Episode 01
*Orlan Kembali*
.
.
.
.
......~•°♥°•~.......
Namaku Elian Hemswarth, sekarang aku mau berangkat sekolah tapi sudah disuguhi pemandangan kedua orangtuaku yang selalu bermesraan. Aku iri dengan kemesraan yang mereka lakukan, bagaimana mama dan papa selalu bisa tersenyum dengan sayang.
Setelah melihat kemesraan kedua orang tuaku yang membuatku merasa iri, akhirnya aku telah sampai di sekolah dan bertemu dengan teman-teman sekelaku. Aku hampir lupa tentang Orlan, bagaimana keadaannya setelah kejadian semalam itu aku sangat mengacuhkannya.
Aku sadar apa yang aku lakukan tadi malam, karena aku sudah dibatas emosiku karena Orlan yang keras kepala dengan semua nasehat yang aku berikan. Biasanya dia tak senekat itu, dia selalu menuruti apa yang aku katakan. Tapi sihir apa yang bisa merubahnya, aku tidak tahu. Pusing kalau memikirkan anak itu.
"Elian, kenapa pagi-pagi sudah muram. Serem tahu, hehehe." Aku tau siapa yang bilang itu, dia pasti Ned Olesch teman sekelas sekaligus sebangkuku. Dia kemudian duduk di meja sambil mengambil snack yang di bawanya.
"Baru datang Ned?" Tanyaku malas.
"Ehh, kamu saja yang terlalu rajin datang pagi, maaf ya aku tak serajin kamu!" Jawab Ned duduk disampingku sambil membuka snack yang baru saja diambilnya, lalu memakannya dengan lahap.
"Kau kenapa? Apa karena Orlan lagi?" tanya Ned padaku, entak sejak kapan dia memperhatikanku.
Biasanya dia tidak perduli dengan urusan orang lain termasuk aku teman dekatnya sendiri. Kalau di pikir-pikir aku memang selalu memikirkan Orlan akhir-akhir ini. Sifatnya yang berubah membuatku sedih dan kecewa, tapi aku harus apa lagi. Orlan adalah temanku sejak kecil sampai sekarang, kita selalu bersama.
Selalu berbagi canda tawa, kebahagiaan, bahkan apa pun kami selalu berbagi kecuali kekasih tentunya. Kami sangat dekat karena keluargaku dan keluarga Orlan adalah sahabat dekat, mau tak mau kita harus dekat juga.
"Hei, ditanya kok malah diem?" Tanya Ned yang membuatku kaget karena sedari tadi aku tidak sadar jika sedang melamun.
"Hehehe...maaf! Soalnya tadi lagi kepikiran sesuatu." Jawabku bingung.
"kata Keyle, Orlan tidak masuk lagi, ini sudah kelima kali lho Orlan tidak masuk. Sebenarnya apa sih masalahnya sampai kamu juga menanggung bebannya?" Tanya Ned lagi ingin tahu.
Entahlah aku juga tidak tahu apa masalahnya, soalnya Orlan itu tipe orang yang kalau punya masalah selalu ditanggung sendiri, dia seperti tidak pernah percaya padaku sahabat sejak kecil. Sebenarnya aku tahu itu jika Orlan sedang menyembunyikan sesuatu, namun aku tak mau mengganggu privasi orang apa lagi sahabatku sendiri. Orlan tipe orang yang ceria, humoris, nakal, mudah sekali bergaul, dan baik juga. Namun dia tertutup kalau punya masalah, sekecil apapun itu masalahnya.
"Entahlah aku juga tak tau." Hanya jawaban itu lah yang bisa aku ucapkan, walau aku begitu dekat dengan Orlan namun sampai sekarang pun aku tak bisa memahaminya.
"Apa yang harus aku lakukan ya? Aku benar-benar sahabat yang tidak berguna." Kataku, entah begitu saja keluar dari mulutku.
"Belikan dia makanan kemudian datangi dia. Semenjak kalian marahan waktu itu kalian semakin terlihat seperti musuh bukan sahabat lagi. Jangan egois, egois hanya akan membuatmu semakin masuk ke dalam jurang kebencian." Jawab Ned yang bijak, tumben nih anak bijak sekali orangnya. Biasanya juga makanan yang selalu dipikirkannya.
Apa aku yang sebenarnya terlalu egois. Apa aku yang selalu ingin menang dari Orlan? Apakah aku yang harus selalu dipatuhi? Mungkin aku benar-benar egois. Kalau begitu aku akan kerumahnya setelah pulang sekolah nanti untuk meminta maaf atas keegoisanku.
"Nanti temani aku kerumahnya, aku tidqk tau harus ngomong apa nanti dengannya." Aku meminta Ned menemaniku mengunjungi rumah Orlan, jujur aku merasa bersalah dengan keluarganya Orlan karena kejadian malam itu. Yang sudah terjadi biarlah terjadi, tidak perlu disesali. Aku berusaha menyemangati diriku sendiri.
"Yang punya masalah siapa sih? Maaf, aku nanti harus jaga toko ayahku. Kalau minta bantuan lihat-lihat dulu dong. Bukanya aku tak mau membantumu, kamu sendiru sudah tahu jadwalku kerja membantu ayahku. Jadi, maaf hari ini aku tak bisa." Jawab Ned dengan lantang. Aku lupa kalau dia juga sering membantu ayahnya menjaga toko. Ah aku tak punya alasan lagi untuk ke rumah Orlan.
.....~•°♥°•~.....
Setelah pulang sekolah aku sudah mampir membeli makanan ringan entak bagaimana aku sudah ada di depan rumah Orlan. Aku gugup sekali. kenapa aku harus segugup ini, padahal aku bukan sedang melamar Erisha. Kenapa malah membahas Erisa kekasihku. Apa karena terlalu merasa bersalah aku menjadi gugup seperti ini.
Tenanglah, sekarang tarik nafas yang dalam lalu hembuskan. Sekarang aku sudah sedikit tenang. Aku harus berani minta maaf dengan Orlan. Jika dia menolakku lagi aku harus pasrah kalau kita tidak cocok lagi untuk bersahabat, walau tidak bersahabat mungkin kita bisa berteman saja. Sekarang ketuk pintu rumahnya dulu.
Knock knock knock!, "Permisi bibi Margaretha!" sambil mengetuk pintu tiga kali lagi.
Tidak berapa lama menunggu, pintu pun dibuka oleh bibi Margaretha ibunya Orlan yang kemudian keluar menyambutku. Namun dari ekspresi wajahnya terlihat sedang sedih, apa mungkin gara-gara kejadian kemarin, Ah lupakan-lupakan. Bibi hanya diam sambil memandangku sedih, aku juga diam. Aku bingung harus bicara apa karena aku merasa sangat bersalah dengan bibi.
"Elian!" tiba-tiba bibi memanggilku dengan nada lesuh. Aku jadi merasa bersalah.
"Iya bibi Margareth." Jawabku pelan, aku tidak ingin menyinggung perasaan bibi Margaretha yang baik itu.
"Kamu datang ke sini ingin bertemu Orlan kan? Ayo masuklah, pasti dia senang melihatmu." Kata bibi dengan lembut. Kemudian senyum manis terukir di bibirnya. Seketika hatiku merasa lega.
"Ta-ta-tapi bibi aku aku..." Aduh aku jadi binggung mau bicara apa.
"Ayo masuklah tidak apa-apa." Ajak bibi agar aku mau masuk ke rumahnya.
"Bibi, aku minta maaf karena tidak bisa menjaga Orlan dengan baik, aku tidak bisa...." Entah keberanian dari mana aku bisa berkata maaf yang benar-benar dari dalam hatiku. Aku ingin melanjutkan ucapanku namun aku masih saja susah untuk melanjutkannya.
"Ahh tidak tidak! Justru bibi berterima kasih padamu karena sudah menjadi sahabat Orlan dan mau menjaganya dengan baik. Malah bibi minta maaf atas perilaku kasar bibi dan Orlan padamu. Terima kasih sudah repot-repot mencari dan mengantarkannya pulang. Jujur bibi sangat khawatir sekali saat itu." Kata bibi dan semakin lama air matanya semakin merembes keluar dengan cantiknya.
"Ahh sudahlah jangan diungkit-ungkit lagi, ayo masuk!" Untuk kali ini aku merasa lega, karena aku pikir keluarga Orlan masih marah padaku dan aku tidak akan menolak ajakan masuk dari bibi Margaretha.
Aku pun masuk ke rumah bibi Margaretha. Bibi malah pergi ke belakang dan menyuruhku langsung ke kamar Orlan seperti yang biasa aku lakukan jika berkunjung ke rumahnya. Kamarnya ada di lantai dua yang paling pojok di sebelah kanan, jendela kamarnya mengarah ke halaman samping.
Aku ketuk pintunya tiga kali namun tak ada jawaban, aku mencoba mengetuknya dengan lebih keras. Sampai akhirnya, "Orlan kamu di dalam?" Tanyaku bego.
Yang pasti dia di dalam. Ibunya tadi sudah bilang kalau Orlan ada di kamar, dasar bego. Tok.. tok...tok... Aku mengetuk pintu kamar Orlan lagi.
"Ekhem. Orlan ini aku, Elian! Aku ingin bicara sama kamu, tolong buka pintunya." Seruku bego mana ada orang marah mau buka pintunya.
Tapi setelah aku bilang begitu pintunya perlahan terbuka sedikit dan kemudian terbuka lebar menampakan sesosok lelaki yang tinggi dan gagah yang tak lain adalah Orlan. Dia diam saja dan hanya melihatku dengan diam, apa yang sedang dia pikirkan ya.
Dia kelihatan pendiem sekali sejak malam itu dan juga sorot tatapan matanya semakin tajam, aku jadi merinding melihatnya.
"Kenapa masih di luar?! Ini minum dan makanannya, Elian kamu bawa ke dalam ya?!" Bibi Margaretha yang tiba-tiba datang atau aku yang tidak tahu kedatangannya karena takut melihat tatapan dingin Orlan. Aku langsung menerimanya.
"Ah iya bibi, terimakasih." Ucapku berterima kasih dengan nada terbata-bata. Yang pasti aku takut.
"Orlan jangan begitu. Ibu tinggal ya, jangan berantem lagi." Kata bibi dengan senyum lembut yang terkesan dipaksakan.
Kemudian bibi mulai turun menyusuri tangga dan sesekali melihatku, aku pun juga menatapnya. Bibi langsung tersenyum. Melihat bibi yang telah pergi dan tak terlihat lagi aku kembali fokus ke Orlan. Dia ternyata sudah masuk ke kamar dan duduk di kasurnya. Aku buru-buru masuk dan menutup pintu kamarnya dan meletakkan minuman dan makanan yang disajikan bibi untuk kami berdua di meja belajar Orlan. Tidak lupa aku duduk di kursi belajarnya. Aku juga meletakan makanan ringan yang aku beli tadi di sana.
Dari tadi Orlan hanya diam saja, bahkan tatapannya terus mengarah ke jendela. Aku tak tau harus bilang apa. Semenit, dua menit, tiga menit, lima menit hanya diam yang ada. Lama-lama aku jadi bosan menunggu Orlan bicara. Ini tak bisa dibiarkan, kalau diantara kita tidak ada yang mau memulai bicara tidak akan ada kehidupan di sini.
"Orlan, aku minta maaf." Hanya kata maaf yang selalu bisa aku ucapkan, aku sangat khawatir dengan Orlan. Aku tidak mau menyakitinya lagi, sudah cukup kejadian kemarin terjadi. Aku harap tidak akan terulang lagi.
"Orlan...!" Panggilku terpotong karena kata, "Manis sekali." Aku dengar dengan lirih dia mengucapkanya, apa aku salah dengar.
"Orlan, kamu bilang apa?" Tanyaku memastikan, aku takut salah dengar.
Atau mungkin dia ingin makan kue yang dibawa bibi tadi. Ah mending aku juga duduk di sampingnya dan membawakan sajian yang diberikan bibi ditambah yang aku beli tadi. Lihat, dia cuma mlengos saja tidak pernah menjawab pertanyaanku. Sejak pertemuan malam itu dia tak pernah menjawab pertanyaanku. Aku jadi marah jika nanti aku bertanya padanya namun dia tidak mau menjawab lagi, bakal aku pukul kepalanya. Bosan jika terus-terusan didiamkan seperti ini. Aku tidak suka didiamkan, kalau marah yang bilang saja, maki aku sesukamu jangan diam-diaman seperti anak cewek saja. Aku harus sabar dulu.
Aku mulai mendekatinya dan mendaratkan bokongku di samping Orlan. Aku sodorkan kue yang di berikan bibi tadi ke Orlan, lihat apa reaksi selanjutnya kalau dia masih diam akan aku sumpel ke mulutnya.
"Ah tidak, untuk mu saja." Tolak Orlan dengan senyum yang manis sekali. Apa itu, rencanaku gagal ternyata. Hahaha bodoh sekali.
"Makanlah, aku ingin melihat kau makan kue itu." Katanya dan langsung tersenyum untuk yang kedua kalinya. Senyumnya terkesan dipaksakan.
"Tidak! Kalau kau tidak makan, aku juga tidak makan." Tolakku. Aku lihat dia sedikit tersentak kemudian bersikap datar dan tersenyum lagi. Aku curiga dengan senyumnya, dari dulu aku selalu curiga dengan senyum Orlan, kalau dia tersenyum pasti dia ada maunya.
"Namamu Elian kan?" Tanyanya yang membuatku bingung, apa dia lupa dengan namaku. Nama sahabatnya sendiri lupa apa lagi dengan keluarganya pasti juga lupa. Kenapa Orlqn menjadi aneh seperti ini.
"Kamu lupa ya dengan aku?" Tanyaku dengan nada lembut penuh tanya.
"Iya, sejak malam itu aku lupa semuanya, nama ibu, ayah, adiku, dan semuanya. Sejak kau membawaku aku binggung harus bilang apa."
"Memang apa yang terjadi setelah kau pergi dari rumah, apakah mereka berbuat macam-macam denganmu sampai kamu hilang ingatan?" Tanyaku memastikan.
"Entahlah aku juga tidak tau, yang aku tahu aku harus cepat-cepat pulang ke rumah." Jawabnya santai namun terkesan dalam, mungkin dia benar-benar tidak ingat. Aku tak boleh membuatnya sedih.
"Yang sudah berlalu biarlah berlalu, nanti kita kenalan lagi. Jangan di pikirannya terus nanti pusing. besok masuk sekolah ya, biar kita bisa lebih cepat kenalan lagi dengan teman-teman yang lain." Kataku antusias agar Orlan tidak larut dalam kesedihan tentang kejadian kemaren.
" Baiklah!" Jawabnya datar.
" Ayo makanlah kuenya dulu baru aku yang makan, biasanya dulu juga begitu." Kataku sambil menyodorkan kuenya ke depan wajahnya. Dia langsung mengambilnya begitu saja, mungkin dia tau kalau aku mau memasukan kuenya secara paksa ke mulutnya, hahaha.
"Memang aku selalu begitu ya?" Tanyanya heran. Ah aku lupa kalau dia hilang ingatan, apa sih yang mereka lakukan dengan Orlan sampai dia lupa ingatan seperti ini. Jika ketemu lagi akan aku hajar mereka.
"Ah iya, itu salah satunya ayo makan. Ini aku juga bawa makanan ringan yang sering kita makan." Jawabku kikuk.
Orlan pun langsung memakannya, saat gigitan pertama dia terlihat tidak menyukainya namun setelah menatapku lagi dia langsung berubah. Tersenyum maniscdan memakan kuenya sampai habis.
"Apa kuenya tidak enak, kenapa wajahmu tidak menyakinkan begitu. Aku jadi ragu untuk memakan kuenya." Tanyaku ragu.
"Ah tidak, enak kok!" Katanya sambil tersenyum. Ini baru Orlan yang aku kenal, dia selalu tersenyum ceria eh bukan tapi dia lebih sering tertawa. Dia orang yang selalu jail ke semua temanya termasuk aku. Aku langsung makan kue yang aku pegang dari tadi dan rasanya enak. Tapi mukanya Orlan seperti tidak menyukainya, padahal dulu juga sering beli kue ini untuk bibi. Ohh berarti yang suka bibi bukan Orlan, ternyata aku salah.
"Ini minumlah, kelihatan sekali kalau kamu mau tersedak. Makan pelan-pelan hahaha." Ah dia memberiku minum dan memperingatkanku sambil tertawa pula. Aku suka. Ini benar-benar Orlan, sekarang dia sudah menjadi Orlan yang ceria, jail, gagah, dan tampan. Ah aku ini mikir apa sih.
"Terima kasih, soalnya kue buatan ibumu sangat enak tidak seperti biasanya." Jawabku langsung makan lagi kue yang ada di piring. Lagi, lagi, dan lagi. Seperti kuenya tinggal dua satu untukku dan satu untuk Orlan, tidak enak kalau kuenya aku yang makan semuanya.
" Kau rakus sekali ya, oh ya ini bakal aku catat dalam ingatanku kalau Elian itu makanya rakus." Sepertinya dia mau meledekku karena aku makan semua kuenya, tapi sudah aku sisakan satu untuk dirinya. Aku makan banyak karena kuenya enak bukan karena aku rakus. Memang aku monyet makannya banyak, emang monyet makanya rakus. Bodo amat.
" Jangan ngledek ya. Aku makan banyak kalau makanannya enak, kalau enggak enak aku juga enggak mau." Jawabku mengelak ejekan Orlan kalau aku rakus.
"Semua orang kalau makanannya enak juga dimakan, kalau enggak enak ya di buang kan, hahaha. Rakus ya rakus, rakus kok enggak mau di bilang rakus hahaha." Orlan tertawa dengan keras sepertinya dia sudah benar-benar membuatku marah.
"Oh gitu ya, emang kenapa kalau aku rakus ha ha?" Tantangku.
"Awas kalau besok kamu gangguin aku makan, enggak bakal aku beri sama sekali. Yang rakus itu kamu tau bukan aku!" Bentakku kesal dengan ekspresi wajah ngambek. Aku tidak mau kalah, dulu yang rakus itu dia bukan aku. Kalau aku rakus, aku enggak akan susah untuk tumbuh lebih tinggi lagi. Yang rakus ya Orlan lihat saja tubuhnya yang tinggi, tegap dan berbalut otot-otot yang bagus. Cih aku jadi iri melihatnya.
"Hahaha kamu marah ya, aku kan hilang ingatan maaf." Seru Orlan dengan wajah memelas. Ini akting yang dibuat-buat atau beneran sedih. Soalnya dia itu dulu pinter banget akting ngibulin temen-teman. Aku saja sampai pernah marah sama dia karena nipu aku dengan rayuannya.
"Kamu sungguhan sedihnya?" Dasar bodoh kok malah tanya, kalau ditanya mana ngaku.
" Ekhem enggak papa kok aku emang rakus, jadi kamu harus beliin banyak makanan untukku nanti." Semoga dia tidak memasang wajah sedih lagi.
Dan teryata benar, dia langsung tersenyum bahagia. Aku memang benar, dia membohongiku. Awas saja kalau nanti ketahuan tidak hilang ingatan, bakal aku kurung dia di toilet sekolah selama seminggu.
"Nih, kamu juga makan dong, sayang tuh kuenya tinggal satu. Aku sisain untukmu, aku takut nanti kau mati kelaparan gara-gara tidak aku sisakan kuenya buak kamu." Kataku sebel. Ku lihat wajahnya sedikit kaget namun secepat kilat berubah lagi. Mungkin dia teringat sesuatu dan langsung menepisnya. Biarkan saja, mungkin dia ingat sesuatu.
"Kamu makan saja. Rakus sepertinya kamu lapar, aku senang kalau kamu makan kuenya, hehehe." Katanya dengan tampang yang dibuat semanis mungkin.
Kalau tak mau biar aku makan saja. Akhirnya kue terakhirnya pun aku makan. Sekarang hanya tinggal makanan ringan yang aku bawa dan minuman jus jeruk yang dibuatkan ibunya Orlan. Aku menyodorkan makanan ringan yang bertuliskan kripik kentang rasa cabai hijau level 10 kepada Orlan, namun dia malah memandangnya binggung. Astaga jika hilang ingatan tidak sebego itu deh.
"Ini kripik kentang rasa cabai hijau kesukaanmu, mau aku bukakan juga?" Jelasku. Dia cuma mengangguk. Kalau hilang ingatan itu tidak semanja ini kan, astaga.
Cuma membuka kripik kentang saja harus dibukain. Setelah terbuka aku berikan kepada Orlan dan dia menerimanya dengan senang hati. Dia memakannya sedikit demi sedikit kemudian memandangi ku sambil makan.
"Ada apa? Jangan melihatku seperti itu, malah kelihatan kalau aku ini seperti kentang busuk yang harus di buang."
"Kau memang mirip kentang sampai aku ingin memakannya."
"Heh jangan bercanda, sebelum kau memakanku akan aku sumpel mulutmu itu pakai lem kayu, biar tidak bisa makan."
" Hahaha bagus juga idenya."
" Apa sih, jangan menggodaku terus." Aku langsung melepas sepatu dan berbaring di samping Orlan. Aku memeluk guling lalu berguling-guling di kasur Orlan.
Itu kebiasaan yang sering aku lakukan kalau aku sering main ke rumahnya. Aku adalah sahabatnya sudah pasti sering ke rumahnya, namun Orlan lebih sering tidur di kamarku yang sakral itu. Sebenarnya aku tidak suka kalau kamarku berisik banyak orang. Hanya Orlan saja sih, namun kalau dia berisik sudah pasti bikin rame membat kepalaku sakit.
"Lagi mikirin apa?" Orlan bertanya sambil makan terlihat sekali karena suaranya berbeda. Aku yang dari tadi memunggunginya berbalik dan mendongak melihatnya yang makan kripik kentang sambil bersender di ujung kasur. Dia juga melihatku. Kami saling bertatapan.
"Aku lagi mikirin kamu!" Kataku jujur karena aku
memang lagi mikirin dia.
"Aku juga mikirin kamu." Kamu itu ngomong apa sih selalu saja begitu membalikan kataku. Bahas yang lain dong, bosan aku.
"Kau benar, tidak lagi marah denganku kan?" tanyaku lagi memastikan. Aku takut kalau dia masih marah denganku, dulu aku memang bodoh membentak-bentak dia dan memutuskan persahabatan kita. Aku tak mau mengingatnya lagi. Aku langsung membenamkan wajahku ke guling yang aku peluk dan berbalik memunggungi Orlan.
"Aku tidak marah kok, aku senang melihatmu." Jawab Orlan tersenyum tipis.
"Benarkah?" Tanyaku lagi memastikan. Namun tak ada jawaban. Lalu aku berbalik lagi dan menajamkan tatapanku ke Orlan.
"Tuh kan kamu enggak ikhlas memberi maaf, tuh kan bener, lihat kau enggak jawab."
"Aku jawab kok dengan mengangguk." Jawabnya polos. Hah dia bikin tambah bete.
"Kalau orang tanya ya dijawab pake ucapan dong, jangan pakai isyarat. Dasar bodoh!"
"Kamu lucu sekali!" Seru Orlan sambil tersenyum tipis.
"Lian! Aku ke kamar mandi dulu ya, kamu tiduran saja." Seru Orlan lalu pergi ke kamar mandi. Kalau ke kamar mandi tinggal pergi aja, enggak usah ijin. Lagi pula itu kamarnya sendiri. Bodoh ahh, lebih baik tidur.
........~•°♥°•~........
Kenapa udaranya dingin sekali, mana selimutnya. Aku merasa tidak nyaman dengan posisi tidurku. Lalu aku berusaha membuka mata. Pandanganku masih kabur entah ke mana. Ternyata aku ketiduran di kamar Orlan. Lalu dia ke mana? Tanyaku dalam hati. Mengambil kacamata yang diletakan di meja dan memakainya.
"Orlan kamu ke mana?" Teriakku berulang kali sampai akhirnya nama yang aku panggil muncul dari kamar mandi.
"Orlan kamu ke kamar mandi lama sekali?" Tanyaku heran, kenapa dari siang tadi ke kamar mandi tapi malamnya baru keluar.
"Kamu aja yang tidurnya pulas banget. Sampai malam begini baru bangun." Jawab Orlan sambil buka handuk di depan cermin sebadan di kamarnya. Ternyata dia baru mandi. Tak biasanya dia bercermin dengan badan telanjang di depanku. Sia berpose-pose aneh, mungkin sedang mengagumi tubuhnya sendiri di depan cermin. Apa dia mau pamer di depanku.
"Aku ketiduran ya. Badanku pegel semua!" Seruku sambil meregangkan otot-otot tangan dan badanku yang terasa pegal.
"Mandilah, kamu tidur di sini saja? Lagian sudah malam, tidak perlu pulang."
"Aku harus pulang, ada tugas biologi yang belum aku kerjakan." Kataku menolak tawaran Orlan.
Aku harus mengerjakan tugas biologi karena mata pelajaran biologi yang paling aku suka. Setidaknya cita-citaku ingin menjadi profesor. Walaupun terlalu berlebihan aku sangat berharap cita-citaku tercapai.
"Aku langsung pulang ya, besok berangkat sekolah bersama-sama. Jangan telat lagi. Aku akan menjemputmu." Aku pamit ke Orlan sebelum pulang kerumah. Jam tanganku menunjukkan jam 10 lebih 15 menit, sudah larut malam ternyata.
"Tidak tidur di sini saja, aku jadi tidak bisa memakanmu!" Seru Orlan sambil membalikkan badannya yang hanya memakai bokser.
Entah mengapa tubuhnya terlihat berbeda, lebih kekar dan kuat. Ah aku mikirin apa sih. Huss-huss-huss pikirku sambil menggelengkan kepalaku cepat. Menghapus pikiran kotor dari otakku.
"Kenapa?" Tanya Orlan bingung dengan sikapku yang aneh. Aneh karena melihat dia telanjang.
"Ahh enggak apa-apa. Besok aku bawakan kripik kentang lagi, biar kamu tidak makan aku. Aku pergi dulu, sampai jumpa. Jangan lupa besok bangun pagi." Seruku sambil melangkah pergi dari kamar Orlan. Tak lupa aku juga berpamitan dengan bibi Margaretha dan kedua adiknya.
Sepanjang aku jalan ke rumah rasanya aneh, rasanya udara malam ini begitu dingin sekali. Tumben Elisha belum memberi pesan padaku. Rasanya pengen cepat-cepat pulang. Aku sudah tengak-tengok kanan-kiri tidak ada apa-apa tapi rasanya seperti ada yang mengikutiku.
Bulu kudukku berdiri semua. Mending lari dari pada mati ketakutan di jalan. Aku pun berlari sekencang yang aku bisa. Nafasku memburu. Aku lari terbirit-birit sampai kehabisan nafas. Akhirnya sampai rumah. Mandi lalu tidur. Eh mengerjakan tugas biologi dulu baru tidur.
.......~•°♥°•~.......
.
.
.
.
(To be continue)
.
.
.
.
Maaf kalau banyak typo dan ceritanya gaje...😰😸
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro