Episode 02
*KAU SEPERTI KENTANG"
.
.
.
.
........~•°♥°•~.......
Pagi ini aku sudah siap berangkat sekolah, aku pikir sudah cukup aku bercermin dan bergaya sana sini. Emz sudah kelihatan rapi, jangan lupa membawa kacamata.
Aku memakai kacamata karena aku sudah mengidap mata mines sejak lahir. Aku mempunyai gangguan mata rabun jauh dan hari ini sudah bertambah banyak karena aku jarang menggunakan kacamata. Itu sebabnya ke mana-mana aku harus memakai kacamata tidak terkecuali di kelas. Walau memakai kacamata penampilanku tidak terlalu buruk juga, tidak seperti cowok yang terkesan culun dan menjadi bahan bulian anak-anak di sekolahku.
"Selamat pagi ma, pa." Sapaku pada Mama dan papa yang sudah duduk diruang makan.
Karena papa yang selalu berangkat kerja pagisekali jadi Mama harus ekstra bangun pagi demi papa tercinta. Papa jarang lembur kerja karena dia bilang sayang keluarganya, serta tidak mau stres dengan banyak pekerjaan. Papa juga jarang mengeluh tentang pekerjaannya yang banyak, yang pasti papaku dia awet muda, bahkan diusianya yang sudah menginjak 50 tahun dia masih sehat dan tampan. Tidak ada tanda-tanda keriput di wajahnya, mungkin saja ayah sering ke salon kecantikan bareng sama Mama. Apa aku terlalu banyak bercerita tentang papaku, lupakan saja kembali ke aku tentunya.
"El, sudah siap berangkat? Ayo sarapan dulu!'' Seru mamaku yang melihat aku turun tangga. Mau tidak mau, aku harus sarapan mengisi perutku yang kosong keroncongan ini gara-gara tadi malam pulang larut bahkan tidak sempat makan malam.
Aku lalu duduk di kursi depan ibuku. Aku langsung menyantap sarapanku yang dibuat Mama. Ada roti bakar, sosis, telur dan tak lupa lelehan keju mozzarella yang super banyak sekali./Mama suka sekali sama yang namanya benda kuning yang melelah itu. Sebetulnya aku tidak terlalu suka dengan keju marena terlalu gurih di mulutku. Lalu apa boleh buat kalau Mama yang membuatnya, tidak bisa menolak.
"Sayang kenapa pagi-pagi begini sudah siap mau berangkat, ini kan masih jam 7? Tidak biasanya kamu berangkat begitu pagi." Tanya mamaku yang heran dengan aku yang berangkat lebih awal dari biasanya.
Sekolah masuk jam 8 dan aku selalu berangkat jam setengah 8 pagi, jarak Rumah ku juga tidak terlalu jauh butuh 15 menit sampai di sekolah. Aku berangkat pagi jam 7 karena aku mau berangkat bareng Orlan. Aku sudah janji untuk menjemputnya. Yang perlu diketahui jarak Rumah Orlan dengan rumahku dari sekolah lebih jauh rumah Orlan, maka dari itu aku berangkat pagi karena aku harus putar balik dari rumahku ke rumah Orlan yang jaraknya cukup jauh dari sekolah.
"El? Kenapa melamun? Ditanya Mama kenapa kamu berangkat pagi sekali, bukan menyuruh kamu melamun!" Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku karena suara Mama yang mengagetkankanku.
"Siapa yang melamun!" Elakku.
"Ihh tidak mau ngaku." Sanggah Mama yang juga tak mau kalah.
"Kalian berdua ini kenapa? Hahaha Elian terlihat mirip sekali denganmu dari nada bicaranya sampai wajahnya pun mirip denganmu sayang." Seru papa menyamakan kami, padahal jelas-jelas kita ini beda sekali.
"Tentu saja dia adalah anakku yang paling aku sayang." Mama ini terlalu berlebihan kalau menyayangiku, aku tidak suka itu.
"Malah aku terlihat seperti anak manja." Tukasku tersipu malu.
"Hahaha kamu kan anak satu-satunya Mamamu, sudah pantas dia memanjakanmu." Seru papa sambil meminum kopinya sampai habis. Papa sepertinya siap mau berangkat.
"Udah dong jangan bahas itu." Seruku malas membahas sesuatu yang sama terus-menerus.
"Yee anak Mama marah dibilang anak manja, kelihatan kalau masih Anak-anak, hahaha."
"Maaa...!" Tukasku kesal.
"Iya sayang." Akhirnya mengalah juga sama anaknya.
"Ah iya mah Orlan udah pulang lho mah." Kataku memulai obrolan dengan Mama dan papa.
"Hahh apa sayang! Orlan sudah pulang?" Tanya mamaku kaget.
"Iya ma, kemarin El yang bawa dia pulang."
"Syukurlah kalau dia sudah pulang." Mamaku nampak lega dengan ceritaku. Aku juga lega karena orlan sudah pulang.
"Kamu yakin El?" Kali ini papaku yang nampak tidak percaya.
"Iya pa, dua hari yang lalu itu waktu papa dan Mama pergi ke rumah bibi Stella. Waktu malam itu bibi Margaretha meneleponku dia bilang kalau Orlan pergi dengan orang-orang yang memakai jubah merah dan menyuruhku mencegahnya agar Orlan tidak ikut pergi dengan mereka. Aku awalnya tidak perduli tetapi ada rasa yang aneh di hatiku yang entah membuatku merasa bersalah." Aku berhenti cerita karena melihat papa dan Mama yang serius sekali mendengar ceritaku. Aku langsung membuang wajahku ke samping dan tidak memperdulikan mereka berdua.
"Kenapa berhenti sayang, Mama mau mendengarkan ceritamu yang seperti dongeng itu hahahaha." Kata Mamaku yang kelihatan sekali menghinaku.
"Hahaha El kalau cerita panjang sekali, langsung ke intinya aja kalau tak mau telat ke sekolah." Seru papaku memperingatkanku.
"Bully saja terus!" Seruku marah.
"Enggak sayang lanjutin aja ceritanya, Orlan sudah Mama anggap seperti anak Mama sendiri. Margaretha itu sahabat Mama sejak kecil tentu saja mama sayang sama Orlan seperti Mama sayang sama kamu, ayo lanjutin sayang." Perintah mama untuk melanjutkan ceritaku yang terpotong. Sepertinya mereka berdua benar-benar penasaran.
"El nemuin dia di tikungan jalan menuju ke kota lain. Waktu itu muka Orlan pucet banet seperti mayat dan dia diem saja waktu El tanya. Waktu kemaren El datang ke rumahnya, dia bilang kalau dia lupa dengan apa yang dia lakuin kemarin. Parahnya lagi dia lupa dengan semuanya dari namanya sendiri, ibunya, keluarganya, apa lagi denganku. Yang paling aku tidak suka dia panggil aku kentang mah, memang bauku seperti kentang!" Ceritaku panjang lebar, aku tak perduli kalau Mama menganggapnya seperti dongeng. Yang terpenting aku sudah bercerita ke keluargaku.
"Kamu memang bulet kayak kentang, hahaha." Ejek Mama.
"Mahhh! Aku enggak gendut seperti kentang." Seruku manja.
"Hahahaha. Syukurlah jika Orlan sudah kembali, jujur Mama juga khawatir kalau terjadi apa-apa dengannya. Mama enggak habis pikir dengan Orlan sudah jelas-jelas sekte sesat jubah merah itu pengikut ajaran sesat. Kenapa dia masih mau mengikuti yang seperti itu, sebenarnya apa yang dia cari. Mama heran." Seru mamaku heran, aku juga heran kenapa bisa Orlan masuk ke dalam kelompok penganut ajaran sesat. Apa yang dia inginkan coba. Dia dibuat lupa segalanya dan tidak mendapatkan apapun. Meminta kepada iblis itu tidak ada artinya, yang ada hanya penderitaan.
"Mama tau dari mana kalau jubah merah pengikut ajaran sesat?" Tanyaku penasaran kenapa Mama tau kalau si jubah merah pengikut ajaran sesat.
"Dari berita di TV, dulu Mama nonton bareng papa, jangan sekali-kali ikut-ikutan, apa lagi dekat-dekat dengannya Mama tidak suka." Nasehat Mama, aku juga sudah tau ma.
"Lagian siapa yang mau ikut seperti itu, El anak yang taat beragama. El juga sudah tahu kalau jubah merah pengikut ajaran sesat. Seharusnya pihak pemerintah segera membasmi jubah merah, eh bukan semua orang yang membawa aliran sesat. Mereka termasuk pembawa bencana." Seruku menghakimi mereka. Mereka semua harus di basmi karena mengganggu ketenangan manusia.
"Ya bener sayang, harus benar-benar dibasmi sampai tuntas." Seru mama setuju denganku. Aku sama Mama memiliki pemikiran yang sama, tidak heran kalau papa menganggap kami sama, hahahaha.
"Betul ma." Jawabku setuju.
"Kalau begitu nanti malam kita ke rumah Margaretha untuk menjenguk Orlan ya pa?" Tanya Mama pada papa yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Sejak tadi aku cerita papa terlihat aneh sekali.
"Langsung nanti malam mah?" Tanyaku heran, langsung jenguk Orlan. Padahal kemarin aku sudah ke sana, bukanya terlalu cepat ke sana lagi. Ah tapi ini beda karena sama papa dan mama, nanti aku akan beritahu Orlan kalau kami akan menjenguknya.
"Iya dong, lebih cepat lebih baik. Ya kan pah?"
"Ehh, ah i-iya ma..." Jawab papa yang kaget entah apa yang sedang dia pikirkan sampai tak mendengarkan celotehanku dan Mama. Lagi-lagi aneh.
"El berangkat dulu ma pa, El mau jemput Orlan dulu kita mau berangkat bareng ke sekolah." Pamitku pada Mama dan papa.
"Eh bukanya jauh lebih baik kalau Orlan yang jempu kamu. Rumah Orlan lebih jauh dari rumah kita!" Tanya Mama dengan begonya.
"Mah, El tadi sudah bilang kalau Orlan hilang ingatan, mana tahu dia rumah kita." Jawabku malas. Padahal aku sudah cerita panjang lebar, kenapa masih tanya lagi.
"Ehh iya, Mama lupa hehehe. Papa enggak berangkat?" Jawab Mama yang baru inget ceritaku tadi.
"Oh eh iya mah. Papa berangkat dulu." Seru papa kaget, lalu pamit pergi.
"El kenapa masih berdiri di situ katanya mau berangkat?" Tanya Mama heran.
"Setelah dipikir-pikir, El pinjem mobil Mama buat berangkat sekolah. El capek kalau harus naik sepeda ke rumah Orlan lalu ke sekolah. Boleh ya mah?" Pintaku pada mama dengan wajah lesuh.
"Nih kuncinya sayang. Mama akan turutin apa pun yang diminta anak mama, udah sana berangkat."
"Berangkat dulu ma, sampai jumpa." Pamitku pergi ke sekolah.
.......~•°♥°•~......
Aku mengemudikan mobil mamaku berjalan mengikuti arah ke rumah Orlan. Tidak butuh waktu lama aku sudah sampai di depan rumahnya. Aku kemarin pulang lupa membawa kacamataku. Lebih baik aku ambil saja sekalian.
Ternyata Orlan sudah berdiri di depan rumahnya. Mungkin dia sudah lama menungguku. Aku langsung keluar dari mobil dan menghampirinya.
"Hai Orlan, sudah siap berangkat?" Sapaku dengan senyum yang aku buat selebar mungkin.
"Iya. Ini punyamu kan!" Kata Orlan sambil menyodorkan kacamataku yang ketinggalan di rumahnya. Pantas saja tadi malam aku melihat orang seperti melihat setan karena tidak kelihatan.
"Ah iya terima kasih, tapi aku sudah menggunakan kacamataku yang lain. Tidak apa-apa nanti aku taruh di loker saja. Ayo berangkat nanti telat!" Seruku mengajak Orlan berangkat, dia hanya mengangguk setuju.
Kami berangkat dalam keadaan diam, tak ada yang mulai bicara. Biasanya Orlan yang selalu cerewet dan menggangguku tapi sekarang bagaimana, apa aku yang harus cerewet. Itu tidak mungkin, aku bukan tipe orang yang extrovert yang mudah bergaul dengan orang lain. Tapi mau bagaimana lagi, tak ada pilihan lain.
"Orlan, bibi Margaretha ke mana tidak biasanya dia tidak menyambutku ketika aku datang ke rumahmu." Tanyaku memulai obrolan.
"Ah dia sedang, bersama Maggie." Jawab Orlan tenang.
"Ah dia! Kenapa kau sebut ibumu sendiri dia?" Tanyaku heran.
"Ah itu...." Katanya yang terputus, dia lalu diam cukup lama sekali.
"Apa kamu lupa lagi. Dasar bego. Dia itu ibu kamu, kamu harus menghormati dia. Mengerti! Panggil dia ibu." Aku memarahinya karena tidak sopan dengan ibu sendiri.
"Ah iya, tidak akan aku ulangi lagi." Serunya tanpa melihatku. Dari tadi dia selalu memalingkan wajahnya saat aku tatap, kenapa? Kenapa dia tidak mau melihatku sih?
"Apa ibumu sedang mengantar Maggie ke sekolah? Lalu bagaimana dengan Everyn bukanya dia yang harus diantar!" Tanyaku heran Maggie sudah SMP tapi kenapa harus diantar ke sekolah. Seharusnya bibi mengantar Everyn yang masih kecil.
"Kamu banyak bertanya, aku binggung menjawabnya, atau ..." Serunya mengganggu lamunanku.
"Atau apa hah? Hahaha maaf aku terlalu banyak bertanya. Soalnya aku tidak tahu harus bagaimana agar kamu ceria lagi. Seharusnya kamu yang selalu menggangguku dengan pertanyaan yang aneh-aneh, hahaha." Kataku jujur karena aku tidak bisa mencairkan suasana yang canggung antara kami.
"Benarkah?" Tanyanya antusias.
"Tentu saja...!" Jawabku.
"Kalau begitu boleh kalau kau kumakan?" Apakah hanya dengan menghinaku dia jadi semangat seperti ini.
"Hahhh, boleh kok!"
"Kita mulai dari mana..."
"Kita mulai dari aku makan kamu duluan, baru kamu makan aku. Kenapa sih kamu mau makan aku terus, capek tahu dikatai kentang mulu." Jawabku dengan wajah cemberut.
"Aku serius!"
"Aku juga. Aku tak mau dikatain kentang lagi. Nah kita sudah sampai. Ayo keluar dari mobil sekarang. Kok malah diem sih. Ayo ayo ayo!" Orlan langsung keluar mobil dan menghampiriku yang berdiri di depan mobil.
.......~•°♥°•~......
Sebelum masuk kelas aku mengantar Orlan ke kelasnya. Aku duduk di kursi seperit biasa bersama Ned. Tidak lama Mr. J datang dan mulai memberikan pembelajaran biologi yang aku suka. Dia menjelaskan tentang tumbuhan jamur dari macam jenisnya, ciri-ciri nya sampai nama latinnya dengan jelas.
Tapi lama kelamaan ada yang aneh, kenapa tiba-tiba Mr. J terlihat buram dan semua pandanganku terlihat semakin tidak jelas. Padahal aku sudah memakai kacamata. Aku mencoba melepas kacamataku kemudian memberishkan kedua mataku dengan pelan agar tidak sakit. Aku berusaha membuka mataku kembali. Masih terlihat buram. Aku berusaha mengambil kacamataku di meja dan hilang entah ke mana. Aku mencoba mencari dengan meraba-raba mejaku dan menyipitkan mataku agar pandanganku lebih jelas, namun nihil tak ku temukan kacamataku.
Aku berusaha melihat ke depan dan gelap, kenapa gelap sekali. Apa yang terjadi denganku? Semua tolong aku kenapa gelap sekali. Ned kamu ke mana, kenapa semuanya hilang. Gelap, kenapa hanya aku yang ada disini. Siapapun tolong aku, jawab aku.
Oh tidak, apa yang sebenarnya terjadi, kenapa tiba-tiba jadi gelap seperti ini. Aku takut, tolong aku. Aku sudah mulai menangis, air mataku tiba-tiba jatuh. Apa aku sedang pingsang, jelas-jelas aku sedang mendengarkan Mr. J yang sedang menerangkan materi di depan.
Aku masih sibuk dengan pikiranku. Tiba-tiba aku melihat setitik cahaya putih yang samar, apa karena aku tidak menggunakan kacamata jadi terlihat buram dan samar. Aku perlahan-lahan berjalan menuju cahaya itu, mungkin saja jika aku sampai ke sana aku akan sadar kembali.
Semakin lama semakin besar cahaya itu. Aku sudah sampai di depan cahaya yang besar itu. Aku memberanikan diri memasuki cahaya yang terlihat samar, tapi cukup menerangiku. Di sepanjang jalan semakin lama aku masuk terlihat banyak kaca-kaca yang menjulang tinggi. Tinggi cermin itu sebadanku, namun tidak memantulkan bayanganku sama sekali. Aneh sekali pikirku.
Semakin lama, semakin aku melihat banyak kaca yang retak dan hampir hancur. Aku berhenti dari langkahku karena melihat pintu merah yang berdiri kokoh di depanku. Aku berusaha memberanikan diri membuka pintu merah yang tinggi dan besar itu. Namun tak kunjung terbuka. Aku melihat ke samping di mana ada cermin yang memantulkan bayanganku. Di sana aku bisa melihat dengan jelas pantulan. di belakang terlihat cahaya lilin merah tiba-tiba menyala menerangi sebuah kamar kecilbyang anehnya api lilin itu berwarna merah pekat. Membuat kamar itu terlihat temarau dan hampir tak bisa aku lihat karena keadaan mataku yang tidak memakai kacamata.
Aku berbalik melihat ke belakang, ternyata aku sudah berada di sebuah kamar. Namun aku tidak bisa melihat dengan jelas. Ketika berbalik lagi cermin tadi sudah hilang entah ke mana. Sekarang aku terkurung sendirian di kamar ini.
Aku berkeliling melihat kamar itu hingga sampai ke depan jendela yang tertutup gorden dengan rapat. Tiba-tiba terdengar suara jeritan anak kecil di belakangku, sontak aku kaget lalu memalingkan wajah dan badanku ke belakang. Melihat anak kecil yang sedang menangis, rambutnya pendek sebahu dan memakai pakaian berwarna pink. Aku melihat itu semua walau terlihat samar, aku harus menyipitkan mataku agar terlihat sedikit jelas. Tapi aku tidak bisa mengenali anak itu.
Aku kaget sekali dia berteriak dengan keras ke arahku. Aku berusaha tegar dan mendekati anak itu, namun dia terus saja mundur menjahuiku.
"Tidakkkk, jagan mendekat? Kumohon pergilah, pergi!" Teriak anak itu ketakutan, keadaan anak kecil itu acak-acakan.
Kenapa dia menolakku saat aku mendekatinya, ada apa sebenarnya. Aku tidak akan menyakitimu, aku hanya ingin menolongmu. Entah kenapa kalimat itu tak terdengar olehku, jelas-jelas aku mengungkapkanya dengan bibirku. Sampai aku mengulanginya beberapa kali dan menyentuh bibirku yang komat Kamit, tetapi tetap saja suaraku tidak mau muncul. Sebenarnya apa yang terjadi, apa ini mimpi. Kenapa aku tidak bisa bangun jika ini hanya sekedar mimpi.
"Aaaaaa.... Tidakkkk.... Aku mohon jangaaaan...." Teriak anak kecil itu lagi. Dia sunguh sangat ketakutan, bahkan sudah menangis sesenggukkan.
Sontak aku kaget dengan teriakannya yang memekakakkan telingaku. Sampai aku harus menutup telingaku dengan ke dua tanganku. Mataku terpejam erat sambil menunduk ke bawah untuk meredakan jeritan itu. Jeritan itu semakin menjadi dan aku berusaha melihat anak kecil itu. Berniat menolongnya namun, tidak! Apa itu? Menakutkan.
Di depan anak itu ada sebuah bayangan hitam, tangannya panjang dengan kuku yang runcing dan panjang. Dia seperti laki-laki yang jangkung penuh lendir hitam dan apa itu? Ekor? Dia memiliki tiga ekor yang runcing seperti ekor ular atau apalah itu. Sebenarnya makhluk apa itu menakutkan sekali.
Aku harus menolong anak itu dari makhluk hitam menyeramkan itu tapi kenapa tubuhku tidak bisa bergerak. Arghhh kenapa kakiku berat sekali tidak bisa bergerak. Mulutku juga terasa kaku dan tak bisa berbicara. Apa yang terjadi kasihan anak wanita itu, siapapun tolong dia. Makhluk hitam itu langsung menusuk tangannya ke dalam perut anak itu dan sontak anak itu menjerit kesakitan. Lihat di kepalanya keluar dua tanduk yang besar dan panjang. Astaga makhluk apa yang aku lihat ini.
"Aaaaa... sakit.... Tidakkkk!" Jeritnya yang memilukan.
Kemudian digigitnya pundak kiri anak itu dan ditarik sampai terlihat sesuatu cahaya biru yang keluar dari leher anak itu kemudian masuk ke mulutnya. Walaupun makhluk itu membelakangiku tapi aku pastikan cahaya biru itu masuk ke mulutnya.
Seketika anak itu jatuh tidak sadarkan diri. Aku berusaha memanggilnya namun nihil, suaraku tak juga mau keluar.
"Hei...nak...hei...nak...hei...hei...nak...sadarlah!" Tetap saja suaraku tidak mau keluar.
Makhluk hitam itu mendekati tubuh anak kecil itu yang tergeletak di lantai. Dia mulai menggoreskan kuku runcingnya dari ujung dada sampai ke perut dan sontak cairan merah keluar membanjiri lantai sampai ke kakiku. Tubuhku mulai kejang takut dan merinding karena melihat pemandangan menjijikan dan menakutkan itu. Apa lagi darahnya sampai ke kakiku.
Kasihan sekali anak itu. "Hentikan itu... apa yang kau lakukan, kejam sekali kau lakukan itu kepada anak kecil yang malang ini...Hei hentikan itu...Kumohon hentikan!" Teriakku yang pilu melihat makhluk itu mengaduk-aduk isi dalam tubuh anak kecil itu tanpa belas kasih.
Air mataku mulai tumpah, aku berusaha menggerakan tanganku dan menutup mulutku yang mulai sesenggukan menahan tangisanku. Makhluk itu menarik jantung anak itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya yang lebar. Giginya panjang dan runcing terbuka lebar lalu melaham jantung itu dua kali kunyahan. Aku yang melihat kejadian itu sontak menjerit "Tidakkkk....!" Karena aku sudah tak tahan melihat aksi brutal pembunuhan yang sadis dan tidak masuk akal ini.
Entah mengapa suarku bisa terdengar oleh telingaku. Setelah menjerit, aku terkaget melihat makhluk itu berhenti bergerak dan pelan-pelan memutar kepalanya melihat ke arahku. Aku kaget melihat kedua bola matanya berwarna merah.
Bibirnya yang lebar tersenyum dan berkata, "Kau melihatku kan... Hehehe...." Apa dia sedang bicara denganku?
"Kau bisa melihatku kan...hehehe...." Dia mengulang kalimat itu dan berlahan mendekatiku, oh Tuhan, aku mohon tolong aku.
"Kau melihatku kan, E-l-i-a-n...!" Dia semakin mendekat, aku takut sekali air mataku mengalir dengan deras. Aku sampai berkeringat dingin, tubuhku mematung. Oh tidak, dia tahu namaku, siapa dia? Aku mohon jangan mendekat.
"Hehehe... Elian...Eliaaan... Elian...Elian!" Oh tidak jangan mendekat, pergi! Pergi! Pergi! Jangan panggil namaku, pergi! Kumohon jangan mendekat.
"Haaaaaaa.....!" Teriakku kencang.
"Woi, Elian! Elian! E-l-i-a-n ba-ngun, Elian bangun woi pelajaran Mr. J udah selesai!" Aku membuka mataku dan aku melihat wajah Ned yang terlalu dekat dengan wajahku. Aku langsung menegakkan tubuhku.
"Argh, apa ini. aku tertidur!" Teriakku heran. Tidak biasanya aku tertidur di kelas.
"Yaelah, dari awal pelajaran juga sudah molor!" Seru Ned memberitahuku yang sebenarnya.
"Benarkah!" Kataku kaget, bagaimana aku bisa ketiduran saat pelajaran.
"Kamu semalam ngapain sampai ketiduran, bergadang mikirin Erisha hahhh?" Tanya Ned penasaran.
"Enggaklah!" Sangkalku. Semalam Erisha tidak mengirimkan pesan apapun padaku.
"Lalu kenapa bisa ketiduran, kamu tidak pernah tidur saat pelajaran. Untung saja kamu anak kesayangan Mr. J, jadi dia tidak marah padamu karena tidur di jam pelajarannya. Mr. J juga mengatakan mungkin kamu kelelahan belajar tadi malam. Enak ya jadi murid kesayangan guru, tidak perlu susah dimarahi." Seru Ned yang tidak aku perdulikan.
" Emmz, lalu tugas biologinya bagaimana? Sudah dikumpulkan?" Tanyaku panik.
"Tentu saja sudah." Seru Ned santai. Mr.J tidak pernah mau menerima pekerjaan yang telat dikumpulkan.
"Tapi aku belum mengumpulkan tugasku, bagaimana ini!" Seruku panik, lalu mengacak-acak tasku.
"Tenang saja, waktu kamu tidur Mr. J menyuruh aku mengambil buku tugas biologimu dan mengumpulkannya tanpa membangunkanmu. Sudahlah jangan dipikirkan lagi semua sudah beres terkendali. Ini aku punya permen makanlah biar kamu tidak ngantuk lagi." Seru Ned yang membuat hatiku tenang, aku bisa terhindar dari masalah. Aku termasuk anak yang tertib peraturan Sekolah, aku tak mau mengotori namaku di BK.
"Terimakasih Ned, kamu temanku yang paling hebat!" Ucapku berterima kasih kepada Ned teman setiaku. Aku sungguh-sungguh lega sekali.
"Tentu saja siapa dulu!" Jawab Ned bangga.
"Bagus... Bagus... Bagus... Terima kasih ya..." Pujiku. Ned malah tersenyum bangga. Aku senang ada Ned di sisiku yang bisa aku andalkan.
Aneh kenapa aku bisa ketiduran di pelajaran pertama, ini masih pagi. Padahal tadi aku semangat sekali berangkatnya, kenapa bisa ketiduran. Bermimpi menakutkan lagi. Pertanda apa ini? Semoga saja hanya bunga tidur, semoga saja.
.......~•°♥°•~.......
Waktu pulang sekolah sudah tiba. Aku dan Ned keluar kelas bersama, aku mengajak Ned menemui Orlan di kelasnya. Ternyata Orlan masih asik ngobrol dengan teman sekelasnya, yaitu Robert, Erick, dan Keyle. Kami langsung menghampiri mereka dan ikut mengobrol bersama mereka. Kami sudah mengenal dekat sejak lama, jadi tidak canggung kalau mau nimbrung obrolan mereka.
"Hai Orlan, hai Semua! Lagi ngobrolin apa sih?" Tanya Ned langsung duduk di kursi sebelah Orlan. Aku langsung duduk bersandar dekat meja agar pas membentuk lingkaran, Hahaha biar tidak dicueki. Aku sering dicuekin kalau kita sedang berkumpul seperti ini. Jika tidak dicuekin pasti dikerjain.
"Baik dong! Kenapa kau tambah gendut Ned? Hahaha." Seru Erick sambil tertawa puas membully Ned. Aku juga menahan tawa bersama temanku yang lain, Hahaha.
"Yang terpenting tidak sekurus dirimu. Hanya sekali tertiup angin langsung hilang!" Jawab Ned membalas Erick. Hahahaha kami tertawa keras mendengar perkataan Ned yang lucu itu.
Aku melihat Orlan, kenapa dia tidak tertawa? Dia terlihat hanya tersenyum tipis yang terkesan dipaksakan. Apakah dia tak nyaman dengan mereka. Mengingat Orlan yang lupa tentang mereka semua. Dia hanya menanggapi dengan senyuman yang dirasa sesuai dengan yang lainya. Bukanya aku sudah menjelaskan kalau dia dulu nakal, ugal-ugalan, jahil, pemarah, suka berantem, pokoknya yang jelek-jelek ada pada dirinya. Seharusnya dia bisa mengekspresikan diri seperti apa yang aku katakan atau sekedar menanggapi percakapan mereka. Ah sudahlah jangan dipikirkan.
"Ayo, hari ini kita merayakan kembalinya Orlan. Kita pergi ke kafe nightclub, di sana makanannya enak ditambah banyak alkohol dan bir. Kita bisa puas mabuk di sana, hahaha." Ajak Erick semangat. Dia orangnya senang sekali dugem tidak heran kalau dia sering mengajak yang lain minum-minum.
"Ini hari apa wow inget! Masih hari Kamis sudah mau mabuk-mabukan, kalau ketahuan guru bagaimana. Habislah kita!" Timpal Keyle, wanita yang duduk sebangku dengan Orlan. Sejak Orlan menghilang dia jadi duduk dengan Erick yang sama ugal-ugalannya seperti Orlan yang dulu. Dia tipe wanita yang nakal tapi baik dan perhatian, tak heran banyak yang suka dengannya.
"Yah tidak masalah, sesekali kita bolos sekolah bersama-sama hahaha."
"Aku tidak mau." Tolakku, aku tidak suka temat ramai dan remang-remang itu.
"Kenapa?" Tanya Orlan. Akhirnya dia mau bicara juga.
"Elian dia anak culun, mana berani dia minum alkohol, hahaha." Ejek Erick langsung menusuk hatiku. Rasanya sakit sekali dikatain anak culun.
"Eittt bukanya aku tidak berani. Kita masih di bawah umur sudah sepantasnya aku menolak. Lagian siapa yang kamu panggil culun. Bukan berarti berkacamata itu culun!" Timpalku marah.
"Iya aku tahu, begitu saja marah hehehe." Jawabnya menyesal. Aku tau itu penyesalan palsu.
"Bagaimana? siapa yang mau ikut?Ayo ayo!"
"Aku ikut!" Teriak Ned semangat, ternyata walau gendut Ned juga suka minum bir dan alkohol.
"Aku juga...!" Seru Robert yang juga ikutan. Robert dia lebih pendiam dibanding Ned, tapi lebih baik dia dibandingkan denganku. Kita sama-sama anak pintar dan teladan. Terkadang kita ikut terkadang juga tidak, tergantung situasi dan kondisi.
"Boleh deh ikut!" Akhirnya Keyle juga ikut nimbrung, ternyata banyak orang yang mau ikut.
"Kalau ditraktir aku ikut dong!" Tambah Ned meminta geratisan.
"Ahh kamu maunya yang gratisan." Timpal Erick mengajak debat dengan Ned, mereka kalau bertemu suka berantem, seperti kucing dan tikus.
"Nyadar diri, kamu juga."
"Orlan harus ikut, ini hari perayaan kedatamganmu. Bosnya harus datang. Berarti yang tidak ikutan cuma Elian, yakin Elian tidak mau ikut?" Tanya Erick padaku yang langsung aku jawab sinis.
"Ogah!" Tolakku.
"Berarti Elian yang tidak ikut, sekarang ayo kita pergi ke Nightclub." Apaan kenapa hanya aku yang tidak setuju, tak ada yang membantuku.
Aku langsung melihat Orlan apakah dia beneran ikut, padahal aku mau bilang kalau nanti malam papa dan mamaku akan ke rumahnya. Apakah harus batal gara-gara Orlan tidak ada di rumah. Tapi tidak apa-apa jika Orlan ikut pergi bersama mereka, dia mungkin akan lebih mudah mengingat masa lalunya. Masa lalu, padahal baru beberapa hari menghilang.
"Tunggu! Aku tidak ikut!" Seru Orlan tiba-tiba, semua langsung mlongo mendengar pernyataan Orlan.
"Kenapa lan?" Tanya Robert unjuk diri untuk berbicara.
"Kalau Elian tidak ikut aku juga tidak!" Katanya menolak dengan telak.
"Kenapa kamu ikut-ikutan Elian, kalau bosnya enggak ikut siapa yang bakal bayar!" Seru Erick kecewa.
"Maaf, aku tidak ikut!" Tukas Orlan lagi dengan nada sedikit lembut.
"Hahhh, maaf?" Tanya Erick heran, aku langsung melotot padanya saat dia melihatku. Seketika dia langsung paham.
"Kenapa, ada yang salah?" Tanya Orlan binggung.
"Hahaha, tidak ada apa-apa kok, hahaha tidak ada apa-apa kan Elian! hahaha." Jawab Erick canggung.
"Aku lupa mau ngomong sesuatu padamu, Lan!" Ucapku pada Orlan, dia langsung menatapku. Tetapi secepat kilat memalingkan wajahnya enggan melihatku. Dia kenapa sih.
"Ngomong apa?" Tanyanya masih melihat ke depan tanpa melihatku yang ada di sampingnya.
"Ciee yang mau nembak!" Kenapa Erick selalu ikutan bicara, mengganggu saja.
"Hahaha cie cieee." Yang lain malah ikut-ikutan.
"Hei apaan, jangan bercanda!" Tukasku menahan emosi.
"Hahaha, baiklah baiklah. Lanjutkan!" Seru Erick yang mengedipkan mata ke teman-teman yang lain, bodo amat dengan mereka.
"Nanti malam Mama sama papaku akan datang ke rumahmu. Mereka mau menjengukmu." Seruku pada Orlan yang terlihat tenang.
"Wah langsung melamar nih ceritanya. Hahahaha." Timpal Erick lagi.
"Astaga, kalau ngomong lagi aku pukul mulutmu pake buku jika tidak bisa diam!" Marahku pada Erick sambil mengangkat bukuku, bersiap kalau dia mau menyela lagi.
"Hahaha ada yang marah nih!" Serunya pelan sambil cengengesan.
"Jenguk-jenguk memang sakit!" Bisik Erick dengan yang lain.
"Iya sakit! Sakit hati! Hahaha!" Ned juga ikut-ikutan.
"Sini kamu, sini kamu, sini!" Plakkk plakkk plakkk, aku memukul mereka satu persatu dengan bukuku.
"Auw... Auw... Auw... Sakit ampun... Ampun... Ampun... Please jangan... Ampun... Hahaha." Teriak mereka memohon ampun padaku dengan nada cengengesan. Kalian bohong minta maafnya aku tahu itu.
"Aku kena juga! Padahal aku diem." Tukas Robert mengelus kepalanya sakit karena aku pukul dengan buku.
"Bisa enggak sih tidak nyela jika ada orang lagi ngomong, hahh?" Tanyaku marah, sudah tak bisa menahan emosi lagi.
"Iya iya iya, maaf!" Jawab mereka mengaku salah.
"Hahaha!" Tawa kami bersama kecuali Orlan. Dia hanya melihat kami dengan senyum sinisnya itu. Kenapa dia begitu sih.
"Kenapa papa dan mamamu datang menjengukku, aku tidak sakit. Tidak perlu datang, tidak apa-apa kok."
"Heiss, kamu lupa? Keluarga kita sudah bersahabat sejak lama, sudah sewajarnya Mama dan papa menjengukmu yang sudah lama menghilang digondol orang." Kataku.
"Oh begitu!"
"Jadi Elian tidak mau ikut karena ada kencan keluarga toh." Sela Erick lagi.
"Iya emang kenapa?" Tanyaku sinis.
"Kalau gitu pestanya diundur saja hari Sabtu, sekalian liburan bagaimana?" Usul Erick untuk menunda acara minum-minum nanti. Ini anak masih ngeyel mau dugem terus.
"Aku setuju-setuju saja!" Seru Keyle setuju.
"Boleh juga, baguslah aku nanti akan dimarahi oleh mamaku kalau pulang telat." Seru Robert yang juga setuju. Ini memang sudah resiko berteman dengan anak ugal-ugalan. Sabar sabar.
"Setuju, lagian yang mau mentraktir Orlan, aku nurut saja." Seru Ned yang biasa minta gratisan karena dia suka makan dan ngemil.
"Yeee yang suka gratisan!" Ejek Erik lagi.
"Hahaha!" Tawa kami lagi.
.......~•°♥°•~.......
Tidak terasa hari sudah hampir senja. Kami semua berpamitan pulang. Aku langsung mengajak Orlan pulang. Aku mengantarnya ke rumah. Ketika di mobil aku sempatkan bertanya denganya, apakah dia sudah hafal dengan jalan ke sekolah atau belum. Jika belum aku bisa menjemputnya lagi.
"Orlan, kamu sudah tahu jalan ke sekolah? Kalau sudah, kamu bisa berangkat sendiri atau menjemputku ke rumahku kalau bisa. Eh tunggu, kau belum tahu rumahku kan! Aku sampai lupa, baiklah aku akan tunjukan rumahku. Agar kamu bisa sedikit mengingat masa lalu kita sejak kecil, hahaha. Mengingatnya membuatku tidak bisa berhenti tertawa, hahaha."
"Ah masa kecil, sepertinya menyenangkan!" Seru Orlan tersenyum lebar atau bisa dibilang seringai yang lebar. Kenapa Orlan bertingkah seperti itu, apa jangan-jangan.
"Elian?" Tanya Orlan yang langsung membuatku tersadar, oh apa aku melamun dalam keadaan menyetir. Untung saja jalanya sepi, jadi tak ada yang bisa aku tabrak.
"Ah iya, maaf aku melamun tadi. Terima kasih sudah mengingatkanku!"
"Aku lapar, ingin makan!" Serunya sambil mengusap-usap perutnya.
"Ah lapar, kamu mau makan apa, daging atau apa?" Tanyaku menawari.
"Iya aku mau makan daging!"
"Ahh baiklah aku tahu restauran daging di sekitar sini yang enak, nah itu dia untung kamu bilang sebelum melewatinya. Hahaha." Kataku yang membuatku berhenti bernafas. Kenapa, karena Orlan menatap mataku dengan tajam dengan senyum seringnya yang menakutkan itu. Seketika hawa dingin menerpaku, rasanya menakutkan sekali sampai keringat dingin membanjiri tubuhku. Apa yang terjadi denganku?
"Ada apa? Apa kau ingin memakanku, hahaha." Candaku yang garing karena takut melihat tingkah Orlan yang aneh.
"Tentu saja!" Serunya semakin mendekatiku, oh kenapa jantungku berdetak kencang sekali. Tok-tok-tok, itu suara kaca jendela mobilku yang diketuk. Aku langsung memalingkan wajahku dan membuka kaca mobilku.
"Permisi tuan, bisakah anda minggir sebentar. Mobilmu menghalangi mobilku ke luar!" Seru wanita cantik yang mengetuk kaca mobilku tadi.
"Ah iya maaf!" Jawabku meminta maaf, aku langsung menutup kaca mobil dan memajukan mobilku ke tempat parkiran yang kosong. Aku langsung mengajak Orlan ke luar tanpa melihatnya. Dari ekor mataku terlihat Orlan yang masih menatapku dengan tajam, kenapa aku begitu takut dengan tatapannya.
Kami langsung keluar dan mendahuluinya berjalan. Sedangkan Orlan mengekor di belakangku masuk ke restoran. Sampai kami mendapat tempat duduk, Orlan lalu duduk di depanku. Kenapa harus di depanku, aku takut dengan tatapannya. Tadi aku penasaran kenapa Orlan tidak mau menatapku ketika bicara denganku, tapi ketika dia sudah mau menatapku malah aku ketakutan. Seperti ada hawa aneh yang menyelimuti matanya yang membuatku takut.
Tuan ini buku menunya, Anda mau pesan apa?" Tanya pelayan yang mengagetkanku. Aku rasa pelayan itu juga mengetahui tingkahku yang terkejut oleh sapaanya.
"Anda tak apa-apa?" Tanyanya melihat tingkahku yang aneh.
"Tak ada. Ini aku pesan dua daging sapi panggang dan jus lemonnya dua."
"Itu saja! Baiklah pesanan akan segera tiba dalam waktu lima menit. Terimakasih atas kunjungan Anda." Ucap pelayan dengan ramah lalu berlalu pergi.
"Ah iya." Jawabku sambil tersenyum, pelayanan di restoran ini memang ramah.
Sekarang Orlan masih saja menatapku begitu. Kenapa dia tiba-tiba menjadi berubah apa yang sedang terjadi pada dirinya. Matanya terlihat hitam? Eh tunggu hitam? Warna mata Orlan sejak dulu hijau. Aku jadi ingat waktu bertemu denganya pada malam itu, matanya juga berwarna hitam. Apa benar dia Orlan? Jika benar dia Orlan, kenapa matanya berbeda, di mana Orlan? Lalu siapa dia?
"Elian, kau tidak Apa-apa kan? Apa kau takut padaku. Hahahaha, aku cuma bercanda, ternyata kamu bisa ditipu juga." Serunya sambil tertawa lantang.
Apa ini dia menipuku, bagaimana bisa? Aneh, nyatanya aku merasa takut sekali berada didekatnya. Apa benar dia Orlan? Atau jangan-jangan hanya aku yang sedang berpikir aneh saja. Tentu saja dia Orlan, kenapa aku berfikir kalau dia bukan Orlan. Buang jauh-jauh pikiran itu.
"Ah tentu saja, aku takut sekali! Aku pikir kau akan membunuhku tadi. Aku pikir kamu bukan Orlan, mungkin saja tadi aku salah jemput orang hahaha." Jawabku mengelak dengan pikiranku yang berkata lain.
"Hahaha. Kamu lucu sekali! Aku jadi suka denganmu. Hahaha!" Serunya sambil tertawa keras. Dia bilang apa? Aku lucu! Lucu dari mana?
"Ah kamu bisa saja, lucu dari mana. Sudah besar masih dipanggil lucu. Hahahaha!" Kataku mengelak sambil tertawa canggung.
"Kamu benar-benar lucu dan gemesin!" Iyuh gemesin katanya, kenapa lama-lama aku jadi jijik dibilang imut dan gemesin. Orlan kenapa, apa dia kesambet saat bersama jubah merah itu? Mungkin saja hahahaa.
"Ini pesanan anda, dua daging sapi panggang dan dua jus lemon. Semua sudah tersaji di depan anda. Selamat menikmati." Seru pelayan menata pesanan kami di meja dengan sapaan ramah seperti tadi.
"Iya terimakasih!" Jawabku sopan.
"Sama-sama." Jawabnya berlalu pergi.
"Ayo makan!" Aku mengajak Orlan memakan daging sapi panggang yang aku pesan. Kami lalu melahap makanan kami dengan tenang sambil sesekali melihatnya dan tersenyum manis. Dia juga membalas dengan senyum manis. Setelah selesai makan kami pulang. Aku menunjukan rumahku pada Orlan seperti janjiku tadi.
Aku mengantar Orlan sampai ke depan pintu rumahnya. Aku berpamitan pulang dengan Orlan dan bibi Margaretha yang baru keluar rumah. Bibi terlihat lelah karena banyak pikiran atau pekerjaan mungkin. Dia terlihat pucat sekali. Sebelum pulang aku berpesan pada bibi Margaretha kalau nanti keluargaku akan mengunjunginya. Bibi terlihat keberatan namun Orlan mengijinkan keluargaku berkunjung ke rumahnya. Setelah itu aku baru pulang ke rumah.
......~•°♥°•~......
.
.
.
.
.
To be continue
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro