Epilog
*Rumah Sakit Jiwa*
.......~•°♥°•~........
Di sebuah rumah sakit jiwa yang berdekatan dengan panti jompo, terdapat seorang remaja laki-laki bernama Elian Hemswarth. Dia terus berteriak, menangis, marah, dan merancau dengan histeris di kamar rawatnya. Dia terikat di ranjang besi yang membuatnya tidak bisa mengamuk. Setiap kali Elian terbangun dari tidurnya, dia akan mengamuk sampai melukai salah satu perawat di sana. Itulah yang membuat perawat di sana ketakutan dan mengikat Elian saat dia sudah tertidur. Hanya beberapa nama yang diucapkan para perawat yang menenangkannya. Salah satunya adalah nama dokter Orlando yang mampu menenangkannya.
"Aaaa, jangan bawa dia pergi. Dia milikku! Orlan hanya milikku. Aku mencintainya. Mama, mama mau ke mana. Di sini saja kita belum makan malam bersama. Papa, jangan sakit mama. Jangannnn!" Teriak Elian histeris menggeliat di kasur sambil menangis. Wajahnya semakin hari semakin pucat, badanya juga semakin kurus. Dia hanya makan jika bertemu dengan Sarrah Carlon, wanita tua dari panti jompo.
"Dokter Orlando, tolong! Elian mengamuk lagi!" Seru salah satu perawat menyambut kedatangan dokter tampan yang sudah berumur. Perawat itu mengikuti langkah dokter Orlando Huston yang berjalan menuju ke ruangan dokter.
Dokter Orlando Huston adalah seorang dokter spesialis kejiwaan yang baru menyelesaikan pengabdian selama 10 tahun di luar negri. Dokter Orlan termasuk dokter yang berpresrasi dan banyak orang yang mengagumi kehebatannya. Dokter Orlando sudah menikah dan memiliki satu anak perempuan yang lucu. Dokter Orlando sering dipanggil dokter Orlan oleh Elian. Dia merawar Elian dengan penuh kesabaran.
"Tenang saja, aku akan datang ke kamarnya." Ucapnya mengambil jas putih dan kacamatanya, lalu berlalu pergi dari ruangannya. Dia berjalan dengan santai menuju ke kamar Elian di rawat. Dia sudah tahu apa yang akan dia lakukan untuk membantu Elian kembali tersadar dari traumanya.
"Aku rasa tidak ada perubahan selama tiga bulan di sini dok bagaimana ini." Tanya perawat khawatir berjalan mengikutinya. Perawat juga memberikan laporan hasil pemeriksaan Elian setiap harinya yang tidak menuai perkembangan.
"Kita sudah berusaha membantunya keluar dari depresi yang dia alami. Jika treatmen yang kita lakukan belum bisa membuatnya keluar dari dunianya yang kelam. Mau bagaimana lagi, kita hanya butuh cara terakhir yaitu menghipnotisnya. Semua itu juga perlu persetujuan dari walinya. Takutnya seiring waktu kenanganya akan kembali yang mungkin akan membuatnya depresi lagi." Ucap dokter Orlando yang sudah berusaha menyembuhkan Elian dari depresi.
Selama tiga bulan Elian melakukan treatmen terapi yang menunjukan hasil normal, hanya saja Elian masih berfikir jika sekarang yang dia lakukan masih momen dia kehilangan Orlan. Otaknya masih bekerja di bawah sadar, yang biasa dikenal setengah sadar. Jika Elian sadar nanti kemungkinan dia ingat kenangan yang sudah dia lakukan di rumah sakit jiwa ini hanya sedikit.
"Lalu bagaimana keputusannya dok?" Tanya perawat yang tidak mengerti apa yang dikatakan dokter Orlando.
"Nanti akan aku diskusikan dengan kakaknya. Kau panggil pak Adam untuk menemui saya." Ucapnya yang mengerti akan kebingungan yang dirasakan oleh perawat. Dia juga memberikan laporan hasil pemeriksaan Elian tadi pagi kepada perawat.
"Baik!" Jawab perawat itu patuh berjalan berlawanan arah memenuhi perintah yang diberikan oleh dokter Orlando.
Akhirnya dokter Orlando sampai di depan pintu ruangan yang kedap suara itu. Dia sudah disambut oleh dua perawat. Perawat satunya yang membawa laporan baru memberikan kertas kosong itu kepada dokter Orlando.
Dokter Orlando membuka pintu dan masuk sendirian. Kedua perawat menunggu di luar, mereka akan masuk ke kamar Elian jika mendapat panggilan dari dokter Orlando. Dokter Orlando mendekati Elian untuk memeriksa keadaan Elian yang menggeliat di kasur sambil menangis. Teriakkanya sudah semakin mereda, tetapi semakin histeris ketika melihat kedatang dokter Orlando.
"Siapa kau, pergi kau dariku. Jangan sakiti aku, pergi! Dasar penghianat!" Bentak Elian histeris yang memekakkan telinga.
"Tenanglah, aku dokter Orlan!" Ucap dokter Orlando yang perlahan mendekati Elian yang nampak semakin tenang. Lalu senyum manis tergambar di bibir tipis Elian.
"Orlan lepaskan aku. Aku tidak bisa bergerak." Seru Elian merasakan tangan dan kakinya terikat di ranjang besi. Tangan dan kakinya memerah karena ulahnya menarik tanganya yang terikat.
"Baiklah, aku akan melepaskan ikatannya jika kau rutin minum obat dan makan." Ucap dokter Orlando mengelus kepala Elian dengan lembut. Tidak lupa senyum manis dia buat di bibinya.
"Iya." Jawab Elian menganggu mengerti. Dokter Orlando membuka ikatan di tangan dan kakinya.
Elian langsung memeluk tubuh dokter Orlando dan mencium pipinya penuh kerinduan. Dokter Orlando nampak kegelian merasakan ciuman manis dari Elian. Para perawat dibiarkan menunggu diluar hanya karena alasan ini. Dokter Orlando tidak mau dianggap dokter mesum yang mempermainkan pasiennya. Padahal dia hanya berusaha mengobati Elian yang masih depresi. Elian menganggap dokter Orlando adalah Orlan hanya karena namanya mirip Orlan. Setiap mendengar nama Orlan, wajah dokter Orlando berubah menjadi wajah Orlan yang terlihat Di mata Elian. Itu sebabnya Elian merasa tenang jika bertemu dengan dokter Orlando.
"Sudah, sudah, sudah. Kita lihat dulu keadaanmu." Seru dokter Orlan berusaha melepas pelukan Elian yang sangat erat.
"Baiklah!" Jawab Elian patuh memberikan tangannya untuk disentuh dokter Orlando. Dokter mengecek suhu tubuh, tekanan darah, dan detak jantung. Elian hanya tersenyum senang melihat tangannya bersentuan dengan tangan dokter Orlando. Elian masih berfikir jika dokter Orlando adalah Orlan karena nama mereka hampir mirip.
"Semua meningkat karena kamu sering berteriak-teriak. Jangan berteriak lagi agar tubuhmu sehat. Lihat, kau semakin kurus. Perutmu juga sedikit lebih buncit. Apakah ini sakit?" Tanya dokter Orlando menyentuh perut Elian, menekan-nekannya dengan pelan untuk memastikan apakah ada kelainan di sana.
"Tidak!" Jawab Elian menggeleng kepala.
"Sepertinya kau terserang cacingan. Makanya harus makan yang rutin." Bohongnya agar Elian mau makan.
"Orlan makan di sini bersamaku ya." Ucap Elian manja memeluk dokter Orlando lagi. Apa yang dirasakan Elian saat ini adalah dia tidak ingin kehilangan Orlan. Elian setengah duduk di ranjang untuk memeluk wajah dan mencium pipi dokter Orlando dengan sayang.
"Kenapa kau berewokan. Wajahmu juga semakin banyak berkerut. Kulitmu kasar. Kapan kau menjadi mines harus memakai kaca mata." Ucap Elian mempermainkan wajah dokter Orlando yang sudah berumur. Dokter Orlando memang sudah tidak muda lagi. Umurnya sudah menginjak 40 tahun lebih. Karena studinya kuliah di jurusan pesikologi kejiwaan membuatnya baru bisa menyelesaikan tahap akhir menjadi dokter spesialis kejiwaan saat sudah berumur.
"Ohh ya, aku tua terlalu cepat. Apa kau masih mengalami mimpi buruk setiap hari?" Tanyanya terkekeh geli merasakan wajahnya dipermainkan. Dia mengambil tangan Elian dan menyuruhnya duduk dengan tenang di atas ranjang.
"Ya, sangat menakutkan. Aku tidak mau kehilangan dirimu di setiap mimpiku. Aku tidak mau." Seru Elian menangis sedih. Elian juga masih memegangi tangan dokter Orlando dengan erat takut kehilangan Orlan.
"Elian, dengarkan aku. Siapa aku?" Tanya dokter Orlando melihat ke dalam mata Elian yang berwarna biru langit.
"Orlan!" Jawabnya singkat yang balik menatap wajah dokter Orlando. Memang yang dia lihat adalah wajah Orlan yang tersenyum padanya.
"Aku bukan Orlan. Aku dokter Orlando Huston. Orlan Smith tidak ada lagi. Dia tidak nyata. Kau mengerti!" Ucap dokter Orlando melihat bagaimana reaksi yang diberikan oleh Elian. Apakah dengan ini dia bisa tersadar dari depresinya.
"Tidak! Orlan masih ada. Kau Orlan. Kau yang aku cintai." Jawab Elian histeris, Elian selalu marah karena dokter Orlando menanyakan hal yang sama. Elian takut jika Orlan yang sekarang belum bisa bebas dari iblis karena terus menanyakan siapa dirinya.
"Elian dengarkan aku, semua itu hanya mimpi. Mimpi itu tidak nyata. Lihatlah wajahku baik-baik Elian, aku bukan Orlan yang kau bayangkan selama ini." Paksa dokter Orlando agar Elian tersadar kembali.
"Tidak! Kau Orlan yang asli. Lihat wajah ini, tidak menakutkan sama sekali." Ucap Elian memegang wajah dokter Orlando dengan sedih. Wajah yang manis berubah merah dan mata yang indah kini berair. Kesedihan yang mendalam masih dirasakan oleh Elian.
"Sini peluk aku. Makan dan minum obatnya dengan rutin agar kau cepat sembuh." Seru dokter Orlando memeluk Elian. Dia tidak tahan merasakan rasa sedih yang diperlihatka Elian di matanya.
"Aku tidak sakit, kenapa aku harus minum obat. Aku ingin pulang, aku tidak mau di sini. Ayo kita pulang Orlan, bibi Margaretha pasti sudah menunggu kita." Ucap Elian mengusap-usap kepalanya di dada dokter Orlando berharap ingin pulang kembali.
"Elian! Kau tidak boleh pulang sampai sembuh. Yang sakit itu adalah inimu." Dokter Orlando menunjuk ke kepala Elian. Elian melihat tangan dokter Orlando dengan wajah polosnya. Dokter Orlando tidak menyangka anak semanis ini harus merasakan depresi yang luar biasa. Semoga tuhan memberikannya kesadaran. Jika Elian tidak kunjung sadar, Elian bisa berakhir menjadi gila dan sulit disembuhkan.
"Mimpimu yang mengerikan tinggalkan itu. Jika kau bisa mengingat semuanya dengan baik. Berarti kau bisa pulang." Tambah dokter Orlando menangkap wajah Elian agar fokus melihat wajahnya.
"Bagaimana aku bisa lepas dari mimpi burukku." Tanya Elian bingung.
"Lepaskan Orlan." Ucap dokter Orlando yang membuat Elian merasakan sakit di hatinya. Dia tidak ingin kehilangan Orlan, maka dari itu dia tidak akan melepaskan Orlan dari ingatannya.
"Tidak, aku tidak bisa. Aku tidak bisa." Teriak Elian menolak melepaskan Orlan dari hidupnya.
"Baiklah, jangan menangis. Makanlah dahulu. Lalu minum obat agar tidak bermimpi buruk lagi." Seru dokter Orlando mengalah, dia tidak mau Elian berteriak histeris lagi yang membuat tenggorokannya meradang dan sakit.
"Baiklah. Aku ingin makan bersama mama Sarah di ruang makan." Ucap Elian antusias mengikuti apa yang dikatakan oleh dokter Orlando. Yang dimaksud mama Sarah disini adalah nyonya Sarrah Carlon, nenek yang tinggal di panti jompo. Kebetulan namanya mirip dengan Sarah Sheika Sheikh. Elian menganggap nyonya Sarrah sebagai mamanya.
"Nyonya Sarah sedang merajut di taman. Kau makan dulu di sini bersama perawat Liana, nanti kau bisa pergi ke taman untuk merajut bersama nyonya Sarrah." Perintah dokter Orlando pada Elian yang mendapat anggukan dari Elian. Elian sangat patuh pada dokter Orlando karena Elian pikir dokter Orlando adalah Orlan.
"Ingat, jam tiga nanti harus segera kembali. Kita ada jadwal terapi nanti sore." Seru dokter Orlando memperingati Elian sebelum pergi.
"Kalian masuklah, aku akan keluar menemui pasien yang lain." Perintah dokter Orlando saat membuka pintu kamar. Dokter Orlando keluar dari kamar Elian yang digantikan dengan dua perawat yang masuk. Mereka memberikan makan siang untuk Elian di kamarnya Karena Elian masih ditahap penyembuhan yang membutuhkan penanganan khusus.
"Ibu, hari ini masak apa?" panggil Elian pada perawat Liana karena Liana mirip sekali dengan Lilian. Hanya saja wajahnya semakin keriput.
"Ibu masak daging sapi dan sub lobak. Kau pasti suka Elian." Jawab perawat Liana menyiapkan makan siang untuk Elian.
"Wahh enak, aku suka." Seru Elian terkagum dengan makanan yang ada di depan matanya. Elian mulai memakannya dengan lahap.
"Elian sayang, kenapa kau bisa menjadi seperti ini. Lilian pasti sedih jika kau masih seperti ini." Guman perawat Liana Gleeson yang ternyata adalah kakak dari Lilian Gleeson ibunya Elian. Dia mengelus kepala Elian dengan sayang saat Elian makan. Sesekali mencium pucuk kepala Elian dengan rindu. Elian terlihat seperti anak kecil yang lucu.
"Keponakan anda sangat manis perawat Liana." Puji perawat yang satunya terkekeh geli melihat tingah Elian saat makan terlihat lucu.
"Iya, jika dia sembuh nanti aku akan membawanya bertemu dengan keluargaku." Seru perawat Liana menatap iba pada Elian satu-satunya keponakannya. Dia tidak berharap Elian pergi meninggalkan keluarganya seperti Lilian ibunya Elian.
......~•°♥°•~.......
Tidak lama sebuah mobil memenuhi parkiran. Seorang laki-laki gagah perkasa berjalan menuju ke resepsionis. Dia berbincang-bincang kecil bersama pegawai di sana seperti teman akrab. Dia juga menanyakan bagaimana keadaan ramaja manis itu, dia nampak sangat khawatir.
"Bagaimana keadaan Elian?" Tanya polisi gagah dan tampan itu nampak khawatir. Polisi gagah itu tidak lain adalah komandan Adam Wright. Dia datang ingin menemui Elian. Pak Adam setiap hari datang ke rumah sakit hanya ingin menemui Elian, lelaki yang dia cintai.
"Keadaan adik anda cukup baik dari dua bulan sebelumnya. Dia sudah mulai menyesuaikan diri dengan baik. Apa lagi dokter Orlando Huston yang menanganinya. Mereka sangat dekat, bahkan Elian sangat manja padanya, hahhaha." Jelas resepsionis dengan sangat baik. Karena pak Adam sering datang ke sini membuatnya mengetahui perkembangan yang dialami Elian. Hanya saja pak Adam merasa sedih saat melihat Elian masih terjebak di dunianya yang tidak nyata. Dia ingin Elian kembali lagi seperti Elian yang lugu dan cuek.
"Aku ingin membawanya pulang, apakah secepatnya bisa?" Tanya pak Adam yang tidak sabar ingin membawa Elian pergi karena melihat Elian yang tidak kunjung sadar. Bahkan kedekatan dokter Orlando membuatnya terbakar api cemburu.
"Bisa saja, kita tunggu laporan terakhir dari dokter Orlando. Dokter Orlando hari ini mendapat jadwal pemeriksaan kepada Elian jam 3 sore. Anda bisa berbincang-bincang sedikit tentang keadaan adik anda." Jawab penjaga resepsionis dengan ramah.
"Baiklah, terima kasih!" Ucap pak Adam berdiri hendak menemui Elian.
"Jika kau ingin bertemu dengan adik anda, mungkin dia sedang berada di taman bermain dengan Charle, atau di teras taman merajut bersama nyonya Sarah Carlon. Jika tidak, dia mungkin ada di kebun bersama pak Allan Darton. Aku hampir hafal semua kegiatannya hahahha. Dia terlalu manis untuk dilihat." Seru penjaga resepsionis tersenyum manis memberi tahu kegiatan yang sering dilakukan Elian. Tanpa diberitahu pak Adam sudah hafal betul kegiatan Elian, karena dia sering datang ke sini walaupun hanya sekedar memandangi Elian dari jauh.
"Dia memang sangat manis." Ucapnya berlalu pergi.
Di teras taman yang ada di rumah sakit jiwa, Elian sedang asyik membantu nenek Sarrah Carlon membuat sweeter rajut. Sarrah Carlon adalah nenek-nenek yang tinggal di panti jompo. Dirinya yang belum terlalu tua sering pergi ke rumah sakit jiwa membantu para orang-orang yang sedang mendapat gangguan mental seperti depresi. Dengan kepribadiannya yang baik dan penyayang banyak orang yang sembuh lebih cepat dari biasanya. Semenjak itu nyonya Sarah menjadi sering ke rumah sakit jiwa hanya sekedar mencari tempat hiburan dan membantu pasien lain yang masih depresi.
"Elian!" Panggil pak Adam menghampiri Elian yang tengah asik merajut sweeter yang hampir selesai.
"Pak Adam!" Seru Elian tertawa senang berjalan menghampiri pak Adam.
"Kau sedang apa?" Tanya pak Adam tersenyum senang membawa Elian duduk kembali di kursi teras taman bersama nyonya Sarrah.
"Aku membuat sweeter untuk Orlan. Malam hari sangat dingin, aku takut Orlan akan kedinginan." Ucap Elian senang menunjukan sweeter hasil dari rajutannya. Mendengar perkataan Elian membuat hati pak Adam sakit, sebesar itukah cintanya Elian kepada Orlan. Orlan sangat beruntung mendapat cinta dari Elian yang sangat besar dan tulus.
"Dokter Orlando sudah menikah, sudah ada istri yang akan mengurusnya. Kau berikan saja kepada pak Adam yang jauh-jauh datang untukmu." Seru nyonya Sarrah menepuk bahu Elian dengan gemas.
"Mama bilang apa? Dulu mama sangat antusias aku harus bersama Orlan, kenapa sekarang berganti pak Adam. Orlan juga belum menikah. Kita berdua akan menikah segera. Pastikan mama membuat pernikahan yang luar biasa." Ucap Elian antusias. Sekarang yang ada di dalam pikiran pak Adam adalah Elian semakin banyak bicara. Sayangnya itu semua membuat pak Adam semakin bersedih. Elian masih terjerat ke dalam dunianya dan belum bisa keluar sampai sekarang. Pak Adam takut akan kehilangan Elian.
"Elian, kau lanjutkan kegiatanmu merajut. Aku pergi dahulu sampai bertemu nanti jam tiga. Ini salad buah untukmu dan nyonya Sarrah." Pak Adam memberikan kantung kresek yang berisi salad buah kepada Elian. Elian menerimanya dengan senang. Sebelum pergi pak Adam juga mencium keningnya. Elian tidak merasa risih sama sekali dengan perlakuan pak Adam. Jika dia sadar nanti, pasti Elian akan menampar wajah pak Adam yang berani menciumnya.
......~•°♥°•~......
Setelah pemeriksaan dan terapi selama 3 jam, Elian kembali lagi ke kamar rawatnya. Pak Adam menemui dokter Orlando sesuai panggilan yang dia terima. Di dalam ruangannya mereka berbincang-bincang dengan masalah yang dialami Elian dan mencari solusi bersama.
"Aku lihat Elian nampak sehat. Aku ingin membawanya pulang.'' Tutur pak Adam langsung ke intinya.
"Aku ragu akan hal itu tuan. Elian masih terjebak dalam kenangannya yang menyakitkan. Traumanya terlalu dalam sampai membekas di dalam ingatannya. Tubuhnya sehat tapi jiwanya belum sehat." Ucap dokter Orlando yang masih belum yakin Elian bisa pulang karena Elian masih belum sadar sepenuhnya. Namun, jika pak Adam berantusias membawa Elian dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Obat-obatan yang aku berikan hanya bisa membantunya tenang dalam jangka waktu tertentu. Jika anda bersikeras membawa Elian pergi. Anda bisa melakukan treatmen di rumah. Buat Elian menerima semuanya. Menerima kehilangan akan orang yang dia cintai. Buat Elian tenang saat terbangun dari mimpi buruknya." Jelas dokter Orlando memberi tahu apa yang harus dilakukan oleh pak Adam nantinya jika Elian dirawat di rumah.
"Apakah Orlan masih hidup, jika iya suruh dia berbicara baik-baik pada Elian. Semua itu membantu dalam terapi membawa Elian ke dalam dunia nyata." Tambah dokter Orlando yang membuat pak Adam mendengus kesal. Sampai kapan nama Orlan bisa dihapus dari ingatannya, jika bisa hapus saja dari dunia ini agar Elian tidak terluka lagi.
"Sayangnya dia sudah mati. Elian juga tidak punya siapa-siapa lagi. Semua orang terdekatnya sudah mati." Jawab pak Adam melipat kedua tanganya berusaha tegar.
"Kehilangan seseorang yang tersayang memang menyakitkan. Jika anda ingin membawanya pulang. Aku akam memberi kesempatan kepada anda selama satu bulan untuk membantunya sadar kembali. Jika tidak ada perubahan, kami akan membawanya kembali. Besok pagi anda bisa membawanya pulang. Aku akan memguris berkasnya malam ini. Tebus obatnya dan pastikan Elian terus meminum obatnya sampai sembuh." Ucap dokter Orlando mengijinkan pak Adam membawa Elian pulang. Mungkin ini langkah terbaik bagi Elian untuk sadar kembali jika sering bertemu dengan orang terdekatnya seperti pak Adam.
"Baiklah dok, aku akan berusaha. Jika tidak ada hasil mohon bantuannya." Seru pak Adam beranjak berdiri dan pergi. Sebelum pergi pak Adam menyempatkan diri melihat Elian di kamarnya yang sedang asyik makan malam sebelum tidur. Pak Adam bertanya-tanya pada dirinya sendiri kapan orang berwajah manis itu bisa dia miliki seutuhnya.
......~°•♥•°~......
Esok harinya pak Adam datang bersama bibi Margaretha. Elian sudah bersiap-siap pulang menyambut mereka. Barang-barang yang Elian pakai sejak di rumah sakit sudah dikemasi. Di dalam kamarnya, Elian masih berbincang-bincang dengan dokter Orlando dan kedua perawatnya. Pak Adam dan bibi Margaretha datang ke kamar Elian untuk menjemputnya pulang. Elian menangis histeris memeluk dokter Orlando dengan sangat erat enggan perpisah dari dokter Orlando. Elian tidak berharap akan berpisah lagi dengan Orlan. Pemandangan yang tidak enak dilihat itu membuat pak Adam cemburu. Elian masih saja menempel pada dokter Orlando.
"Elian, keluargamu datang. Kau bisa pulang sekarang." Ucap dokter Orlando tersenyum ramah dan melepas pelukan Elian.
"Kita pulang bersama ya." Ajak Elian enggan berpisah dari Orlan.
"Aku masih ada kerjaan, kau pulang duluan. Jaga dirimu baik baik." Tukas dokter Orlando memberi alasan agar dia bisa pergi dari Elian.
"Jangan berbohong. Kau pasti tidak akan kembali lagi kan." Cegah Elian menarik lengan dokter Orlando dan memeluk tanganya dengan erat.
"Elian, ayo pulang. Bibi sudah masak banyak untukmu. Kita makan bersama ya." Ajak bibi Margaretha mengelus pundak Elian.
"Orlan bi, Orlan tidak mau pulang bersama kita." Seru Elian mulai terisak dan menangis kembali.
"Orlan sudah meninggal Elian. Dia tidak ada di sini, dia bukan Orlan." Ucap bibi Margaretha yang membuat Elian terkejut. Dia melihat ke arah dokter Orlando dan melepas tangannya. Elian tersadar akan kenyataan yang menyakitkan.
"Bibi Margaretha. Orlan bi, Orlan dia dia Orlan sudah mati." Ucapnya diikuti tangis histeris karena mengingat momen saat dirinya melihat Orlan mati ditangannya. Kenangan yang selalu menghantuinya dalam mimpi buruknya kini sudah berpisah. Semua itu adalah nyata, Orlan yang sudah meninggal itu adalah nyata. Elian menangis lagi mengingat betapa sakitnya kehilangan Orlan.
"Iya tidak apa-apa. Orlan sudah bahagia di sana." Seru bibi Margaretha memeluk Elian yang menangis. Bibi Margaretha juga menangis dalam jiwanya yang sangat tegar kehilangan bengitu banyak orang yang dia sayangi. Kehilangan suami dan kedua anaknya, bibi Margaretha masih sangat tabah.
"Tapi bibi aku ingkar janji, aku tidak bisa membawa Orlan kembali. Aku kehilangan Orlan. Dimana Orlan, orlan di mana bibi. Dia berdarah, kita harus membawanya ke rumah sakit." Suara Elian yang membuat perasaan mereka yang ada di sana mulai merasa berat. Elian mencari-cari tubuh Orlan yang berdarah karena terluka, berharap Orlan bisa disembuhkan.
Kedua perawat, dokter Orlando dan pak Adam adalah orang yang dididik untuk menjadi orang yang kuat dan tabah. Namun, mereka masih bisa merasakan kesedihan dari orang yang menangis karena ditinggalkan. Mereka tidak menyangka sebegitu cintanya Elian pada Orlan sampai dia tidak rela jika Orlan telah pergi untuk selamanya. Sepasang cinta sejati yang dipisahkan oleh takdir, sungguh ironis. Mereka menunduk mencoba menahan kesedihan yang memenuhi seisi ruangan. Berharap semua ini cepat selesai.
"Orlan dia sudah dikubur. Kita akan mendatangi kuburannya setelah ini. Kamu harus kuat." Ucap bibi Margaretha memeluk Elian dengan sayang. Elian bertambah menangis histeris mendengar perkataan bibi Margaretha. Dia tahu sekarang jika Orlan yang dia cintai sudah tiada. Tuhan telah memisahkan mereka dengan takdir yang kejam.
"Orlan, dia sudah mati. Aku tidak mau Orlan mati. Bibi, Kenapa Orlan pergi meninggalkan aku." Rancau Elian masih belum menerima kematian Orlan.
Elian menangis histeris dalam pelukan bibi Margaretha yang terus berusaha menenangkan Elian. Pak Adam hanya bisa diam bersandar di ambang pintu sambil mengusap matanya yang berair dengan kasar. Momen yang mengharukan untuk dilihat. Sedangkan dokter Orlando berdiri bersama kedua perawat menunduk sambil mengusap mata mereka yang juga berair. Sesekali mereka juga melihat ke arah mereka berdua yang masih menanis diliputi kesedihan.
"Orlan sudah lelah hidup dalam penderita, biarkan dia tidur dengan nyenyak. Terimakasih Elian sudah menyelamatkannya." Ucap bibi Margaretha mengusap air mata yang terus membanjiri wajah Elian dan wajahnya.
"Aku tidak mau kehilangan Orlan, aku mencintainya bibi." Rancau Elian lagi enggan kehilangan Orlan walaupun dia tahu Orlan tidak akan pernah kembali lagi.
"Elian ingat, kau harus kuat. Semua ini sudah takdir dari tuhan. Kita tidak bisa apa-apa. Pasti ini jalan yang terbaik untuk Orlan. Jangan menangis lagi. Kau harus menerimanya. Ayo kita berdoa di makam Orlan. Doakan agar dia bahagia di sana." Ucap bibi Margaretha menenangkan Elian berkali-kali. Bibi Margaretha dengan sabar menenangkan Elian yang terus merancau dan menangis sampai Elian mulai lelah. Elian kini menatap dalam kekosongan, kesadarannya telah kembali. Dia terisak beberapa kali dan mencoba tenang. Menangis sepanjang hari membuatnya lelah.
Setelah mulai tenang Elian menyadari sepenuhnya apa yang dia impikan setiap malam adalah nyata. Melihat wajah bibi Margaretha dan mendengar perkataannya, kini Elian bisa melihat dunia nyata lagi. Orlan benar-benar telah mati. Hati Elian seakan hancur lebur. Dia tidak akan bisa melihat wajah orang yang dia cintai lagi. Hatinya sakit, tidak akan ada orang yang akan menempati hatinya selain Orlan. Kini dia hanya bisa hidup dalam bayang-bayang mimpi yamg kelam. Apa yang dia lihat kini adalah nyata, tanpa Orlan yang dia cintai dan tanpa keluarga yang tersayang. Dia kini hidup dalam kesedihan masa lalu yang menyakitkan. Dia tidak berharap akan kembali seperti dulu. Hidupnya kini hampa tanpa Orlan.
"Kau sudah siap Elian?" Tanya pak Adam yang menghampirinya duduk di dalam mobil dengan jendela yang terbuka. Pak Adam baru selesah berbincang-bincang dengan dokter Orlan mengenai berkas kesehatan Elian. Pertanyaan itu membuat Elian terkejut yang memikirkan Orlan dalam kekosongan.
"Iya, aouw ahh!" Jawab Elian sambil meringis merasakan perutnya yang tiba-tiba sakit saat dia bergerak.
"Apa kau baik-baik saja Elian!" Tanya bibi Margaretha khawatir yang berada di sampingnya. Pak Adam mengelus pipi Elian karena khawatir juga.
"Aku baik-baik saja, sepertinya perutku kram." Ucapnya tersenyum tipis tidak ingin membuat yang lain khawatir. Elian melihat sweeter berwarna hitam yang sudah selesai dirajut. Elian bertanya-tanya pada dirinya sendiri, 'Sweeter siapa ini, apa ini milik Orlan?'. Batinya tersenyum tipis lalu melipatnya dengan rapi dan meletakannya di pangkuannya.
Pak Adam lalu masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya keluar dari rumah sakit jiwa tersebut. Elian menatap rumah sakit jiwa yang berangsur-angsur menghilang. Dalam benaknya dia hampir lupa dengan apa yang dia lakukan di dalam rumah sakit jiwa itu. Kehilangan Orlan memang membuatnya gila.
'Entah sampai kapan aku bisa hidup tanpamu, Orlan. Mendapatkan cintamu bukan hal yang mudah, sedangkan kehilanganmu kenapa semudah ini. Takdir yang menyedihkan untuk kita berdua.' Batin Elian mengingat kehilangan Orlan dalam hidupnya.
.....~••‹^♥^›••~.......
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro