Episode 03
*Wanita Di Bawah Hujan*
.
.
.
.
.
......***......
Awan yang mendung sejak siang tadi masih saja bergelombang di atas langit. Semakin senja semakin gelap, cahaya matahari yang oranye tak tampak lagi. Rintihan hujan turun semakin lama semakin deras, aku pelankan deru mobilku agar tidak tergelincir saat hujan yang begitu lebat menimpa mobilku. Kenapa saat keadaan seperti ini harus hujan, apakah nanti rencana papa dan Mama menjenguk Orlan akan batal karena hujan? Kupikir iya? Mungkin lain kali saja kami menjenguk Orlan. Udara semakin dingin jalan semakin gelap walau sudah ada lampu jalan yang menerangi namun tidak seterang cahaya matahari. Aku lihat jam tanganku sudah menunjukan pukul 6 petang, sudah sewajarnya mentari sembunyi dibalik lautan.
Akhirnya sudah sampai di depan rumah, aku bunyikan klakson mobil agar pak Martin membuka gerbang rumah sehingga aku bisa masuk. Tidak lama menunggu gerbang pun di buka. Aku membawa mobilku menuju ke garasi. Tanpa sengaja aku melihat ke depan rumah ada tamu yang berdiri disana. Seorang perempuan berambut panjang dengan dress biru selutut, namun tak ada yang membukakan pintu. Aku langsung mengerem mobil untuk berhenti di depan rumah dan berniat membantu wanita itu masuk ke dalam rumah.
"Dreet-dreet-dreet." Suara hpku yang ada di tas bergetar, aku langsung membukanya, ternyata pesan dari Erisha pacarku yang berisi.
"Sayang aku rindu padamu!"
Hanya itu yang dia tulis, tapi terkesan dalam bagiku. Sudah sebulan ini dia jauh dariku. Aku juga merindukannya.
"Aku juga! Bagaimana audisinya, berhasilkah?" Balasku padanya.
"Tentu saja aku masuk ke semi final, doakan semoga aku dapat lolos sampai final, sayang."
Baguslah kalau Erisha bisa masuk semi final, semoga saja dia menang di babak final nanti.
"Iya pasti, kapan kamu pulang?" Balasku lagi menanyakan kapan dia pulang.
"Kalau aku lolos sampai final mungkin dua Minggu lagi!"
Senangnya mendengar dia bisa pulang walau masih cukup lama bagiku, tapi aku sudah sangat rindu padanya.
"Baiklah, aku akan selalu menunggumu. Mau aku siapkan kejutan?"
Tawarku padanya, Hahaha. Semoga saja ini menjadi chetinganku yang paling lama dari hari-hari sebelumnya.
"Jangan tawari aku, bukan kejutan lagi kalau kamu beri tahu aku!" Hahaha semoga saja dia tidak marah.
"Ah iya maaf!" Balasku menambah emoticon sedih yang banyak sekali, hahaha.
"Hahaha, tak apa! Aku latihan dulu ya sampai jumpa sayang." Balasnya dengan menambah emoticon love dan cium, dia manis sekali.
"Iya sampai jumpa!" Balasku untuk yang terakhir kalinya dengan emot sedih, agar dia tahu kalau aku benar-benar rindu padanya.
Itu pesanku dengan Erisha yang paling banyak, biasanya dia cuma memberi pesan sedikit yang terkesan menyapa saja. Aku paham jika dia kadang tidak menjawab pesanku karena para audisi yang ikut dalam kontes menyanyi dilarang membawa HP. Tetapi Erisha adalah salah satu kontestan yang tidak mematuhi peraturan. Aku selalu berdoa semoga Erisha menang sampai final.
"Tuan Elian! Kenapa masih di situ?" Aku dengar suara memanggilku dari belakang mobil. Ternyata dia adalah pak Martin. Aku langsung menoleh keluar jendela namun aku terkejut karena pak Martin sudah ada di sampingku membawa payung.
"Pak martin, itu ada tamu. Tolong suruh dia masuk, kasihan di luar dingin!" Perintahku pada pak Martin, namun wajahnya nampak bingung.
"Tamu, siapa tuan?" Tanya pak Martin bingung sambil mencari-cari di depan rumah.
"Itu di depan rumah ada wanita yang memakai dress biru selutut!" Jelasku lagi agar pak Martin mengetahui apa yang aku maksud.
"Tak ada siapa-siapa tuan. Dari tadi tak ada tamu yang datang!" Jelas pak Martin bingung.
"Ya ampun itu pak tamu yang...." Tunjukku sambil memalingkan wajah untuk melihat wanita itu namun tidak ada siapa-siapa di sana. Tadi ada wanita memakai dress biru di depan pintu tapi kenapa tidak. Apa sudah masuk ke dalam rumah, namun pak Martin bilang tidak ada tamu yang datang. Lalu siapa dia, apa Mama? Aku bingung dengan apa yang aku lihat.
"Tuan turun di sini saja biar saya yang membawa mobilnya ke garasi." Seru pak Martin sambil menyodorkan payungnya dan aku menerima dengan senang hati. Aku keluar mobil dan berjalan ke depan pintu.
Aku lipat payungnya dan aku sandarkan dekat pintu. Aku masuk ke dalam tanpa mengetuk pintunya, tidak apa toh rumah sendiri. Tapi kenapa ada jejak kaki berlumpur di lantai, jejak kaki siapa? Siapa yang jalan ke rumah tanpa memakai alas kaki. Perasaan jalan di depan rumah sudah beraspal semua dan tamanya juga penuh dengan rerumputan. Dari mana asal lumpur ini? Aku telusuri Jejak kakinya menuju ke kamar Mama sama papa.
"Apakah Orlan benar-benar sudah kembali? Kenapa bisa, aku tak menyangka dia bisa kembali?" Aku mendengar suara papa di balik pintu kamar, papa sudah pulang ternyata. Tapi kenapa papa tidak percaya jika Orlan sudah pulang. Aneh!
"Ah sudahlah! Bukanya bagus kalau Orlan sudah kembali." Jawaban dari Mama yang terlihat santai dari balik pintu.
"Tapi ini aneh sayang. Apa ada sesuatu yang terlewatkan." Tanya ayahku sepertinya dari suaranya nampak ragu.
"Ah sayang sudahlah, bukanya senang kalau Orlan sudah pulang. Sudah rapi, bukanya kita akan ke sana. Kita tinggal menunggu Elian pulang." Seru mama menenangkan papa.
Tok tok tok, aku langsung mengetuk pintu kamar Mama sambil memanggil mereka berdua. Mencari jawaban kenapa papa begitu ragu kalau Orlan sudah pulang, atau aku salah membawa orang, aku rasa kacamataku masih berfungsi dengan baik.
"Mah, pah...?" Tanyaku. Tidak ada jawaban padahal tadi aku mendengar suara mereka berdua. Kenapa lama sekali menjawabnya, apa aku kurang keras memanggil mereka.
"Ah iya sayang kamu sudah pulang, Mama sama papa lagi siap-siap nih. Kita akan ke rumah Margaretha." Seru mama langsung membuka pintu. Aku lihat mama nampak sudah cantik dan siap dengan dandanan yang sederhana.
"Mama aku pulang!" Seruku sambil memeluk Mama dan Mama langsung mencium pipiku. Kalau di rumah aku terkesan anak manja, tapi kalau di sekolah aku terlihat anak yang kutu buku yang tidak memiliki teman. Biarkan saja yang terpenting aku masih punya Orlan dan Ned sahabat kecilku yang menerimaku apa adanya.
"Kenapa baru pulang, ini sudah hampir malam." Tanya mamaku yang terlihat khawatir.
"Tadi aku makan dulu sama Orlan sebelum pulang. Mama cantik sekali memakai dress merah yang terlihat mewah. Hahaha." Pujiku yang langsung dijawab senyuman yang lebar dan manis dari Mama.
"Ah sayangku, Mama memang sudah cantik dari dulu." Seru mama bangga. Mama memang sampai sekarang masih terlihat cantik walaupun umurnya sudah tua. Apa mungkin karena hanya mempunyai satu anak membuat mama tidak terlalu pusing untuk mengurusi anaknya. Hahaha, aku bahagia sekali.
"Kamu cepetan mandi, bajumu basah begitu. Nanti papa tinggal lho." Seru papaku tiba-tiba dari dalam kamar. Dari mana papa tahu kalau bajuku sedikit basah padahal papa ada di dalam kamar. Mungkin papa tahu karena di luar sedang hujan. Aku langsung mengiyakan apa yang di perintahkan papa.
"Iya! Mama, itu tadi ada tamu. Tamunya di mana ma?" Tanyaku pada Mama, aku penasaran dengan wanita yang berdiri di depan rumah tadi.
"Tamu? Siapa sayang?" Tanya Mama balik, mama nampaknya juga bingung dengan pertanyaanku. Kenapa aneh sekali. Tadi pak Martin bilang tidak ada tamu, sekarang Mama juga tidak tahu kalau ada tamu. Lalu siapa wanita itu.
"Wanita yang memakai dress biru tua selutut di depan rumah tadi. Aku pikir tamu Mama!" Jelasku mungkin saja mama ingat kalau ada tamh atau siapalah itu sedang berkunjung di rumah kita.
"Tak ada sayang, mungkin itu Mama kali, yang nungguin kamu pulang!" Timpal papaku dari dalam kamar lagi. Benarkah, apa aku salah lihat. Mama hari ini memakai dress merah sedangkan wanita itu menggunakan dress biru tua.
"Tidak mungkin Mama, kalau itu Mama sudah pasti kita bertemu di depan dan mama pasti marah-marah sama Elian. Lagian wanita itu menggunakan dress warna biru tua sedangkan Mama memakai dress warna merah, beda jauh pa." Sangkalku.
"Mungkin kamu salah lihat El!" Seru papa lagi yang tidak mau kalah, mungkin saja apa yang dikatakan papa ada benarnya juga. Lama-lama pusing memikirkannya.
"Mungkin papa benar. Aku pasti tadi salah lihat. Emm kalau begitu jejak kaki ini ? Lho kok tidak ada, ke mana?" Tanyaku bingung mencari jejak kaki yang aku lihat menghilang begitu saja.
"Jejak kaki apa sayang? Dari tadi kamu ngomongnya ngaco terus, Mama jadi khawatir sama kamu. Jangan-jangan kamu sakit. Kalau sakit kita batali saja ke rumahnya Orlan." Seru mamaku sambil memegang keningku yang tidak panas.
"Ah Mama, aku tidak sakit!" Seruku pada Mama lalu langsung melepaskan tangan Mama dari keningku.
"Tadi benar-benar ada ma pa, aku tidak bohong. Tapi kenapa tidak ada, apa aku salah lihat lagi. Aku langsung ke kamar ya ma." Seruku sambil berjalan pergi menuju ke kamarku.
Aku sudah lelah dengan apa yang aku lihat hari ini. Semoga saja itu bukan hantu atau semacamnya, semoga saja aku hanya salah lihat.
"Iya sayang!" Jawab Mama yang langsung masuk ke kamarnya lagi.
.......***.......
Aku jelas-jelas tadi melihat ada wanita memakai dress biru tua berdiri di depan rumah. Apa benar jika dia hantu. Lalu jejak kaki tadi juga hilang entah ke mana, apa hantunya masuk ke kamar Mama? Tidak mungkin, kalau iya pasti papa dan Mama sudah melihatnya. Aku jadi binggung sendiri. Mending mandi dulu bajuku sedikit basah terkena air hujan, mama pasti marah kalau aku sakit.
Air hangat membasahi tubuhku, segarnya. Aku selesai mandi dan mencari baju yang cocok denganku. Memakai baju yang mana ya? tanyaku pada diriku sendiri. Sepertinya kaus biru gelap cocok denganku, tapi tadi papa rapi sekali seperti mau ke kantor saat aku intip tadi. Aku pake yang sedikit rapi agar tidak memalukan jika dilihat nanti. Hahaha padahal bukan acara resmi kenapa aku rempong sekali.
"Pyarrr...!" Aku mendengar bunyi kaca jatuh. Aku tolehkan kepalaku mencari sumber suara. Ternyata fotoku bersama Mama dan papa jatuh, kaca bingkainya berserakan ke mana-mana. Duh kalau kena kakiku bagaimana. Aku Ambil fotonya dan ku taruh di atas. Aku ganti baju dan memakai sepatu bersiap-siap pergi tanpa membereskan kaca bingkai yang jatuh tadi. Aku langsung ke luar menemui papa dan Mama yang sudah menungguku, pasti mereka sudah menunggu lama.
"Pa, ma.!" Sapaku yang sudah siap berangkat.
"Sudah siap sayang!" Seru mamaku sambil tersenyum manis.
"Iya ma, tapi tadi di luar hujan deras. Apa kita akan nekat pergi dalam keadaan hujan lebat seperti ini." Tanyaku khawatir kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi saat berkendara di bawah hujan deras.
"Tak apa-apa, hujannya sudah sedikit reda. Biar papa yang menyetir."
"Baiklah kalau begitu."
Kami masuk ke mobil papa yang sudah disiapkan pak Martin di depan rumah. Sebelum berangkat papa berpesan sama pak Martin untuk menjaga rumah. Tentu saja pak Martin mengiyakan. Kami lalu berangkat menuju ke rumah Orlan.
"Kita sudah sampai, kamu sudah mengabari Margaretha kalau kita akan datang kan sayang." Tanya papa pada Mama.
"Tentu saja sayang, tapi kemarin dia menolak, tapi aku memaksanya terus sampai dia mau." Seru mama senang. Mama memang suka memaksa.
"Tak apa-apa kalau begitu!"
"Seperti biasa, Mama selalu suka memaksa, huhh." Sindirku.
"Hahaha, kamu bisa saja menghina mama. Ayo turun." Kami turun dan Mama membawa tas belanja yang lumayan besar.
"Mama bawa apa, kenapa banyak banget." Tanyaku penasaran.
"Ini bingkisan untuk Margaretha, sudah sewajarnya kalau teman berkunjung harus membawa bingkisan."
"Tapi tak sebanyak itu, sini biar aku yang bawa." Tawarku langsung membawanya. Mama langsung mengetuk pintu rumah bibi Margaretha dengan menggebu-gebu tidak sabar ingin bertemu dengan bibi Margaretha. Tak lama pintu dibuka dan menampilkan bibi Margaretha yang terlihat pucat namun memaksakan untuk terlihat ceria dan menyapa mamaku.
"Hai Margaretha apa kabar. Lama tidak bertemu, aku rindu sekali denganmu. Yang berkunjung ke rumahku selalu Orlan bukan kamu. Kapan kamu main ke rumahku!" Sapa Mama sambil cipika-cipiki dengan bibi Margaretha. Aku dan papa hanya berdiri di belakang melihat kebahagian mereka berdua.
"Aku baik-baik saja, aku juga rindu padamu. Aku sibuk harus mengurus tiga anak, jadi tidak sempat mampir ke rumahmu. Seharusnya kamu yang sering-sering main ke sini, anakmu kan cuma Elian hahaha. Ayo masuk, masuk!" Jawab bibi Margaretha bercanda sama Mama yang hanya bisa memiliki satu anak. Aku justru senang tidak ada saingan. Bibi Margaretha mempersilahkan kami masuk.
"Aku sudah berusaha membuat adik untuk Elian tapi Tuhan berkehendak lain. Aku pikir Elian seneng kalau tak ada saingan benar kan sayang."
"Jangan tanya aku!" Seruku menyangkal sambil tersenyum malu.
"Hahaha!" Mereka berdua langsung tertawa. Apa yang mereka tertawakan bahkan itu tidak lucu sama sekali.
"Orlan, Maggie ayo turun nak. Elian dan keluarganya berkunjung ke rumah kita. Ayo cepatlah turun dan sapa mereka!" Seru bibi Margaretha memanggil ke dua anak lelakinya yang masih ngejogrok di atas.
"Iya Bu, sebentar!" Seru Orlan dari atas, aku mendengarnya.
"Hahaha, oh ya Margareth, bagaimana keadaan Orlan dia baik-baik saja kan. Aku khawatir sekali saat dia pergi dari rumah."
"Iya dia baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan."
"Maf ya Margareth aku kemarin tidak bisa membantu mencarinya." Seru papa meminta maaf karena tidak bisa membantu mencari Orlan. Padahal papanya waktu itu juga sedang tugas diluar kota dan tidak bisa mencarinya, maka dari itu bibi Margaretha memanggilku untuk mencarinya.
"Ah tidak apa-apa, untung ada Elian. Semua baik-baik saja tidak perlu khawatir."
"Elian, kamu itu kasih bingkisan yang mama bawa ke bibi Margaretha dong, kenapa kamu pegang terus. Itu bukan buat kamu!" Marah mamaku.
"Maaf mah, Elian lupa! Begitu saja marah!" Kataku sambil menyerahkan bingkisan untuk bibi Margaretha dan meminta maaf. Bibi langsung menerima dengan senang hati. Tidak lama Orlan dan Maggie turun dan menyapa kami.
"Hallo Tante Om, Elian sudah lama menunggu. Ayo langsung ke ruang makan saja. Ibu sudah siapkan makanan yang enak." Seru Orlan mengajak kami makan malam.
"Oh Orlan kamu baik-baik saja kan, aku rindu sekali padamu!" Sapa Mama dan langsung memeluknya, Orlan terlihat kaget namun langsung tersenyum ramah. Mungkin saja dia baru inget kalau dia harus bersikap sopan pada orang tuaku.
"Iya!"
"Baguslah kalau kamu sudah pulang. Aku juga khawatir padamu." Sapa papa sambil memeluk sebentar khas laki-laki. Aku lihat mereka seperti sudah akrab saja. Mungkin sesama lelaki mudah akrab dibanding dengan perempuan. Sekarang papa sudah percaya kalau Orlan sudah kembali lagi.
"Iya tentu saja tidak apa-apa." Jawab Orlan singkat.
"Ayo waktunya kita makan malam." Ajak bibi Margaretha pada kami semua. Kami otomatis langsung ke ruang makan mengikuti bibi Margaretha. Sebelum aku mengikuti mereka Orlan menarik lenganku. Tentu saja membuatku harus berhenti berjalan dan menatapnya.
"Ada apa?" Tanyaku bingung.
"Kau tahu aku benar-benar menyukai mu." Bisiknya di telingaku. Wajahku langsung merah entah kenapa setelah mendengarnya.
"Kau bicara apa, jangan ngomong yang aneh-aneh. Jangan dekat-dekat denganku." Seruku gugup sambil berjalan menuju ke ruang makan kemudian duduk di dekat Mama.
Kami makan bersama sambil berbincang-bincang. Seperti biasa para ibu-ibu yang selalu cerewet membahas sesuatu yang tidak aku mengerti. Kami para lelaki selalu setia mendengarkan dengan seksama.
Orlan juga terlihat tenang, apa lagi papa dia juga tidak banyak bicara kalau Mama tidak bertanya. Sedangkan Maggie aku lihat wajahnya nampak murung. Aku memastikan sesekali Maggie melihat Orlan dengan takut-takut, apa mereka berdua bertengkar. Orlan selalu saja membuat Maggie menangis jika Maggie memaksa minta sesuatu.
"Maggie kenapa?" Tanyaku, tapi dia malah semakin menyembunyikan wajahnya ketika melihatku. Kenapa takut padaku, padahal aku yang selalu membelanya.
"Ah tak apa-apa El, biasa dia lagi sakit jadi tidak terlalu banyak makan." Jawab bibi Margaretha salah tingkah.
"Benarkah, kurasa dia baik-baik. Aku lihat dia begitu takut melihat Orlan?" Tanyaku, semua terlihat diam dan tak ada yang merespon. Orlan pun ikut diam.
"Ah tidak kok, tidak apa-apa." Jawab bibi terbata-bata menyakinkan aku kalau tidak terjadi apa-apa kepada maggie, mungkin saja memang benar jika Maggie sedang sakit.
"Pasti ada sesuatu....!" Seruku mengintimidasi Orlan, melihatnya dengan tajam. Kenapa semua diam sih, suasana malah semakin tegang.
"Pasti Orlan memarahi Maggie lagi kan? Sudah kebiasaan Orlan begitu, kenapa bibi tidak memarahi Orlan. Ayo katakan kamu pasti membuat Maggie menangis lagi kan." Seruku menuduh Orlan. Semua tampak lega kecuali Orlan. Kenapa aku merasa aneh, apa ada yang disembunyikan dariku.
"Hahahaha. Tak apa El, cuma gara-gara Maggie tak mau memakai baju itu tapi Orlan memaksa jadi mereka bertengkar. Ah nanti Maggie juga tidak marah lagi. mereka sering berantem, tapi juga mudah baikan jangan khawatir." Seru bibi menjelaskan kenapa Maggie terlihat murung.
"Kau ih!" Seruku sambil memukulkan sendokku ke kepala Orlan, dia berusaha menghindari pukulan sendakku.
"Jangan nanti kotor." Serunya sambil tersenyum lebar.
"Aku kesel sama kamu. Kasihan Maggie dia masih kecil, sudah biasa kalau anak kecil bandel, masih saja diladeni." Seruku marah atau bisa dibilang menasehatinya.
"Iya maaf."
"Maggie aku sudah bilang kalau Orlan memarahi dan memukulmu bilang padaku. Aku akan memuukulnya, jangan takut. Mengerti!" Perintahku pada Maggie. Dia hanya mengangguk setuju lalu memakan makanannya lagi. Sedangkan Orlan hanya senyum-senyum tidak jelas.
"Bibi, Everyn ke mana? Kenapa tidak ikut makan? Tanyaku yang baru sadar kalau Everyn tidak ada.
"Iya Margaretha di mana anak perempuanmu yang cantik itu, aku ingin melihatnya. Dari dulu aku ingin sekali punya anak perempuan."
"Ah dia, dia, dia lagi ke rumah Helena adikku. Helena punya anak perempuan seumur dengan Everyn. Mereka sudah berteman baik. Dia memaksa ingin tinggal di sana karena dia merasa punya teman bermain. Hahahaha biasa anak perempuan begitu kalau sudah punya teman bermain tidak bisa dipisahkan." Jawab bibi Margaretha panjang lebar.
"Ah sayang sekali, aku ingin mencubit pipinya yang gemuk itu, ihh lucu banget iya kan pa. Aku pengen banget punya anak perempuan."
"Kita sudah tua, jangan berharap terlalu tinggi. Kalau mau kau bisa mengadopsi bayi perempuan, aku tidak masalah." Seru papa yang membuat mama senang.
"Aku tidak mau pa!" Tolakku yang tidak ingin kasih sayang Mama dan papa terbagi.
"Hahahaha, lihat wajah El. Dia nampak tidak mau kasih sayang kita direbut sama adeknya nanti, hahaha."
"Biarin!"
"Hahaha." Tawa mereka semua yang berhasil meledekku.
.....***......
Kita sudah selesai makan malam, ternyata masih ada waktu luang sebelum kami pulang. Bibi Margaretha mengajak Mama menata bingkisan yang diberikan Mama tadi. Sedangkan aku mengajak Maggie bermain di kamarnya. Maggie tidak keberatan namun Orlan yang keberatan. Dia ingin bersama denganku. Tentu saja aku menolak karena dia telah kasar dengan adiknya Maggie.
"Maggie aku ingin bicara denganmu, ayo ke kamar."
"Mau bicara apa, aku ikut." Seru Orlan mengikutiku.
"Apa sih sana pergi. Apa urusanmu denganku. Sana aku tidak suka denganmu." Tolakku mengusir Orlan agar tidak mengikuti kami berdua.
"Tapi aku suka denganmu, pokoknya aku ikut." Serunya sambil melempar tatapan maut ke arah Maggie yang ada di sampingku. Otomatis aku langsung menyembunyikan dia di belakangku, papa juga asik mendengarkan dabat kami.
"Apa! apa!" Tentangku.
"Kau ikut denganku ke kamarku." Ajaknya sambil menatapku dengan tajam. Giginya hampir terdengar bergemerutuk. Orlan lucu sekali saat sedang marah.
"Tidak mau, mengerti!" Tolakku lagi.
Kami berdua sudah sampai di kamar Maggie. Maggie hanya berdiri tegak takut dan menundukan kepalanya. Dia kenapa, apa yang membuat dia setakut ini dengan Orlan. Aku berpikir Orlan menatap tajam hanya ke padaku.
"Kenapa masih berdiri di situ, kemarilah duduk di sampingku!" Suruhku pada Maggie. Dia patuh duduk di sampingku dengan kepala menunduk tanpa bicara.
"Kamu kenapa Maggie ada masalah apa kamu dengan Orlan, katakan padaku tidak perlu takut?" Tanyaku.
"Kak Orlan dia, Everyn dia, makan, kak Orlan, makan, makan, dia, Everyn." Serunya terbata-bata dan terbalik-balik. Apa yang ingin dia bicarakan. Aku tidak paham sama sekali. Apa maksudnya Orlan makan makanan milik Everyn.
"Bicara yang jelas. Tenanglah, tidak ada yang perlu dikhawatir. Aku sudah menganggapnmu sebagai adikku sendiri." Kataku, Maggie hanya mengangguk.
"Kak Orlan dia, dia..."
"Tenanglah tak apa, tak biasanya kamu takut seperti ini. Aku akan tanya Orlan kalau kamu masih takut padanya."
"Tidak kak El, itu Everyn, Everyn ... Itu..." Meggie melarangku bertanya pada Orlan. Apa yang terjadi dengan Everyn. Apa dia merindukan Everyn. Mungkin benar, Maggie sedang merindukan Everyn tapi Orlan memarahinya karena tidak boleh meninggalkan rumah.
"Sudah jangan diteruskan, tidak apai, aku sudah tahu maksudmu. Sudah tenang!"
"Benarkah?"
"Iya, jangan bersedih kapan-kapan kamu bisa berkunjung Everyn ke rumah bibi Helena jika kamu rindu dengan Everyn. Lagi pula Everyn tidak akan lama tinggal di sana. Sudahlah tifak apa-apa, di rumah masih ada bibi, Orlan, dan aku."
"Kak El tapi, tapi...!"
"El ayo pulang sayang sudah malam, kamu di mana nak." Itu suara Mama yang memanggilku. Aku langsung mengajak Maggie keluar kamarnya dan menuju ke ruang tamu yang sudah ada bibi, Orlan, Mama, dan papa.
"Kamu ke mana saja lama sekali, ayo pulang!" Seru Mama yang sepertinya marah denganku karena dari tadi Mama mencariku namun tidak menemukanku juga.
"Aku sedang menemani Maggie. Maggie sedih karena ditinggalkan Everyn sendirian. Dan...."
"Ah Sayangku kalau cerita besok saja." Sela mamaku yang sepertinya ingin secepatnya pulang.
"Ah Mama aku mau cerita. Orlan seharusnya kamu bicara yang baik bukan memarahi Maggie, dia hanya rindu dengan Everyn. Aku pulang dulu, ayo mah!" Seruku. Semua tampak lega. Aneh seperti ada yang di sembunyikan dariku lagi, tapi apa?
Aku dan keluargaku kembali ke rumah, seketika hujan turun dengan deras lagi. Ini musim hujan sudah sewajarnya jika langit malam masih turun hujan.
.........***........
Ah rasanya capek sekali, setelah beres-beres aku melihat ke jendela. Walau hujannya tidak sederas tadi tapi masih tetap bertahan turun tanpa henti. Apakah hujannya nanti sampai pagi. Siapa itu yang berdiri di bawah pohon, dia perempuan yang memakai dress biru tua tadi, kenapa dia ada di sana. Tunggu aku harus melihatnya dengan jelas apa dia hantu atau tidak. Jika dia hantu pasti wajahnya rusak dan pucat. Tadi pak Martin dan Mama mengatakan tidak ada tamu yang berkunjung. Dia hanya menunduk di bawah pohon, sepertinya dia sedang berteduh di sana. Apa aku menghampirinya saja.
"Awwww....!" Teriakku karena kakiku menginjak sesuatu yang tajam, dan ternyata itu adalah serpihan kaca bingkai foto yang jatuh dan lupa aku bersihkan. Awww sakit sekali, aku langsung mengambil kotak obat dan mengobati lukaku. Membersikan luka dengan alkohol, mengobati dengan obat luka, dan tidak kueoa memperban kakiku. Aku juga membersihkannya serpihan kaca bingkai tadi. Lalu melihat ke jendela lagi apakah wanita berdress biru tua itu masih di sana. Ternyata sudah tidak ada, apa dia sudah masuk rumah atau hilang seperti hantu. Aku harus melihatnya di ruang tamu, mungkin saja mama mengajaknya ke dalam rumah kalau itu bukan hantu.
Ketika sampai di ruang tamu, lampunya sudah mati. ketika aku nyalakan lampu kembali juga tidak ada siapa-siapa. Apa jangan-jangan benar kalau dia hantu. Kenapa badanku memjadi merinding. Jika dia hantu kenapa ada di rumahku. Apa yang harus aku lakukan untuk mengusirnya.
"Aaaaa...!" Teriakku kaget karena merasakan ada yang menepuk bahuku. Ketika aku membalik tubuhku ke belakang ternyata dia adalah papa. Papa juga kaget karena reaksiku yang berlebihan.
"Ada apa El? Kau seperti sedang melihat hantu saja." Seru papaku.
"Pa, tadi papa melihat wanita memakai dress selutut rambutnya panjang dan dia memakai gelang. Gelangnya berwarna merah, ah tidak gelangnya mutiara merah. Iya iya itu pa!" Tanyaku takut.
"Hah tak melihat tu, kamu nglindur ya, sampai seperti itu." Seru papa sambil berjalan ke dapur.
"Pa aku tidak sedang nglindur, aku serius. Tadi aku lihat dia berdiri di pohon dekat kamarku itu pa. Papa lihat tidak? Itu bukan hantu kan pa." Seruku sambil mengikuti papa ke dapur.
"Tak ada apa-apa El, kamu tadi pasti sedang bermimpi buruk sampai segitunya. Tidsk ada hantu di rumah ini." Jawab papa sambil mengambil air putih dari kulkas dan menaruhnya di gelas. Sepertinya papa tak percaya denganku.
"Pa, aku takut kalau dia benar-benar hantu." Seruku takut. Melihat ke sekeliling dapur takut kalau dia muncul di sini.
"Kamu takut? Sudah besar juga masih takut, sudah sana tidur." Suruh papa lalu berjalan ke kamarnya. Kenapa airnya nggak di minum di sini pasti untuk Mama.
Aku langsung berjalan masuk ke kamarku untuk tidur. Setelah sampai dikamar jantungku langsung bergemuruh, jendela kamar tiba-tiba terbuka. Padahal tadi sebelum aku pergi tertutup rapat. Hujan lagi dengan deras, airnya masuk ke kamar. Aku langsung menutup pintu dan berjalan pelan-pelan takut kalau melihat hantu itu menuju ke jendela berniat menutupnya.
Aku pelan-pelan menutup jendela lalu berlari ke kasur dan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut agar aku tidak bisa melihat hantu itu. Tapi kacamataku mengganggu, aku harus melepasnya saat tidur. Aku coba mengintip dibalik selimut memastikan bahwa tidak ada hantu yang muncul di kamarku. Aku langsung melepas kacamataku dan menaruhnya di meja lalu memejamkan mataku.
........***........
Kring-kring-kring. Suara jam bekerku berbunyi nyaring sekali. Biasanya aku tidak terganggu dengan suaranya. Aku selalu menanggapinya dengan ucapan selamat pagi. Tapi sekarang rasanya malas untuk membuka mata dan menggerakkan badanku. Rasa kantuk masih menyelimuti tubuhku. Jika aku tidak bangun aku bisa terlambat sekolah dan nilaiku bisa berkurang.
......***........
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.......
Happy reading...😪😪
Semoga enggak bosen membaca maupun menunggu cerita ini...😰😰
Butuh vote dan comen dari kalian semua demi kebaikan author agar lebih baik lagi dalam menulis...
Bye-bye😽😽
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro