Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Calla Lily

[N]: akhirnya bisa up 😭

Cerita ini ditunjukkan untuk mbak saya tercinta karinasekarr KarinSekarR (sama aja tapi aku lupa akun barunya yang mana//tertekan)
Semoga baperrrrr, eh semoga srek dan semoga ga ooc

Udah selamat membacaaaa

Oh! Banyak skipnya, mohon maklumi:"
Doakan yang Riku sama Gaku cepet

Happy reading!

...

Guguran bunga sakura menghiasi sepanjang laki-laki bersurai merah muda pudar berjalan. Senyumnya mengembang, tangan kanannya menggandeng seorang gadis yang masih berumur 10 tahun. Udara yang segar membuatnya bernapas lega. Ia menoleh, menunduk menatap gadis kecil yang ingin berlari-lari menyusuri taman yang penuh bunga sakura, tapi ditahan.

Laki-laki itu melepas pegangan. "Bermainlah, Saku. Nii-san akan tunggu di bangku itu," ujarnya sembari menunjuk bangku taman.

Gadis kecil berbinar. "Boleh?!"

"Tentu saja." Ia memberikan senyum terbaiknya hingga gadis kecil memekik kesenangan dan lekas berlari menuju sebuah ayunan.

Laki-laki dengan netra magenta itu menyorot hangat. Dalam hati ia menggumamkan tekad untuk menjaga keluarga satu-satunya yang ia miliki dan tak akan pernah menyesali pilihannya. Namanya Nanase Tenn, ah, mungkin kini ia harus mengakui dirinya sendiri sebagai Kujou Tenn.

Tenn menjatuhkan diri di bangku taman, tepat saat pantatnya menyentuh besi, guguran bunga sakura menerpa dirinya. Mengingatkannya pada sebuah pertemuan dengan seorang pria yang mengubah diri dan mimpinya. Helaan napas keluar dari bibir Tenn. Ia menatap ke depan, terkejut saat adiknya terjatuh dari ayunan. Tenn bangun dan berlari mendekat. Mengangkat tubuh kecil adiknya agar berdiri.

"Sakit," gumam gadis kecil. Netra crimson itu menatap dengan berkaca-kaca.

Tenn tersenyum kecil, menepuk-nepuk lutut adiknya. "Sakit sakit hilanglah~!"

Binar mata kembali ke netra crimson itu. "Sudah tidak sakit!" katanya antusias. Ia lantas menujuk pada ayunan. Rupanya terlalu tinggi hingga ia tidak bisa menaikinya.

Tenn terkekeh, ia menggendong adiknya dan menaruh di ayunan. Berdiri di belakang ayunan itu dan mendorong pelan. Ia tersenyum lembut saat adiknya tertawa dengan bahagia. "Apa Saku senang?" tanyanya.

Kujou Sakura, itulah nama adik dari Kujou Tenn. Keduanya memiliki surai yang sama, namun netra yang berbeda. Sakura tersenyum riang, ia mendongak menatap mata kakaknya dengan binar bahagia. "Tentu saja! Saku bahagia sekali," ungkaknya tulus.

Gerakan mendorong Tenn berhenti. Ia memegang ayunannya agar berhenti dan menunduk. "Meski tidak bisa bersama Kaa-san, Tou-san, dan Riku?" tanyanya pelan.

"Kenapa Saku harus sedih?"

"Saku..."

Sakura tersenyum ceria. "Tenn-nii, terimakasih sudah membawa Saku bersama Tenn-nii. Saku sangat senang bisa bersama dengan Tenn-nii!" ujarnya diakhiri cengiran lebar.

Hati Tenn mencelos. Adiknya baru berusia sepuluh tahun, dan ia memaksanya untuk bersikap tegar. Tenn menunduk. Tekadnya mendadak goyah. Pegangan pada tangannya membuat Tenn tersentak. Ia menatap lembut adiknya dan mendorong ayunannya pelan.

"Tidak apa-apa Tenn-nii. Sampai kapanpun, Saku akan selalu berada di sisi Tenn-nii," tukas polos Sakura.

Setidaknya, aku punya sesuatu yang ingin aku lindungi, batin Tenn.

•••

Tenn berjalan bersama pria dewasa disebelah. Ia berhenti saat orang dewasa yang kini menjadi Ayah angkatnya itu berhenti. Tenn mendongak, melihat nama dari tempat yang mereka kunjungi. Sudah tiga bulan lebih sejak Tenn mengikuti Takamasa melihat berbagai pertunjukan seni.

"Disini aku akan berlatih, Kujou-san?"

Takamasa, nama orang itu. Pria itu mengangguk. "Sou yo, mulai sekarang kau akan berlatih disini sampai kita bertemu dengan seseorang yang akan mengajarkanmu soal menjadi nomor satu," jelasnya.

Tenn mengangguk paham. Ia sudah sering dengar tentang orang yang selalu Takamasa banggakan itu. "Lalu Sakura?"

"Ah, untuk Sakura berbeda. Dia akan berada di luar negeri, berlatih sendiri sekaligus melakukan pengobatan "

Mata Tenn membulat. "Apa? Aku tidak pernah dengar soal itu! Aku tidak mau Kujou-san!"

Takamasa melirik pada Tenn. Memegang bahu pria berumur 13 tabun itu. "Dengar Tenn, aku melakukan ini demi kebaikanmu. Jika kalian tetap bersama, yang ada kau tidak akan bisa fokus pada latihan. Debutmu akan semakin lama," terangnya.

Tenn menunduk dalam. Ia menghembuskan napas dan mengangguk paham. "Baiklah, tapi izinkan aku melihatnya sesekali."

Takamasa mengangguk. Sehari setelahnya, Tenn memulai latihannya dengan pelatihan menari dan menyanyinya. Ia selalu berangkat pagi hari untuk bersekolah, lalu setelah pulang, ia akan memulai latihan menyanyi hingga jam tujuh malam, melanjutkan latihan menari hingga jam sebelas malam.

Sementara, disebuah tempat yang dingin. Serang gadis berumur 14 ditahun duduk bersandar di bahu seorang pria dewasa dengan surai coklat. "Kenapa kau lesu begitu?" tanya pria itu.

(Visualnya kek gini, plis abaikan latarnya 😭🙏)

"Papa bilang, aku akan punya adik. Lalu, bukan depan kami akan bertemu."

"Lalu? Kenapa lesu begitu?"

Gadis berambut merah muda itu menggeleng. "Hanya berpikir, apa Papa sungguh ingin mengganti posisi Zero Nii-sama?" tuturnya lemah.

Laki-laki bernama Sakura Haruki itu mendengus pelan. Mengusap surai gadis yang lesu. "Biarlah dia dengan apa yang dimaui. Takamasa tidak akan berhenti sampai apa yang dia inginkan dapat tercapai."

Reika, nama gadis berusia 14 tahun itu mengangguk. Netra golden topaz milik Reika menyorot tidak yakin. "Aku takut melupakan Haruki," katanya dengan polos.

"Melupakanku?"

"Uhm!"

"Kau harus melupakan diriku, Reika."

Reika menegakkan tubuhnya dan menatap kaget. "Maksudnya? Tidak mau! Aku tidak mau melupakan Haruki, aku mencintai Haruki dan akan terus mencintai Haruki."

Haruki menatap mata Reika. Ia menepuk puncak kepala Reika dan mendengus pelan. "Tolong jaga posisi milik Zero. Pastikan hanya orang yang yang pantas yang bisa mendapatkan posisi itu."

•••

Reika turun dari panggung setelah selesai melakukan live, ia mengatur napasnya pelan. Seorang perempuan memberikan handuk dan air pada Reika. Dengan senang hati, gadis bernetra golden topaz itu menerimanya. "Arigatou Hoshiya-san!"

"Douitashimasu. Ah, ada yang menunggumu."

Reika menatap heran. Melihat diamnya manajernya, Reika mengangguk paham dan pergi menuju ruangan yang disediakan untuknya beristirahat. Saat masuk ke dalam ruangan, mata Reika berbinar. Ayah angkatnya ada disana bersama seorang laki-laki dan perempuan.

"Papa!"

Mereka menoleh. Takamasa, pria yang Reika sebut 'Papa' tersenyum dan berdiri. "Doumo Reika. Otsukaresama, kau sudah melakukan yang terbaik di atas panggung tadi. Semua orang bersorak, seperti berada di dalan pesta tiada akhir," tutur Takamasa. Di matanya ada binar antusias yang tampak redup. Reika yang melihat binar itu diam. Ia mengangguk dan tersenyum pada Takamasa.

"Benarkah? Apa Papa senang?"

Takamasa mengangguk. "Aa, tentu saja. Kau memang Ratu-nya Reika! Sama seperti Zero, kau memimpin segalanya."

"Ahahaha, Papa terlalu memujiku."

"Tentu saja tidak. Ah, aku memang mencintaimu Reika."

Reika mengangguk dengan wajah tersipu. Ia mengedarkan pandangannya saat merasakan hawa orang lain disana. Seorang pria dewasa datang bersama dua orang anak berambut merah muda pudar. Reika berbinar melihat rambut yang sudah mirip permen kapas.

"Papa siapa mereka?" tanyanya bingung, meski jika dilihat matanya sudah ingin menerjang dua orang itu.

"Mereka adikmu."

"Adik?! Sungguh aku punya adik sungguhan sekarang?!"

Takamasa tertawa dan mengangguk. Reika menatap keduanya lagi. Laki-laki yang berambut merah muda pudar ancang-ancang berdiri di depan gadis berumur 10 tahun.

A-are, dia tau aku mau memeluk? batin Reika bingung. Reika berdehem, gadis berusia 14 tahun itu mendekat dan berdiri di depan keduanya.

Takamasa mengikuti dari belakang. "Hora, Tenn, perkenalkan dirimu."

"Ah, hai', Kujou-san." Tenn, laki-laki yang kini berumur 13 tahun menatap Reika. "Na... Kujou Tenn desu. Etto... Yoroshiku...?"

"Kawaii...," Reika bergumam pelan.

Tenn langsung menghalangi Reika yang akan melihat adiknya. Reika mengerjab. Ia tertawa melihat tingkah Tenn. "Hei kenapa? Aku kan mau kenalan dengan dia juga!" tuturnya.

"Aku merasa Reika-san akan memeluknya dengan sangat erat..."

"Ha?! Ya-yah... 'kan tergantung...."

Tenn memicingkan mata. Reika menelan ludah susah payah. Akhirnya ia mengangkat tangan dengan jari membentuk huruf V. Tenn melangkah ke samping.

Kini mata Reika menatap Sakura yang kebingungan. Mata Reika bersibobrok dengan mata Sakura. Detik berikutnya ia memekik dan akan memeluk anak kecil itu namun dihentikan oleh Tenn. Reika mengerucutkan bibir.

"Kenapa tidak boleh?!" tanyanya marah. "Aku mau peluk saja! Apa salahnya?!"

Tenn menggeleng tegas. "Tidak boleh."

"Ha?! Apa-apaan itu. Bicara itu yang jelas, beri alasannya juga!"

Tenn ragu. Ia melihat pada Takamasa. Pria itu diam mengamati. Tenn menghembuskan napas pelan, dan berkata, "Adikku punya asma akut. Aku khawatir jika pelukannya terlalu kuat, dia bisa sesak," jelas Tenn.

"Eh... jadi begitu... ma-maaf!"

Sementara Sakura menyembulkan kepalanya dar belakk tubuh Tenn. "Onee-chan yang penampilannya indah tadi," kagumnya.

Reika melambaikan tangan. "Yaho! Namamu siapa?"

"Sakura! Nanase Sakura!"

Tenn berdehem. Sakura mendongak pada Tenn. "Kujou Sakura," koreksi Tenn. Ia menepuk kepala Sakura pelan. Sakura tersenyum pada Tenn dan mengangguk.

Nanase, ya? Jika mereka sudah menyandang nama Kujou, berarti dua orang yang dilatih Papa... akan dibuang? batin Reika. Ia mendekat dan menangkup pipi Sakura. "Manisnya, Sakura Reika desuuu. Nama kita sama, ya," kekeh Reika. Ia memainkan pipi Sakura yang gembul.

Takamasa yang melihat itu mendengus. Ia membawa Tenn dan Sakura untuk pergi ke kafetaria sementara Reika harus membersihkan dirinya dulu sebelum menyusul ketiganya.

Saat Reika keluar dari gedung stadion, ia sudah rapi dengan masker dan topi untuk sedikit menutupi dirinya. Reika menghembuskan napas pelan. "Papa, benar-benar dendam, ya?" gumamnya.

Mobil berhenti didepannya. Reika masuk dan mengangguk pada supir dari agensinya. Reika mengambil boneka kucing miliknya dan memeluknya. Pikirannya melayang pada masa-masa saat ia masih balita. Ingatan yang harusnya samar, ia malah mengingatnya dengan jelas.

Hari itu ia baru saja melihat konser Zero. Ia ikut menyiapkan konser itu, lebih tepatnya, ia dibawa oleh Haruki dan Takamasa. Sekarang, ia berada di pinggir panggung bersama Zero. Reika duduk di pangkuan Zero, laki-laki itu baru saja berganti pakaian dan membersihkan diri.

"Dou? Kau menikmati konserku, Reika?"

Reika kecil mengangguk semangat. "Sangat hebat!"

Zero tersenyum dan mengelus rambut Reika. "Senangnya jika dipuji Reika."

"Jaa, Reika akan memuji Zero Nii-sama terus! Reika fans Zero Nii-sama," Kata Reika dengan cengiran lebar.

Zero tergelak melihat itu. Ia memeluk Reika dan menghembuskan napas pelan. "Maa demo, aku juga akan menghilang," gumam Zero.

Reika mendongak bingung. "Nii-sama?"

"Ano saa, aku mulai lelah. Maksudku, aku mulai bosan berada di sini. Impianku benar-benar menjadi kenyataan, tapi lantas apa? Aku sudah melihat banyak tawa dan tangis orang-orang, tapi lantas apa?"

Reika mendengarkan.

"Sedikit... sakit."

"Eh? Sakit?"

(Kurang pas apa sama raut wajahnya? 😭😭)

"Sou. Entah kenapa aku merasa sakit. Nee Rei... tolong jaga posisi teratas."

"Posisi teratas?"

"Sou... sampai ada orang yang pantas mendapatkan posisi itu"

Hari itu, Reika yang berumur 5 tahun belum paham apa yang dimaksud oleh Zero kakaknya. Namun sekarang, ia paham. Setelah mobil berhenti, Reika turun di sebuah kafetaria. Ia masuk ke dalam dan mengedarkan pandangannya, seisi kafe kosong. Tampaknya sudah di booking duluan oleh Takamasa.

Setelah menemukan sosok ayah angkatnya, ia lekas berjalan menghampiri tiga orang yang duduk sembari makan.

"Omataseeee," tukasnya lalu duduk di sebelah Takamasa.

"Apa macet?" tanya Takamasa.

Reika menggeleng. "Tidak kok. Nee nee Papa, jika aku punya adik, bukannya mereka harus memanggilku dengan sebutan onee-chan?!"

"Jaa bagaimana jika kau memintanya?"

Reika berbinar dan mengangguk. Ia menatap penuh harap pada Tenn dan Sakura. Tenn tampak malu-malu, sementara Sakura dengan semangat mengangguk. "Rei-nee," katanya membuat Reika semakin berbunga-bunga.

Reika lalu menatap Tenn. Laki-laki itu hanya bungkam menatap makanannya. Reika tersenyum geli dan menopang dagu. "Tenn~ apa kau malu?" goda Reika.

"Ti-tidak!"

Reika tertawa keras dibuatnya.

Mereka menghabiskan malam dengan bercanda dan bersenang-senang bersama. Saling mendekatkan diri sebagai saudara dan tentunya, Reika yang menceritakan pengalaman-pengalamannya pada Tenn dan Sakura.

•••

Dua tahun kemudian

Dua tahun terlewat, kini usia Kujou Tenn sudah menginjak 15 tahun, di usia yang masih dini, Tenn sudah berada di bangku perkuliahan. Tidak heran, sejak dulu, ia memang anak yang rajin dan cerdas. Jadi, tidak dapat diherankan jika Tenn dapat lompat kelas dengan mudah.

Seperti saat ini, saat orang-orang dikelasnya sudah keluar, Tenn malah menyibukkan dirinya dengan mencatat ulang apa yang sudah diterangkan oleh dosennya. Ia memiliki metode menulis dua kali, meski merepotkan, baginya apanyang ia tulis berulang akan lebih melekat dalam otaknya.

"Oi Kujou!"

Tenn menghembuskan napas. Ia mendongak dan melihat perempuan berambut hitam di depannya. "Apa?" tanyanya sewot.

"Kau tidak lelah di kelas terus? Sebentar lagi kelas ini akan dipakai, lebih baik cepat pergi."

Tenn memutar bola mata jengah. Ia mengemas buku-bukunya dan keluar dari kelas begitu saja. Mengabaikan teriakan dari orang dibelakangnya. Sementara orang tadi, namanya Kana. Saat ia bisa menyamakan langkahnya dengan Tenn, ia bernapas lega. Tangannya tidak sungkan untuk menoyor kepala merah muda Tenn.

"Sakit sialan!" maki Tenn. Ia mengelus belakang kepalanya pelan.

"Salahmu!" Kana mendengus dan berjalan lebih cepat, memutar tubuhnya lantas berjalan mundur. "Jika dengan wanita lain kau sopan, denganku kasar. Dasar iblis," tutur Kana tanpa memikirkan perempatan siku yang sudah muncul di pelipis seorang Kujou Tenn.

Tenn mendorong bahu Kana pelan dan berjalan mendahuluinya. "Ya memang, kau manusia jadi-jadian, sih," sahutnya sedikit keras ditengah kosongnya lorong.

Kana membulatkan matanya. Ia lantas mengejar Tenn dan ingin membalas perkataan laki-laki itu. Namun, langkah keduanya spontan terhenti saat mendengar suara rintihan. Kana dan Tenn saling melirik. Berbicara melalui kode mata masing-masing.

Keduanya mengangguk bersamaan dan berjalan menuju ruangan yang biasa dipakai sebagai ruang ajar. Saat pintu terbuka, Kana memekik membuka nuansa hening sementara Tenn lekas mengambil ponselnya dan menelfon untuk panggilan darurat.

Kana berlari masuk, Tenn mengikuti dari belakang. Di depan mereka, terlihat perempuan berambut ungu gelap terbaring dengan darah yang merembes dari tubuhnya. Kedua insan itu merobek sedikit baju mereka guna melilit luka yang menganga sembari menunggu tim medis. Tenn melihat dengan tatapan gusar, tubuh sedikit gemetar. Bayangannya melayang pada adiknya yang saat ini berada di rumah.

Tenn, ini bukan kejadian hari itu! Sadarlah!

Beberapa saat kemudian, ambulance datang. Tenn dan kama selaku orang yang menemukan korban turut masuk ke dalam ambulance untuk mendampinginya korban. Tenn duduk termenung, dalam ingatannya ia melihat dua orang berambut merah muda yang tengah bersenang-senang bersama, lantas sebuah mobil menabrak mereka dengan keras.

Jantung Tenn berdegup kencang. Bahunya ditepuk, Tenn berjengit kaget dan menoleh.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Kana.

Tenn mengangguk seadanya. "Daijoubu, aku hanya...." Kalimatnya terhenti.

"Hanya?"

"Hanya... berpikir, bagaimana dia ada disana? Saat kebanyakan orang sudah pergi? Kelas malam baru akan dimulai 2 jam lagi."

Kana terdiam. Keduanya merenung. Melihat ke ruang UGD dengan tatapan yang tak dapat dijelaskan.

"Luka tusuk," gumam Kana.

"Percobaan pembunuhan," lanjut Tenn.

Tangan Tenn gemetar. Di depannya, bayangan-bayangan dua orang berambut merah muda yang berlumuran darah membuat dadanya sesak. Tenn bangun dan berjalan tergesa, mengabadikan teriakan dari orang dibelakang.

Tenn pergi ke taman rumah sakit, ia merogoh saku celananya, mengambil ponsel pintar miliknya dan menekan nomor dengan tergesa-gesa. Begitu panggilan tersambung, Tenn bernapas lega.

"Moshi moshi, Saku? Ada dimana?"

"Dimana? Tentu saja di rumah! Eh tidak! Papa tadi menjemput Saku. Jadi Saku sekarang sedang bersama Papa. Katanya mau ke Paris lagi."

"Paris...."

"Tenn-nii? Tenn-nii kenapa? Kenapa suaranya bergetar begitu?"

"Tidak apa-apa. Jaga dirimu, Saku. Jangan lupa dengan obat rutinmu, lalu tetaplah hangat."

"Hum...? Uhm! Saku mengerti, Saku akan jaga diri. Lagipula Saku mau bertemu dengan teman Saku juga nanti. Tenn-nii jaga diri saat Saku tidak ada, ya! Nanti Saku telepon jika mau membangunkan Tenn-nii, hihi."

Tenn sedikit bernapas lega. "Baiklah baik, aku juga tidak akan kesiangan. Kebalikannya, Saku cobalah bangun lebih pagi."

"Buuuu Tenn-nii tidak asik! Ya sudah, mau berangkat sekarang. Bye bye Tenn-nii, Saku sayang Tenn-nii!"

"Nii-san juga menyanyimu..."

Begitu panggilan terputus, Tenn terduduk di bangku taman. Ia menatap langit yang mulai menggelap. Hembusan napasnya tidak beraturan, ia panik dan parno.

Tangannya kembali menekan nomor yang sangat ia hafal. Ia lekas menempatkan ponselnya di dekat telinga saat panggilan tersambung.

"Rei...," panggilnya pelan.

"Ugh, iya Tenn? Kenapa menghubungi selarut ini?"

Tenn mengernyitkan dahi. Bibirnya tertarik seraya gemetar dalam tubuhnya yang mulai berangsur-angsur menghilangkan. "Larut? Kau ada dimana?"

"Dimana... Korea. Kenapa?"

"Rei... waktu di Korea dan Jepang sama. Kau pasti tidur sejak tadi jadi mengira ini sudah malam," dengus Tenn. Suara grasak-grusuk dari seberang sana membuat Tenn semakin yakin. Tenn tertawa pelan. "Mendengar panikmu aku jadi lega."

"Ha?! Kau lega aku panik?"

Tenn tertawa kecil. Ia menghembuskan napas pelan dan menatap ke depan. "Rei, kau baik-baik saja?"

"... Hai'? Tentu saja aku baik. Kenapa Tenn? Daijoubu? Terjadi sesuatu?"

"Maa... hanya, aku mengingat saat...."

"Tenn... hei, aku dan Saku-chan sudah benar-benar sembuh. Ada sesuatu, hm?"

"Baru saja aku melihat orang kecelakaan dan itu mengingatkanku pada kalian."

"Padahal kau tidak salah sama sekali. Tenn pasti panik, tapi wajahnya tetap datar, 'kan? Hora yo, sekarang aku sudah bisa kembali ke panggung, lalu Saku-chan juga sudah kembali bermain dengan senang. Jika kau teringat dengan kecelakaan waktu itu, kau juga harus ingat, kalau kami sekarang sudah kembali seperti semula."

Tenn tersenyum kecil dan mengangguk, meski ia tau orang yang ada disebelah sana tidak bisa melihat apa yang ia lakukan. "Kapan kau pulang? Sudah setahun, bukan?"

"Gomen nee... aku belum bisa pulang. Kau baik-baik saja?"

"Aku baik... Saku sering merengek ingin bermain denganmu."

"Sou? Pasti kau sibuk terus, makanya Saku-chan lebih sering mencariku."

"Hei!"

"Ahahaha kenyataan, 'kan?"

"Aku sekarang juga sibuk dengan kuliah, kau tau? Huh, dasar maniak cheesecake. Aku yakin kau sekarang sudah mencari cheesecake ke lemari pendingin."

"Ba-bagaimana kau tau?! Ekhem, aku tidak tau jika Tenn sekarang berkuliah, jurusan apa yang kau ambil, Tenn?"

"Hukum."

"..."

Tenn mengulum senyum dan menjauhkan ponselnya.

"PFFT- AHAHAHAHA."

Sudah kuduga dia akan tertawa, batin Tenn meringis.

"Gomen gomen, habisnya aku tidak menyangka seorang Kujou Tenn akan mengambil jurusan hukum, kukira jurusan seni. Astaga lucu sekali."

Tenn menatap datar. Tidak mengatakan apapun, ia memicingkan mata saat melihat seorang pri berambut pirang masuk ke dalam rumah sakit. Mencoba untuk tetep berpikir positif, Tenn kembali menatap ponselnya. "Cepatlah pulang. Aku... aku... aku... ingin omurice buatanmu. Jaa!"

Tut.

Tenn menghembuskan napas kembali. Setidaknya ia sudah tenang, dengan langkah lebar, Tenn kembali ke dalam rumah sakit. Menuju ke ruang UGD. Disana Kana berbincang dengan polisi. Tenn lekas menghampiri.

"Ah Kujou, kau sudah kembali."

Tenn mengangguk.

"Mereka ingin kita memberi keterangan, aku sudah memberikan keteranganku. Tinggal dirimu."

"Wakatta. Bagaimana keadaannya?"

"Harus dioperasi... sekarang operasi masih berlangsung, dokter bilang ada luka di bagian dada dan luka itu berupa tusukan dan sangat dekat dengan jantung," tutur Kana.

Tenn mengangguk paham. Ia memberikan kesaksiannya pada polisi, sesekali matanya melihat sekitar mencari pria berambut pirang yang ia lihat tadi. Tidak ada, ini hanya perasaanku saja atau dia harusnya ada disini? Setelah selesai dengan kesaksian, Tenn pamit undur diri bersama Kana. Kedua mahasiswa itu berjalan beriringan.

"Nee Kujou. Tadi, ada orang berambut pirang yang menatap kita dari jauh," kata Kana membuka percakapan.

Tenn langsung menoleh. Memang benar dia ada disana, tapi kenapa tidak langsung datang? Mengawasi? Iie, tidak masuk akal. Mengawasi siapa?

Tenn berhenti lalu menatap Kana. "Hati-hati. Lebih baik kita cepat pulang, ayo kuantar ke rumahmu." Tenn menarik tangan Kana.

"Dirumahku tidak ada orang."

"Ha? Lalu? Ke rumah temanmu?"

"Aku tidak punya teman."

"..."

Tenn menghembuskan napas dan kembali menarik tangan Kana. "Panggil orang tuamu, setidaknya ada orang yang menemani. Sungguh, firasatku tidak enak."

Kana menghentikan Tenn. "Matte yo! Jika begitu, lebih baik aku tetap di rumah sakit. Setidaknya aku bisa menemani orang itu."

Tenn berbalik dan menatap sengit. Keduanya kembali berdebat ditengah-tengah trotoar, beruntung tidak banyak orang yang berlalu lalang.

Sebulan kemudian, Tenn pulang dari kampusnya. Ia sudah disambut oleh adiknya begitu membuka pintu.

"Tenn-nii!" Sakura menghambur ke pelukan Tenn. Ia mendongak melihat wajah Tenn yang tampak lelah. "Tenn-nii kenapa?" tanyanya khawatir. Sakura memegang pipi Tenn dan menolah-nolehkan wajah kakaknya.

"Tidak apa-apa Saku. Kau sendiri disini? Kujou-san tidak pulang?"

Sakura menggeleng, ia lekas menarik Tenn ke dalam rumah. "Papa pergi lagi, katanya bertemu dengan Aya. Ah, tadi Papa bilang pada Saku untuk menyampaikan pesan. Katanya, Tenn-nii sudah waktunya untuk debut sebagai idola. Maksudnya menyiapkan debut," terang Sakura.

"Debut, ya..."

Sakura berhenti. "Tenn-nii akan menjadi solo?"

Tenn tersentak, ia melihat tangan Sakura yang meremas pergelangan tangannya. "Entahlah, aku belum memikirkannya. Memangnya kenapa?" tanya Tenn pelan.

"Jangan jadi solo. Saku tidak mau Tenn-nii sendirian."

"Bukannya ada Sakura? Ada Rei, Kujou-san juga ada."

Sakura berbalik dan menatap mata Tenn. Netra crimson itu terlihat gemetar, Tenn mengernyitkan dahi. "Aku belum tau, Saku. Lagipula, bukankah Kujou-san ingin aku menjadi solo idol?"

Sakura menggeleng. Ia hatinya meringis melihat tatapan kakaknya. "Jangan... Nii-san jangan... Saku tidak mau Nii-san jadi seperti Zero... jangan...," lirih Sakura.

Deg. Tenn sedikit merendahkan tubuhnya dan memegang bahu Sakura. "Hei, kenapa Saku?" tanya Tenn dengan lembut.

Bahu Sakura gemetar dan tangisannya mulai keluar lantas menjadi semakin kencang. Tenn kelabakan, ia yang bingung harus melakukan apa lekas merogoh ponselnya dan menelpon Reika. Memberikan ponselnya pada Sakura hingga gadis berusia 13 tahun itu kembali sumringah.

Tenn memutus untuk membersihkan diri. Setelah keluar dari kamar, ia melihat adiknya yang asik dengan ponsel pintar milik Tenn. Lebih tepatnya, masih asik dengan orang yang berada di seberang sana. Tenn mendengus pelan, dia memang bisa bersemangat jika dengan Reika, ya?

Tenn duduk disebelah Sakura. Ia melotot mendengar apa yang adiknya katakan dengan mulut cantiknya.

"Uhm! Tenn-nii jarang pulang, sibuk terus. Jadi Saku sering beli fast food," adu Sakura dengan mulut selancar jalan tol yang harganya triliunan.

"Ehhhhh. Mana Tenn mana? Akan kumarahi."

Sakura cekikikan dan memberikan ponselnya. Sakura lalu tiduran di paha Tenn dan memeluk perutnya. Tenn mendengus dan menatap ponselnya. Sedikit mengernyitkan dahi, ia berkata, "Pakaianmu terbuka sekali, Rei."

"Ah ini... aku baru mencobanya dan aku menyukainya. Rasanya ringan. Lagipula aku pakai saat sedang sendirian saja," tutur Reika lalu mengarahkan ponselnya ke segala penjuru ruangan. Memang hanya ada Reika disana.

Tenn sedikit bernapas lega. "Awas saja jika ada yang lihat," ancam Tenn.

"Mouuu memangnya kenapa? Lagipula aku idol, 'kan? Baju kurang bahan sudah biasa."

"Tidak dengan baju transparan, 'kan?"

Reika kicep. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu menatap Tenn. Hendak mengalihkan topik. "Dee, apa benar kau jarang pulang?"

"Tidak! Aku hanya pulang larut, saja. Ayolah, aku masih harus menyesuaikan jadwal kuliah dengan latihan rutinku," tukas Tenn.

"Kukira Tenn hanya fokus kuliah. Aku dengar kau punya kekasih, ya?"

"... Tau dari siapa."

"Saku-chan."

"Itu..."

"Maa! Omedetou nee, masa muda harus dinikmati dengan Banyak hal, salah satunya adalah romansa, bukan? Umu umu, tidak salah kok."

Tenn menatap video call-nya. Ia melihat lamat-lamat Reika. "Kau tidak marah?" tanyanya pelan.

"Marah? Marah untuk apa?"

Tenn terdiam sebentar dan menggeleng. Ia mengelus kepala Sakura dengan lembut. "Sou dane, untuk apa kau marah. Rei, jaga kesehatanmu. Sesekali berkunjunglah kemari. Sakura dan aku merindukanmu."

Reika hanya tersenyum. Sambungan kedua terputus.

Di tempat Reika. Reika menatap nanar ponsel pintarnya. Ia meremas dadanya yang terasa sesak. "Ukh, kenapa sakit sekali?" gumannya lirih.

Reika memeluk bantal kucing miliknya. "Tidak tidak, aku harus bahagia karena Tenn, adikku sudah punya kekasih. Hei, jangan sedih Reika! Ingat, kau hanya mencintai Haruki," tutur Reika memantapkan diri.

Reika menenggelamkan wajahnya di bantal kucingnya. "Aaaaa, tidak Haruki, tidak Tenn, sama saja! Sama-sama membuatku stresssssss."

"Iya, kau juga membuatku stress dengan teriakanmu." Reika langsung menoleh dan menatap sosok berambut perak dengan netra golden topaz yang menyorot malas.

Reika menggembungkan pipi. "Tinggal jangan dengarkan. Mudah, 'kan? Jadiii, ada apa Tia?" tanyanya.

Gadis yang dipanggil Tia itu mendekat dan duduk di lantai. "Aku tidak bisa tidur," tuturnya. Gadis dengan nama lengkap Aristia Pioneer Monique itu merebahkan kepalanya di pinggir ranjang.

"Mimpi buruk lagi?"

Aristia mengangguk. Reika tersenyum maklum, ia menepuk-nepuk pahanya memberi kode. Aristia hanya mengangguk dan beralih merebahkan kepalanya di paha Reika. "Semuanya tidak akan sama. Bukan begitu, Rei?" tanyanya lirih.

Reika mengelus pelan rambut Aristia. "Daijoubu dayo, semuanya tidak akan sama. Dou? Kau sudah mulai menyesuaikan diri dengan pekerjaanku?"

Aristia mengangguk. "Lumayan. Apa kau sedang sedih, Rei?"

"Aku... tidak. Aku bahagia."

Ia tersenyum lembut pada Aristia.

(Senyumnya mirip-mirip gini 🤧)

•••

Tenn pada akhirnya memilih untuk bergabung dalam sebuah grup. Ia telah bertemu dengan dua orang pria bersuara dua puluhan yang akan menjadi bagian dari grup yang ia bentuk. Nama keduanya adalah Yaotome Gaku, dan Tsunashi Ryunosuke. Masing-masing berukuran 20 tahun dan 21 tahun. Saat mereka datang ke sebuah klub yang sudah Tenn sewa hanya untuk bertemu dengan kedua orang yang akan menjadi rekannya, Sakura melihat mereka melalui iPad miliknya. Disebelah, seorang pria berambut navy duduk sembari meminum secangkir kopi.

"Mereka, ya? Yang satu anak dari pemilik Yaotome Pro. Kudengar dia orang yang kasar dan suka memaki, yang satunya anak tiri dari pemilik hotel terkenal di Okinawa," tutur pria disebelahnya.

Sakura menoleh sembari mendongak. Maklum saja, ia baru berusia 13 tahun, tubuhnya tergolong kecil, sementara pria disebelahnya berumur 20 tahun dengan tubuh tinggi tegap. Sakura sampai sakit leher karena harus mendongak terus-menerus.

"Aku tertarik pada Yaotome Gaku," tutur Sakura.

"Ha? Dengan pria berumur 20 tahun?!"

Sakura tertawa. Ia melihat ke arah iPad nya dengan senyum kecil. "Bukan begitu, Nii-sama, aku rasa aku menemukan pengganti Tou-san," gumam Sakura.

Diusap kepala Sakura dengan gemas. "Padahal ayahmu tidak keberatan untuk tetap berhubung atau mungkin, Tou-san bersedia untuk menjadi ayah bagi Saku," kata pria itu dengan senyum kecil.

Sakura menggeleng. "Saku terlalu takut untuk melakukannya. Mau bagaimanapun, Saku akan tetap berada di sisi Tenn-nii, maa... meski Saku tetap mengirimkan surat-surat pada Kaa-san dan Tou-san."

"Mereka sangat merindukan kalian."

"Aku tau, Kanata Nii-sama." Sakura menyandarkan tubuhnya dan kembali melihat iPad ditangannya. Senyumnya mengembang, "Setidaknya aku tau Tenn-nii tidak sendirian, jadi jika suatu saat Saku pergi, Saku tidak akan takut Tenn-nii sendirian."

Hati Kanata mencelos mendengar ucapan polos dari Sakura yang notabene adalah sepupunya. Ia menarik pelan kepala Sakura agar bersandar padanya. "Jangan bicara begitu."

"Hanya antisipasi, Saku juga sudah menyiapkan cadangan data yang bisa dibuka oleh Kana-nii untuk D.E.D."

"Sakura!"

"Hanya mengatakan kenyataan."

"Kenyataan itu membuatku takut," Kanata menatap Sakura sendu.

"Nii-sama...."

"Jangan bicara begitu, lagi. Kau membuatku takut, aku tidak pernah takut pada apapun, bahkan kematianku sendiri, tapi...."

"Saku akan tetap ada jika dibutuhkan."

Kanata mendekap Sakura dengan lembut. "Kalau begitu aku akan selalu membutuhkanmu," kata Kanata pelan.

Sakura tertawa kecil. "Mereka akan jadi kombinasi yang bagus, maksudku kombinasi yang sempurna. Ah, aku ingin membuat mereka berada di atas," kata Sakura.

Kanata mengelus kepala Sakura. "Lakukan saja. Aku lebih suka kau melakukan sesuatu daripada hanya diam di kamar."

"Hei, aku tidak diam. Aku membuat hal-hal baru untuk D.E.D, tau," kata Sakura cemberut.

Kanata tertawa kecil dan mengusap hidung Sakura pelan. "Dasar. Lalu setelah ini apa, Saku?"

"Hm, apa ya? Tidak tau. Saku akan mengikuti arus, ah mungkin setelah ini saatnya menciptakan hal baru. Nii-sama sudah mencarikan profil agensi yang kumau?"

Kanata mengangguk.

Sakura tersenyum lebar, ia akan memulai permainannya.

Sebulan berlalu, kini Tenn harus membagi waktunya antara kuliah dan berlatih serta mempersiapkan debutnya sebagai sebuah grup idola. Saat ini, ia duduk taman kampusnya, sembari mmbaca buku. Disebelahnya, Kana duduk dan memperhatikannya.

"Nee Tenn."

"Nani?"

"Daripada kita begini terus, maksudku, bertengkar. Lebih baik kita akhiri saja."

Tenn langsung menoleh. "Maksudmu?"

Kana tersenyum dan menepuk telapak tangan Tenn. "Kau akan sibuk, bukan? Lagipula, aku merasa kita tidak cocok. Aku rasa, meski kau bilang kau milikku, tapi hatimu bukan milikku," terang Reika.

"Kana... aku tidak bermaksud. Katakan alasan yang lebih logis kenapa kau ingin semua ini berakhir."

"Simpel. Kau tidak mencintaiku. Sakura Reika."

Tenn mengernyitkan dahi. "Kenapa kau menyebut namanya?"

"Tenn, daripada kau menyakiti perasaanku, menyakiti fisik Sakura karena rindu, lebih baik kau mengejarnya." Kana mengelus pipi Tenn . "Maa, aku memang mencintaimu, tapi jika kau tidak mencintaiku juga, aku akan mundur," tutur Kana. Ia mengecup bibir Tenn singkat dan berdiri.

"Aku akan pergi, jangan memusuhiku karena kita mantan kekasih. Eh, tapi kita memang sering bertengkar sih," tambah Kana. Ia tertawa dan berjalan menjauh meninggalkan Tenn yang mematung.

"Kana... Kana tunggu!" panggilnya, Tenn berdiri dan melihat sekeliling. Kana sudah tidak ada di sekitaran taman. Tenn mengigit jempolnya, ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

Begitu panggilan tersambung Tenn berkata, "Jangan kemana-mana. Tetaplah dirumah. Aku rasa aku butuh sedikit pelampiasan."

Disisi lain, Kana menghampiri seorang gadis berambut ungu gelap. Ia tersenyum tipis, meski matanya tampak berkaca-kaca.

"Owatta," tukas Kana. Suaranya sedikit gemetar.

"Kana... kau yakin?"

Kana mengangguk. Ia memegang dadanya, lantas berujar, "Ini lebih baik, daripada kami terus bertengkar. Lagipula, hatinya bukan untukku, senpai. Hatinya milik orang lain."

Ditariknya Kana kedalam pelukan gadis itu. "Menangislah," bisiknya.

"Senpai...."

"Aku tau rasanya menjadi dirimu, Kana. Berkat kalian berdua, aku bebas, jadi sekarang aku akan membantu kalian."

"Eveline... senpai... ini... sakit..." Isakan Kana mulai terdengar. Ia meremas kain yang membalut tubuh gadis bernama Eveline itu. Air matanya meluruh begitu saja, teringat selama ia dan Tenn menjalin hubungan, keduanya selalu bertengkar karena kesalahpahaman. Tidak! Mereka memang suka bertengkar sejak dulu, semasa awal kuliah, mereka memang rival, tapi semuanya berbeda. Keduanya mementingkan ego masing-masing, tidak ada yang mau mengalah.

Selepas puas menangis, Kana melepas pelukan Eveline. Ia tersenyum dan menggumamkan terima kasih. "Aku harus menyiapkan surat pindahku," tuturnya.

"Kau serius akan pindah?"

"Uhm, orang tuaku ingin begitu. Aku akan ke Irlandia, melanjutkan kuliah disana dan mungkin mencari jati diri."

"Tenn... sudah tau?"

Kana menggeleng. "Biarkan aku menghilang, Eveline senpai. Senpai, tolong jaga Tenn dari jauh. Dia memang anak yang pintar, namun juga kekanak-kanakan. Selama aku pergi, mungkin dia akan menjadikan Sakura sebagai pelampiasannya, lagi."

Eveline hanya bisa menganggukkan kepalanya. Ia lalu mengantarkan Kana kembali ke rumahnya. Sementara Tenn, ah, entahlah, tidak ada yang tau apa yang pria dengan netra magenta itu lakukan.

•••

Setahun setelah TRIGGER debut.

TRIGGER mulai memasuki masa-masa sibuk, tak terkecuali Tenn. Ia yang khawatir dengan adiknya, meminta ayah angkatnya untuk mencarikan maid sekaligus orang yang bisa menjaga Sakura. Ia selalu menyempatkan waktunya untuk menemani adiknya dalam pemeriksaan rutin, seperti saat ini.

Tenn yang tengah berbicara dengan dokter yang secara pribadi menjadi dokter Sakura, sementara Sakura sendiri sudah keluyuran entah kemana. Yang jelas, setelah Tenn melakukan panggilan video Dengan Reika, dan memberikannya pada Sakura, gadis kecil itu sudah hilang entah kemana.

"Astaga dia kemana lagi," gerutu Tenn.

Dokter Yui terkekeh. "Mungkin kebagian ruang rehabilitasi anak. Sakura akhir-akhir ini sering kesana untuk bermain dengan anak-anak lainnya," tutur dokter cantik itu.

"Begitukah? Baiklah sensei, kalau begitu aku akan mencari anak nakal itu."

Yui tersenyum dan mengangguk. Tenn lantas pergi, seperti perkataan Yui tadi, ia menuju ke tempat rehabilitasi anak. Ditengah jalannya, Tenn berhenti saat melihat kedua rekannya yang berdiri di depan sebuah kamar.

Tenn mendekat dan menepuk bahu mereka.

Gaku dan Ryuu menoleh keget. "Gaki, kukira siapa! Jangan mengagetkan," gerutu Gaku. Ia mengusap dadanya, beruntung tidak terkena serangan jantung dadakan. Begitu batinnya.

Tenn mengedikkan bahu. "Apa yang kalian lakukan?" tanyanya penasaran.

Ryuu lekas menjawab, "Kami kesini untuk menjemputmu ke pekerjaan kita selanjutnya, tapi kami malah bertemu dengan Sakura-chan."

"Sakura dimana?"

Ryuu menunjuk kamar didepannya. Tenn mengernyitkan dahi, ia menggeser badan besar kedua temannya itu dan melihat. Di dalam sana, adiknya duduk di kursi samping ranjang, tangannya menggenggam tangan orang yang sepertinya koma. Dilihat dari tubuhnya yang terbaring kaku, juga alat bantu pernapasan yang bertengger di hidungnya.

Apa yang akan dia lakukan? batin Tenn.

Suara merdu Sakura mulai terdengar. Tenn mengerjab, ia tetap memperhatikan. Lain halnya dengan Gaku yang malah memperhatikan jendela, anginnya berhembus sedikit lebih kencang.

Daun-daun masuk sebab diterpa angin melalui jendela yang terbuka. Tenn memperhatikan lamat-lamat, tangan adiknya sedikit mengeluarkan cahaya. Hanya samar, atau mungkin, hanya Tenn yang dapat melihatnya?

Sakura...

Saat lagu selesai, betapa terkejutnya TRIGGER saat mendengar suara lirih dari orang yang sedang sakit itu. Gaku dan Ryuu saling menatap. Berbicara dengan tatapan mata setelah apa yang mereka lihat.

"Tidak tidak, ini hanya kebetulan," gumam Tenn.

Tenn masuk saat melihat gelagat aneh dari adiknya. Detik berikutnya, Gaku dan Ryuu nyaris berteriak. Tubuh Sakura jatuh begitu saja, beruntung Tenn masih sigap menangkapnya. Tenn panik, tentu saja. Apalagi melihat darah yabg nerembes dari hidung Sakura.

Sejak saat itu, Tenn mengawasi Sakura lebih ketat. Untungnya, Gaku dan Ryuu juga mau membantunya menjaga Sakura. Kemana-mana, Sakura selalu membuntuti TRIGGER, tentu saja atas keinginan TRIGGER itu sendiri.

Hingga, Takamasa menunjuk orang yang akan menjaga Sakura. Dia adalah seorang maid berusia 30 tahun. Namanya Mary Maitland. Wanita yang selalu tampil dengan seyum di bibir merahnya sedikit membuat Tenn tidak nyaman. Dan ada lagi, seorang pria berambut merah dengan netra heterocomia bernama Kageyama Ayato. Pria tampan dengan wajah yang tegas, namun adanya lesung pipi ke pipi kirinya membuatnya terlihat manis saat tersenyum.

Awalnya tidak ada yang aneh, namun sering kali Ayato mengajak Sakura pergi bersamanya. Entah kemana, Tenn tidak tau. Ia mulai curiga dengan gelagat pria yang menjadi ajudan Sakura itu.

Pernah Gaku mengatakan pada Tenn, jika ia melihat Sakura bersama Ayato masuk ke dalan satu rumah yang dekat dengan rumah milik kakeknya. Tenn yang ingin menindak lanjuti apa yang terjadi, dikejutkan dengan panggilan dari Mary. Ia baru saja selesai bekerja bersama Gaku dan Ryuu.

"Siapa Tenn?" tanya Gaku.

"Mary."

"Maid dirumahmu itu?" timpal Ryuu.

Tenn mengangguk dan menatap ponselnya, masih enggan untuk mengangkat panggilan itu. "Sejujurnya aku tidak suka padanya," celetuk Gaku. Ryuu mengangguk menanggapi. "Terkadang, Mary-san menatap seperti ingin memangsa sesuatu," tambah Ryuu.

Tenn terdiam. Ia menghembuskan napas dan mengangkat panggilannya. "Moshi moshi?"

"Tenn-sama! Nona tidak ada dirumah!"

Tenn mengernyitkan dahi. "Dia keluar? Mungkin bersama dengan Ayato."

"Tidak Tenn-sama, saya sudah menghubungi Ayato, tapi tidak diangkat. Ta-tadi saya pernah ke supermarket untuk membeli bahan makanan, namun saat pulang, Nona sudah ada. Mobil juga tidak ada tenn-sama."

Rahang Tenn mengeras. Gaku dan Ryuu mendekat melihat perubahan ekspresi wajah Tenn. Keduanya saling menatap bingung.

"Kau sudah mencarinya kemana? Dia mungkin berada di taman," kata Tenn.

"Tidak ada Tenn-sama! Akh!"

Tenn panik. Ia melihat ponselnya dengan cemas. "Mary? Mary ada apa?"

"Da-darah... darah di kamar Nona..."

Tenn memucat. Ia melihat ke arah Gaku dan Ryuu dengan pandangan kosong. "Sakura..."

Tenn berlari pergi. Gaku dan Ryuu mengejar Tenn meski masih kebingungan. Setelah memasuki mobil agensi, mereka pergi menuju kediaman Kujou.

Brak. Tenn membanting pintu dengan keras. Didapatinya Ayato yang memegangi pipinya, meringis dengan sudut bibir yang robek. Ayato mendongak dan berdiri.

"Tenn-sama..."

Tenn mengatur napasnya. "Sakura dimana?" tanyanya tajam.

"Sakura-sa-" Ayato memejamkan mata begitu Tenn menarik kerah bajunya dengan kuat. Aura menusuk menguar dari tubuh Tenn. Tenn yang dikuasai emosi dan khawatir, menghantam wajah Ayato dengan kepalan tangannya saat ia tak kunjung mendapat jawaban dari ajudannya itu.

"Tenn!" pekik Gaku dan Ryuu bersamaan dengan layangan kepalan tangan dari pria merah muda itu.

"Ck! Dimana Sakura?! Katakan cepat!"

Ayato mengusap sudut bibirnya yang kembali mengeluarkan darah. "Bukan aku tidak mau mengatakannya, aku saja tidak tau nona dibawa kemana oleh Mary!" teriak Ayato.

"Bukan kau yang menculiknya?"

Ayato sedikit meringis saat bangun. Ia menatap Tenn dengan tatapan dingin. "Tidak mungkin aku menculik orang yang paling kuhormati. Mary menyiapkan segalanya untuk menculik nona!"

TRIGGER diam membisu. Tenn berdecak dan masuk ke kamar adiknya. Kamar yang biasanya rapi itu berantakan dengan perabotan yang berceceran di lantai, bahkan lukisan-lukisan yang ada ditembok juga terjatuh. Tenn menelan ludah, ia sulit untuk percaya pada satu pihak saat ini.

"Tenn-sama! Dengarkan aku, kita harus mencari Mary sekarang juga, atau nona dalam bahaya!" ujar Ayato dengan panik.

Tenn berbalik. "Jika apa yang kau katakan tidak benar, aku akan membunuhmu, Ayato!" tekan Tenn. Ia menatap Gaku dan Ryuu, seolah paham, Gaku dan Ryuu segera pergi dari sana.

Sementara Tenn, netra magenta yang menggelap itu memandang ponselnya ragu. Ia mengambil napas dan mulai menghubungi orang yang akan ia mintai foling, walau dalan hati ia sangat menolaknya apa yang akan ia lakukan setelah ini.

"Ya dengan Shinomiya Kanata disini, ada yang bisa saya bantu?"

"Kanata."

Hening menyerang. Tenn berjalan keluar dari rumahnya.

"Itu kau, Tenn?" tanya orang diseberang sana dengan tixak yakin.

"Ya, ini aku. Memang apa yang kau kagetkan?"

"Iie, ada apa?"

"Sakura. Sakura menghilang, aku ingin aku melacak keberadaannya sekarang juga."

"Ha?!"

"Kau tidak perlu mendengar pengulangan, bukan?"

"Matte, koordinat Sakura terakhir berada di taman. Jaraknya... aish! Akan kukirimkan padamu."

"Onegai... kali ini saja, bantu aku." Tenn menutup panggilannya dan berlari menyusul kedua rekannya berserta Ayato.

Setelah mendapat koordinat yang diucapkan oleh Kanata, mereka kembali menyebar untuk mencari Sakura. Namun, hanya harapan yang pupus yang mereka temukan. Sampai, tiba-tiba Gaku tersandung sesuatu. Saat ia mengambil apa yang akan membuatnya terjatuh, ia menemukan sebuah kalung dengan liontin bunga Sakura.

Gaku memanggil Tenn. Kini mereka mengerti kenapa lokasi terakhir Sakura berada di taman, itu karena kalung yang diberi pelacak berada disana. Tak ingin menyerah, mereka kembali mencari, hingga Kanata kembali menghubungi.

"Gudang, ada di dekat tempat kalian berada. Cepatlah, aku akan mengirim timku kesana, tapi kalian tidak bisa berharap pada itu," ujar Kanata.

"Arigatou Kanata."

"Tenn kau jangan gegab-"

Tut

Tenn memasukkan ponselnya. Ia mengabaikan tiga orang yang menunggu ucapannya. Berlari menuju tempat dimana adiknya berada. Dari jauh, terlihat banyak orang yang menjaga di luar bangunan yang dijadikan gudang bekas pabrik.

Tenn berjongkok disela semak-semak, ia mengigit bibir bawahnya kuat. "Ck, jika terlalu banyak aku tidak bisa maju," gumam Tenn.

Bahunya ditepuk, Tenn berjengit kaget. Ia menoleh mendapati sorot tajam dari netra violet. Sejenak Tenn terdiam sebelum mulutnya yang hendak mengeluarkan pertanyaan terhenti.

"Ssst, diamlah Tuan. Kau maju, selamatkan hime. Aku akan mengurus mereka," tutur pemilik netra violet itu. Rambutnya yang tersimpan di dalam topi dengan masker yang menutupi wajahnya membuat Tenn tidak bisa mengenali siapa orang yang berada disebelahnya, hanya matanya yang tampak menyorot berani membuat nyali siapapun ciut seketika. Feeling-nya hanya mengatakan ia adalah sekutu.

"Kau orang milik Kanata?" tanya Tenn pelan sembari melihat ke depan.

"Ya, tapi aku juga kstaria hime-ku. Kujou Tenn, maju saat aku memberi aba-aba, orang-orang yang bersamamu akan ikut masuk. Keamanan didepan akan aku urus," terangnya.

Tenn mengangguk paham. Saat orang misterius disebelahnya memberi kode, saat itu juga serbuan peluru menghantam bangunan tua itu. Tenn berlari masuk ke dalam gedung, entah bagaimana, Gaku, Ryuu dan Ayato juga berlari bersamanya.

Saat keempat orang itu masuk, suasana lenggang. Hanya bunyi tembakan yang saling bersautan dari luar yang bergema di dalam gedung yang tampak kosong itu.

Di luar, gadis dengan pakaian serba hitam beradu fisik dengan wanita berkulit gelap dengan badan tegap. Gadis dengan netra violet yang mulai menggelap itu melangkah mundur saat wanita lain datang. Ia berdecak. Mengangkat tangannya namun tak ada suara tembakan.

Apa Sumi terpojok? batinnya bertanya-tanya.

"Sumi?" panggilnya pada earpiece ditelinga. Sembari mundur untuk menghindari tendangan dari orang didepannya.

Srkkk

Gadis bermasker itu melirik ke samping. "Sumi?" panggilan sekalilagi.

"Haa! Kau urus mereka. 5 menit aku akan kembali."

Tembakan terdengar kembali. Gadis bernetra violet itu tersenyum miring dibalik maskernya. Ia mundur membuat dua orang wanita didepannya langsung menyergapnya dengan serangan dari atas dan dari bawah. Diluar dugaan, gadis dengan netra violet itu menjatuhkan tubuhnya, bertumpu pada tangannya dan menendang kedua orang yang hendak menyerangnya tadi.

Pergelutan mereka terjadi dengan sengit, sementara di dalam, Tenn dan ketiga temannya berlari mencari dimana keberadaan Sakura. Betapa terkejutnya mereka saat menemukan Sakura disebuah ruangan yang tampak digunakan sebagai kamar, namun dengan banyak alat medis yang bertebaran disekitar ruangan. Sakura berada di sudut dengan tubuh gemetar hebat. Tubuhnya luka dibeberapa sisi, lebam dan bekas darah ada di tubuhnya.

Tenn yang terengah-engah melihat Sakura, hatinya kembali tercubit melihat Sakura. Ia mendekat perlahan ke arah adiknya.

"Saku?" panggil Tenn lembut.

Sakura mendongak, matanya membulat melihat Tenn. "Tenn-nii..." lirih Sakura.

Tenn memeluk Sakura dengan hati-hati. "Daijoubu, Nii-san sudah ada disini," bisik Tenn.

"Te-Tenn-nii... Saku... Saku takut... di-dia..."

"Ssst." Tenn menarik kepala Sakura ke dadanya. "Biar Nii-san yang urus," gumamnya dengan mata yang berkilat.

•••

Di Korea, disebuah apartemen, Reika yang baru saja melepas mantel yang membalut tubuhnya pergibke dapur untuk mencari air dingin. Ia baru saja kembali dari pekerjaannya di pulau Jeju. Sebuah pemotretan diadakan disana, sekaligus mencari bintang tamu dalam acara amal.

Reika mendesah lelah begitu air dingin mengalir memasuki tenggorokannya. Aristia yang melihat dari ambang pintu menggelengkan kepalanya pelan.

"Seperti baru dari gurun, saja," celetuk Aristia. Ia mengambil air dan meminumnya. Ia melirik ke arah Reika yang langsung menjatuhkan tubuhnya pada kursi pantry.

Reika memutar kursinya menghadap ke arah Aristia. "Perasaanku tidak enak," katanya serius.

Aristia mengernyitkan dahi. "Tidak enak?"

Reika mengangguk, ia melihat tangannya, menggosok kedua tangannya pelan dan meniupkan napasnya pada tangannya. "Rasanya ada yang sedang tersakiti," gumamnya. Reika mendongak menatap langit-langit ruangan. Hanya ada kesunyian yang mengelilingi keduanya.

Dering ponsel memecah keheningan, Reika bangun dan mengambil ponselnya dengan cepat. Ariatia yang masih berdiri di posisinya hanya menatap dalam diam. Bunyi benda jatuh mengganggu pendengarannya. Ia mengambil langkah lebar dan bergerak menuju tempat sahabat karibnya berada.

Disana, Reika terduduk dengan tatapan kosong. Tangannya menatap ponselnya nanar dan darah yang mengucur dari telapak tangannya. Kaca-kaca tajam berserakan dibawah, dengan air yang menggenang, tercampur dengan merahnya darah.

"Rei...?" panggil Aristia pelan.

Reika menolehkan kepalanya pada Aristia. Aristia bergidik sejenak, ia mengigit bibir dan mengangguk pada Reika, bertanya apakah gadis bernetra golden topaz itu baik-baik saja atau tidak.

"Pesankan tiket pesawat untuk malam ini, kita ke Jepang," ujar Reika yang sama sekali tidak menjawab kebingungan Aristia.

Hawa Reika yang berubah membuat Aristia pasrah, lekas mengerjakan apa yang Reika katakan. Dengan penerbangan tercepat, mereka berangkat menuju Jepang tanpa persiapan apapun.

3 jam berlalu, kini mereka berada di dalam taksi yang akan mengantarkan keduanya. Saat mobil pengantar itu berhenti di rumah sakit, Reika langsung turun dan berlari masuk. Sementara Aristia yang ditinggal membayarkan biaaya antarnya. Ia lekas mengikuti Reika ke dalam.

Reika berlari kembali setelah mengetahui ruangan mana yang ditempati oleh orang kenalannya. Sementara, Tenn, Gaku, Ryuu, dan Ayato duduk termenung di dalam ruang inap. Tenn menatap ranjang didepannya dengan nanar.

"Bagaimana bisa begini," gumam Gaku.

Tenn menoleh.

"Apa... yang terjadi sebelum kita datang?" timpal Ryuu dalam gumaman.

Tenn-pun melirik ke arah lelaki berbadan besar itu. Kedua tangan itu bertumpu pada paha, tatapannya menyorot hampa pada lantai rumah sakit yang bersih. Otaknya sejenak tak mampu untuk mencerna kata-kata atau membayangkan apa yang sebelumnya telah terjadi. Otaknya terlalu lelah, begitupun dengan batinnya. Saku, gumamnya dalam hati. Air mata yang nyaris merembes ia tahan sekuat tenaga. Tak ingin ada orang yang melihat air mata dari netra indahnya.

"Tenn-sama," panggil Ayato pelan.

Tenn mendongak. Pria bermata heterocomia itu menyodorkan sebotol air padanya. Tenn mengambil airnya dan menggumamkan terima kasih. Teringat dengan luka yang ia buat pada wajah rupawan pria itu, Tenn kembali menatap Ayato. "Pipimu bagaimana?" tanyanya.

Ayato memegang pipinya, menarik senyum tipis meski rahang sampingnya sedikit ngilu. "Tidak ada masalah, Tuan. Ini setimpal dengan kelalaian saya," tuturnya sopan. Ia mendaratkan bokongnya di sebelah kanan Gaku.

"Aku minta maaf."

Ayato mendengus. "Ini salah saya, saat nona sedang beristirahat, saya pergi ke rumah untuk melihat adik saya. Saat saya kembali, nona akan dibawa oleh Mary. Saya tidak bisa menyelamatkan nona," terang Ayato. Nadanya tenang, walau matanya menyiratkan penyesalan, Gaku menepuk punggung Ayato pelan.

"Itu bukan salahmu sendiri. Lagipula, kenapa Mary menculik Sakura? Uang?" Gaku membuka suara.

Ayato menggeleng tidak yakin. "Bukan...," gumam Ayato.

Ryuu yang sedari tadi diam membuka suara, "Bukankah, tatapannya pada Sakura-chan saja sudah aneh? Maksudku sejak awal, aku melihatnya aneh."

Gaku mengangguk setuju. Kedua orang dewasa itu menatap ke arah Tenn yang masih terpaku pada adiknya yang terbaring dengan alat bantu pernapasan. "I'll kill that bitch," lirih Tenn.

Suasana kembali tegang. Aura dari Tenn mendominasi ruangan. Gerakan tubuh Sakura membuat Tenn tersentak, ia bangun bersama yang lain dan menghampiri gadis berambut merah muda pudar itu dengan cepat.

Sakura membuka matanya pelan, tatapannya kosong, ia mengerjab beberapa kali, menyediakan diri dengan cahaya dari lampu kamar inap.

"Saku," panggil Tenn.

Kepala Sakura menoleh, spontan ia menjerit melihat Tenn dan lainnnya. Keempat laki-laki itu kaget. Sakura langsung duduk dan meringsut mundur, tangannya mencengkram erat kedua diis kepalanya.

"Saku!" Tenn mendekati Sakura dan memeluknya perlahan. "Ini Nii-san, ini Tenn," bisik Tenn ditelinga Sakura.

Tubuh Sakura merosot. Tangannya yang gemetar memeluk Tenn dengan erat. Saking eratnya membuat Tenn sedikit meringis, walau masih ditahan. Kenapa dia setakut ini? Batin Tenn bertanya-tanya.

"Tidak apa-apa, ini Nii-san. Saku aman bersama Nii-san."

"Nii-san..."

"Uhm, tidak apa-apa." Tenn menangkup pipi Sakura dan memberikan senyum menenangkan. "Tidak apa-apa, Nii-san akan menjaga Saku," tuturnya. Sebisa mungkin menekan aura yang meletup-letup dalam dirinya agar adiknya yang sensitif tidak terganggu.

Brak

Mereka menoleh, disana Reika dan Aristia berdiri dengan wajah tegang. Reika mengatur napasnya dan menatap Tenn juga Sakura. "Tenn, Saku-chan...," gumam Reika.

Sakura meringsut mundur dalam pelukan Tenn. Matanya terpejam dan mulutnya menggumamkan kata pergi. Hati Reika mencelos, ia mengigit bibir bawahnya kuat. Berjalan mendekat dan membawa Sakura ke pelukannya.

Sakura menjerit merasa dirinya dipeluk oleh perempuan. Ia memberontak di pelukan Reika.

"Rei lebih ba-" Ucapan Tenn terpotong melihat elusan Reika pada punggung Sakura membuat gadis musim semi itu perlahan menjadi tenang.

"Daijoubu dayo, ini aku Reika," gumam Reika.

"Rei... nee?"

Reika mengangguk dan mencium lama puncak kepala Sakura. "Reika dayo."

"Rei-nee... Rei-nee..." Sakura mulai melingkarkan tangannya dan memeluk mencari ketenangan. Tenn mundur selangkah, ia menatap kedua orang itu dengan napas lega.

Memberi kode pada kedua temannya dan Ayato untuk keluar dari ruang inap. Tenn melihat ke depan, dimana Aristia berdiri dengan wajah datarnya. "Teman Reika?" tanya Tenn.

Aristia mengangguk, menunduk dan pergi dari sana. Tenn mengernyitkan dahi. Ia menatap ketiga orang yang bersamanya. "Kalian bisa pulang," tutur Tenn.

Gaku dan Ryuu menggeleng kompak. "Tidak, aku ingin melihat keadaan Sakura," kata Gaku.

Tenn menatap keduanya. "Tenn, aku tau jika kau dibiarkan sendiri, kau akan melakukan sesuatu yang nekad," tambah Ryuu.

Tenn melirik ke arah Ayato. "Saya ingin mendampingi nona saya," tutur Ayato tegas.

Tenn menghembuskan napas. Ia mengambil ponselnya dan menelfon Kanata. Tenn mendudukkan dirinya di bangku yang ada diluar kamar inap. "Ayo angkat sepupu sialan," gumam Tenn. Emosinya mendadak naik.

"Ya?"

"Lama," dengus Tenn.

"Hei, aku masih mencari orang itu. Kau mengganggu waktuku, sialan. Dari nadamu, kau sedang menahan kesal."

"Aku mau orang itu."

"Kau akan membunuhnya?"

"Ya..." Tenn menatap ke depan, tepat pada mata Gaku. Pria bernetra silver itu menyorot penuh awas padanya. "Aku akan melakukannya."

"Sisi psikopatmu muncul, ya? Jangan kotori tanganmu, Tenn. Ingat pesan eomma padamu."

"Aku tidak peduli. Dia membuat adikku ketakutan."

"Sakura... bagaimana?"

"Dia sudah bangun. Sedang bersama Reika. Sepertinya Sakura mengalami trauma, dia terlihat takut. Terutama pada perempuan."

"... Temui aku. Kita bunuh orang itu bersama."

Tenn menyeringai. Ia bangun dan berjalan meninggalkan Gaku dan Ryuu. Kedua orang itu berdiri dan memegang pundak Tenn.

"Mau kemana?" tanya Gaku.

Tenn menoleh. "Apa? Bukan urusanmu. Aku titip Sakura." Tenn menyentak tangan Gaku dan melanjutkan langkahnya, tidak perduli dengan teriakan Gaku ataupun Ryuu.

Entah apa yang akan Tenn lakukan, tidak ada yang tau. Kecuali dirinya, Kanata dan tuhan yang selalu melihat mereka.

•••

"Rei-nee sungguh akan menetap?"

Reika melihat Sakura sembari menimang-nimang. Bermaksud untuk membuat Sakura semakin penasaran. Sakura memiringkan kepala menunggu respon dari Reika.

Reika tersenyum, menangkup pipi Sakura dan berkata dengan ceria, "Tentu saja, mulai sekarang sampai entah kapan aku akan menetap di Jepang dan menemani kalian!"

Sakura bersorak riang. Tenn yang melihat dari sofa terkekeh. Bingung kenapa jika dnwgan Reika, Sakura akan menjadi kayaknya anak kecil, sementara dengannya Sakura malah akan menjadi orang yang menyebalkan. Ah, mungkinkah itu perbedaan cara bermanja? Entahlah, yang jelas Tenn menikmati apa yang ia lihat sekarang. Ketiganya masih berada di rumah sakit, namun bukan karema kejadian pertama, namun untuk melanjutkan pengobatan Sakura. Gadis itu ingin ditemani Reika, jadi Tenn ikut saja karena ia sedang libur bekerja.

Tenn melihat jam tangannya. "Saku, hari ini akan konseling dengan Yui-san?" tanya Tenn.

Sakura menoleh, mengingat-ingat lantas mengangguk saat sudah mendapatkan jawabannya. "Uhm, jam 3 sore," jawabnnya.

"Ini sudah hampir jam 3. Mau pergi sekarang? Ke ruangan Yui-san, maksudku. Masih mau ditemani?"

Sakura menggeleng. "Jika dengan Yui-san tidak takut. Asal tidak ada suster disana, Saku bisa sendiri Nii-san."

"Yakin?" tanya Reika.

Sakura mengangguk dan tersenyum manis. "Uhm! Tidak apa-apa. Saku yakin, jika ditemani terus, nanti kapan Saku mandiri?" gurau Sakura.

Tenn dan Reika saling melihat. Berbicara melalui tatapan masing-masing. "Etto, bagaimana jika kami antar sampai depan ruangan?" tawar Reika. Tenn mengangguk setuju. Tampak jelas keduanya tidak pasrah untuk meninggalkan adik mereka disaja sneifri.

Sakura mengangguk setuju setelah beberapa saat. Ketiganya pergi menuju tempat spesialis psikiatri. Setelah mengantarkan Sakura ke dalam, yang sudah mirip seperti hendak mengantar anak yang pertama kali masuk sekolah, Tenn dan Reika duduk di kursi yang ada di lorong.

"Dou... kana..."

Tenn menoleh. "Apanya, Rei?"

"Saku-chan, apa lagi?"

Tenn kembali menatap ke depan. "Entahlah, sudah dua Minggu dan Yui-san bilang belum ada perkembangan yang baik soal traumanya," terang Tenn.

Reika menatap tangannya yang berada diatas pangkuannya. "Souka.... Nee Tenn, orang itu kau apakan?" tanya Reika lagi.

"Membuatnya jera."

"Membunuhnya?"

Tenn mengedikkan bahu. Bahasan sensitif yang selalu membuatnya malas bicara. Ia terlalu malas membahas sampah yang mungkin sudah berada di neraka sana.

"Kau harusnya menungguku," gumam Reika. Ia menatap ke depan. "Aku juga ingin membalaskan perbuatannya pada Saku-chan," tambah Reika dalam gumaman.

"Hidupkan lagi saja jika bisa," kata Tenn.

Reika menoleh sebal. Ia menarik pipi Tenn dengan kuat. "Coba katakan lagiiii," amuknya.

Tenn yang tidak bisa bicara mengaduh sakit. Ia merontak melepaskan cubitan maut Reika. Dengan kilat, Tenn mengecup pipi Reika agar diam. Bingo, Reika langsung terdiam seribu kata. Wajahnya perlahan memerah layaknya tomat yang paling disukai oleh adiknya.

Tenn tertawa kecil melihat wajah Reika. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Reika. Beruntung lorong ini sangatlah sepi, hanya ada CCTV yang mengawasi lorong-lorong. "Daripada memusingkan orang yang sudah mati, lebih baik kau memanjakan kami saja," kata Tenn enteng.

Deheman keras Reika layangkan dari bibirnya, tangannya mengelus rambut Tenn perlahan. "Dasar... nee, kenapa kau menciumku? Bukankah Tenn punya kekasih?"

"Kekasih?"

"Uhm..."

"Ah Kana."

Reika mengangguk sebagai jawaban. Hatinya tercubit saat nama yang Tenn katakan terucap begitu saja. Tangannya yang mengelus kepala lekas turun dan mengepal di sisi tubuh. "Namanya Kana, ya? Nama yang indah. Apa dia cantik?"

"Cantik."

"Sou? Pasti Tenn bahagia dengannya, dimana dia? Aku harus melihat bagaimana wanita yang adikku sukai, bukan?"

"..."

Reika menoleh. "Tenn?" panggilnya pelan.

"Aku tidak tau dia dimana. Kami sudah lama tidak berhubungan dengan putus. Dia pindah ke Inggris, itu yang aku tau," tutur Tenn. Ia menegakkan tubuhnya.

"Putus?!" Reika menutup mulutnya. Dalam hati ia tersenyum. Ah, apakah salah jika ia merasa senang?

"Sou dayo, dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Katanya, aku tidak mencintainya," culas Tenn.

Reika memperhatikan Tenn lamat-lamat. "Apa Tenn mencintainya?"

Tenn membalas tatapan itu. "Entahlah, sejujurnya aku tidak tau. Aku mencintainya atau tidak, aku hanya nyaman dengannya."

"Nyaman?"

Tenn mengangguk. "Sou, aku merasa jika kami ini mirip, karena itu aku nyaman dengannya. Sepertinya aku salah, yahh bagaimanapun aku hanya bisa menjadikan itu sebagai pengalaman saja," tutur Tenn.

"Kana tte... orang yang bagaimana?"

"Kana? Dia gadis yang sangat berbanding terbalik denganmu. Dia melakukan apapun dengan spontan, terkadang terlihat bodoh, tapi sebenarnya tidak. Kana seumuran denganku, mungkin karena itu aku nyaman dengannya."

Reika mengangguk beberapa kali. "Begitu, ya... apa dia cantik?"

Tenn mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto Kana pada Reika.

"Ca-cantik...," gumam Reika melihat foto Kana. Ia menelan ludah dan memegang pipinya sendiri. A-apa aku kalah cantik? Batin Reika bertanya-tanya.

Tenn mematikan ponselnya dan menatap Reika. Ia tersenyum tipis, "Tentu saja kau lebih cantik," tukas Tenn. Ia melihat layar ponselnya yang hitam.

Reika memerah. Ia memalingkan wajahnya dan berdehem pelan. "Sou? Aku tau itu. Ah, bagaimana jika Tenn fokus pada grupmu dulu? Saku-chan bisa bersamaku," usul Reika.

Mengalihkan pembicaraan, batin Tenn.

Mouuuu kuatkan dirimu Reika, ingat ada Haruki yang harus kau pikirkan! batin Reika.

•••

Reika menatap ke arah panggung dimana TRIGGER menampilkan penampilan mereka. Disebelah, ada Aristia yang ikut menata ke depan. Keduanya menikmati pertunjukan yang ada.

"Kau memikirkan sesuatu, Rei?" tanya Aristia pelan, namun masih dapat didengar oleh Reika yang ada disebelahnya.

Reika mengangguk. "Uhm, aku mengingat, seseorang menyerahkan posisi teratas untuk kujaga. Bukankah, artinya aku tidak bisa pilih kasih dakam menjaga?" kata Reika.

Aristia sedikit termenung. Ia menganggukkan kepalanya pelan. "Jaa, aku juga harus melawan Tenn dan Saku-chan," gumam Reika.

"Apa kau bisa?"

Tenn bungkam. Ia menatap ke depan, bangun dari duduknya setelah TRIGGER pergi dari panggung. Ia melangkah menuju ke arah Zero arena, melihat tempat yang menjadi tempat terakhirnya melihat salah satu orang yang menolongnya berdiri di atas panggung. Netra golden topaz Reika bimbang.

Tolong jaga posisi teratas.

Kalimat dari Haruki kembali berputar di otaknya. Reika memegang kepalanya yang mendadak berdenyut hebat.

"Reika."

Reika tersentak. Ia menoleh dan menemukan Hoshiya berada di belakangnya dengan dua kaleng soda dingin. Hoshiya berdiri disebelah Reika dan memberi satu kaleng kola di tangannya.

"Sedang termenung?"

"Entahlah."

Hoshiya tertawa kecil. Ia membuka penutup kalengnya dan menenggak sedikit demi sedikit cairan bersoda itu. "Lakukan saja apa yang kau inginkan," tutur Hoshiya.

"Apa yang kumau?" gumam Reika.

"Jika kau ingin menjaga tempat yang memang dititipkan padamu, maka jaga saja. Jika kau ingin membantu adikmu, maka lakukanlah. Kau itu hidup untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang atau untuk apa yang orang katakan padamu. Jangan jadikan semua itu beban, bukankah kau Diva?"

Reika merengut sebal. "Tidak paham."

Hoshiya melihat Reika, ia mengelus kepala Reika pelan. "Lakukan saja apa yang dikatakan oleh hatimu."

Reika terdiam. Otaknya memutar ingatan saat ia bersama dengan sosok pria dewasa berambut cokelat. Pria yang selalu memberikan senyum hangat padanya layaknya seorang ayah. Netra golden topaz itu melihat pada kaleng ditangannya, ia membuka penutupnya dan meminum kola didalamnya. "Apapun yang dikatakan hatiku, ya?"  gumam Reika.

Setelah Hoshiya pergi, Reika duduk di bangku yang ada dipinggir danau yang langsung tertuju pada bangunan megah. Zero Arena. Ia menatap ke langit, bintang-bintang berhamburan diangkasa. Layaknya sedang menemani dirinya yang tengah sendirian.

"Bintang, ya? Jadi teringat pada Saku-chan. Ah, benar juga. Saku-chan memanglah bintang, berarti aku bukan bintang. Hummm, aku... ah! Matahari," monolog Reika. Gadis itu tertawa kecil, hembusan angin menerpa dirinya, rambutnya tersapu oleh angin dengan lembut. Udara yang semakin dingin membuat Reika mengigil sejenak.

Puk. Reika mendongak saat sebuah jaket tersampir di bahunya. Rupanya pria bersurai merah muda pudar berada di belakangnya.

"Kenapa disini?" tanya kedua insan itu dengan kompak.

Keduanya mengerjab. Tenn duduk disebelah Reika. "Kau duluan," katanya.

Reika mengangguk dan kembali mengulang pertanyaannya yang tadi. Tenn lekas menjawab, "Aku tidak melihatmu dirumah, karena itu aku mencarimu. Jaa giliranmu."

"Aku tadi melihat konsermu, lalu aku kesini dan merenung."

"Merenung?"

Reika mengangguk, ia menatap ke arah Zero Arena. "Aku merenungi sesuatu dan sekarang aku sadar, kalau aku sebenarnya adalah matahari," tutur Reika.

"Maksudmu?" Tenn memiringkan kepalanya bingung dengan apa yang Reika katakan.

"Sou dayo! Aku ini lebih hebat dari bintang, apa yang lebih hebat dari bintang? Tentu saja matahari, bintang akan menghilang suatu saat nanti, tapi matahari tidak. Bintang lebih dibutuhkan daripada matahari, jadi... aku adalah matahari," terang Reika.

"Lalu?"

Reika melihat pada Tenn. "Aku tidak akan memberikan posisi teratas pada siapapun." Reika bangun dari duduknya. "Termasuk padamu dan pada Saku-chan nantinya."

Tenn masih dilanda kebingungan. Ia belum bisa menelan apa yang Reika katakan.

Hembusan napas Reika keluarkan melihat Tenn. Ia menekan kening Tenn dengan telunjuknya. "Maksudnya, sudah. Cukup, kau tidak akan bisa mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi. Hum, menyaingi Zero? Kurasa itu mustahil untukmu," seringai Reika.

Tubuh Tenn sedikit menegang. "Apa maksudmu?"

"Apa? Ya tentu saja! Tenn, kau akan tetap menjadi idola yang biasa-biasa saja. Ingin melampaui Zero, sama dengan mengalahkan diriku." Reika melangkah menjauh dari Tenn. "Semoga berhasil Tenn, itupun jika kau tidak hancur duluan, hihihi "

•••

Sejak saat itu, sikap Reika mulai sedikit berubah. Entah apa yang membuatnya seperti itu, tak ada yang tau pastinya. Reika sering kali bersikap sombong didepan Tenn, angkuh dan menyebalkan. Bahkan beberapa memprovokasi Tenn.

Hingga setahun berlalu, kini tidak hanya TRIGGER dan Revale yang sedang naik daun, ada IDOLiSH7 dan ŹOOĻ juga yang di daftar idola yang paling banyak dicari.

Kabar baik untuk Revale, IDOLiSH7 dan ŹOOĻ, namun tidak bagi TRIGGER. Grup yang awalnya dinaungi oleh Yaotome Pro itu mengalami banyak masalah sehingga tidak ada acara televisi yang mau mengundang mereka. IDOLiSH7 juga mengalami masalah, sebab, Nagi kembali ke negara awalnya membuat mereka harus mencari Nagi ke Northmarea.

Dan disinilah mereka. Reika mengetuk pintu kamar dengan tidak sabaran. Ia berada di istana Nothmarea bersama anggota IDOLiSH7 dan ŹOOĻ. Di dalam sana, Haruki, orang yang menyelamatkan tengah kesakitan. Entah apa yang akan terjadi, pikiran Reika kacau balau. Yang ia pikirkan hanya bagaimana cara agar bisa bertemu dengan Haruki.

“Aku ingin bertemu Haruki! Nagi lepaskan!”

Nagi memegangi bahu Reika dan menggeleng tegas. “Haruki ingin kau mengambil sebuah buku di kediaman kalian,” ucapnya dengan bahasa Northmare.

“Ha?! Untuk apa! Cepat buka Nagi!!”

“Reika!”

Reika terdiam begitu mendengar bentakan Nagi. Ia menekan rasa marahnya kuat-kuat. “Buku apa?” tanyanya.

“Buku dengan sampul coklat dan hiasan bunga Sakura.”

Wakatta.” Reika mengambil napas. “Haruki!! Kau harus bertahan!! Aku akan melakukan apapun untukmu asal jangan tinggalkan aku!!!” teriaknya berharap Haruki mendengar. Reika langsung berbalik dan pergi dari kawasan istana menuju ke kediaman Sakura yang jaraknya cukup jauh dari sana..

Selepas Reika pergi, sebuah mobil memasuki kawasan istana. Tenn keluar dari mobil bersama Sakura dan kedua membernya. Gaku langsung memakaikan jaket yang lain pada Sakura begitu menyadari suhu yang kelewat dingin.

“Terima kasih, Papa.” Sakura tersenyum.

“Kau jangan kedinginan.”

Sakura mengangguk. Ia menatap Tenn dan menggenggam tangannya. “Ayo, Tenn-nii.”

“Uhm, ayo.” Tenn membalas genggaman tangan sakura dan menarik tangan adiknya pelan.

Keempat orang itu masuk. Mereka melihat ada member IDOLiSH7 dan ŹOOĻ disana. Gaku dan Ryuu menghampiri mereka sedangkan Tenn dan Sakura terus ke lantai atas menuju kamar Haruki. Minami dan Nagi berada di luar kamar dengan raut sendu mereka.

Sakura melepaskan pegangannya dari Tenn, menghampiri kedua pemuda itu dan mengelus pipi mereka secara bersamaan sambil tersenyum hangat. Dengan ajaibnya, hati keduanya yang tadinya seakan hancur menjadi lebih baik.

Tenn menunduk sedikit dan masuk ke dalam kamar Haruki.

Haruki menoleh. Ia tersenyum melihat keduanya. “Kukira Reika, ternyata kalian. Sakura, kemari lah.”

Sakura mengangguk patuh, ia duduk di sebelah Haruki dan membiarkan kepala di elus.

“Haruki akan pergi?” tanyanya.

“Uhm, aku akan pergi.”

“Aku... Tidak masalah jika Haruki pergi, karena dengan begitu. Rasa sakit yang selama ini Haruki rasakan akan menghilang. Tapi, apa tidak mau bertemu Rei-nee?”

Haruki tersenyum tipis. “Tidak perlu. Dia tidak perlu melihatku yamg sekarat.”

“Haruki...”

“Sakura, kau sudah besar. Aku yakin kau bahkan sudah bisa membuat lagu lebih hebat dariku. Kedepannya, jika Reika tersesat, tolong selamatkan dia... Dan terimakasih sudah menemaninya selama ini.”

Sakura menggeleng. “Jika itu keinginan Haruki, akan kulakukan, terlebih... selama ini aku yang ditemani olehnya."

“Kau memang anak yang baik.” Haruki menatap Tenn. “Ku- Ah, maaf, Nanase Tenn, bukan?”

“Hai’.”

"Kau tau, aku mencintai Reika. Sebagai Ayahnya, dan sebagaimana seorang pria mencintai wanita. Awalnya... aku ingin hidup bersamanya, setidaknya hingga aku mati. Tapi... itu bukan keputusan yang bagus. Bagaimana denganmu, Tenn?" Haruki menatap Tenn dengan mata sayu. Satu tangannya digenggam erat oleh Sakura, ia menoleh pada Sakura. Gadis itu sudah menjatuhkan lelehan air matanya.

"Aku... aku baru sadar, jika aku benar-benar mencintainya. Melihatnya membantu menempa diriku dan memberku, aku merasa... aku yakin jika aku menyakitinya. Haruki-san, mungkin bodoh mengatakan ini, tapi kau bisa mempercayai anak dan orang yang paling kau cintai padaku. Aku akan menemaninya hingga akhir," yakin Tenn.

"Hanya menemani?"

"Ah. Hei, dia bisa melakukan apapun dengan kuasanya. Bahkan membunuh orang bukan hal sulit," kekeh Tenn.

Haruki hanya tersenyum. “Arigatou, aku titipkan Reika padamu.”

"Hai', arigatou gozaimasu."

.
.
.

Reika menangis sejadi-jadinya. Saat ia kembali, ia melihat tubuh Haruki, orang yang ia cintai sudah berada di dalam peti. Rapi dengan pakaian berupa tuxedo dan senyum yang menghias wajah Haruki.

“Tidak! Tidak! Buka lagi!!!” histerisnya.

Tenn memeluk Reika.

“Buka! Aku belum melihatnya... Bukaaa!!! Haruki! Aku sudah kembali, izinkan aku bertemu denganmu dulu!!!”

“Rei...”

“Lepaskan aku Tenn! Aku ingin bertemu dengannya! Haruki, kau tidak bisa meninggalkan ku begini!!!”

Tenn menatap Reika sendu. Ia hanya bisa memeluk Reika dan membiarkan gadis itu menangis menjadi-jadi diperlukannya.

Hingga, saat akan dimakamkan. Untuk mengenang Haruki yang terakhir kalinya, Nagi, Minami, dan Sakura memainkan piano untuk Haruki. Reika hanya diam dengan tatapan kosong, tangannya digenggam erat oleh Tenn untuk menyalurkan kehangatannya.

“Kenapa ada Saku-chan disana?” gumam Reika lirih.

“Sakura adalah muridnya. Jadi wajar,” balas Tenn pelan.

“Mu..rid? Souka.”

.
.
.

Sejak hari itu, Reika tidak banyak bicara. Ia hanya diam dengan tatapan kosongnya. Selama berhari-hari, ia hanya duduk di rumah kaca yang ada di kediamannya. Tennlah yang merawatnya selama itu pula. Ia selalu menemani Reika, menyuapinya makan dan mengurus kebutuhan yang lain. Hanya Tenn yang berani tetap berada di samping Reika yang auranya sudah layaknya orang mati, Sakura bahkan tidak bisa melihat Kakak perempuan yang begitu terpuruk, ia akan menangis begitu melihat Reika.

“Kau tidak bisa begini terus, Rei.”

Reika terlihat seperti tubuh tanpa jiwa. Enggan menjawab banyak, ia hanya bergumam pelan.

Tenn memeluk Reika dari belakang. “Aku tau kau sedang sedih, tapi tidak baik untuk terus begini,” bisik Tenn.

“Kenapa?”

“Rei...”

“Kenapa sampai akhir aku tidak bisa bertemu dengannya? Apa dia begitu membenciku? Hingga enggan melihat wajahku?” Air matanya kembali lolos. Reika mengigit bibir bawahnya.

Tenn menarik dagu Reika dan mencium bibirnya dengan lembut.

“Itu karena dia mencintaimu. Kau akan menyalakan diri karena tidak bisa menyelamatkan. Dan dari rasa kecewa akan ada kebencian. Dia tidak mau kau membencinya,” terang Tenn.

“Tapi aku tidak bisa membencinya.”

“Kau tidak bisa karena... Ah sudahlah. Rei, kau harus bangkit. Demi orang-orang yang menunggumu.”

“Menunggu...? Apa ada?”

Tenn tersenyum. “Mau kutunjukkan?”

Tanpa aba-aba Tenn menggendong Reika ala bridal style. Ia membawa Reika keluar dari rumah kaca. Begitu keluar, ia bisa melihat semua idol berada di depannya. Bahkan Sakura dan Riku yang tidak tahan dengan dingin. Sakura berada di dekat Gaku dan Ryuu dengan Gaku yang merangkulnya agar selimut tambahannya tidak terjatuh. Bahkan, Aristia duduk disebelah Riku, gadis berambut silver itu tersenyum lega melihat Reika.

Reika terdiam melihat mereka. “Minna?” gumamnya.

Mereka semua langsung menoleh. Tak ada yamg berbicara, namun dapat terlihat jika raut wajah mereka menandakan kelegaan. Reika turun dari gendongan Tenn dan berjalan menghampiri.

“Riku, Saku-chan, kenapa kalian disini? Disini dingin!” tukas Reika khawatir.

“Kami... Merasa tidak bisa kembali tampamu. Rasanya, akan berbeda jika tidak ada dirimu,” tukas Riku.

“Kami tidak mau kehilangan rival kami,” celetuk Yuki.

Sou sou! Makanya kami datang menjemputmu. Tapi kau hanya mau bersama Tenn,” sahut Momo.

Reika menoleh pada Sakura yang wajahnya sudah pucat. Gaku bahkan sudah memeluknya agar tubuh Sakura lebih hangat. Sakura tersenyum tipis. “Ayo pulang,” tukasnya.

Reika mengigit bibir bawahnya. “Gomen... Gomen nasai...

“Reika, kau juga manusia. Sudah sewajarnya begini. Sedih itu hal yang wajar, walau terkesan tidak profesional. Tapi itu wajar,” kata Minami.

Sou desu. Tapi tidak baik jika ohime selalu sedih,” ucap Nagi.

Reika mengangguk dan tersenyum untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Sakura bangun dari pelukan Gaku dan memeluk Reika erat. Reika terenyuh melihat wajah Sakura, ia membalas pelukan Sakura.

"Hei..."

Reika mendongak menatap Aristia. Aristia menarik pipi Reika dengan kuat. "Baka!!" teriaknya.

Reika kaget. Ia membenamkan wajahnya di leher Sakura. Aristia yang sudah berkaca-kaca memeluk Reika yang tengah memeluk Sakura.

•••

Tahun hampir selesai. Namun kali ini lebih spesial karena terkhusus tahun itu, BoW tidak diadakan. Sebagai pengantinnya, TRIGGER mengadakan konser super besar. Konser ini dapat dilihat di seluruh stasiun televisi Jepang, dan diadakan di Zero Arena.

Di akhir acara, Tenn menyapa para penonton seperti biasa.

“Mungkin tahun ini berat, namun aku mengapresiasi pada semua orang yang bisa melewati semua hal di tahun ini. Saa! Saatnya hitung mundur. Ayo hitung bersama!”

Mereka semua mulai menghitung mundur.

“3,” sahut Gaku.

“2!” Lalu Ryuu.

“1! Zero.” Tenn tersenyum lebar.

Happy new year!!” teriak ketiganya.

Soshite, otanjoubi omedetou untuk orang-orang yang akan merayakan ulang tahun,” tambah Tenn.

Reika yang kebetulan menonton mengerjab. Ia menatap Sakura yang tengah menatap Tenn. Tanpa sadar, sudut bibirnya terangkat. “Arigatou... Tenn,” gumamnya.

Happy birthday,” bisik Sakura dan tersenyum tipis. Para idol yang ada di sekelilingnya juga bergantian mengucapkan selamat ulang tahun pada Reika meski hanya berupa bisikan karena takut ketahuan fans yang lain.

“Lalu, untuk membuka tahun. Sekalian menutup konser ini, kami akan menyanyikan lagu baru yang belum pernah dirilis dimanapun."

Teriakan antusias menggema disegala ara. "Kiite kudasai, Baratsuyu!”

Musik diputar lagi.

Potsuri koboreochiru asatsuyu ga
(Embun yang tumpah)
Akaku moeru hanabira tsutatteku
(Dikelopak yang terbakar merah)
Kijou ni saita bara no hana
(Bunga mawar yang mekar dengan sabar)
Sono toge sae hokori ni omotteta
(Aku bahkan bangga dengan durinya)

Kimochi urahara kizutsukete iku
(Aku menjadi menyakiti perasaanmu)
Te wo nobasu tabi toonoite iku
(Setiap kali aku menjangkaumu)
Shiawase no imeeji surikireta anriaru
(Mengeluarkan citra kebahagiaan kita yang tak bisa kita kenali)
Harisakesou sa konna ni mo I miss you
(Sepertinya hatiku terasa robek, aku sangat merindukanmu)

“Lagu ini Saku-chan yang buat?” tanya Reika.

Sakura mengangguk.

Sugoii, lagu yang indah.”

Kuruoshii hodo aishiteiru to
(Aku mencintaimu sampai gila)
Yume de naraba nando datte tsutaete yareru
(Jika itu mimpi, aku akan memberitahumu berkali-kali)
Hoshi ga nemureba mune ga kishindeku
(Saat bintang-bintang tertidur, hatiku mengerang)
Aa asa ga kite doushite bara wa naiteru
(Ah, pagi telah tiba dan kenapa mawar menangis)

“Tapi juga isi hati mereka.”

“Isi hati?” Reika diam mendengarkan lagu TRIGGER dan meresapi liriknya.

Fuwari kami wo naderu yoi kaze ga
(Angin sore membelai rambutku)
Kimi to mazari tsuka no ma ai hakobu
(Membawa kenangan singkat waktu kita bersama)

“Mereka bertiga sedang mencintai seseorang. Dan sedang berjuang untuk orang itu. Apa Rei-nee tidak bisa merasakannya? Perasaan Tenn-nii dalam lagu itu?”

Hakanaku moroi utsukushisa
(Kecantikan yang cepat dan rapuh)
Kono te ja mou nidoto furerarenai
(Aku tidak akan bisa menyentuhnya dengan tangan ini)

Eien no imeeji kuzureteku anriaru
(Bukan gambar abadi tapi selalu rapuh)
Douka shiteru konna ni mo I miss you
(Entah bagaimana aku sangat merindukanmu)

Kimi no subete ni koi shiteiru to
(Aku jatuh cinta pada semua hal di dirimu)
Yume de naraba nando datte yasashii kotoba wo
(Jika itu mimpi, aku akan memberimu kata-kata yang lembut)

"Rei-nee itu berhak bahagia, seperti orang lain. Rei-nee juga manusia. Bukankah matahari yang dibutuhkan orang juga ingin bahagia?" Sakura menoleh dan tersenyum tipis. Ia menatap ke depan, dimana TRIGGER masih bernyanyi dengan sangat menghayati.

Hoka ni wa nanimo iranai to iu no ni
(Aku tidak butuh hal lain)
Kyou mo asa ga kite doushite kimi wa naiteru
(Pagi akan datang hari ini juga, mengapa kau menangis?

Mou wakatteru no sa me wo taojitatte utsuru rasuto shiin
(Aku sudah tau adegan terakhir yang terlibat saat kupejamkan mata)
Atama no naka kokoro mo karada sae mijime na kurai kimi de afureru
(Seluruh tubuh dan dan hatiku terasa sakit dipenuhi denganmu)

“Apa aku pantas? Dari dulu, aku hanya tau bagaimana cara membahagiakan orang..."

"Tentu saja pantas. Apa Rei-nee tidak bahagia bersama Saku?"

Reika menggeleng cepat. "Tentu saja aku bahagia!" jawab Reika.

Sakura tersenyum dan mencium pipi Reika. "Kalau begitu mulai sekarang juga harus begitu."

Reika terdiam, ia mengangguk pelan dan mencoba memantapkan hatinya. Menatap pada Tenn dengan tangannya yang memegang dadanya. Jantungnya terpacy begitu saja.

Kuruoshii hodo aishiteru no ni
(Meski aku mencintaimu dengan gila)
Bara no toge wa ima nao kimi wo shimetsuke
(Duri mawar sekarang masih menjeratmu)
Isso kono mama yume no hazama de
(Dalam ruang mimoi yang apa adanya)
Zutto samenaide tayutatte
(Tidak akan pernah bangun)

Disisi lain, seorang gadis bernetra violet dengan surai coklat juga berada di bangku penonton. Disebelahnya seorang gadis berambut merah duduk sembari memegang bahunya. Air matanya mengalir sedari tadi tanpa bisa ditahan.

"Ai..."

"Ke-kenapa aku tidak bisa mengendalikan air mataku?" lirih gadis bersurai cokelat itu.

Gadis disebelah menarik pelan kepala coklat itu agar bersandar di bahunya. "Daijoubu... tidak ada yang melihatmu," bisiknya pelan.

"Erio...," lirih gadis pemilik netra violet itu, matanya terpaku pada sosok Ryuu yang berada di atas panggung.

Kuruoshii hodo aishiteiru to
(Aku mencintaimu dengan gila)
Yume de naraba nando datte tsutaerareru yo
(Jika itu mimpi, aku akan memberitahumu berkali-kali)
Hoshi ga nemureba mune ga kishindeku
(Saat bintang-bintang tertidur, hatiku mengerang)
Aa asa ga kite doushite bara wa naiteru
(Ah, pagi telah tiba dan mengapa mawar menangis?)

Selepas dari konser itu. Reika menunggu Tenn di Zero Arena.

“Rei?”

Reika menoleh. Ia tersenyum dan meminta Tenn mendekat dengan gerakan tangan. Tenn mengangguk dan mendekat. Ia melepas mantelnya begitu merasa Reika tengah kedinginan. “Kalau aku terlalu lama, harusnya kau pulang saja,” ujar Tenn. Ia mengambil tangan Reika dan menggosokkan tangannya agar lebih hangat.

Reika mengerjab begitu perasaan hangat mengeluarkan ke dalam hatinya. Aku merasakannya... Hangat.

“Ne Tenn.”

“Apa? Diam dulu, tanganmu dingin sekali. Kenapa tidak pakai sarung tangan?”

Reika terkekeh pelan. “Kurasa aku akan membuka hati untukmu.”

“Sudah kubilang diam du- apa?”

“Tidak ada pengulangan~”

Tenn merengut sebal dan menarik pipi Reika. “Katakan lagi!”

“Tidak ada pengulangan!!”

Tenn cemberut. Reika yang melihat itu kaget. Ia langsung memeluk Tenn dengan erat. “Kau manis sekali! Ne Tenn, kurasa aku akan merepotkanmu, jadi kau tidak boleh mengeluh karena aku akan sangat manja,” tukas Reika dengan cekikikan.

“Mau merepotkan bagaimana aku tidak perlu. Aku mencintaimu, Rei!”

Tenn mencium bibir Reika dengan lembut.

•••

Reika menatap dengan antusias dari bangku di tempatnya. Didepannya, panggung yang besar terpampang dengan lampu yang masih dimatikan. Disebelah ada Aristia, dan disebelah satunya ada Tenn.

"Akhirnya," bisik Reika pada dirinya sendiri.

Lampu menyala, Reika memekik senang saat mulai muncul 9 perempuan di panggung. Aristia yang ada disebelahnya sampai speechless. Temannya langsung jadi sangat antusias.

Ini dia yang siscon atau memang suka konsep dari grup idola baru ini? batin Aristia bertanya-tanya. Ia mengingatkan kembali saat showcase debut dari Sakura dan teman-temannya, Reika adalah orang yang berada di barisan duduk paling depan. Bahkan Tenn hanya mendapatkan kursi di bagian belakang bersama Aristia, Gaku, Ryuu, Iori, dan teman-teman mereka yang lainnya. Anehnya Reika sudah. Dapat barisan terdepan.

Aristia kembali menatap ke depan. Kesembilan orang itu mulai tersorot oleh spotlight satu persatu.

(Kostumnya begini, ye:" Cr: official dari Shoujo kageki revue starlight)

"Kyaaa Saku-chan!!"

Aristia tepok jidat. "Aku tau kau antusias atas konser pertama adikmu di Jepang tapi tidak begini juga...," gumam Aristia frustasi.

Saat lagu dimainkan, mereka semua terlihat antusias melihat kesembilan orang tersebut.

"Are, berbeda dengan konser mereka di Berlin yang kulihat," gumam Iori.

Tenn melirik.

"Beda?" tanya Mitsuki.

Iori mengangguk. "Di Berlin kemarin, sebagai pembuka mereka menampilkan drama scene akhir dari starlight, baru dibuka dengan lagu," terang Iori.

"Mungkin... mereka merombaknya?"

"Bukan." Izumi bersaudara langsung menoleh pada Tenn. "Itu karena Reika bilang dia menyukai lagu debut STARLiGHT," jawab Tenn.

Doeng

Izumi bersaudara terdiam seketika. Pantas saja, batin keduanya.

•••

Semua orang memasuki masa-masa sibuknya. Tak terkecuali Reika. Ia mendapat banyak job menjadi model saat ini. Ah, tentu saja job itu kadang membuat dirinya dan Tenn harus adu suara terlebih dahulu. Bagaimana tidak, baju-baju yang dikenakan Reika kebanyakan adalah baju-baju yang lumayan kurang bahan.

Terlebih, ada seorang model laki-laki yang tampaknya tertarik pada Reika. Yah, memang Reika-nya menggoda, masa iya tidak ada yang tergoda. Iya! Wajar, wajar sih, bagi Tenn yang tidak wajar. Ingin rasanya Tenn menancap pisau yang selalu ia bawa kemana-mana pada laki-laki itu. Beruntung ia masih sadar diri, bahwa dia adalah seorang idola. Jika tidak, mungkin dia sudah bergabung bersama Kanata.

Seperti saat ini, majalah ditangannya sudah remuk. Ryuu yang melihat majalah itu meringis. Entah sudah berapa majalah yang hancur karena center-nya itu.

Ah, tadi semuanya masih baik-baik saja. Begitu pikir Ryuu, tadi ia masih melihat Tenn tersenyum setelah menelfon adiknya yang sekarang ada di Korea. Iya, baru saja, tapi tidak setelah Tenn iseng membuka majalah terbaru yang terdapat foto Reika disana.

"Tenn..." Ryuu menghela napas. Ia memungut majalah tadi, melihat bagaimana buruknya sampai Tenn jadi mengamuk. Matanya melotot seketika.

Pantas saja marah! Di majalah itu, Reika terkurap dengan memakai piyama yang modelnya lumayan seksi, ditambah laki-laki berada disebelahnya tampak menggodanya.

Tenn pergi dari asrama TRIGGER -rumah Ryuu- menuju ke apartemen Reika. Yah, bayangkan saja apa yang Tenn lakukan disana.

Keesokan harinya, Tenn juga mengambil job sebagai model iklan. Dan entah bagaimana, ia bisa mengambil job bersama Reika. Selalu, dan selalu. Ah, jangan salah, koneksi Tenn saja sebenarnya sangatlah luas.

Suatu hari, Tenn dan Reika berada di asrama TRIGGER. Reika datang berkunjung untuk belajar cara membuat soba dari Gaku. Namun, karena Gaku akan berkencan dengan Tsumugi, ia jadi membuat soba bersama Tenn.

Keduanya belajar bersama hanya dengan berbekal buku resep yang diberikan Gaku. Katanya, resep turun-temurun. Saat sedang bercanda dan sedikit bermesraan, bel berbunyi.

Tenn dan Reika keluar melihat siapa yang datang. Tenn kaget, Eveline yang berada di depan asramanya bersama Momo.

"Momo?" beo Reika.

"Senpai?" gumam Tenn. Sudah lama ia tidak bertemu dengan kakak tingkatnya itu. Yang ia herankan, tubuh Eveline gemetar, tampak ketakutan.

Reika reflek memegang tangan Eveline guna menenangkannya.

"Ada apa senpai?" tanya Tenn.

"Tenn...," Eveline mengigit bibir bawahnya. Ia menoleh menatap pada Momo. Pria itu mengangguk padanya. Netra blue Violet Eveline menatap Tenn. "Tenn... dia kembali..."

"Dia...?" Tenn membelalakkan matanya. Ia menutup mulut dan menatap Eveline. "Kau tidak apa-apa senpai?"

"Bukan aku!"

Tenn dan Reika tersentak.

"Kau tidak ingat apa yang dia katakan dulu, Tenn?! Apa yang dia katakan pada kalian!"

Ingatan Tenn terlempar pada sebuah senyuman mengerikan. "Aku akan hancurkan orang yang kalian sayang, hingga kalian juga merasakan apa yang kurasakan!" tekan dari pemilik bibir itu sebelum benar-benar menghilang masuk ke dalam sel.

"Ran..."

Eveline tiba-tiba berteriak. Momo yang kaget langsung memeluknya. Mencoba menenangkan gadis yang pastinya telah melihat sesuatu. "Daijoubu dayo, Eve. Kau aman," bisik Momo.

"Ran? Ran siapa?"

"Ran... orang yang pernah kuceritakan padamu, orang sudah kutusuk jantungnya tapi tidak mati... aku tidak pernah menyebutkan namanya padamu," tukas Tenn. Tatapannya menjadi kosong mendadak. Ia mencengkram tangan Reika.

Tenn meminta Reika untuk tetap bersamanya hingga malam, begitupun dengan Momo dan Eveline. Momo harus menemani Eveline yang pingsan karena syok. Sampai malam, tak ada tanda-tanda kehadiran seseorang selain kedatangan Gaku dan Ryuu yang baru pulang. Sejenak, Tenn dapat bernapas lega.

"Nee... kurasa bukan aku," gumam Reika.

Tenn menoleh. "Apa maksudmu? Orang yang kusayang... dia pasti akan mendatangimu, Rei."

Reika menatap penuh pada Tenn. "Tenn, kau tau, aku tidak akan mati mudah. Dia akan berpikir untuk membunuhku... Sebaliknya, ada orang lain yang juga kau saya-"

"Sakura..."

Reika mengangguk.

Keduanya seketika panik. Terlebih saat seseorang dari STARLiGHT menelfon dan memberi kabar kalau mereka menemukan Ayato di taman dengan luka-luka di tubuhnya, dan keberadaan Sakura yang tidak diketahui.

Benar saja, Sakura yang diincar oleh Ran.

(Kalau diceritakan makin panjang, baca aja di ballon flower yang bagian Iori, yang... Yaaaaaa entah kapan update hehehehe)

•••

Setelah peristiwa mengerikan itu, Reika membawa Sakura yang koma ke Northmarea, tentunya bersama dengan member STARLiGHT. Mereka berada disana hingga Sakura bangun dan kembali pulih.

Setahun setelah mereka pulang, undangan langsung diberikan, isinya adalah tiket konser TRIGGER. Tentu saja, mereka pergi untuk menonton konser, di akhir lagu, TRIGGER menyanyikan lagu baru mereka.


"A-are... Rasanya lagunya..." gumam Reika. Ia merona tipis.

Bertahun-tahun berlalu, kini, Reika sudah menyandang nama sebagai Nanase Reika. Ya, ia dan Tenn sudah menikah, mereka memiliki keluarga kecil dengan sepasang anak kembar.

Reika juga menjadi wanita yang anggun, dan sangat keibuan hingga Tenn terus menempel padanya saat berada di rumah. Contohnya seperti sekarang. Reika harus membuat sarapan untuk anak-anaknya, tapi sang suami malah memeluknya dari belakang.

"Tenn," panggil Reika pelan.

"Tidak mau," kekeuh Tenn. Ia membenamkan wajahnya di leher Reika.

Yah, bukan hal yang tidak biasa jika anak-anak mereka melihat tingkah manja ayahnya pada ibu mereka. Doakan saja semoga saat besar nanti, anak laki-laki Tenn tidak menjadi sosok posesif seperti ayahnya

•The End•

[A/N] AKHIRNYAAAAA SELESAI 😭😭😭

JUJUR

Perjuangan banget ngetik ini awokawokawok. Mulai dari kehapus, ilang, sampe ngelag ini WP gara-gara ngetik ini.

MOGA-

MOGA BAPER HEHEHEHEHE

BYEEEEEE

With luvvvv

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro