Sebenarnya aku tidak keberatan jika Orlan duduk di sampingku. Aku takut dibilang anak lemah yang hanya berlindung dari Orlan. Yang lain selalu bilang kalau aku tidak pantas berteman bahkan bersahabat dengan Orlan. Banyak Orang yang ingin memisahkan kedekatan kami. Aku tidak mau Orlan tahu rumor jelek itu dan memukuli mereka yang bicara seperti itu. Orlan dulu emosional jika menyangkut diriku, makanya aku selalu menyembunyikan masalahku darinya.
"Dia pemilik kursi ini. Kau duduk dengannya." Tanya Orlan tiba-tiba.
"Tentu saja bukanya kau sudah tahu. Lagian sebentar lagi akan masuk cepat kembali ke kelasmu sana." Jawabku sambil mendorong kecil pundaknya agar dia mau pergi.
"Aku ingin memakannya sekarang, supaya dia tidak berdekatan denganmu."
"Kau ngomong apa sih, Ned itu sahabat kita sejak kecil. Jangan bilang kau ingin membunuhnya. Apa kau seorang pembunuh?"
"Tentu saja tidak, aku hanya ingin memakannya saja." Jawabnya sambil tersenyum.
"Orlan sudah jangan bercanda lagi, cepatlah kembali ke kelasmu."
"Kau marah?"
"Iya!"
"Jangan marah aku tidak suka melihatmu marah. Aku lebih suka melihatmu tersenyum, ayo tersenyum lah."
"Orlan sudah sana pergi! semua anak sudah banyak yang datang tapi kenapa kamu masih di sini."
"Kenapa kau terus-menerus mengusirku, kau tahu aku tidak suka itu." Serunya memegang lengan kananku dengan kasar, aku lihat wajahnya seperti orang sedang marah. Aku hampir meringis merasakan tanganku dicengkram dengan kasar oleh Orlan.
Plakkk, ku tampar pipi Orlan dengan keras, tapi dia tidak bergeming sedikit pun. yang terjadi malah tanganku sakit dan merah karena menampar pipinya yang keras seperti batu.
"Orlan lepaskan! sakit." Seruku lirih menahan sakit. Dia lalu melepaskannya. Aku langsung merasa sedikit lega walau masih terasa sakit. Tiba-tiba Orlan mengusap pipiku lembut dan mengangkat daguku agar aku bisa mendongak untuk melihat wajahnya.
"Kau tahu, aku tidak suka kau jauh dariku. Ingat Elian, kau hanyalah milikku. Sebelum lahir kau sudah jadi milikku. Mengerti! Aku pergi dulu, sampai jumpa." Serunya sambil tersenyum miring lalu pergi begitu saja.
Apa yang dia katakan, kenapa dia bilang seperti itu. Siapa miliknya, aku tentu saja milik ayah dan ibuku. Kenapa Orlan jadi berubah kasar padaku. Padahal aku pikir dia sudah kembali ke dirinya sendiri tapi ternyata Orlan berbeda. Apa yang terjadi padamu Orlan, semoga saja kau tidak berubah.
Aku memegang pergelangan tangan kananku yang dicengkram oleh Orlan tadi, rasanya sakit sekali. Dari dulu Orlan tidak pernah menyakitiku sampai seperti ini. Aku khawatir kalau terjadi sesuatu pada diri Orlan.
"Elian? Orlan sudah pergi?" Tanya Ned yang baru datang membawa dua buku dan itu pasti punyaku juga. Dia langsung duduk di tempatnya dan memberikan bukuku padaku.
"Ini punyamu, berterima kasihlah kepadaku karena masih perhatian padamu yang memberikan waktu bermesraan dengannya." Seru Ned tiba-tiba sambil celingukan ke pintu kelas. Ned kemudian memandangiku dengan ekspresi yang sulit diartikan. Berterimakasih untuk apa, terserah saja.
"Terimakasih!" Jawabku singkat.
"Hanya itu!" Tanya Ned dengan nada memaksa.
"Lalu aku harus apa?"
"Cerita lah!"
"Cerita apa?" Tanyaku bingung. Aku harus cerita tentang apa.
"Ceritakan padaku apa yang kalian berdua lakukan. Ayo cerita, aku mau dengar."
"Kalian berdua? Maksudnya aku dan Orlan?"
"Iya, ayo cepatlah sebelum Bu Angela datang." Aku bingung apa aku harus cerita kepada Ned atau tidak.
"Ned, jujur saja waktu Orlan kembali aku merasakan ada yang berbeda dengan Orlan. Dulu dia tidak pernah menyakitiku ketika aku memaksanya atau menyakitinya. Tapi, ketika tadi aku memaksanya kembali ke kelasnya dia mencengkeram tanganku begitu erat. Rasanya sangat sakit. Ned apa yang aku katakan itu benar, kalau Orlan sudah benar-benar berubah?" Ceritaku tentang kejadian tadi.
"Elian? Menurutku wajar kalau dia berubah. Karena seperti yang kau bilang kemaren kalau Orlan hilang ingatan, mungkin saja dia menganggapmu sama dengan teman-temannya tidak sesepesial dulu."
"Apa maksudmu?" Tanyaku bingung dengan maksudnya yang menganggapku tidak sesepesial dulu.
"Dulu Orlan begitu menjagamu, bahkan dia tak rela kau disentuh oleh siapapun. Aku tahu kalau kau tidak pernah peka terhadapnya. Aku bisa melihatnya dari perhatiannya yang begitu besar melebihi perhatian yang diberikan kepada pacarnya sendiri. Dia selalu menuruti perkataanmu walau dia tak bisa melakukanya sekalipun, jadi..."
"Ned jangan bilang kalau maksudmu Orlan mencintaiku. Kita dekat hanya karena kita sahabat sejak kecil, bahkan kita sudah seperti adik dan kakak. Sampai kapanpun kita hanya sahabat." Potongku dan menekankan kata sahabat sejak kecil. Aku tidak mau ada hubungan yang salah diantara kami.
"Jangan bohongi dirimu sendiri Elian. Kau juga begitu perhatian padanya. Tapi kau selalu menyangkalnya."
"Ned aku tidak menyangkalnya. Aku perhatian dan sayang pada Orlan karena dia sudah seperti kakakku sendiri. Sudah Ned jangan bahas itu lagi." Marahku, entah kenapa emosiku naik ketika Ned mengungkit tentang persahabatan kita. Bukanya aku, Orlan dan dia sudah bersahabat sejak kecil. Kenapa dia menganggap itu berbeda, seolah-olah aku dan Orlan saling mencintai. Kami dekat karena kami adalah sahabat, hanya itu saja.
"Elian, kau harus mencari tahu sendiri perasaan sayangmu itu seperti apa untuk Orlan, sebelum kalian berdua akan terpisah. Karena waktu terus berputar. Elian aku selalu mendukung apapun keputusanmu. Tapi ingat jangan sakiti dirimu sendiri."
Entah kenapa aku jadi tersentuh dengan kata-kata Ned yang begitu menusuk itu. Tapi aku tidak boleh membuat persahabatan kami rusak hanya karena masalah pertengkaran yang tidak masuk akal seperti ini. Ned selalu ada untukku, bahkan sudah menjadi tempat curhatku selain Orlan. Ned kau terlalu baik padaku, maafkan aku yang tidak bisa menerima saran darimu, aku terlalu egois.
"Ned, maaf aku sudah membentakmu." Pinta maafku pada Ned dengan nada sedih.
"Tidak apa aku tau kok. Kita sudah berteman sejak kecil."
"E'emm terima kasih Ned, kau selalu ada untukku."
"Iya sob!"
........***........
Entah mengapa waktu bergulir sangat cepat, seperti adegan di Film. Sama seperti hidupku setelah belajar aku langsung ke kantin bersama Ned. Tapi aku tidak membuang waktu istirahaku hanya di kantin saja. Aku sempatkan ke perpustakaan setelah makan. Kadang Ned ikut ke perpustakaan kalau ada tugas saja. Tidak apa-apa aku tidak mau memaksanya belajar karena aku bukan orang tuanya.
Waktu istirahat ini, aku tidak melihat Orlan di kantin. Aku hanya melihat Keyle dan Robert. Mereka juga menyapaku dan sempat kutanyakan di mana Orlan, mereka hanya menjawab, 'Dia di kelas sedang tidak nafsu makan'. Aku hanya mengangguk tanda mengerti apa yang dikatakan Keyle.
Aku tiba-tiba langsung khawatir pada Orlan yang belum makan siang. Dia mempunya penyakit maag, aku takut kalau maagnya kambuh lagi. Tapi melihat perlakuannya tadi pagi aku jadi ragu. Aku saja masih bertanya-tanya kenapa dia melakukan hal itu. Apa dia benci padaku, atau memang ada yang salah dengan Orlan. Atau dia bukan Orlan, lalu kalau bukan Orlan dia siapa.
"Elian, kau tidak makan?" Tanya Ned yang membuyarkan lamunanku.
"Makan kok, ini!" Jawabku sambil menyendok makananku ke mulutku.
"Jangan dipikirkan terus, langsung bicara saja denganya. Elian kau harus mencobanya."
"Kau ngomong apa Ned. Tidak, lupakan saja."
........***.......
Setelah selesai makan, aku langsung ke perpustakaan dan mengambil beberapa buku tentang tanaman langka. Mungkin saja tanaman yang aku temukan ada dalam buku yang aku ambil. Bukkk, sebuah buku jatuh dari barisan atas begitu saja. Aku mengambilnya, aku baca judulnya 'Flowers From The Hell.' Buku apa ini aneh sekali. Aku tidak membutuhkan buku tentang takhayul tidak masuk akal seperti ini.
Akan tetapi judulnya tentang bunga berarti sejenis bunga. Apa mungkin tanaman bunga yang aku temukan termasuk bunga dari neraka. Bungaku ketika malam selalu mekar dan paginya menguncup lagi. Aku pikir itu bunga anggrek bulan tapi bentuk bunganya sangat berbeda, terlihat seperti bunga Lily. Ambil saja mungkin saja ada di sini.
Aku membawa sepuluh buku dan aku taruh di ruang baca. Aku membacanya satu per satu. Aku terus mencari satu persatu gambar serta jenis-jenis bunga langka di setiap buku. Bahkan aku mencocokkan gambar bunganya di hpku, tapi tidak aku temukan juga. Sampai di buku terakhir, buku yang berjudul ' Flowers From The Hell.' itu.
Aku membuka lembar pertama yang bertuliskan, 'Mata adalah segalanya. mata bisa melihat dunia dalam gelap. Jangan lihat, jangan dengar. Semua berasal dari api yang membara. Setiap lembar membutuhkan pengorbanan apa yang kau lihat. Jangan pernah ikuti dia yang menyukai bunga.'
Dari awal judul buku ini sudah mengerikan. Aku tidak mau terjadi apa-apa denganku, mungkin saja buku ini buku kutukan. Aku langsung menutupnya kembali, mungkin saja tanaman bunga yang aku temukan termasuk bunga persilangan dari bunga tertentu. Aku hanya perlu mempelajari jenis-jenis bunga yang dapat melakukan persilangan dengan bunga lain.
Aku menaata sepuluh buku yang telah aku baca secara meninggi dan aku mengangkatnya sekaligus untuk mengembalikan ke tempat semula. Tak lupa aku masukkan lagi hpku ke saku agar tidak tertinggal di perpustakaan.
Namun sialnya, waktu perjalan mengembalikan buku-buku itu ada salah satu anak yang menabrakku. Keseimbanganku menjadi goyah dan beberapa buku jatuh berserakan. Aku melihat anak itu tapi dia hanya memandangku sekilas lalu pergi begitu saja. Sombong sekali anak itu sudah menabrak orang tapi tidak minta maaf, bahkan tidak membantu mengambilkannya sama sekali. Aku langsung mengambil buku yang berserakan satu persatu sampai ke buku yang terakhir yaitu buku kutukan itu. Bukunya berposisi terbuka terbalik ke bawah. Aku langsung mengambilnya dengan jari-jariku masukan ke dalam lalu mengangkatnya tanpa menutupnya. Aku melihat sebuah gambar Hitam-Putih jenis bunga yang aku temukan, apa bunga itu termasuk bunga dari neraka.
"Hei nak, bisakah kau jangan menghalangi jalan. Kasihan anak-anak yang lain tidak bisa lewat karena kau berdiri di situ. Ayo minggir dulu." Usir bapak penjaga perpustakaan.
"Ah iya pak maaf." Jawabku meminta maaf lalu pergi ke tempat di mana aku mengambil buku-buku tadi. Karena aku sangat penasaran aku menyempatkan untuk membaca buku itu sambil berdiri. Aku membuka halaman pertama yang berisi kutukan aneh dan membacanya lagi, mungkin saja aku bisa paham. Teeetttt, suara bel masuk terdengar. Aku tidak bisa membacanya di sini. Aku akan meminjamnya dan membacanya di rumah.
.....***......
"Elian ayo ke kelas sebelah!" Ajak Ned semangat.
"Kenapa, aku harus pulang!" Langsung aku tolak karena aku hanya ingin membaca buku itu secepatnya setelah sampai di rumah.
"Hei apa kau lupa hahh! Elian, kita akan merayakan kedatangan Orlan. Kenapa kau malah tidak mau ikut, apa jangan-jangan kamu lupa."
"Perayaan! Bukanya besok! ini masih hari Jum'at."
"Kita rayakan nanti malam sampai besok, Hahaha ayo dong cepetan teman-teman sudah menunggu."
"Ta-ta-tapi Ned..."
"Elian kau lama sekali!" Panggil Orlan dari pintu kelas yang membuatku kaget. Dia menatapku seperti tadi, tiba-tiba badanku merinding. Aku takut. Apa yang terjadi padaku.
"Elian aku pergi memanggil yang lain kemari. Kau di sini dulu!" Seru Ned yang langsung pergi begitu saja.
"Ned! Ned! Ned kau mau ke mana? Jangan pergi!" Panggilku berulang kali tapi Ned malah mengabaikanku. Aku takut sekali, persasaan takut ini kenapa semakin tajam. Rasanya seperti berhadapan dengan Monster. Tapi kenapa hanya aku yang bisa merasakannya.
"Kau kenapa begitu takut padaku? Aku todak akan memakanmu untuk waktu ini." Serunya sambil tersenyum miring. Kenapa Orlan berubah menjadi jahat sekali. Dia mulai Melangkah mendekatiku dan duduk di sampingku. Jantungku berdebar-debar tidak karuan, rasanya aku ingin pergi sekarang.
"Orlan kenapa kau berubah. Kenapa kau menjadi jahat sekali. Sadarlah Lan! Ini bukan dirimu, aku menyukai dirimu yang dulu." Seruku yang akhirnya mengutarakan pikiranku dan isi hatiku pada Orlan. Semoga perasaan takut maupun curigaku pada Orlan bisa terselesaikan sekarang juga.
"Ouw Elian, aku tidak berubah sama sekali. Kau yang berubah Elian."
"Apa yang kau katakan? Aku berubah? Aku tidak pernah berubah. Maaf kalau aku begitu menyebalkan, itu karena aku sayang padamu."
"Kau kini tumbuh semakin besar dan aku juga sayang padamu."
"Orlan!" Panggilku sambil meneliti wajahnya dengan hati-hati.
"Ada apa Elian?"
"Kau bukan Orlan kan?! Katakan!" Bentakku.
"Aku, tentu saja Orlan kau kenapa Elian!"
"Kau berubah, kau beda. Kenapa kau jadi kasar sekali. Kata-katamu perlakuanmu semua kasar sekali. Aku tidak menyukainya, aku sudah pernah bilang aku tidak suka dengan perilakumu yang kasar padaku." Seruku yang langsung berdiri hendak pergi, aku takut kalau Orlan bukan maksudku dia yang menyamar menjadi Orlan tiba-tiba membunuhku karena aku tahu identitasnya.
"Elian, apa kau marah padaku?! Maafkan aku. Aku hanya ingin kau tahu aku begitu mencintaimu. Aku tidak mau kehilanganmu El." Seru Orlan yang menangkap tanganku dan berdiri berhadapan denganku.
"Apa yang kau katakan, apa kau sedang berpura-pura kalau kau sudah mengingat masa lalumu?"
"Tentu saja. Kau bilang aku kasar nakal dan jahil. Aku hanya berperilaku begitu. Aku tidak tau kalau kau tidak menyukainya."
"Kau tidak berbohong kan?" Tanyaku memastikan.
"Tentu saja tidak. Untuk apa aku bohong. Aku juga tidak tahu apa-apa tentang masa kecil kita." Jawabnya sedih.
"Lan, kau benar tidak emmz maksudku aku percaya padamu. Tapi kau tidak boleh kasar dengan temanmu sendiri."
"Iya aku tahu. Aku hanya sedang mencobanya saja denganmu. Karena mereka bilang kita adalah sahabat dekat, aku tahu kau pasti yang mengerti diriku lebih baik dari mereka."
"Seharusnya kau bilang padaku terlebih dahulu. Sehingga aku tidak berprasangka buruk padamu. Aku minta maaf Lan, bukan maksudku untuk mencurigaimu bahkan membencimu."
"Aku juga minta maaf El." Serunya sambil tersenyum lalu mengusap pucuk kepalaku lembut. Entah mengapa cara mengusapnya seperti mengandung niat tertentu yang pasti bukan niat yang baik. Tapi aku tidak mau berprasangka buruk tentang Orlan.
"Hemmz." Helaku yang mengiyakan atau menerima permintaan maaf dari Orlan.
"Ayo kita pergi!" Ajak Orlan tiba-tiba yang langsung menarik tanganku keluar dari bangkuku. Aku langsung menarik tanganku untuk menghentikannya.
"Pergi ke mana?" Tanyaku bingung pada Orlan.
"Ke Club malam, seperti yang kita rencanakan kemarin. Ayo, teman-teman pasti sudah menunggu di bawah."
"Tunggu Lan. Aku tidak mau pergi ke Club malam, aku tidak pernah ke sana. Kita masih di bawah umur, aku tidak mau."
"El aku yang mengajakmu ayo."
"Aku tidak mau Lan, kalau kau mau pergi ke sana, pergilah tanpa aku."
"Kamu harus ikut El. Aku akan menjagamu, tenang saja."
"Lan aku tidak mau!" Tolakku sambil membentaknya. Aku benar-benar tidak mau dan aku tidak suka di paksa.
"Aku sudah izin dengan orang tuamu. Mereka mengizinkan dirimu ikut denganku. Mereka menitipkan dirimu padaku. Jadi kau harus ikut."
"Hehh, mana mungkin orang tuaku mengijinkan. Mereka pasti melarang dengan keras. Tidak ada orang tua yang mengijinkan anaknya minum alkohol di bawah umur." Sangkalku. Tentu saja mana ada orang tua yang tega membiarkan masa muda anaknya rusak.
"Kau tidak percaya! Aku bisa menelpon ibumu agar kau percaya."
"Sudahlah Lan pergilah sana, aku akan pulang sendiri." Kataku menolaknya lagi namun dia menghentikan langkahku.
"Tunggu! Hallo bibi. Iya aku sedang bersama El. Dia baik-baik saja. Bolehkah aku mengajaknya ke Club malam untuk merayakan kepulangaku kembali." Seru Orlan dengan me-loudspeaker HPnya agar aku mendengarnya.
"Iya boleh asal kau menjaganya dengan baik." Aku dengar suara Mama di sebrang sana yang membuatku tidak percaya. Kenapa Mama membiarkan aku pergi ke Club malam begitu sana, padahal Mama tahu kalau itu tempat yang buruk dan tidak pantas didatangi oleh anak-anak. Setelah mendengarkan perkataan Mama, Orlan langsung menutup telfonnya tanpa mengucapkan salam.
"Benarkah Mama bilang begitu. Kau pasti sudah membohongi mamaku iya kan." Seruku tidak percaya dan memojokkannya agar dia mengakui kalau dia sudah berbohong pada Mama.
"Aku tidak berbohong! Ayo! Kau cukup ikut berkumpul saja tidak perlu minum bir maupun alkohol. Masih banyak minuman lain di sana. Ayo pergi."
"Orlan Lan, Lan.....!" Teriakku berulang kali namun Orlan tidak menghiraukannya dan terus saja menarikku berjalan mengikutinya.
......***......
Orlan memaksaku ikut dengan mereka. Jujur ini pertama kalinya aku datang kemari. Tempatnya cukup jauh dari sekolah sekitar 30 menit lebih kalau tidak salah. Aku sampai ngantuk di perjalanan. Di depan terlihat seperti kafe biasa dengan ketenangan yang begitu nyaman. Tapi ketika masuk, suara musik bergema di seluruh ruangan. Banyak orang berhimpitan sambil menari tidak karuan. Lampu berwarna-warni tapi temarau berputar di atas orang-orang yang menari itu. Bau bir dan alkohol menyengat di mana-mana. Ini kah yang dinamakan Club malam. Suasananya tidak jauh berbeda dengan yang digambarkan di TV. Bau alkoholnya, rasanya aku ingin muntah.
"Lan aku keluar saja, aku tidak tahan di sini. Baunya tidak enak dan musiknya membuat kepalaku pusing." Teriakku pada Orlan setelah menarik-narik jaketnya agar dia mau menatapku. Aku berteriak cukup keras agar Orlan mendengarkanku karena musiknya begitu keras. Musiknya membuat jantungku deg-deg-deg, rasanya mengganggu sekali.
"Hahaha Elian emang anak cupu, Hahaha." Ejek Erick dengan lantang, teman-teman yang lain juga tertawa menertawakan kebodohanku.
"Diamlah Erick! Kau mengganggu." Marahku pada Erik yang tidak bisa diam menghinaku terus-menerus.
"Elian kau mau ke mana, jangan pergi nanti kau bisa diculik lho. Hahaha hik Hahaha." Ejeknya lagi tanpa henti, rasanya aku ingin menenggelamkan mulutnya ke dalam air comberan sekarang juga kalau ada.
"Kau mabuk Rick!" Seru Keyle yang juga terlihat mabuk.
"Hahaha mana mungkin, ini belum seberapa Hahaha." Seru Erick sambil cugukan berulang kali tanda dia sudah mabuk berat. Mereka minum berulang kali sedangkan aku hanya duduk diam dan mengamati mereka semua. Semua terlihat sudah mabuk walau tidak terlalu, hanya Erick yang sudah mabuk berat. Diantara kami hanya Orlan dan aku yang tidak mabuk, tentu saja aku tidak mabuk karena aku tidak minum sama sekali. Aku tidak mau tubuhku rusak karena minum minuman seperti itu. Orlan, dia juga sudah minum banyak tapi sepertinya dia tidak terlihat mabuk sama sekali. Apa dia sudah sering minum seperti itu sampai dia bisa tahan begitu banyak.
"Lan aku pulang saja." Seruku yang langsung berdiri hendak pergi begitu saja, aku sudah tidak tahan di sini. Ini bukan tempat hiburan tapi tempat menyiksa diri sendiri. Aku tidak mau berada di tempat seperti ini.
"Kita tidak akan pulang El. Aku sudah menyewa beberapa kamar di sini. Kita akan pulang besok." Cegah Orlan yang menarikku duduk kembali.
"Apa, kamar. Di sini ada kamar tidur." Tanyaku kaget bercampur dengan bingung. Kenapa tempat seperti ini ada kamarnya juga, apa untuk melakukan hal mesum saat mabuk. Mengerikan.
"Tentu saja ada dasar bego. Hahaha. Di depan ada cafe di dalam ada Club malam dan di atas ada hotel bintang lima, Hahaha hikk. Lengkap kan!" Sela Erick yang mentertawakanku dalam kondisi mabuk berat. Masih sempat-sempatnya dia menghinaku dalam keadaan mabuk.
"Iya di sini kalau ada yang mabuk berat biasanya yang punya club malam akan membawanya ke salah satu kamar di atas dan mereka akan membayar setelah bangun. Tidak ada yang protes, kalau mau protes bisa dibunuh sama pemiliknya Hahaha." Keyle menjelaskannya dengan baik. Aku melihat Ned dan Robert yang sedang asyik berjoged dengan wanita lain. Mereka aayik sendiri.
"El kamu belum makan dan minum, kau tidak lapar?" Tanya Orlan tiba-tiba yang menyodorkan beberapa cemilan yang mencurigakan. Aku takut makanan itu sudah dimasukan narkoba atau sabu-sabu, jadi aku tidak mau memakannya.
"Tidak, nanti saja." Tolakku lalu mengambil piring dari tangan Orlan dan meletakkannya kembali di meja.
"Ini minum saja dulu."
"Iya. Ihh pahit apa ini." Tanyaku setelah menyemburkan minuman yang diberikan Orlan tadi. Kenapa aku jadi kecolongan, pasti ini alkohol. Rasanya tidak enak sama sekali, aku heran kenapa mereka begitu suka dengan minuman pahit seperti ini.
"Tak ada ini hanya bir!" Jawab Orlan santai.
"Apa! Kalau aku mabuk bagaimana!"
"Tidak perlu khawatir aku sudah menyewa kamar. Ayo minum lagi. Mereka menyukainya, kau pasti juga suka."
"Orlan jang...Emz ahh rmmz huweeekk, ah emmz. Kenapa rasanya aneh sekali. Kepalaku nyut-nyutan. Badanku rasanya ringan." Seruku sambil cegukan, rasanya menyengat di hidungku. Aku rasa aku sudah menelan begitu banyak bir itu.
"Kau menyukainya El. Ayo minum lagi." Seru Orlan yang menghimpit tubuhku dan langsung memasukan ujung botol itu ke mulutku. Dia mengenggam tanganku agar aku tidak bisa melawan.
"Tidak Orlan emmz gluk emmz gluk gluk emmz ahh." Entah sudah dua botol Orlan memaksaku minum alkohol. Kepalaku pusing, perutku mual. Rasanya semuanya berputar-putar tidak karuan. Aku membenarkan kacamataku mungkin kacamataku miring. Tapi tak ada perubahan, semua terasa bergoyang-goyang di mataku. Aku tidak kuat lagi. Mual, aku ingin muntah.
"Huweeekk, emz ah huweeekk. Lan?"
"Kau muntah El."
"Sudah Lan bawa Elian ke atas, dia pertama kalinya minum wajar kalau dia begitu. Bahkan kau menyuruhnya minum dua botol langsung. Aku yakin besok dia tidak akan bisa bangun dengan cepat, hahaha." Aku mendengar samar-samar suara keyle yang menyuruh Orlan membawaku ke kamar. Aku tidak mau, itu tempat untuk orang mesum. Tapi tubuhku rasanya lemas sekali, menggerakkan tangan saja rasanya susah sekali.
"Hahaha aku akan membawanya ke atas."
"Lan aku pusing, ayo pulang saja."
"Kita tidak bisa pulang! Ayo aku antar ke kamar. Kalian lanjutkan saja jangan khawatir nanti aku yang akan bayar."
"Ok bro!"
Badanku lemas sekali, kepalaku pusing. Aku sudah muntah berkali-kali. Orlan memapahku tapi aku seperti tidak bisa merasakan apa pun bahkan sentuhannya. Aku merasa hampir jatuh namun tidak kurasakan sakit sama sekali. Orlan menggendongku di depan.
Aku mengalungan tanganku pada lehernya agar aku tidak jatuh. Tubuh Orlan rasanya dingin sekali rasanya seperti memeluk Es. Aku dijatuhkan di kasur yang empuk. Lalu Orlan berada di atasku. Ku lihat wajahnya yang tersenyum padaku. Aku pandangi wajah tampannya begitu lama. Dia lalu mengambil kacamataku dengan gerakan lambat.
"Kau manis sekali. Ingin rasanya aku makan dirimu sekarang juga."
Aku tidak bisa apa-apa untuk menjawabnya. Nafasku sudah memburu dari tadi. Rasanya ini seperti mimpi. Saat aku menoleh ke samping Orlan menjilat-jilat leherku sampai aku mengerang.
"Emmmzzz." Erangku lalu berganti megigit kecil leherku sampai berganti menggigit dengan kasar aku hanya bisa menjerit tertahan.
"Emmmz ahhhh ahhhh ahhhh aowwww sakit Lan."
"Ups maafkan aku. Aku tidak bermaksud lancang. Aku kira ini kamarku, sepertinya aku salah kamar." Ada suara wanita dia berdiri di depan pintu. Aku berusaha melihatnya namun wajahnya dan tubuhnya tak nampak jelas. Lalu Orlan menghampirinya dan bercakap-cakap dengan wanita itu entah apa aku tidak bisa mendengarkanya. Auwww kepalaku pusing sekali pandanganku mulai menghitam dan mataku mulai berat. Aku rasanya seperti mengantuk.
......***......
"Tidak, aku mohon tidak. Jangan, aku mohon jangan. Apa yang kau inginkan, uang? Aku punya ambilah tapi aku mohon menjauhlah dariku."
Suara siapa yang aku dengar. Suara wanita. siapa dia? Di mana ini kenapa gelap sekali. Aku mencoba meraba-raba di sekelilingku yang gelap gulita tapi tidak ada yang bisa aku pegang. Tiba-tiba aku melihat setitik cahaya lampu yang menyala merah di depanku. Aku langsung bangun dari dudukku dan mendekatinya dengan rasa takut. Aku mendekati dan terus mendekati cahaya itu yang berbentuk seperti lobang kunci kecil. Ruangan ini hampa gelap gulita dan hanya ada lubang kunci ini. Apa aku harus mencari kuncinya agar aku dapat membukanya. Lalu di mana aku bisa menemukannya di sini. Aku raba-raba di sekitarku bahkan lantainya yang gelap juga aku raba, tapi aku tidak menemukan apa pun.
"Tidak, Sheika! Aku mohon jangan sakiti anakku. Kau boleh mengambil semua yang ada, tapi jangan anakku. Kasihan dia, dia masih kecil dan tidak tau apa-apa. Ahhh ahhh tidak sakit ahh ku mohon emmz ahhh. Sheika."
Ku dengar suara di depanku yang memohon dan terus memohon. Aku beranikan diri melihat dibalik lobang itu. Aku duduk untuk melihat lubang merah yang berada di bawah. Aku dekatkan mata kiriku ke dalam lobang kunci secara hati-hati takut ada sesuatu yang menusuk lubang kunci secara tiba-tiba. Aku tidak membawa kaca mata nampak samar di depanku. Aku sipitkan lagi mataku agar lebih jelas, namun tetap saja tidak ada perubahan.
Astaga aku melihat seorang wanita hamil besar sedang disiksa oleh seorang perempuan yang memakai jubah merah. Tunggu jubah merah itu, aku pernah melihatnya. Berarti dia penganut ajaran sesat itu, apa yang dia lakukan di sini. Dia menyiksa wanita hamil itu dengan menarik-narik rambutnya sampai mendongak berkali-kali. Wanita hamil itu bergaun biru tua. Wanira berjubah merah itu Lalu menariknya sampai berdiri kemudian didorong sampai jatuh berulang kali.
Wanita hamil itu hanya bisa menangis dan memohon namun tidak dihiraukan oleh wanita berjubah merah itu. Sampai wanita hamil itu di tendang bagian punggung berulang kali. Perutnya juga tidak luput dari tendangannya. Betapa sakitnya dia, apa yang harus aku lakukan. Tidak ada kunci untuk membuka pintu hampa ini. Kasihan dia menangis menjerit-jerit dan memohon tanpa henti. Dia kejam sekali. Kemaluannya yang mengeluarkan darah karena perutnya ditendang berkali-kali juga tak luput dari tendangannya. Bagaimana dengan kedaan bayinya, sungguh kasihan sekali bayi yang belum lahir sudah dibunuh dalam kandungan ibunya secara kejam. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan, yang bisa aku dengar hanya suara rintihan kesakitan dari wanita yang hamil itu.
Tapi tiba-tiba aku mendengar suara langkah sepatu mendekatiku. Ada orang lain yang menyaksikan kekejaman wanita kejam itu. Dari langkahnya dan sepatunya terlihat kalau dia seorang laki-laki. Dia mendekati lobang kunci yang aku gunakan untuk mengintip kejadian itu. Apa dia tahu kalau aku ada di sini. Jantungku berdetak kencang, aku takut sekali. Lalu dia mengarahkan tangannya ke depan lubang kunci lalu menariknya dan....deg....
......***......
"Elian kau sudah bangun! Kau manis sekali kalau sedang tidur." Seru Orlan yang berada di sampingku sambil tersenyum manis menyambut pagi. Aku yang masih terkaget dengan mimpiku yang menyeramkan bahkan terasa begitu nyata itu membuat nafasku memburu. Namun segera normal kembali setelah aku sudah cukup sadar.
"Orlan? Kita di mana?"
"Kita di kamar hotel night Club. Kau terlihat habis mengalami mimpi buruk. Aku sudah berusaha membantumu tapi tidak bisa. Jadi aku menunggumu bangun karena aku tidak tega membangunkanmu. Kau lapar? Aku bisa memesankan makanan untukmu."
"Tidak perlu, kepalaku pusing sekali. Aku hanya sedang haus."
"Ini minumlah."
"Iya terimakasih. Badanku bau alkohol. Baunya tidak enak."
"Hahaha baunya memang seperti itu. Mandilah supaya segala kembali."
"Kau belum mandi kan? Mandilah duluan, kepalaku masih pusing sekali. Kalau sudah selesai panggil aku."
"Ok! Tidurlah lagi kalau masih pusing." Aku hanya mengangguk menjawabnya.
Tok-tok-tok, "permisi bisa bertemu sebentar. Hallo ada orang tidak?" Aku mendengar suara orang memanggil dari balik pintu. Ingin rasanya aku membukanya tapi kepalaku rasanya pusing sekali.
Brakkk, "Angkat tangan?" Aku tolehkan wajahku menghadap ke pintu yang dipaksa terbuka. Di sana ada beberapa orang yang memakai baju polisi yang berdiri sambil menodongkan pistol padaku. Sejenak aku takut sekali ada apa ini. Apa mungkin mereka menangkap anak-anak di bawah umur yang minum alkohol. Apa aku akan masuk ke tempat rehabilitasi anak.
"Permisi dek. Aku adalah seorang polisi, namaku Adam. Tenang saja, saya cuma ingin mencari informasi dari adek saja tentang korban yang bernama Bravely di kamar sebelah." Seru salah seorang polisi sambil meletakkan pistolnya kembali. Kemudian dia dan satu kawannya berjalan mendekatiku, sedangkan yang lain kembali ke luar.
"Apa?" Tanyaku sambil duduk sebisaku. Aku tidak mau terlihat seperti orang yang habis mabuk berat.
"Apa kau mengenal orang yang bernama Bravely Milton di kamar 203. Dia meninggal dengan cara yang tidak wajar. Maaf kalau sudah mengganggu waktu tidurmu."
"Bravely? Siapa, aku tidak pernah mengenal nama itu. Aku tidak tahu siapa yang berada di kamar sebelah. Aku juga tidak ingat masuk ke kamar ini karena temanku yang membawaku dalam keadaan mab(uk) bukan tidur." Jawabku sambil gugup, aku hampir keceplosan bilang kalau aku habis mabuk, semoga saja mereka tidak curiga.
"Jadi Anda tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Dimana teman Anda? Mungkin dia tahu sesuatu tentang orang yang pernah masuk ke kamar nona Bravely."
"Oh itu dia sedang mandi. Jika perlu akan saya panggilkan!" Jawabku langsung turun dari kasur. Aku berusaha berdiri namun keseimbanganku langsung hilang dan aku jatuh. Aku jatuh menimpa polisi tadi. Tidak lebih tepatnya dia menangkapku.
"Kau habis mabuk nak!"
"Ah itu.... Aku hanya tidak tahu." Seruku sambil senyum tipis.
"Elian!" Panggil Orlan dengan geram dan wajah yang sepertinya marah. Dia lalu menghampiri kami. Dia mengangkatku dan menurunkanku di kasur. Aku sedikit malu dengan perlakuan Orlan padaku yang sangat aneh jika dilakukan sesama lelaki.
"Apa yang kalian lakukan di kamarku!" Tanya Orlan tidak suka.
"Orlan tunggu, jangan marah dulu. Mereka hanya ingin tahu apakah kita tahu informasi tentang nona Bravely di kamar sebelah. Katanya dia meninggal di kamar sebelah. Apa kau tahu sesuatu, atau tahu siapa yang masuk ke kamarnya." Jelasku pada Orlan.
"Oh itu. Bravely? Aku tadi malam dari kamarnya. Dia bilang kedinginan lalu aku pesankan kopi pada pelayan. Kemudian aku tinggalkan dia karena aku bersama dengan Elian, aku harus menjaga Elian."
"Jadi Anda pernah bersama denganya. Sudah berapa lama Anda mengenalnya."
"Aku tidak pernah mengenalnya. Baru tadi malam aku mengenalnya. Dia bilang salah kamar lalu aku mengantarnya sampai ke dalam kamarnya dan mengobrol sebentar."
"Berarti Anda tidak ada hubungan apa-apa dengan nona Bravely?"
"Iya."
"Pak, cctv-nya sudah bisa dilihat. Apakah Anda ingin melihatnya."
"Iya tunggu sebentar. Maafkan saya bukan maksud saya menuduh kalian tapi seperti yang kalian katakan kalau tadi malam secara tidak langsung anda ada hubungan dengan nona Bravely. Jadi bisakah kalian tidak pergi dulu untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, ini akan menjadi mudah kalau kalian bicara dengan jujur. Saya akan lihat cctv-nya kalian bisa ikut untuk melihatnya juga."
"Tapi pak, selain polisi dan petugas di larang menggangu pekerjaan kita."
"Sudah tidak apa-apa."
"Ok. El kau di sini saja. Tidurlah kau masih pusing kan? Ayo cepat tidur."
"Orlan. Tidak! Aku ikut denganmu. Aku sudah lebih baik. Aku tidak mau tinggal sendirian."
"Baiklah jangan jauh-jauh dariku."
"Ayo!"
Aku lihat diriku sendiri yang di gendong Orlan dengan gaya yang memalukan. Kenapa dari sini melihatnya aku jadi malu. Saat ingin memasuki kamar terlihat nona Bravely dari arah berlawanan berjalan dengan sempoyongan. Sepertinya dia sedang mabuk.
Setelah beberapa menit kami masuk nona Bravely langsung membuka kamar yang kami tempati. Aku lihat dia sedang berbicara sendiri seperti merancau. Tidak lama Orlan keluar dan menghampirinya lalu berjalan ke kamar sebelah. Cukup lama kami menunggu Orlan keluar dan akhirnya Orlan keluar juga. Lalu Orlan masuk ke kamar lagi.
Tidak lama pelayan datang memberikan kopi pada nona Bravely. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi, cuma itu. Yang pasti dia bisa saja meninggal bunuh diri atau diracuni oleh pelayan. Paginya pelayan datang memberikan air putih dan seteko teh di setiap kamar. Pelayan terkaget lalu keluar dari kamar nona bravely untuk memberi tahu pemilik hotel night club. Makanya oolisi kangsung segera datang. Aku baru sadar aku bangun sudah terlalu siang.
"Jadi kalian tidak ada hubungan sama sekali dengan nona Bravely. Terimakasih atas kerja samanya. Kami akan melanjutkan pencarian pembunuhan ini lagi. Kalian boleh pergi. Maaf telah mengganggi waktu kalian."
"Tunggu pak. Kira-kira nona Bravely meninggal seperti apa?" Tanyaku pada pak Adam yang sepertinya dia kepala polisi yang sangat disegani oleh bawahannya itu.
"Dia! Dia meninggal dengan cara mengenaskan." Jawabnya singkat tanpa menjelaskan bagaimana Nona Bravely meninggal.
"Seperti apa?"
"Dia, emz tubuhnya seperti di cabik-cabik. Kami masih mencari tahu siapa pembunuhnya karena pihak keluarga tidak rela anaknya mati mengenaskan seperti itu. Dari pihak kami juga merasa takut kalau sang pembunuh akan mencari korban lagi. Sudahlah mending kau bersih-bersih saja, kau Bau alkohol. Aku akan pura-pura tidak tahu. Kalian boleh pergi." Aku bersyukur karena pak Adam melepaskanku begitu saja. Aku takut kalau aku masuk ke tempat rehabilitasi anak, di sana banyak anak-anak nakal.
"Baik pak!" Jawabku langsung pergi. Orlan hanya diam saja dari tadi dan menatap tajam pak Adam. Dia menatap tidak suka kepada pak Adam. Aku langsung menariknya pergi bersamaku.
.......***.....
.
.
.
.
.
[TBC]
.
.
.
Bye-bye....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro