Climbing Rose
Misi update- AHAHAHA
Langsung aja yak.
Rokuya Nagi x Mimori Sumi
Uye enjoy, tangan dah pegel~
•••
[Note: bahasa Indonesia yang diketik miring artinya apa yang diucapkan adalah bahasa Nothmarea.]
Jeritan demi jeritan menggema di sebuah mansion. Musim dingin dengan salju yang turun di luar sana tampak tak mengganggu sama sekali, seolah menjadi saksi bisu dari sebuah aksi keji. Sementara seorang gadis kecil dengan rambut pirang gelap yang ketakutan memeluk kaki dari ibunya. Jeritan-jeritan kesakitan dari orang-orang yang ada di mansion ini, ia mengenali semua jeritan itu. Ah, jeritan itu pasti akan membekas di otaknya.
"Mi! Mi dengarkan Mama," kata seorang wanita dengan terburu-buru. Ia memegang bahu gadis kecil yang memeluk bahunya. Menatapnya dengan tatapan tegas.
"Tidak! Mi tidak mau dengar!"
"Mi! Ini demi dirimu! Dengarkan Mama baik-baik, sebelum orang di luar kamar ini masuk, Mi harus menuruti apa yang Mama katakan. Sekarang Mi masuk ke dalam lemari itu, jangan biarkan diri Mi membuka pintu lemari apapun yang terjadi!"
Air mata gadis kecil itu meluruh, ia menggeleng kuat. Firasatnya buruk. "Mi tidak mau!"
"Mi!!"
Gadis kecil itu memejamkan mata. Tubuhnya bergetar takut. Wanita di depannya cepat-cepat memeluknya, berbisik lembut di telinga gadis kecil itu, "Mi, dengarkan Mama. Mi harusn hidup demi Mama dan Papa. Sekarang Mi masuk, saat Mama berkata lari, Mi harus segera lari dan pergi ke rumah paman, Jonathan. Dari sana, minta paman Jonathan untuk mengantarkan Mi ke istana, di istana, katakan identitas Mi dan identitas keluarga kita. Pangeran akan membantu Mi. Ingat, Mi adalah tunangan dari pangeran kedua, dia 'kan membantu Mi."
"Ta-tapi... Mama?"
Sang wanita menangkup pipi gadis kecil. "Sumi Aloisia Evadne, dengarkan aku. Turuti perintahku. Apapun yang terjadi, kita harus menyampaikan pesan pada kerajaan untuk berjaga-jaga dengan para penyerang. Keluarga Evadne adalah perisai terdepan Nothmarea!"
Gadis kecil itu mengangguk dengan terpaksa. Air matanya sudah mengalir dengan deras. Ia masuk ke dalam lemari dibantu oleh sang wanita.
"Mama...."
"Mama mencintaimu, Sumi." Kecupan ia layangkan ke kening gadis kecil itu. Kecupan lembut yang hangat, bagaimana sebuah salam perpisahan. Lekas ia tutup pintu lemari dengan erat.
Suara-suara pukulan mulai terdengar hingga pintu terbuka dengan paksa. Gadis kecil yang kini meringkuk takut itu memejamkan telinganya. Ia bisa mendengar suara ibunya yang menjerit saat orang-orang yang ada disana mulai memiliki ibunya.
Mama...
"Dimana anak itu?!"
Tubuh gadis kecil menegang. Ia meremat kalung di lehernya.
"Si... siapa..."
"Anak yang jadi tunangan pangeran kedua, dimana dia?!"
"Siapa... yang menyuruh... kalian?"
"Huh? Tentu saja sudah jelas... penguasa Nothmarea."
Gadis kecil itu mematung. "Penguasa?"
Sontak, orang yang berada di luar lemari menoleh ke arah lemari mendengar suara dari sana. Mereka menyeringai dan mulai mendekati lemari. Sebelum sampai, sang wanita yang sudah terkapar dengan datang yang terus merembes dari luka yang ada ditubuhnya memegang kaki salah satu dari komplotan itu.
"Mi! Lari!" teriaknya.
Gadis kecil itu membuka lemari, matanya terbelalak, ia mengigit bibir bawahnya dan berlari dari sana secepat yang ia bisa.
Aku harus hidup, demi Mama dan Papa, batinnya.
Begitu keluar dari mansion, salju yang seharusnya berwarna putih kini tampak berwarna merah, banyak mayat yang tergeletak mengenaskan disana. Sang gadis kecil membulatkan mata melihat ayahnya. Ia berlari ke arah sang ayah. "Papa!"
Sayup-sayup mata biru terlihat, tangan pria yang kini bersandar dengan pisau yang menancap di dadanya terulur memegamg pipi dari anaknya. "Pa... nge... ran..."
"Pa-Papa, bertahan, Pa! Aku akan pergi ke tempat paman!"
Tak ada sahutan. Sang gadis kecil kembali berlari saat orang-orang yang tadi ada di dalam berlari keluar dari mansion. Gadis kecil itu pergi melewati tebalnya salju yang menutupi jalanan, suhu yang sudah menjalani angka dibawa nol membuat tubuh kecil itu bergetar menahan dingin.
Diperjalanan yang terasa sangat jauh, gadis kecil itu terjatuh beberapakali, lututnya berdarah, kepalanya mulai pening. Sedikit lagi, dan ia akan sampai, gadis kecil itu kembali tersungkur, ia menatap sebuah rumah yang berdiri kurang dari beberapa meter darinya. Tangan gadis itu terulur, seorang pria keluar dari pagar rumah.
Secercah harapan datang.
"Pa... man... Jo-" Netra biru sang gadis kecil membulat. Tepat didepannya, ia melihat orang yang ia hormati di tusuk dari belakang tepat di kepalanya.
Seorang pria bertubuh besar dari balik Jonathan menghampiri sang gadis kecil. Bibirnya menyeringai kejam, ia merangsek maju dan menarik rambut gadis kecil hingga tubuh kecil itu terangkat.
"Buruannya dapat," katanya dengan desisan tajam.
Hari itu, sang gadis kecil dapat merasakan bahwa, neraka ada di depannya.
•••
Enam tahun berlalu. Seorang gadis dengan helaian rambut pirang gelap berjalan mengikuti arus orang-orang yang ingin pergi bekerja. Kacamata hitam membingkai matanya, menutupi netra layaknya permata dari tatapan orang-orang. Ia berbelok begitu melihat sebuah gedung yang lumayan besar.
"Sudah lama tidak bermain ice skating disini," gumamnya. Ia masuk ke dalam gedung. Biasanya, akan ada orang yang berlalu-lalang disana, sebagai contoh pekerja. Namun sepi, tidak ada orang yang gadis bersurai pirang gelap itu lihat.
Acuh dengan itu, ia masuk dan pergi ke tempat berganti pakaian. Mencari loker yang sudah ia booking untuknya sendiri dan mengambil sepatu skating berwarna hitam miliknya. Dengan semangat, ia pergi menuju arena bermain, sudah lama sejak ia pergi ke negara lain, meninggalkan Jepang untuk sebuah misi yang diberikan oleh Masternya.
Gadis itu bernama Mimori Sumi, gadis dengan helaian rambut pirang gelap yang dipadukan dengan netra biru cerah layaknya permata. Agak terburu-buru, akhirnya Sumi sampai di depan pintu arena ice skating. Ia terdiam, di arena es yang membeku itu, ia melihat dua orang, laki-laki dan perempuan dengan helaian rambut yang sama, yakni merah muda pudar tengah bermain seluncur dengan asiknya. Sumi memperhatikan lamat-lamat, gadis berusia 16 tahun itu terpaku dengan perpaduan gerakan kedua orang itu.
"Siapa mereka?" tanyanya entah pada siapa. Sumi menaruh sepatu seluncurnya dan duduk di bangku sana memperhatikan mereka.
Jantungnya berdebar saat ia melihat sebuah senyum yang timbul dari bibir si gadis kecil. "Kira-kira berapa umurnya? Sepuluh tahun? Dia terlihat sangat bahagia," gumam Sumi.
Diam sejenak, Sumi tersadar, ia meraba bahu kirinya yang tiba-tiba terasa panas. "Kenapa bahuku panas? Dan kenapa aku berdebar?"
Kebingungan. Sumi akhirnya memilih bungkam. Selang beberapa menit, gadis yang tengah bermain itu terjatuh hingga si laki-laki panik. Sumi sontak bangun karena terkejut.
"Tu-tunggu! Dia kenapa?!"
Saat hendak menghampiri, sebuah suara memanggilnya. Ia menoleh dan menatap orang yang sangat ia hormati berdiri di belakangnya. "Ma-master? Kenapa ad- tunggu itu tidak penting, gadis itu!"
Sumi menoleh dan arena ice skating sudah kosong, ternyata di pria sudah membawa gadis itu pergi. Sumi mendesah lega, ia kembali menatap ke arah Masternya, Mimori Hiro. Orang yang telah menyelamatkan dirinya dari neraka.
"Kenapa Master ada disini? Bukankah Master sangat anti berada ditempat publik karena bisa diburu?" tanyanya lagi.
Hiro mengulum senyum dan menepuk puncak kepala Sumi. "Tenang saja, ada orang yang akan mengawasiku dan membantuku apabila ada serangan jarak jauh," terang Hiro. Ia menatap ke arena ice skating.
"Master?"
"Sumi tertarik dengan anak tadi?"
Sumi menatap bingung. Ia lantas menggeleng pelan, "Entahlah, Master. Aku bingung saja. Toh, aku masih ingin balas dendam pada mereka," kata Sumi diakhiri gumaman diakhir.
Hiro menghela napas. Kapan dendammu itu bisa kau lupakan, Sumi?
"Baiklah, ayo ikut aku. Akan 'ku perkenalkan pada seseorang, disana Sumi bisa bekerja dibawah sebuah organisasi." Hiro berbalik dan berjalan duluan. Sumi langsung mengikutinya.
"Maksudnya? Aku akan dimasukkan ke organisasi yang dulu Master tempati?"
"Sou."
"Jadi tidak sabar. Master selama ini sudah melatihku dengan sangat keras, jadi aku juga akan berguna kedepannya dan bisa sehebat Master!"
"Suatu hari nanti, jika kau sudah merasa bisa mengalahkan aku... lawan aku."
Sumi berhenti. Ia meremas ujung kemejanya. "Aku tidak mau melawan Master, aku mau menjaga Master!"
Hiro berbalik menatap mata Sumi yang memancarkan ketulusan. Ia tersenyum dan mencubit pipi Sumi. "Tidak ada gunanya kau menjagaku jika tidak bisa lebih hebat dariku, yang ada aku yang menjagamu lagi. Ingat, pembunuh harus mematikan perasaan mereka, dengan begitu seorang pembunuh tidak akan menyesali perbuatan keji yang mereka lakukan."
Keduanya pergi dari gedung bermain ice skating, menuju ke daerah pinggiran Tokyo. Mobil yang keduanya orang bermarga Mimori itu berhenti tepat di depan sebuah gedung tua yang tampak kusam dan menyeramkan. Sumi turun dan melihat sekitar, hanya ada padang ilalang yang mengelilingi gedung tua itu.
"Seperti gedung terlantar," celetuk Sumi.
"Jangan langsung menilai. Di bawah sini, kau akan menemukan sebuah tempat paling canggih yang pernah ada bahkan dengan alat-alat yang tidak kau duga."
"Aku tau, Master. Itu first impression saat aku melihat gedung ini. Apa bahkan lebih canggih dari yang ada di rumah?"
"Tentu saja. Yang kupunya hanya sebagian kecil."
"Sugoii dane."
"Mau tau satu fakta?"
Sumi mengerjab dan mengangguk pelan. Keduanya berjalan memasuki gedung. Seorang penjaga datang pada mereka. Hiro lekas menunjukkan tanda pengenal dirinya, tanda pengenal itu berupa sebuah kartu layaknya kartu kredit biasa. Namun, saat Hiro menggerakkan ke samping sekali, sebuah proyeksi identitas muncul. Keduanya dipersilahkan masuk menuju lift.
Saat lift terbuka, Sumi keluar setelah Hiro. Ia terpana melihat tempat yang begitu luas yang didominasi oleh warna biru dan banyak orang yang berlalu-lalang. Tak lupa dengan senjata lengkap mereka, ada juga yang berpakaian layaknya orang kantoran biasa. Disana bahkan ada robot-robot yang mengikuti seolah menyatu bersama orang-orang dalam.
"Sebagian dari alat-alat yang ada disini dirancang oleh anak kecil."
Sumi melongo. "HAH?!"
Orang-orang sontak berhenti hanya untuk melihat pelaku yang berteriak. Sumi langsung membungkuk dalam, tentu saja ia malu setengah mati karena berteriak begitu saja. Sementara Hiro tertawa puas melihat Sumi.
Setelah beberapa adegan memalukan. Mereka sampai di sebuah ruangan mirip ruangan rapat. Sumi hanya diam kali ini, berdiri di belakang punggung tegap Hiro.
"Ini dia."
Sumi mendongak mendengar suara berat Hiro. Ia mengalihkan pandangannya ke arah pandang Hiro. Seorang pria tinggi dengan tubuh tegap datang bersama seorang perempuan yang terlihat seumuran dengan Sumi. Sumi terdiam sesaat, dua orang itu tampan cantik dan rupawan. Sang pria, ia memiliki mata layaknya batu tanzanite, dengan surai yang senada, tinggi semampai dengan wajahnya yang rupawan, hidung mancung dan rahang tegas juga tatapannya yang tajam. Sementara perempuan di belakangnya tingginya hanya sebatas leher pria rupawan itu, netranya berwarna violet, namun mata kirinya sedikit tertutup oleh poni, rambutnya berwarna merah muda dengan wajahnya yang ayu, terlihat dingin tak tersentuh.
"Lama tidak berjumpa, Hiro-sama," kata si laki-laki. Ia menjabat tangan Hiro dan memberikan senyum simpul lalu melihat ke arah Sumi dan mengulurkan tangan. "Kau pasti orang yang sudah dilatih oleh Hiro-sama. Perkenalkan, namaku Shinomiya Kanata," tambahnya memperkenalkan diri.
Sumi tersenyum dan menjabat tangan Kanata. "Mimori Sumi. Kuharap aku tidak merepotkan disini," balasnya sembari tersenyum.
Kanata mengangguk lalu melihat ke belakang. "Ah, dia Sakuragi Kaoru. Murid sekaligus rekanku saat ini. Kaoru!"
Gadis bernama Kaoru itu menghela napas, maju selangkah dan membungkukkan badannya. "Sakuragi Kaoru. Senang bertemu dengan seorang anggota Dewan Tinggi D.E.D, tuan Mimori Hiro," katanya.
Sumi langsung menatap Hiro yang mengangguk dengan senyum di wajahnya. Senyum penuh wibawa. "Master adalah Dewan Tinggi?" beo Sumi.
"Maaf tidak mengatakannya." Hiro mengelus rambut Sumi dengan lembut. Ia lantas menatap pada Kanata. "Aku titipkan anak angkatku padamu, Kanata-kun. Aku percaya kau bisa membimbingnya lebih baik lagi, terbukti dari anak didikmu yang sudah jadi agent muda terbaik."
"Itu karena ketekunannya. Hiro-sama sendiri, kapan kembali?"
"Jika waktu memintaku kembali. Ah, dimana Ayahmu? Ibumu?"
"Tou-sama dan Eomeoni sedang ada di ruangannya."
"Shishou memang tidak berubah," gumam Hiro.
Sumi melihat bingung. Ia mengerutkan kening tidak suka. "Master, kenapa aku tidak mengerti apa yang Master katakan? Shishou?"
Hiro mendengus sembari mengacak rambut Sumi. "Mereka adalah guruku dulu, Ayah dan Ibu dari Kanata-kun."
"Dan Hiro-sama adalah guruku."
Sumi membulatkan mulutnya lalu mengangguk. Ia sedikit bergeser kala kedua pria dengan usia yang beda 10 tahun itu mulai bercakap-cakap pasal hal yang lebih penting. Sumi duduk di salah satu kursi yang ada disana, Kaoru juga duduk di sebelahnya.
Sumi melirik. Ia pikir, keduanya mungkin tidak akan bisa akrab.
"Kaoru-san, desu yo nee?" tanya Sumi membuka percakapan.
Kaoru mengangguk. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, poninya bergeser memperlihatkan netra kiri gadis itu yang tampak lebih pekat daripada netra kanannya. Sumi melihat lamat-lamat.
"Kudengar kau seorang balerina, apa benar?"
Sumi mengangguk. "Master ingin aku menjadi balerina, jadi aku melakukannya."
"Huh? Baiklah. Lalu, apa berdiri disana menyenangkan?"
"Tergantung sih. Tapi aku suka balet."
"Kau pasti memiliki tubuh yang lentur, kau petarung jarak dekat?"
"No, I'm not a fighter but a sniper."
Kaoru menoleh. "Apa? Padahal tubuhmu pasti lentur dan itu bisa jadi salah satu keunggulan saat bertarung. Sayang sekali, tapi aku ingin melihat bagaimana dirimu menembak."
Sumi mengangguk. "Tentu saja kau akan melihatnya nanti. Oh ya, kau itu... Princess?"
Reaksi tubuh Kaoru membuat Sumi yakin dengan prediksinya. Ia hanya tertawa dan mengibaskan tangannya. "Aku hanya bercanda saja."
Hari demi hari berlalu, hingga bulan juga tahun sudah terlewat. Kini Sumi sudah berumur 17 tahun, gadis itu tumbuh menjadi semakin cantik dan juga gemilang. Di D.E.D, Sumi sudah menjadi salah satu agent muda yang berprestasi, ia sudah dapat bersanding dengan Kaoru yang masih menjadi top. Sementara karirnya dalam dunia balet juga tak kalah melejitnya, ia sudah menjadi salah satu dari The Most Famous Ballerina in the World.
Tak jarang, keduanya disanding-sandingkan sebagai penerus Ketua D.E.D yang selanjutnya. Dan kini, mungkin menjadi salah satu saat-saat yang akan Sumi tunggu seumur hidupnya. Ia telah berdiri di depan bangunan besar nan megah yang berdiri kokoh ditengah-tengah hamparan salju.
"Sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kaki di tanah kelahiranku ini," gumam Sumi. Seringainya timbul semakin lebar.
Tampilan Sumi tampak berbeda, rambutnya ia cat menjadi hitam, netra indahnya ia tutupi dengan softlens coklat dan gaun ketat yang membalut tubuhnya. Suasana didepannya juga tampak sangat mewah. Akan ada jamuan besar di sana.
Sumi mengambil ponselnya, ia membaca bahwa jamuan tersebut untuk menyambut bahagia salah satu anggota kerajaan yang tidak mau disebutkan namanya karena telah meraih sebuah prestasi besar yang sudah berlangsung lebih dari 4 tahun. Sumi tidak mengambil pusing, sebab ia tidak mengerti apa maksudnya.
Gadis yang kini berambut hitam itu masuk ke dalam istana setelah menunjukkan surat undangannya.
Kita lihat, dimana para bajingan itu dan siapa yang harus kubunuh terlebih dahulu?
Sumi mulai berbaur dengan orang-orang yang ada disana. Ia juga sempat berbincang layaknya orang yang memang datang ke pesta, hingga dua orang pria berambut pirang datang dan para tamu yang lain langsung membungkukkan badannya pada kedua orang itu serta memberikan salam.
Ini dia, batin Sumi.
Setelah menyapa singkat. Mereka kembali ke pestanya. Acara dansa pun turut diselenggarakan. Seorang pria mengulurkan tangan pada Sumi, gadis yang sedari tadi melihat situasi menoleh terkejut. Yang membuatnya lebih terkejut adalah saat ia menatap sepasang mata sapphire yang menatap dengan tatapan tertarik. Sumi tau orang itu. Nagi Valhart Von North, sang pangeran kedua dari Nothmarea.
"Shall we dance, Lady?"
"Tentu, Prince." Sumi menerima uluran tangan itu. Ia memegang bahu kanan Nagi saat pria itu memegang pinggangnya, keduanya bergerak ke tengah aula pesta dan berdansa disana.
Dalam hati Sumi menahan geram dan tangannya yang ingin menusukkan pisau tepat ke jantung pria yang menjadi lawan dansanya. Tenang Sumi, tenang, meski dia dalang dari kematian Mama dan Papa, kau tidak boleh gegabah, sugesti Sumi dalam hati.
"Siapa namamu, Lady?"
Sumi terkesiap. Ia tersenyum tipis dan berkata, "Aloisia, Prince."
"Aloisia? Nama yang unik, boleh aku memanggilmu Loisia?"
Sumi mengangguk saja, dengan senyum yang masih terpatri di bibir manisnya. Musik mulai berhenti. Sumi lekas berpamitan untuk pergi dari sana. Jelas ia tidak ingin terlihat mencolok berada di dekat Pangeran Kedua, pun, ia tidak mau kelepasan menancapkan pisau yang berada di dalam gaunnya.
Saat suasana mulai penuh, Sumi perlahan meminggirkan tubuhnya ke arah dinding. Ia berjalan menuju ke arah toilet. Sesampainya disana, Sumi melepas softlens yang ia kenakan dan melihat netra Aquamarine miliknya yang menyorot tajam.
Selepas keluar dari sana, Sumi berjalan di sepanjang lorong. di ujung sana, Pangeran Seth tampak berbincang dengan seseorang sebelum orang itu akhirnya pergi.
Sumi melancarkan aksinya. Ia berlari menuju Seth. Laki-laki itu menyadari keberadaan Sumi, ia membalikkan tubuhnya, namun sayang, Sumi lebih gesit daripada yang ia kira. Sebuah pisau sudah menancap di dadanya. Seth terbatuk, liur bercampur darah ia muntahnya, matanya menatap ke arah pisau yang sudah tertanam di tubuhnya. Lantas ia menatap ke arah orang yang menikamnya.
"Al... oi..."
"Mati kau, Seth!" desis Sumi.
"Pangeran Seth!!"
Sumi menoleh melihat segerombolan penjaga. Ia berdecih, memundurkan tubuhnya, melempar pisau ke arah jendela hingga pecah dan kabur dari sana.
"Kakak! Kejar dia sampai dapat!" teriak Nagi. Ia langsung melakukan pertolongan pertama pada Seth.
"Tidak!"
"Ha? Dia yang melak-!"
"Nagi." Seth mendesis. Tubuhnya sudah melemas dibarengi banyak darah yang keluar. "Evadne..."
Kala itu, Nagi tidak paham apa yang dimaksud oleh kakaknya. Ia hanya bisa menurut dan menarik kembali para pengawalnya yang akan melakukan pengejaran.
Setahun setengah berlalu, kini Nagi duduk di sebuah kafe sembari menatap ke luar. Ia menghela napas berat. Dalam hati bingung dengan apanyang sekarang harus ia lakukan.
"Bagaimana sekarang... jika terus begini, IDOLiSH7 akan terpecah belah," gumamnya nyaris lirih. Ia meminum teh yang ia pesan.
Disela kebingungan, Nagi memilih diam dengan sayup-sayup suara orang-orang yang berada di sekitarnya masuk ke dalam gendang telinganya. Nagi berdiri dari duduknya dan keluar dari kafe setelah meletakkan seberapa lembar uang tunai.
Ia berjalan dengan masker yang menutupi wajahnya, tak ingin ada orang yang mengenalinya sebagai seorang idola, pun seorang pangeran dari Eropa Utara. Sebab Nagi tau, diam-diam selalu ada orang yang ia kenal disekitarnya.
Bruk
Nagi tersadar, ia terlalu fokus pada apa yang sedang ia pikirkan sampai lupa para sekitar. Nagi langsung melihat ke depan, seorang perempuan tersungkur karenanya. Dengan cepat pria berambut pirang itu membantunya berdiri.
"Kau tidak apa-apa, Lady?"
"Aku ti-"
Nagi dan gadis didepannya terdiam. Nagi menatap lamat-lamat gadia yang berada didepannya, ia memgenali suara itu. Seorang tak asing, tapi ia sulit unfuk mengingatnya. Sementara orang yang ditabrak raut wajahnya datar seketika.
Nagi yang menyadari itu memimta maaf. "It's my bad, Lady. Bagaimana jika kutraktik untuk memperbaiki moodmu?"
Tangan Nagi ditepis. Pria itu terperangah, baru ada satu orang yang menolaknya.
"A-apa aku punya salah?"
"Aku membencimu!"
Gadis itu melengos pergi membuat Nagi melongo seketika. "Tu- wait me desu yo!" katanya sedikit keras lalu mengejar gadis tadi.
"Fuck! Kenapa kau mengikuti aku?!"
Nagi meringis. "Seorang Lady tidak pantas mengatakan bahas kasar begitu, akan ak- HEI!"
Keduanya mulai saling kejar-kejaran. Entah apa yang membuat Nagi sangat ingin mengejar gadis itu, ia sendiri tidak paham. Untuk menjawab rasa penasarannya itu, ia harus bisa mengenal gadis berambut pirang gelap yang sedang berjalan cepat dengan mulut yang terus melempar umpatan.
Hari pun menjelang sore dan akhir kejar-kejaran itu masih saja terjadi. Bahkan keesokan harinya juga sama. Nagi kembali datang ke tempat pertama mereka bertemu dan mencari gadis itu. Mereka kejar-kejaran lagi dan begitu terus hingga seminggu berlalu.
Kali ini, si gadis yang sudah muak tidak lagi lari. Ia menarik tangan Nagi hingga pria itu tersenyum sumringah. Keduanya masuk ke dal gang kecil.
"Lady, kau mau membawaku kemana?" tanya Nagi.
"Bacot."
"Uhh, bukankah kita harus berkenalan dengan benar dulu?"
"..."
"Namaku Rokuya Nagi. Siapa dirimu? Lalu kemana kita akan pergi?"
Si gadis berhenti, menoleh dengan tatapan tajam. "Diam pirang. Apa kau tidak lelah mengoceh?"
"Jika menangani gadis cantik, Of course I'm not tired," kata Nagi dengan senyum tampannya.
Si gadis tampak mual seketika. Ia memegang belakang kepala Nagi dan membenturkan dengan keras ke dinding. Nagi memekik sakit seketika, ia memegang kepalanya yang berdarah. "Ouch, ini sakit desu," keluhnya. Begitu menoleh ke belakang, gadis tadi sudah tidak ada.
Nagi terduduk. Ia mengambil sapu tangan di tasnya dan membersihkan darah di kepalanya. Berdiri dan pergi dari sana. Dalam hati, ia akan datang besok. Tampaknya seorang Rokuya Nagi tidak jera meski kepalanya sudah mengeluarkan darah. Baiklah... sepertinya otak Nagi sudah bermasalah. Mungkin karena terbentur?
•••
Sumi mengumpat kesal. Ia membidik ke arah sasaran berupa manekin yang jaraknya 10 meter didepannya. Dengan cepat, Sumi menarik pelatuknya dan peluru tadi tepat mengenai kepala manekin. Sumi menegakkan tubuhnya, ia menghela napas. Berusaha menetralkan emosinya yang naik-turun bagai roller coaster.
Di belakangnya, Kaoru melihat apa yang Sumi lakukan dengan seksama. Ia menghela napas, mendekat dan menepuk bahu Sumi. "Jangan terlalu emosi seperti itu," kata Kaoru.
"Aku tidak emosi!"
Kaoru mengernyitkan dahi. Ia bungkam lalu menatap ponselnya. "Bagaimana dengan segelas kopi? Ada toko yang baru buka, dekat dengan Fonte Choco. Kita bisa beli cake dan kopi juga."
"Sejak kapan kau suka cake?"
"Tadi. Setelah Nata membawakan macaron dan lemon cake dari sana."
"Hee. Baiklah, tapi aku mau mandi."
"Aku juga."
Kedua gadis itu saling melirik lalu lekas pergi dari sana menuju ke kamar mandi, membersihkan diri, sedikit berdandan dan kembali dengan pakaian yang sudah rapi.
Setelah keduanya siap, mereka keluar dari ruang latihan menuju ke arah pintu keluar. Saat akan mengambil salah satu mobil, Kanata yang baru saja masuk melihat mereka bingung.
"Tumben kalian cantik," celetuknya.
Kaoru melirik. Jengah. "Matamu saja yang buta," selorohnya lantas memasuki mobil yang ia pegang kuncinya.
Kanata mendelik. Saat mulutnya akan mengeluarkan umpatan, ia teringat akan sesuatu. "Oi Kaoru, dia akan datang malam ini. Kalian jangan pulang terlalu malam," pesannya.
Kaca mobil turun. Kaoru melihat dengan tatapan menyebalkan lalu menjawab dengan deheman. Perempatan siku imajiner muncul di pelipis Kanata. Pria tampan itu menatap dengan wajah datar namun matanya tampak berkilat kesal. Kaoru yang berada di dalam mobilnya tersenyum miring.
"Makanya jangan suka tebar pesona," dengusnya. Sumi yang sudah duduk disebelahnya memutar netra Aquamarine miliknya.
"Akrab seperti biasanya. Aku yakin kalian akan cocok jika menjadi sepasang kekasih," kata Sumi.
Kaoru melirik tajam. ia mulai menyalakan mobilnya, menunggu pintu terbuka. Saat pintu sudah terbuka, ia langsung menginjak pedal gas hingga Sumi terlonjak kaget. Begitupun dengan Kanata yang melihat mereka.
"Dasar gadis-gadis titisan setan," gerutunya. Ia berjalan memasuki markas dengan raut dinginnya.
Sementara Sumi memukul kepala Kaoru yang hampir membuatnya jantungan. "Kau gila?!" sentaknya.
"Yeah, aku gila."
Sumi menghembuskan napas. Ia menatap ke depan dengan tidak minat. Kaoru melirik sekilas ke arah Sumi. "Kau kenapa sebenarnya? Seminggu begitu."
"Tidak ada. Hanya berteman dengan orang gila yang makin gila," jawab Sumi seadanya.
"Dan orang gila itu adalah seorang idola yang sedang naik daun. Jika kau membunuhnya, kau akan diburu oleh banyak orang."
"Lalu? Aku memang ingin membunuhnya!"
Kaoru menghela napas. Wajahnya tetap tenang. "Kau yakin?"
"Maksudmu?"
"Aku sudah menyelidikinya. Setahun yang lalu, kau melakukan sebuah kejahatan dengan menikam seorang pangeran dari Nothmarea, bahkan kau pernah menyiapkan jebakan untuk membunuh pangeran pertama. Kenapa Sumi? Apa yang memotivasi dirimu?"
"..."
"Haa, aku tidak akan memaksamu bicara, hanya saja kita ini tim. Yah, meski aku lebih suka bekerja sendiri, tapi jika kau membuat masalah, aku juga bisa kena. Aku tidak ingin dunia melihatku."
"Kenapa? Karena kau princess?"
"Iya."
"..."
"Aku tidak mau bertemu kembali dengan ayahku, atau kakak-kakakku. Cukup aku hanya bisa leluasa bertemu dengan Velix, melihat orang itu dari kejauhan dan menjaganya dari jauh."
Sumi bungkam. Ia menopang dagunya dan melihat jalanan dari samping jendela. "Aku tidak pernah paham konsepmu."
"Karena kau belum bertemu dengannya." Kaoru menghentikan mobilnya. Ia keluar tanpa banyak bicara dan kembali 15 menit kemudian dengan dua buah kantung plastik. Ia meletakkan apa yang ia beli di pangkuan Sumi dan kembali menghidupkan mobilnya.
Sumi diam sesaat. Ia melihat ke arah Kaoru yang menutupi matanya dengan kacamata hitam. "Ano saa, kau tidak risih rambutmu menutupi mata kirimu?"
Kaoru mengernyitkan dahi. "Tidak. Aku tidak terlalu suka menunjukkan mata kiriku," aku Kaoru dengan jujur. Saat jalanan mulai lengang, ia menginjak pedal gas guna menambah kecepatan mobilnya.
"Kenapa? and, wait a minute! Kita mau kemana?"
"Pantai di daerah Chiba." Kaoru tersenyum miring.
"Tu- apa?!"
Kaoru hanya menarik sudut bibirnya tanpa beban. "Dan kenapa? Karena aku tidak suka mataku."
Sumi diam pasca syok. Setelah beberapa detik berlalu, ia lantas menatap ke arah Kaoru. "Tidak suka?"
"Iya. Ayahku menganggap mata ini kutukan."
"Gila."
Kaoru hanya tersenyum. "Awalnya aku ingin membutakan mata kiriku dengan gunting, tapi Ibuku menghalangi. Hanya segelintir orang yang menyukai mataku, dan itu yang membuat mata kiriku bertahan sampai sekarang," terang Kaoru.
"Segelintir orang?"
"Sou. Pertama adalah Ibuku, kedua Kakak tertuaku Velix, ketiga, dia... dan ke empat... dia."
"Dia? Dianya 2 kali atau dia itu dan dia yang satunya orang yang berbeda?"
"Dua orang yang berbeda. Salah satunya akan kau temui nanti malam."
Sumi memilih bungkam. Ia menatap jalanan yang mereka lewati, setelah cukup lama, mobil yang keduanya tumpangi sampai di sebuah pantai yang sepi. Kaoru turun lebih dahulu setelah mengambil bungkus kopinya.
Kedua gadis itu berjalan menyusuri bibir pantai. "Kali ini pantainya sepi sekali," gumam Sumi.
"Ini hari kerja. Sudah lama sekali aku tidak datang kesini."
"Kau sering kesini?"
"Begitulah, bersama Kanata."
"Kalian memang sangat dekat..."
Kaoru menggeleng, sudut bibirnya terangkat sedikit. "Bukan begitu. Kanata suka dengan laut, jadi setiap selesai misi, dia akan datang kesini untuk menenangkan diri. Disini juga tempat latihan kami karena tempatnya memang hampir setiap saat sepi," terang Kaoru. Ia meminum kopinya sembari menatap laut.
"Dari sini juga, aku merasa dekat dengan Velix, itu membuatku tenang," tambahnya.
"Velix kakakmu? Kenapa?"
"Entah dimana dia, kami terpisahkan oleh hamparan lautan tanpa batas. Namun, dari lautan juga kami terhubung. Sesuatu yang menghubungkan itu, membuatku merasa bisa menggapainya."
"Menghubungkan...." Apa jika dengan orang yang sudah mati bisa? batin Sumi tersenyum getir. "Kau sudah bertemu dengannya?"
"Sudah."
"Bagaimana dia?"
"Pria yang tampan, dengan rambut dan mata seperti diriku. Dia baik, selalu menebar senyuman seperti Mama. Kuyakin, banyak orang yang menyukainya, tapi yang tidak menyukainya juga pasti banyak."
"Kau... tidak mau tinggal bersamanya?"
Kaoru menggeleng. "Kami memutuskan menempuh jalan masing-masing. Dia dengan apa yang dia percaya, dan aku dengan apa yang kukejar, tapi tujuan kami sama."
"Kau tidak menyesali itu?"
"Aku merenung hampir sebulan. Pada akhirnya, aku lebih ingin menjaga orang yang menyelamatkan diriku dari dekat. Dan Kakakku menerima itu. Bagaimana denganmu? Aku tidak pernah mendengar cerita tentang dirimu."
Sumi terdiam. Ia melihat ke arah lautan. "Entahlah."
"Kau belum percaya padaku?" tanya Kaoru.
"Bukan... aku tidak punya orang yang kukejar. Aku hanya dipenuhi dengan dendam, sesuatu yang bisa meredakan dendam yang bergejolak ini hanyalah perkataan Master setiap harinya." Sumi melihat Kaoru yang duduk di pasir, ia mendengus dan turut duduk disebelah gadis pink itu.
"Asalmu dari mana?" tanya Kaoru.
"Nothmarea. Aku dulunya tinggal bersama kedua orang tuaku disebuah mansion yang indah dengan penduduk yang baik dan ramah. Namun... suatu hari... aku kehilangan semuanya dan menemui neraka dunia."
"Neraka?"
Sumi tersenyum sendu. Ia melihat cup kopi ditangannya, mengesap kopi itu membiarkan rada pahit memenuhi mulutnya disusul oleh rasa manis. "Terjadi pembantaian, semua orang yang ada di mansion tempatku dibunuh, kecuali aku. Aku berlari ke tempat pamanku dan kudapati paman dibunuh tepat di depanku. Setelah itu, hidupku berubah. Yang awalnya kulihat kebahagiaan, berganti dengan jeritan setiap harinya.
"Lalu aku bertemu dengan Master. Dia menyelamatkan diriku. Dan kau mau tau sesuatu, Kaoru?"
Kaoru menatap penuh pada Sumi.
"Orang yang melakukan semua itu, adalah orang dari kerajaan tempat keluargaku mengabdikan dirinya. Karena itu, aku sangat membenci mereka. Aku akan menghancurkan mereka."
Ingatan Sumi terasa masih segar, ia sangat ingat dengan jelas saat ia dikurung di sebuah sel yang kotor, berdebu dan pengap tanpa adanya sirkulasi udara. Lalu suara-suara yang setiap malam terdengar olehnya, jeritan kesakitan. Hingga wajah-wajah orang yang dibunuh didepannya, saat-saat dimana cambukan melayanh padanya, linggis panas, dan suara tawa juga umpatan. Bahu Sumi ditepuk, ia menoleh ke samping dimana Kaoru menatapnya.
"Kau baik-baik saja?"
"Ah... ya."
"Sesaat, kau seperti akan hancur."
Sumi mendengus. "Tidak akan sebelum aku menghancurkan mereka," terangnya dengan enteng.
Kaoru menyelipkan rambut yang menutupi mata kirinya ke belakang telinga. Ia menatap mata Sumi lamat-lamat. Tipis sekali, bahkan jika aku membunuhnya, akan sangat mudah untukku. Kenapa semakin tipis? Waktu pertama bertemu tidak setipis ini, apa karena dendamnya? Tidak, dia sudah diambang kehancuran. Dendam itu menbuatnya hancur. Dendam yang mengikis kehidupan.... Apa aku bisa membantunya? Tidak, aku hanya bisa menemaninya... karena itu yang Sumi butuhkan.
"Kurasa tidak salah Kanata-san suka disini. Tempat ini tenang dan nyaman," celetuk Sumi.
Kaoru segera memalingkan wajahnya. "Begitulah," jawabnya.
Keduanya diam dalam hening. Saat langit mulai menampakkan lembayung, kedua gadis itu hendak pergi. Namun, suara benda yang terjatuh membuat mereka mengalihkan atensi. Tangan keduanya memegang pistol yang selalu sedia di pakaian mereka.
Dengan saling melirik, mereka berjalan mencari asal suara. Sumi diam sesaat, ia memberi kode pada Kaoru untuk mengikutinya. Keduanya kembali berjalan melewati sisi-sisi batu karang besar dan berhenti saat melihat seorang gadis yang terduduk sembari memijat kakinya.
Kedua gadis itu kembali menyimpan senjata api mereka. Saling mengkode lewat tatapan mata dan langsung menghampirinya gadis yang tampak kesulitan.
"Permisi, kau tidak apa-apa?" tanya Sumi sembari menepuk bahu gadis itu.
Si gadis menoleh dengan tatapan kaget. Ia menatap kedua orang di depannya. Sementara Kaoru dan Sumi menatap mata biru dari si gadis.
Eh? Kenapa rasanya seperti terikat? batin keduanya.
Kaoru berjongkok didepan gadis itu dan menyentuh kakinya. Tangannya langsung ditepis. Gadis bernetra violet itu menghembuskan napas pelan. "Tenanglah, Nona. Aku hanya mau memeriksa kakimu," ujarnya dengan tenang. Kaoru kembali memegang kaki si gadis berambut seputih salju.
"Efek kecelakaan?" tanya Kaoru.
"Bagaimana kau tau?"
"Hanya melihat." Kaoru berbalik. "Naiklah, akan kuantarkan pulang."
"Eh?"
Sumi mengernyitkan dahi. "Apa? Kau mengira kami akan melecehkanmu? Jangan menatap begitu, aku dan dia masih 100% normal," dengus Sumi.
"Ah maaf." Gadis berambut putih itu naik ke punggung Kaoru.
Kaoru memegang pahanya, menahan agar tidak jatuh dan berdiri. "Kenapa ditempat sepi begini?"
"Aku sedang latihan drama."
"Drama? Kau seorang pemain film?"
"Bukan. Aku pemain teater. Lalu aku punya nama, namaku Daiba Maya."
Kaoru dan Sumi hanya mendengus membuat kebingungan timbul dalam diri Maya. Kaoru lekas membawa Maya ke mobil diikuti Sumi.
Setelah selesai, Kaoru kembali menyetir. Ditemani matahari yang mulai terbenam dan langit yang mulai menggelap, mobil yang mereka tumpangi membelah jalanan.
"Nama kalian siapa?" tanya Maya disela keheningan.
"Sumi."
"Kaoru."
Maya menghembuskan napas. "Kalian ini memang datar begitu, ya? Atau karena ada aku disini? Dan aku mengenali dirimu, Mimori Sumi, seorang ballerina."
Sumi melihat ke belakang. "Terimakasih sudah mengenaliku. Lalu, aku hanya tidak suka terlalu banyak bicara sedangkan orang disebelahku ini memang balok es dari sanannya. Semoga kau memakluminya, Maya," balas Sumi. Ia melirik jengah pada Kaoru yang hanya diam.
"Begitu? Baiklah. Ah, terimakasih sudah mau membawaku. Jika tidak, mungkin aku akan bermalam di pantai sendirian," kekeh Maya.
"Memang kau tidak punya teman yang mau menjemput?"
Maya hanya tersenyum.
Setelah sejam perjalanan, mobil mereka berhenti disebuah hotel. Sumi membantu Maya untuk kembali ke kamar hotelnya sementara Kaoru diam di mobil. Setelah selesai mengantar, keduanya kembali ke markas D.E.D.
Setelah sampai, Kaoru dan Sumi langsung bergabung dengan para agent yang telah berbaris dengan rapi di sepanjang lorong. Sumi yang bingung hanya diam saja, melirik Kaoru yang tampak antusias dengan apa yang akan datang, begitupun dengan para agent yang lainnya.
"Sebenarnya ada apa?" bisik Sumi pada Kaoru. Lagi-lagi, gadis yang dijuluki Princess of Ice itu diam membisu.
Sumi menghela napas dan menanyakan hal yang sama pada agent yang ada disebelahnya. "Ah, dia adalah Ketua Divisi termuda di D.E.D, keponakan dari pemimpin dan anak dari Queen," kata agent tersebut dengan bisikan.
"Queen?"
Agent tersebut mengangguk. "Benar, Queen itu julukan untuk kelompok yang dulunya menjadi agent terbaik disini. Yah, begitulah. Orang itu juga memang mempesona jadi banyak yang suka."
"Hmmm."
Tak lama, terlihat para petinggi D.E.D datang dari ujung lorong, terdiri dari empat baris dan ditengah-tengah, seorang gadis bersurai merah muda pudar berjalan bersama Kanata sekaligus berbicara dengannya. Gadis itu melempar senyum pada orang-orang yang ada di lorong.
Sumi terdiam melihatnya. Ia jelas masih mengingat warna rambut yang tampak seperti bunga sakura. Gadis yang ia lihat saat ingin bermain ice skating dan gadis yang ia kagumi gerakannya.
"Akhirnya bertemu lagi."
Sumi menoleh mendengar gumaman di sampingnya. Kaoru tampak berbinar senang. Sumi tertegun. Ini pertama kalinya ia melihat seorang Kaoru berbinar antusias, bahkan senyum di bibirnya tampak sangat lebar.
Siapa dia? Kenapa... pengaruhnya begitu besar?
•••
Tak kenal maka tak sayang. Mungkin itulah prinsip dari seorang Rokuya Nagi. Pria berambut pirang itu kini kembali duduk di bangku taman, tempat biasanya ia berpapasan dengan si gadis yang membuatnya penasaran. Yah, gadis itu adalah Sumi.
Nagi menyandarkan tubuhnya. "Kenapa aku sangat penasaran, ya? Seperti... aku terikat dengannya. Wait, apa ini cinta?" gumamnya.
Nagi berpikir keras. Disela-sela ia berpikir, ada sebuah botol yang menghantam wajahnya. Nagi mengaduh dan melihat siapa orang yang sudah melempar.
Niat ingin memarahi, raut wajah Nagi malah melunak. Ia bangun dan menghampiri seorang gadis. Yak, memang Sumi yang melempar botol minum itu dengan keras ke arah Nagi. Ia menatap bagi dengan pandangan jijik. Namun kali ini ia tidak lari. Terlalu malas untuk menghabiskan energinya yang berharga.
"Lady! Hari yang cerah bisa bertemu gadis secantik dirimu!"
"..."
Nagi menangkup tangan Sumi, detik berikutnya, tangannya ditepis. Nagi tak melunturkan senyumnya. Ia melihat Sumi dengan tatapan teduh. "Hari ini kau tidak lari. Ouh! Artinya lady menerimaku?" tanyanya dengan semangat.
"Minggir. Kau membuatku ingin muntah."
Nagi tersenyum kecut, ia kembali tersenyum dan berdiri di belakang Sumi lalu memegang bahunya. "Baiklah! Bagaimana jika kita minum teh bersama?" tawar Nagi.
"Enyah!" Sumi menyentak tangan Nagi. Ia menyorot tajam, satu tangannya mengeluarkan pisau dan mengacungkan tepat ke leher Nagi. "Berhenti berada di sekitarku! Itu membuatku semakin ingin membunuhmu, dasar sampah!"
"Sa-sampah? Watashi?"
"Iya. Kau itu sampah, kau dan seluruh keluargamu itu sampah!"
"... Apa maksudmu?"
Sumi tersenyum miring. Ia menarik kembali pisaunya. "Memang. Apa salah?" Kalian yang membunuh orang tuaku, sialan.
Nagi menghembuskan napas agar tetap tenang. "Aku tidak paham apa yang kau maksud sebenarnya..."
Sumi berdecih. Ia pergi dari sana meninggalkan Nagi yang termenung. Nagi duduk kembali ke bangku taman. "Apa keluargaku memiliki salah? Apa... ada hubungannya dengan Evadne? Tapi kenapa aku tiba-tiba terpikir itu? Sore ni, Evadne itu... siapa?"
Ditengah Nagi yang tengah berpikir, ia teringat akan sesuatu. Nagi langsung pergi dari taman dan berangkat ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, ia langsung masuk dan mencari ruangan seseorang. Setelah menemukan ruang VVIP, Nagi mengetuk pelan dan masuk. Ia melihat seorang gadis berambut coklat dengan netra merah tengah berkutat dengan komputernya. Nagi menghela napas, ia mendekat dan menyentil kening gadis itu.
"Apa begini sikap seorang gadis yang sedang sakit?" tanya Nagi. Intonasi anehnya juga hilang berganti dengan suaranya yang berat dan tegas.
Gadis itu tersentak dan menatap Nagi. "Prince? Kenapa disini?" tanyanya bingung.
"Adara... kau itu jika sakit, perhatikanlah dirimu sendiri," keluh Nagi. Ia menarik kursi dan duduk. Menutup laptop di pangkuan gadis bernama Adara itu dan menaruhnya di nakas.
"Tu- Prince! It's an important document! Ahhh bagaimana jika tidak tersimpan?!"
"Tinggal buat ulang," enteng Nagi.
Adara mendelik. Ia nyaris melempar buku ke wajah Nagi jika saja tidak sadar posisi. Ia menghembuskan napas, lantas menatap lamat-lamat wajah Nagi. "Ada apa Nagi?" tanyanya lebih santai. Wajah Nagi terlihat lelah. "Bukankah masalah Izumi Mitsuki sudah selesai?"
Nagi mengedikkan bahu. Ia memangku tangannya dan menatap bunga yang berada di meja. "Aku harus bagaimana, Adara?"
Adara menepuk pelan kepala Nagi. Ia sudah berteman dengan Nagi dan menjadi rekan bisnis untuk waktu yang cukup lama. Ia mengenal bagaimana seorang Rokuya Nagi. "Apa soal orang yang menolak cintamu?"
"Begitulah..."
"Kau jadi lesu Nagi."
"I know."
"Okay, bagaimana gadis itu? Ayo bercerita padaku."
Nagi termenung. Ia melihat wajah Adara yang yakin. Nagi mengambil setangkai mawar kuning dari vas. "Dia mempunyai rambut seperti ini, tapi lebih gelap," kata Nagi membuka cerita.
"Kuning?"
"Sou. Lalu matanya seperti permata, biru layaknya air yang jernih. Kulitnya putih, pipinya tidak terlalu tirus ataupun gembil, terlihat pas, matanya bulat dan sorotnya tajam, tapi, aku merasa kalau di dalam sorot tajam itu ada keluguan. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, cukup kurus, ramping dan ya... ideal menurutku."
"Gadis yang unik," komentar Adara.
"Memang!" Nagi berbinar samar. "Saat berlari dia sangat gesit! Seperti seorang atlet lari. Kami sering sekali bermain kejar-kejaran ditaman," cerita Nagi.
"Maksudnya dia kabur darimu?"
Jleb
Nagi memegang dadanya dan menatap Adara dengan tersakiti. "Adara kau menusuk hatiku yang paling dalam, desu! It hurts, desu!" Kembalilah logat Nagi secara tiba-tiba.
Adara tertawa kecil. Ia mengambil sebatang coklat di laci nakas dan memberikannya pada Nagi. "Dia pasti tidak suka padamu."
"Benar."
"Eh?"
Nagi membuka bungkus coklat. Ia mengigit kuat-kuat coklat ditangannya, mengunyah dan menatap Adara dengan putus asa. "Baru pertama kali aku merasa begini, Adara! Ugh, dia bilang dia membenciku. Apa salahku? Bertemu saja baru sekali."
"Bukankah itu aneh?"
"Iya, 'kan? Aku tidak mengerti atas dasar apa dia membenciku."
"Mungkin dia tau kau idola dan membencimu karena suka berkencan dengan gadis-gadis?"
Nagi mendelik tidak terima. "Berkencan? Kau tau sendiri bukan, aku tidak pernah berkencan sejak kecil. Hanya sebatas memuji para wanita."
"Sama saja dimataku," balas Adara datar.
Jleb. Nagi tertunduk lesu.
Adara terkekeh. Ia mengelus kepala Nagi pelan. "Apa kau yakin, jika kalian pertama kali bertemu hari itu? Apa kau tau namanya?"
"Yaa...."
"Sure?"
"Uhmmmm."
"Nagi Valhart Von North."
"Adaraaaa, jangan memakai nama itu disiniii."
"Baik baik, Rokuya Nagi."
"Sebenarnya, aku terpikir sesuatu."
Adara menatap penasaran. "Dulu, ahh apa kau ingat pesta yang biasa diadakan oleh kerajaan setiap tahunnya?" tanya Nagi. Adara mengangguk.
"Saat pesta terakhir... Kakakku tertusuk."
"Tertusuk? Maksudmu...."
"Ya, ada penyerangan. Seorang penyusup menyerang Kakakku, tepat di dadanya. Beruntung, tidak terkena ke jantungnya. Yang aneh, saat aku memerintahkan pengawal untuk mengejar, Kakakku justru menarik para pengawal itu. Saat itu, dia bahkan sudah muntah darah."
Adara mengernyitkan dahi. "Maksudnya? Dia mementingkan menghentikan pengejaran saat nyawanya mungkin melayang? Gila..."
Nagi mengangguk. Ia membenarkan sisi rambutnya dan melihat mawar kuning ditangannya. " Evadne. Itu yang Seth gumamnya sebelum akhirnya pingsan. Aku mencari nama itu di data penduduk Northmarea, tapi tidak ada. Aku yakin, ada hubungannya Evadne dengan gadis yang kutemui," ungkap Nagi.
"Bagaimana kau bisa yakin, Nagi?"
"Intuisi soerang pangeran."
Netra merah Adara berputar jengah. Ia mengambil sebuah buku dan membukanya. "Apa... data itu sengaja dihapus?" gumam Adara.
Nagi yang masih mendengar gumaman Adara turut merenung. Otaknya mencoba mencari-cari jawaban dari apa yang sedang terjadi. Adara yang melihat temannya kesulitan berdehem pelan. "Baiklah, akan kubantu mencari data tentang Evadne. Kurasa, Cattleya akan senang jika dapat pekerjaan baru," tutur Adara. Nagi mendongak dengan senyum sumringah. Ia memegang tangan Adara dengan erat.
"Terimakasih Adara! Kau memang teman terbaik yang kupunya. Jika butuh bantuan, katakan saja padaku!" ujar Nagi tulus.
Adara terkekeh. Ia mengambil kembali laptop di nakas dan menyalakannya. "Tentu. Bagaimana jika kau beritahu aku tentang keadaan Izumi Mitsuki."
"Mitsuki? Kenapa kau bertanya tentangnya? Kau suka pada Mitsuki?"
"Ja-jangan salah paham!"
"Hoooo, ternyata begitu. Kau suka dengan pembawa acara dari IDOLiSH7, yaaaa."
Adara menimpuk wajah Nagi dengan buku lagi. Wajahnya merona, ia mendengus dan menatap laptopnya. "Bukan begitu... aku hanya merasa mirip dengannya. Aku juga punya adik, dan ya... aku tau bagaimana rasanya berdiri dibelakang seorang adik. Melihat punggung orang yang ingin dilindungi dan menjadi contoh yang menginspirasi, tapi malah didahului," tutur Adara pelan.
"Adara... Cattleya sangat menyayangimu," tukas Nagi dengan lembut.
"I know. Aku sangat tau itu. Semoga Izumi Iori tidak berakhir seperti Cattl..."
"Kurasa tidak akan."
Adara melirik dan mendengus. "Ah sp-" belum sempat menyelesaikan ucapannya, Nagi langsung memotong, "Ngomong-ngomong kau sangat tau sekali soal Mitsuki, apa kau mencari tau soal Mitsuki?"
Buak
Sebuah buku kembali mencium wajah Nagi dengan mesra. Sang pelaku yang melempar berdehem seolah tidak melakukan apapun. Ia menatap laptopnya tertarik. "The Most Famous Ballerina in the World," gumam Adara.
"Ouch, ini hurt sekali desu."
"Aku jengah dengan aksennya..." Adara berdehem dan memutar laptop-nya pada Nagi. "Apa dia orangnya?" tanya Adara.
Nagi yang masih mengelus hidungnya melihat. Ia lantas memekik dan menatap Adara kagum. "Ka-kau bisa tau secepat itu!"
"Aku hanya mencari orang-orang dengan ciri-ciri yang kau sebutkan di internet...."
"Smart desu!"
"Prince. Kau lebih pintar dariku bahkan jenius. Aku heran kau tidak terpikir... apa kekuatan cinta bisa membodohkan seseorang, ya?"
Nagi melihat dengan seksama profil seorang ballerina yang sudah terkenal itu. "Mimori Sumi... nama yang indah," gumam Nagi dengan senyum kecil. Ia kembali melihat-lihat foto Sumi, kebanyakan foto saat gadis itu tengah melakukan pentas atau sejenisnya.
"Tampaknya dia akan melakukan pertunjukan."
Nagi mengangguk. "Baiklah." Nagi bangun lalu melempar pandangannya pada Adara. "Aku sampai lupa menanyakan kabarmu," gumam Nagi sesal.
Adara hanya tersenyum. "Tidak masalah, Nagi. Aku lebih senang bisa membantumu."
"Thanks, bagaimana keadaanmu?"
"Seperti yang kau lihat saja. Dokter bilang terlalu kelelahan mempengaruhi jantungku. Dan ya... para karyawan memintaku untuk bed rest sampai dokter bilang aku boleh bekerja lagi."
Nagi seketika menatap datar. "Tapi kau bekerja, Adara."
Adara tersenyum kaku. "Aku tidak akan mati hanya karena bekerja, Nagi. Sudah. Sekarang pergilah, ceritakan soal keadaan Izumi Mitsuki padaku melalui email, jangan chat, oke?"
"Kubawa langsung saja."
"NAGIIIIIIIIIII."
•••
Untuk kedua kalinya, Sumi dan Kaoru pergi ke pantai yang sama. Lagi-lagi, keduanya bertemu dengan Maya. Pada akhirnya mereka bertiga duduk di dekat batu karang dan dua kotak berisi kue juga beberapa minuman kalengan. Seperti orang yang sedang berpesta barang ilegal. Ketiganya bertukar cerita dan pengalaman, saling berbagi wawasan juga canda dan tawa. Kaoru yang tidak banyak berekspresi juga tampak luluh oleh Sumi dan Maya, gadis itu banyak tersenyum dan tertawa kecil.
"Lalu, kudengar industri hiburan dari TruPro sedang mempersiapkan sesuatu yang akan menggemparkan," kata Maya.
"Sou? Kau tau darimana soal yang seperti itu?" tanya Sumi.
"Orang-orang yang bermain di teater yang sama denganku sangat penasaran dengan Tsukumo yang katanya terlalu 'tenang', jadi dia mencari informasi," tutur Maya.
"Tsukumo juga dikenal memang tidak main-main dalam mendidik idola yang ia bina," sahut Kaoru. Ia meminum cappucino cup miliknya. Ia menatap ke arah cup ditangannya. Dan dia ada disana sekarang... apa... semua akan baik-baik saja? batin Kaoru.
Maya melihat keduanya dengan seksama. Ia memakan cake dan bergumam tidak jelas sebelum berkata, "Kalian tau sekali soal dunia entertainmen, tertarik masuk ke dunia itu?" tanya Maya.
"Tidak."
"Kompak," gumam Maya. Ia menatap tertarik. "Lalu? Jika tidak kenapa kalian seperti sangat mempelajarinya? Terlebih Sumi juga menjadi ballerina."
"Aku hanya belajar agar bisa membunuh orang yang kubenci," jawab Sumi seadanya.
"Aku hanya mempelajari apa yang malaikatku suka," sela Kaoru.
"Hmm~"
Kaoru dan Sumi menatap datar. "Apa?" tanya keduanya.
Secara tiba-tiba, seorang anak yang terlihat masih kecil menghampiri mereka dan mengajak mereka untuk bergabung dengannya. Disela kebingungannya, ketiganya mencoba memahami apa yang anak itu katakan. Lantas, saat sebuah nama diucapkan, Kaoru memutuskan untuk bergabung. Tingkahnya membuat Maya dan Sumi penasaran. Alhasil, ketiga orang itu akhirnya memilih bergabung.
Tak terasa enam bulan terlewat begitu cepat. Sumi telah bertemu dengan orang-orang yang juga dibina oleh seorang Cattleya Arstrella Oleander de Capella. Sampai terdengar olehnya, berita tentang Rokuya Nagi yang pulang ke Nothmarea.
Sumi yang bimbang dengan pilihannya merenung. Tiba-tiba, Sakura duduk disebelahnya. Sumi terkejut, ia tidak merasakan suara langkah kaki maupun hawa keberadaan seseorang.
"Sedang berpikir, ya?"
"Begitulah."
"Hummm... aku ingin pulang," gumam Sakura lirih.
Sumi melirik. "Kenapa?"
"Kakak-kakakku sedang ada masalah. Aku ingin membantu mereka," lirih Sakura.
Sumi bangun. "Baiklah, bagaimana jika kita minta izin bersama? Aku juga sebenarnya punya urusan."
"Eh? Tentu!"
Keduanya bangun dan berjalan keluar dari ruang latihan. Sumi yang berjalan didepan membuat punggungnya dilihat oleh Sakura.
Gadis berambut merah muda pudar itu menyentuh punggung Sumi hingga sang empu berhenti berjalan. "Itai no?"
"... Soal apa?"
"Semuanya... apa Sumi tidak bisa lega?" lirih Sakura.
Sumi menoleh ke belakang. "Tidak, sebelum aku menyelesaikan apa yang harus kuselesaikan," gumam Sumi lantas menarik tangan Sakura menuju ruangan Presiden Direktur. Sesampainya disana, mereka melihat Cattleya yang tampak sibuk.
Sumi mendekat dan berdiri di depan meja. "Sachou, ada waktu?" tanyanya.
"Kalian masuk tanpa mengetuk pintu. Katakan saja," ujar Cattleya tanpa mengalihkan perhatiannya dari kertas-kertas ditangannya.
"Kami ingin mengambil libur."
Alis Cattleya bertaut, ia melirik ke arah Sumi dan Sakura yang berada di belakang. "Berdua?" tanyanya kembali melihat kertasnya.
"Ya."
"Beri aku alasan yang logis." Cattleya menaruh kertanya dan menata kedua orang itu. Netra merahnya menyorot tajam.
Sakura mendekat. "Sachou, aku ingin kembali ke Jepang sampai keadaan kakak-kakakku membaik," ujar Sakura.
"Ada apa?"
"Mereka sedang ada masalah. Aku ingin setidaknya berada di sekitar mereka. Dengan begitu, aku bisa kembali berlatih mempersiapkan debut dengan tenang tanpa terganggu. Aku rasa, Sachou juga tau, jika pikiran sedang kacau, maka performa bisa saja berkurang dan akan membuat waktu debut kita semakin lama. Aku yakin, Sachou tidak mau itu terjadi," terang Sakura panjang lebar.
Cattleya menatap Sumi. "Lalu kau?"
"Menjernihkan pikiran," jawab Sumi seadanya.
Cattleya menatap keduanya intens. Ia menghela napas dan mengangguk. "Baiklah, akan 'ku izinkan. Dengan syarat, batasnya hanya sebulan dan paling lambat, kalian harus kembali 2 hari setelah sebulan. Jika tidak... kalian akan tau konsekuensinya."
Sakura dan Sumi mengangguk. Keduanya pergi dari sana dan bersiap untuk kepulangan mereka. Sehari berlalu, Adara dan Cattleya mengantarkan kedua gadis itu ke bandara.
Sakura pergi terlebih dahulu, karena ternyata seseorang sudah menjemputnya. Kini tinggal Sumi dan Capella bersaudara yang duduk menunggu Sumi take off.
Saat nama penerbangan dipanggil, Sumi berdiri dan pamit pergi. Adara dan Cattleya menatap punggung Sumi yang semakin menjauh.
"Kau yakin, Cattl?"
"Hanya ini yang bisa kita lakukan, Kak. Dia... harus bisa mengatasi dendamnya sendiri dan menemukan sebuah kebenaran. Bagaimana dia menyikapinya, kita hanya perlu mengawasi," tutur Cattleya.
Adara menghela napas. "Baiklah. Revan sudah sampai disana? Data soal apa yang temanku cari sudah kukirimkan."
"Apa yang Kakak temukan?"
"Tidak banyak... tapi setidaknya cukup untuk menjadi sebuah petunjuk."
"Begitu... ya..."
"Cattl?"
"Tidak. Minta para pangeran itu untuk berjaga-jaga. Aset kita satu ini sepertinya membawa sebuah racun."
"A-apa..."
Ini klimaks untukmu Sumi. Kau harus bisa melewati demdanmu... baru Antares dapat menerima dirimu, Sumi Aloisia Evadne...
•••
Dibalut oleh seragam maid, rambut yang dicat merah dan softlens merah, seorang Mimori Sumi masuk ke dalam ruang makan bersama dengan para maid yang lainnya. Ia menghidangkan makan malam mewah untuk para pemilik rumah.
"Sajikan makanan dengn rapi, jangan sampai ada yang tumpah," ujar seorang kepala pelayan.
"Baik," jawab pelayan lain tak terkecuali Sumi.
Mereka berbaris di belakang hingga para pemilik rumah datang.
Datang juga, saa, silahkan nikmati jamuannya, batin Sumi
Ditengah acara makan, Nagi secara tiba-tiba menghentikan Seth yang hendak minum. Tingkahnya membuat kebingungan bagi orang-orang.
"Ada apa Nagi?" tanya Seth.
"Bisa bawakan aku sumpit dari perak?"
Rahang Sumi mengeras. Ia berusaha tenang saat mata Raja menyorot padanya. Ia menatap seolah-olah kebingungan. Seorang maid memberikan sepasang sumpit berwarna perak pada Nagi.
"Terimakasih."
Maid itu menunduk sopan dan kembali ke tempatnya. Nagi melirik satu-persatu barisan maid. Ia mencelupkan ujung sumpit ke dalam gelas. Begitu ia mengangkat sumpit itu, ujungnya menghitam. Mereka semua kaget.
Seth mendesis, "Racun." Ia lantas menyorot pada para maid.
Sumi menunduk mengikuti para maid. Diam-diam seringainya timbul. Pintar sekali orang satu ini. Pelukan kubunuh duluan? Padahal mati bersama terdengar lebih manis, dengus Sumi dalam hati.
"Siapa yang membuat minuman ini?!" sentak Raja.
Mata semua maid memyorot para Sumi. Hembusan napas terdengar pelan. Sumi mengangkat kepala menatap keluarga kerajaan yang melihat padanya dengan sikap was-was. Ia tersenyum lebar dan maju selangkah.
"Yahhhh, sepertinya jamuannya tidak berhasil, ya? Tuan-tuan, bagaimana makan malam kali ini?"
Seth mendesis. Ia bangun dan para pengawal kerajaan sudah bersiap untuk menyerang Sumi. Sumi menatap remeh. "Pangeran pertama, anda bisa membuat warga sipil terluka, nanti nama anda akan menjadi jelek."
"Kau...!"
"Buff! Kita lihat, apa yang akan kita lakukan sekarang? Bermain tembak-tembakan??" Sumi tergelak. Ia menendang salah seorang pengawal yang hendak mendekatinya.
Pergelutan terjadi, para maid histeris melihat satu-persatu pengawal tumbang. Sementara beberapa pengawal lain mencoba mengevakusi anggota kerajaan. Inilah yang membuat Sumi dilatih menjadi sniper, saat gadis itu berada di dalam pertarungan jarak dekat, ia akan menjadi iblis.
"Ahahaha! Lemah!" pekik Sumi. Ia mengambil pistol yang terselip di pahanya. Menarik pelatuknya dengan cepat membidik ke arah Nagi. Beruntung seorang pengawal langsung melindungi dengan pelindung anti-peluru.
Sumi menatap tidak suka, ia menghajar orang-orang yang mendekatinya. Ia mulai fokus pada orang-orang yang ada dihadapannya hingga tidak sadar, bawah seseorang mendekatinya diam-diam. Begitu sadar dengan bau seseorang yang familiar, Sumi memutar tubuhnya dengan kaki mengayun ke belakang, sayangnya kakinya ditangkap lalu tengkuknya dipukul dengan keras.
Sumi mengerang pelan, pandangannya mulai mengabur dan tubuhnya ambruk. Namun ia tidak merasa sakit jika tubuhnya membentur lantai.
Nagi yang menangkap Sumi melihat wajahnya. "Bawa dia ke kamatku!" perintahnya.
"Ta-tapi pangeran...."
"Tidak ada tapi, cepat lakukan apa yang kuperintahkan, bersihkan tubuhnya."
Para maid yang masih gemetar lekas membopong tubuh Sumi. Nagi kembali ke sisi Seth dan sang Ayah. "Aku rasa dia orang yang sama dengan orang yang menikam, Aniue," kata Nagi.
"Aloisia..."
Nagi mengangguk pelan. Seth melihat pintu yang sudah tertutup kembali. "Kau kembali lagi," gumam Seth.
"Apa dia...?" Seth mengangguk mendengar penuturan Ayahnya yang mengambang. "Mustahil, dia masih hidup!"
Nagi mengernyitkan dahi. "Apa maksud kalian? Kenapa kalian seperti mengenal sosok Aloisia?" tanyanya bingung.
Sang Raja membawa kedua anaknya untuk pergi ke ruang pribadinya. Sementara para maid yang membersihkan tubuh Sumi terperangah melihat wujud asli Sumi setelah rambutnya dibersihkan dan softlens matanya dilepas. Gadis yang hampir saja membunuh seisi ruangan makan tampak sangat cantik dan polos saat sedang tertidur, berbeda dengan tadi yang tampak seperti iblis.
Untuk berjaga-jaga, mereka memasangkan borgol di kedua tangan Sumi yang dipasangkan ke tiang ranjang.
Setelah sejam lebih, Nagi pergi ke kamarnya. Ia menyuruh para maid unfuk pergi. Nagi mendekati ranjang dengan kepala yang mulai terasa bercabang. Saat berada di ruangan Ayahnya, ia sudah cukup kebingungan. Apalagi mendengar sebuah cerita yang cukup aneh untuknya.
"Dia adalah anak seorang bangsawan dari perbatasan Nothmarea. Suatu hari, keluarga mengalami pembantai dan Aloisia tidak ditemukan di manapun. Yang kami temukan hanya seorang pemberontak membantai keluarga Evadne. Nagi, kami ingin dirimu mengusut kasus ini. Temukan siapa yang sudah berkhianat dan lindungi gadis itu."
Ceritanya pun sama dengan informasi yang Adara berikan padanya. Tapi rasanya masih janggal. Ada celah yang Nagi rasa memang disembunyikan darinya. Nagi duduk di pinggir ranjang, ia mengurut batang hidungnya pelan. Lantas melirik ke arah gadis yang tengah tertidur. Ia mengernyitkan dahi, warna pirang yang sangat ia kenali.
Tidak tidak, jelas tidak mungkin.
Nagi menolehkan kepala itu perlahan. Matanya membulat. Tepat didepannya, gadis yang ia sukai berada. Tangan Nagi gemetar seketika. Ia mengelus pelan pipi gadis itu.
"Sumi..."
Beberapa hari berlalu. Kini, Sumi dipaksa untuk menjadi asisten pribadi seorang Rokuya Nagi. Mau tak mau, ia harus melakukannya karena saat ia terbangun, di lehernya sudah terpasang sebuah kalung berwarna hitam yang pas di lehermya. Saat ia akan melepas kalung itu, tubuhnya tersetrum. Setiap ia ingin melakukan suatu kejahatan, tubuhnya tersetrum.
Dan kini, ia bersama dengan pangeran kedua, Nagi Valhart Von North berada di dalam sebuah mobil. Entah ingin kemana, ia tidak tau. Tidak terlalu peduli dengan apa yang Nagi bincangkan bersama Thorvald, ia hanya memandangi jalanan yanh tertutup salju.
Begitu sadar dengan apa yang ia lewati, jantung Sumi berdetak kencang. Ini... wilayah tempatku tinggal, batinnya. Tangannya terkepal dengan napas memburu. Tangan Sumi ditepuk, ia menoleh ke samping. Nagi tampak masih berbicara dengan Thorvald, tapi tangannya menepuk dan menggenggam tangannya dengan lembut.
Sumi tak kuasa menepis tangan Nagi. Ia hanya diam, menyandarkan kepalanya.
"Yang Mulia, kita sampai," kata supir mobil mereka.
"Baiklah, terimakasih. Tetaplah disini," sahut Nagi.
Nagi keluar dari mobil, ia membukakan pintu mobil untuk Sumi. Gadis itu tampak tak yakin untuk menginjakkan kaki di tanah yang membuatnya trauma. Nagi tersenyum menenangkan, ia memegang tangan Sumi dan menarik tangannya pelan agar keluar. Selepas mereka keluar dari mobil, Nagi mengambil mantel yang Thorvald pegang dan memasangkan pada Sumi.
"Jangan sampai kedinginan," kata Nagi lembut.
Sumi bungkam.
Didepan mereka, sebuah bangunan yang tak terurus berdiri kokoh. Atapnya jebol dibeberapa sisi, dengan tumpukan salju disana dan suasana yang hampa. Sumi mencoba mengatur napasnya. Ia memejamkan mata saat sekelebat kenangan-kenangan buruk masuk begitu saja dalam otaknya.
"Mama, Papa," lirih Sumi.
"Ayo kita masuk." Nagi menarik pelan tangan Sumi. Keduanya masuk ke dalam mansion, suasananya mencekam menghampiri. Mansion itu penuh dengan debu, barang-barang tertutup dengan kain putih, beberapa terkena bercak kecoklatan dan ada barang-barang yang sudah rusak. Napas Sumi tercekat.
"Aku tidak kuat," gumam Sumi.
Nagi melihat arah Sumi, detik berikutnya ia terkejut melihat gadis itu menyentak tangannya dan keluar dari mansion. Nagi lekas mengejar. Sumi terduduk di atas salju, ia memuntahkan isi perutnya. Mantelnya terlepas begiru saja menampilkan pakaian yang tidak terlalu tebal.
"Sumi!"
Bahu gadis berambut pirang gelap itu bergetar. Nagi mendekat dan memeluk Sumi dari belakang. "Tenangkan dirimu," bisik Nagi, ia mengelus pelan bahu Sumi dengan lembut.
"Lepaskan..."
"Tidak mau." Nagi mengeratkan pelukannya saat Sumi mulai memberontak. Nagi tersenyum kecil, Sumi-nya terlihat seperti remaja yang tengah merajuk.
"Lepas, Nagi!" pekik Sumi.
Thorvald yang melihat mereka memilih mundur, kembali ke mobil untuk mengambil air mineral.
Nagi hanya diam, tangannya mengelus lengan Sumi dengan lembut. "Menangislah, Loui," bisik Nagi. Bahu Sumi yang gemetar membuat Nagi mengeratkan dekapannya.
"Jika saja... jika saja kami tidak terlahir disini.. Jika orangtuaku tidak mengabdi pada negara... apa semua akan berbeda?" lirih Sumi disela sesegukan.
"Semua akan tetap sama."
Sumi terisak kencang. "Karena kalian, karena kalian semua! Aku kehilangan orang tuaku. Aku menemui neraka, Nagi! Orang itu suruhan kalian, bukan?! Katakan padaku!"
Yang bisa Nagi lakukan hanya mendekap Sumi dengan erat. Ia mengigit bibir bawahnya, hatinya terasa sakit melihat orang yang ia suka menangis seperti sekarang.
"Sumi...," panggil Nagi pelan. Ia menangkup pipi Sumi dan mempertemukan kedua bibir mereka. Nagi menyeka air mata di pipi Sumi. Ia menatap dengan lembut.
Begitu tautan bibir mereka terlepas, Nagi menempelkan keningnya dengan kening Sumi. "Dengarkan aku. Semua itu tidak benar, orang yang membunuh orangtuamu adalah salah satu bangsawan yang memberontak dari kerajaan Northmarea. Maafkan aku tidak bisa menyelamatkanmu. Aku sungguh menyesal membuat dirimu mengalami hal-hal seperti ini," kata Nagi. Ia mengecup kening Sumi cukup lama. Kau boleh membenciku, asal aku bisa menjagamu, batin Nagi.
"Kau... ada bukti?"
Nagi mengangguk mantap. Ia memeluk Sumi lagi. "Aku akan menjagamu mulai sekarang dan seterusnya, sampai ajal menjemputku."
"Aku membencimu."
"Tak apa." Nagi menatap dengan mata teduhnya. Ia mengusap bawah netra Aquamarine indah milik Sumi. "Karena aku mencintaimu."
Nagi kembali mencium bibir Sumi.
| The End |
|Sisipan|
Setelah Sumi berangkat.
Adara dan Cattleya berjalan keluar dari bandara. Mereka berhenti saat melihat sosok Hiro berdiri tak jauh dari mobil keduanya. Adara tersenyum lebar, ia berjalan terlebih dahulu menghampiri Hiro.
"Hiro-san, lama tidak bertemu!" tuturnya.
Hiro melepas kacamata yang membingkai matanya dan tersenyum. "Lama tidak bertemu, Capella bersaudara. Bagaimana kabar kalian? Bagaimana jika segelas kopi bersama?" tawarnya.
"Tentu," balas Adara dan Cattleya.
Adara dan Cattleya memasuki mobil mereka sendiri, sementara Hiro juga memasuki mobil yang ia bawa. Kedua mobil mewah itu melaju membelah jalanan California hingga sampai di sebuah restoran. Singkat cerita, mereka kini berada disebuah ruangan privat.
"Lama tidak berjumpa kalian semakin cantik saja," puji Hiro.
Cattleya tersenyum. "Tentu saja. Memang siapa kami?" dengus Adara. Ia meminum Americano coffee ditangannya. "Tumben ada disini, Paman Hiro. Berniat menjenguk Sumi?" tanyanya.
Hiro mengangguk. "Begitulah. Anak itu terlihat lebih baik sejak terakhir aku melihatnya. Kurasa terus berada di sekitar tempat dengan suara tembakan dan bau besi tidak baik untuk pertumbuhan mentalnya," kata Hiro.
"Tentu saja," kata Adara dan Cattleya kompak.
Hiro terkekeh. Ia melihat ke arah Adara. "Bahasa Jepangmu semakin baik saja, Adara. Bukankah terakhir bahasanya masih campur-campur dengan bahasa Perancis," puji Hiro.
Adara hanya menunduk malu. "Tentu saja, aku terus belajar agar bisa mendekatkan diri dengan mereka."
Hiro tersenyum. "Syukurlah jika begitu, keadaanmu juga tampak baik-baik saja."
Adara mengangguk dan tersenyum. Cattleya menyeringai dan menyenggol lengan kakaknya. "Iya, lah. Dia sedang kesemsem," gurau Cattleya.
"Cattleyaaaaaa."
Cattleya tertawa melihat wajah kakaknya yang semerah tomat.
"Are, siapa?" Hiro yang penasaran bertanya.
"Itu, idola dari IDOLiSH7. Yang warna jingga," kata Cattleya sembari cekikikan.
"Izumi Mitsuki?"
"Sou!"
Adara menutup wajahnya. "Hentikannnn, kalian kompak sekali jika dalam situasi beginiiii," pekiknya.
Cattleya yang masih tertawa teringat akan sesuatu. Ia melihat ke aran Hiro yang juga menatapnya, tampaknya pria berkepala tiga itu tau jika dirinya akan bertanya. Adara yang sudah menetralkan rona wajahnya turut melihat Cattleya.
"Paman, aku sangat berterimakasih karena paman sudah membantu kami saat kami masih di rumah laknat itu. Tapi, aku juga seorang Presiden Direktur saat ini, aku harus tau segalanya tentang idola yang aku bina," tutur Cattleya.
Hiro meminum kopinya. "Katakan saja."
"Aku tau latar belakang Sumi. Masa lalu, dan masa depannya. Walau begitu, aku tidak bisa memastikan masa depan itu akan tetap seperti yang kulihat. Mimori Sumi, dimana Paman Hiro menemukannya?"
"Nothmarea."
"Dalam keadaan?"
"Penuh luka dan tatapan penuh kebencian."
"Dan pintarnya Paman melatihnya menjadi agent," gumam Adara.
Hiro menghela napas. "Itu tanpa sengaja. Dia melihatku sedang berlatih dan mengatakan ingin menjadi kuat. Melihat tatapannya, aku tidak bisa menolak. Seminggu belajar, Sumi sudah setara dengan agent lulusan terbaik akademi. Dia bisa jadi iblis jika bertarung dengan pisau. Lalu aku memberikannya senapan dan itu jati dirinya sekarang. Aku memperkenalkan profilnya pada kalian, agar dia menjadi Manusia, menjadikan Ballerina dan yang lainnya..." Hiro melihat langit-langit ruangan.
"Hanya dia yang bisa menjadikan dirinya manusia," gumam Adara..
•••
Sehari selepas tertangkapnya Sumi.
Sumi yang masih diborgol hanya bisa menurut kemana ia dibawa. Kini ia duduk disebuah ruangan berisi berbagai jenis buku. Tampaknya pangeran kedua tau kalau dirinya juga bosan dan malas memberontak. Ia sayang pada nyawanya.
Dengan buku ditangan, secangkir teh, teko teh, dan biskuit, Sumi menikmati kesunyian. Tak lama, pintu terbuka, atensi Sumi masih pada buku. Hingga bunyi derit kayu yang digerakkan mengangguk pendengarannya.
Sumi melirik. Seth ada disana. "Apa?"
"Aku hanya mau mengobrol."
Sumi mendengus. "Apa gunanya itu sekarang?"
Seth melihat wajah Sumi dengan seksama. "Aloisia, kau benar-benar tidak mengingat diriku?" tanyanya.
"Aku ingat."
Wajah Seth memancarkan secercah harapan. Ia menatap harap pada Sumi, namun yang ia dapat hanya sebuah kalimat yang membuatnya tersenyum kecut, "Orang yang seharusnya sudah mati setelah kutikam."
Seth melihat keluar jendela. "Aloisia, Upacara Valsinore yang sangat ingin kau lihat itu, aku berhasil menyelenggarakannya kembali. Mungkin kau tidak ingat, dulu, saat masih kecil, kau selalu bilang ingin melihat pertunjukan musik dan aku berpidato untuk pembukaan. Aku sudah melakukannya."
"Lalu."
"Kau tetap kuanggap sebagai adikku."
"Tidak butuh."
Seth tersenyum kecut. Ia melihat Nagi yang berada di ambang pintu dengan tatapan tanya. Seth tidak mengatakan apapun. Ia bangun dan pergi dari sana.
••••
Hari ke enam
Nagi mendatangi sebuah kafe. Ia sudah membuat janji dengan seseorang disana. Begitu masuk, suasana sepi menghampiri, hanya ada bartender dan seorang pria yang duduk didekat piano. Nagi lekas mendekat.
"Maaf terlambat," kata Nagi. Ia membuka mantelnya dan menyampirkan di sandaran kursi lalu duduk.
"Tidak apa-apa. Diluar sedang ada badai, maaf membuatmu repot karena harus menemui aku disini," tutur pria itu.
"Iie, wajar Anda tidak ingin Sumi melihat kehadiran Anda disini, Mimori Hiro."
Hiro tersenyum. Ia meminum kopinya. "Kenapa mencariku?"
"Kudengar, Anda menemukan Sumi disini beberapa tahun yang lalu. Bisakah Anda menceritakannya?"
"Untuk apa aku menceritakan kelamnya anakku?"
"..."
Hiro menatap tertarik. Ia meminum kopinya dengan tenang. Nagi yang melihat itu menghembuskan napas. "Karena aku ingin dia menjadi manusia. Aku mencintainya dan aku ingin menjaganya," jawab Nagi yakin.
"Menarik. Baiklah. Aku kemari untuk menangkap sebuah pengedar narkoba internasional, tapi yang kutemukan adalah sekelompok pembelot pemerintah yang sering kali menculik anak-anak yatim piatu dan menyiksa mereka. Korbannya sudah banyak. Aku punya berkasnya." Hiro memberikan map pada Nagi. "Salah satunya adalah Sumi. Dia satu-satunya orang yang selamat dan mendapatkan perlakuan istimewa dari para pembelot itu," cerita Hiro.
"Istimewa?" beo Nagi.
"Ya. Pendidikan untuk membenci Nothmarea."
Nagi membulatkan matanya. "Artinya... mereka menyiapkan Sumi untuk menjadi mesin pembunuh... dan menghancurkan Nothmarea...." tangan Nagi terkepal. Ia bangun dari duduknya dan mengambil mantelnya. "Terimakasih atas informasinya, Tuan. Aku harus pergi."
"Prince. Untuk menaklukkan, kau harus membuatnya lemah terlebih dahulu dan memberinya harapan," kata Hiro.
Nagi berhenti tanpa menoleh. "Akan kuingat baik-baik."
Beneran End
[A/N]: Uwai panjang hehehe
See you~
With Love
Leya ~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro