Epilog
"SAYA! AKAN PERGI SENDIRI!"
"ITU TIDAK AMAN!"
"Saya sudah besar, oke? Hentikan perdebatan ini, lagipula saya juga bisa mengendarai kuda."
"Itu berbahaya. Kamu harus paham itu."
"Akh! SAYA MOHON BIARKAN SAYA PERGI SENDIRI!"
"TIDAK AKAN!"
Dokter Starla menarik kuda bersurai coklat sembari menatap perdebatan antara ayah dan putrinya. Dia yakin kali ini putri tidak akan bisa menang. Melirik sekelilingnya, dia melihat Amaris yang menarik dua kuda bersurai hitam dan abu dari kandang kuda. "Untuk Archduke dengan Putri?"
Amaris menggeleng pelan, matanya melihat perdebatan yang diakhiri umpatan adiknya. "Kuda hitam ini untuk dipakai keduanya berdua. Sedangkan yang abu akan kugunakan sendiri. Stella tidak bisa dibiarkan sendirian."
Dokter Starla tertawa mendengarnya, kedua orang ini terlalu overprotektif. "Kasihan, Putri. Sepertinya sekarang dia dikelilingi orang-orang overprotektif. Jangan terlalu mengekangnya. Pasti beliau tidak akan suka."
"Ya, tapi aku tidak bisa mempercayai keselamatannya aman jika dia sendirian."
"Anda sekarang Kakak perhatian?"
"Tentu saja, iya. Dia adikku. Kamu bodoh atau apa."
Amaris bergumam sebal, mau bagaimana pun walau adiknya menyebalkan. Gadis itu tetap adiknya. Jadi tidak ada yang boleh berani-berani menyakitinya. Sedangkan wanita di samping pemuda itu tertawa kecil melihat perkembangan keluarga ini. Harus diakui sangat menakjubkan.
"Kemarikan kudanya. Ayah akan membawa Stella bersama Ayah." Ilios menghampiri Amaris dengan raut lelah, sepertinya pria itu memakan banyak tenaga untuk bertengkar dengan putri tercinta. "Ya, sepertinya sangat menyenangkan harus menghabiskan waktu dengan Ayah bodoh seharian di atas kuda yang sama."
"Stella. Sudah cukup. Sekarang kita berangkat. Terserah padamu jika mau mengomel sepanjang perjalanan. Tapi kita harus memakan waktu setengah hari untuk sampai." Amaris berbicara mulai menaiki kudanya disusul oleh yang lain dengan segera. Stella yang kini sudah berdua bersama ayahnya di atas kuda yang sama menghela napas memutar bola matanya malas. "Saya sungguh benci ini."
"Baiklah. Kita berangkat."
Tiga kuda melaju kencang menuju daerah terpencil yang dikenal sebagai, Desa Themes. Letaknya cukup jauh dari ibukota menuju pinggiran negeri yang dipenuhi rawa dan juga memiliki hutan kematian yang dilarang untuk dimasuki.
Beberapa kali mereka singgah untuk beristirahat di desa-desa menuju tempat tujuan dengan tudung coklat menutupi penyamaran. Lagipula mereka tidak bisa terburu-buru karena sepertinya para pria mengkhawatirkan kondisi putri.
Setelah setengah hari memecut kuda tanpa henti. Akhirnya mereka tiba di depan desa kecil yang hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Dokter Starla dengan percaya diri turun dari kudanya memberikan tanda pengenal untuk membiarkan mereka masuk pada penjaga pos.
Penjaga pos menatap mereka dengan teliti. Untung saja mereka semua kini menggunakan jubah untuk menutupi identitas asli mereka. Penjaga yang menatap kartu pengenal tersebut mengernyit menatap orang di hadapannya yang terdiam mencurigakan. "Jupiter Cassiopeia?"
"Benar. Dia adalah Paman saya."
Penjaga itu menatap kartu pengenal dan wanita di hadapannya bergantian. Merasa tidak pasti dengan pembuktian sederhana akhirnya dia kembali menuntut bukti yang lain. "Untuk penyelidikan, tolong buka tudung kepala Anda."
Dokter Starla hanya bisa menghela napas, lantas membuka tudung kepala. Melihat wajah yang mirip dengan tanda pengenal miliknya, penjaga itu mengiyakan dengan anggukan puas dan memberikan izin masuk. Sebelum benar-benar akhirnya mereka melewati perbatasan Desa Themes. Penjaga itu bertanya tentang siapa orang-orang yang bersama dengan Starla.
"Mereka semua pelayan dan asistenku." Wanita dengan surai pirang itu tersenyum dengan akting kelas atas. Alasannya sudah dia buat selama perjalanan jikalau kejadian seperti ini akan dialaminya. Melirik dengan curiga pada ketiganya, pria itu tidak bertanya lagi dan membiarkan mereka pergi.
"Aneh sekali. Aku tidak pernah melihat pelayan yang memiliki aura bangsawan sekuat itu." Penjaga itu mengangkat bahu, memikirkan apakah wanita itu berbohong atau bukan sebelum bersikap tidak peduli. Melihat penampilan mereka sepertinya tidak ada yang berbahaya.
Setelah melewati perbatasan desa. Ilios langsung protes dengan apa yang dikatakan wanita itu barusan pada penjaga pos di depan. "Apa kamu baru saja menyebut seorang Archduke pelayanmu? Kamu orang pertama yang berani bicara seperti itu di depan mataku sendiri."
Dokter Starla yang semula menatap peta di tangannya hanya bisa tersenyum kecil, melirik pria itu datar. Apakah itu sekarang hal yang penting? "Maaf, Yang Mulia. Lagipula tujuan kita kesini untuk menemui orang jahat. Bukan untuk memamerkan kekuasaan Anda."
Ilios yang hendak protes kini ditahan putrinya dengan lirikan kesal seolah mengatakan. 'Jangan bicara lagi atau saya akan membungkam mulut Anda untuk selamanya.' Jelas saja Ilios langsung terdiam mendapati itu menghela napas panjang.
Sementara di kuda yang lain, Amaris menatap sepanjang mata memandang hutan yang tidak memiliki kehidupan ditemani rawa menjijikkan. Dirinya merenung cukup lama sebelum mulutnya terbuka. "Ayah, Stella. Jika ini berakhir, bagaimana kita nanti piknik bersama lagi di atas bukit seperti saat ibu masih ada."
Ilios yang mendengarnya langsung menyetujui dengan senyuman lebar. Itu rencana yang sempurna. "Benar, mari kita selesaikan semuanya. Dan piknik bersama di atas bukit."
"Ya, karena kalian membawa nama Ibu saya juga setuju. Itu bukan berarti saya menantikannya, ya."
Kedua pria itu tertawa mendengar penuturan gadis tersebut. Tidak sabar menantikan hari itu datang. Untuk sesaat mereka melupakan bahwa sebenarnya mereka berada di tengah hutan suram dengan rawa yang mengeluarkan aroma menjijikkan.
.
.
.
Di perbatasan Desa Themes menuju Hutan Kematian, terdapat rumah besar berwarna hitam yang mencolok perhatian siapapun yang menemukannya. Tidak ada rumah lain di sekitarnya. Rumah itu berdiri sendiri dalam kondisi tiadanya kehidupan.
Di dalamnya terdapat furnitur elegan yang berkelas. Semua ruangan terlihat megah, tidak seperti luarnya yang terlihat mengerikan. Tepat di ruang kumpul keluarga, terdapat rak besar dengan berbagai percobaan yang dilakukan pria tua dengan rambut memutih, manik biru tuanya laksana malam berkedip pelan menuangkan ramuan dalam botol-botol kosong.
Brak!
"Gagal lagi. Gagal lagi. Tidakkah dunia bisa menghargai kerja kerasku selama ini?"
Dari arah pintu yang dibanting, pria dengan surai biru tuanya berjalan lunglai, surainya tampak terlihat indah di bawah lampu temaram ruangan. Dengan wajah tertekuk dia menuju pria tua yang menatapnya dengan helaan napas panjang. "Apa? Apa kamu mau mengejekku lagi?"
"Di mana gadis itu?"
Bukannya menjawab, pria dengan surai putih dengan manik biru tuanya kembali menanyakan pertanyaan yang membuat pria yang notabenenya adiknya ini memutar bola mata malas. "Dia mati. Dia bunuh diri. Dan itu bukan salahku Regel."
"Hah." Pria tua yang dipanggil Regel itu kembali menghembuskan napas memberikan botol berisikan ramuan meminta sang adik meminumnya. Tanpa bertanya dengan patuh dirinya mengangguk. Dia meminum formula tersebut yang langsung membuat tubuhnya kembali segar dan bugar. Begitupula garis-garis halus di wajahnya yang langsung lenyap begitu saja.
"Aku heran. Kenapa kamu tidak meminum formula juga. Lihatlah, dirimu sudah seperti kakek tua bangka."
Regel menggeleng pelan mendengarkan penuturan adiknya, yakni Leonardo. Dirinya mengabaikan pria itu dan mendekati rak dan meja besar tempat berbagai ramuan disimpan dan dibuat. Wajahnya yang tua menampakkan rasa lelah yang sangat. "Aku ingin mati tenang, Leo."
Pria tua itu terduduk di kursi menatap langit-langit rumah. Memorinya kembali bernostalgia membawa dirinya melewati masa demi masa demi satu tujuan. "Alasan aku masih hidup. Hanya untuk menjagamu."
Leo mendecih tidak suka, bagaimana pun dia tidak mau diperlakukan seperti anak kecil. Dirinya sudah sangat lelah harus kembali beradu argumen dengan topik yang sama. "Jika kamu memang masih hidup karena menjagaku. Mengapa kamu malah membantu Ilios untuk mengobati putrinya dengan memberikan dia formula?"
Regel hanya bisa tersenyum sangsi, mungkin ini sekadar alasan. Dirinya juga tidak tahu mengapa dirinya melakukan hal itu. "Entahlah, untuk mengurangi rasa bersalah mungkin? Aku tidak tahu." Leo mendekati sang kakak yang masih saja ragu dengan jalan yang ditempuhnya selama ini. "Apakah kamu lupa tujuan utama kita? Yaitu menguasai Kerajaan dan menjadi pemimpin terkuat. Apa kamu lupa?"
"Tidak Leo. Itu tujuanmu. Aku tidak pernah ingin menguasai Kerajaan. Aku hanya menjaga dan membantumu agar terus hidup dengan baik. Tapi sayangnya kamu terus saja membuat hal gila dan jahat. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Apa kehadiran Starla anakmu tidak membuat kamu jera?"
Regel memijat kepalanya yang pening dengan semua pernyataan yang dikeluarkan adiknya. Dia berusaha kembali menasihati dan memberikan petuah pada adiknya yang jelas sekali tidak mau menerimanya. Lagipula dia sudah sangat lelah berhadapan dengan adiknya yang bebal.
"Apa sekarang kamu sedang menghakimiku?"
Pria tua itu menggeleng, tersenyum hangat. Bukan maksudnya demikian, dia hanya ingin terus bersama adiknya dan membuat adiknya sadar akan kesalahannya. "Tentu saja tidak. Aku hanya ingin mengingatkan. Lagipula ketika aku mati, kamu akan sendirian menjalani hidup. Karena itu, berhentilah. Selagi masih ada kesempatan. Tolong hentikan segala ketamakan dan kerakusanmu pada dunia." Regel menepuk tangan pria itu lembut dan berusaha merangkai kata sebaik mungkin.
Leo duduk menuju sofa dekat perapian, menjatuhkan dirinya pada benda empuk. Dirinya lagi-lagi menghela napas lelah. Bukan berarti dia tidak mendengarkan, buktinya hatinya merasakan ketidaknyamanan yang tidak menyenangkan. "Itu sulit Regel. Lagipula untuk apa kamu membahas ini semua. Kamu seperti orang tua yang memberi wasiat sebelum mati."
Regel tidak menjawab. Dia terdiam duduk di kursi dengan memejamkan mata lelah. Adiknya sungguh bebal dan dirinya tidak akan berumur panjang. Dia sudah tidak tahu apalagi rencana adiknya yang gila itu. Tapi dia sangat berharap adiknya bisa hidup baik dengan damai. Bukan terus masuk dalam benjana nafsu yang terus-menerus menggali dalam kegelapan tidak berujung.
"Halo! Para pria tua menjijikkan!"
Keduanya melirik sumber suara, gadis dengan surai pirang pendek, manik hitam pekat menatap keduanya malas. Kemeja putih dengan celana hitam serta sepatu hak tinggi mengetuk-ngetuk lantai teratur. Di belakangnya tiga orang dengan jubah coklat tersembunyi mengikuti gadis itu masuk ruangan.
"Starla!"
"Jangan memanggil namaku. Kalian penjahat menjijikkan." Dokter memutar bola mata jijik mendapati keduanya yang masih hidup sehat wal afiat sampai sekarang. Mendengar semua ucapan wanita tersebut Ilios yang membuka tudung yang menutupi kepalanya. "Apakah kamu serius? Stella sepertinya belajar kata-kata buruk itu darimu."
"Ayah! Hentikan! Ayah terlihat sangat bodoh!"
"Ya, mari kita mulai lagi."
Kedua penjahat itu menatap tiga orang yang membuka tudung, surai perak terlihat jelas dari ketiganya. Pandangan tajam mereka menusuk membawa kedua orang ini mengetahui bahwa nyawa mereka tidak akan bertahan lebih lama. "Starla? Apa maksudnya ini?"
"Apa kalian tidak bisa memahami kondisi?"
Leo menegak ludah, meremas tangannya kuat. Sementara Regel sudah bersiap menenteng tasnya yang penuh dengan benda-benda ajaib menakjubkan. Benar. Mereka di sini tidak lain ingin menghabisi mereka.
Ilios yang berada di sana menarik putrinya ke belakang. Matanya dengan iris ungu menyala menatap keduanya dengan tajam. Tekanan tidak terhindarkan dirasakan Leo maupun Regel. Banyak emosi yang terpendam di dadanya atas luka yang mereka torehkan pada keluarganya.
Ilios kini menatap sang putri dengan waspada hingga akhirnya dia memberikan pedang pada gadis tersebut. "Stella. Kamu akan mendapatkan penjahat utama. Kamu tidak perlu khawatir." Pria itu berbisik lembut dengan nada penuh kehausan akan darah.
Setelah mengatakannya dia dengan tangan kosong berjalan menuju putranya dan dokter yang menatap penjahat yang sudah bersiap siaga. Suara berat pria dengan manik ungunya menyala berbisik liar penuh emosi membara. "Dokter, Amaris. Maukah kalian memberikan kehormatan untuk membunuh bajingan ini pada Stella?"
Amaris dan Dokter Starla mengangguk. Mengerti akan apa yang pria itu maksud. "Tentu saja. Putri yang paling pantas membunuh makhluk kotor ini," ujar dokter dengan intonasi dingin. Begitupula Amaris yang langsung mengiyakan dalam diam, dia menyetujui apa yang dimaksud wanita itu.
"Hitungan ketiga. Starla dan Amaris, tahan pria tua itu. Sedangkan aku akan membantu Stella membunuh Leo." Mereka semua mengangguk, paham akan instruksi yang diperintahkan Archduke. Dengan senyuman tipis keduanya menjalankan perintahnya dengan serempak pada hitungan ketiga.
Mata dengan manik kelam dan semerah darah Starla dan Amaris berkilat, keduanya melaju kencang menuju pria tua yang menyerang mereka dengan berbagai formula dan alat berharga. Malang bagi Regel yang mendapati serangannya tidak mempan karena keduanya amat paham akan semua fungsi benda dan formula yang dengan mudah dihancurkan.
Amaris yang menggenggam pedang dan Dokter Starla yang memiliki belati di kedua tangannya menghancurkan benda-benda itu dengan mudah dan menghindar dengan cekatan. Starla dan Amaris yang tahu kelemahan formula terakhir yang dilemparkan Regel ketika akhirnya pria itu tersudut. Yakni asap pekat yang tidak akan bekerja jika tidak menghirupnya. Maka dengan serangan sempurna mereka berhasil untuk melumpuhkan pria tersebut agar tertekuk di lantai, tidak bisa bergerak sembarangan.
Di sisi lain Archduke Scheinen dengan kekuatan penuh serta tangan kosong menendang wajah Leo hingga membuat pria itu tersungkur di lantai. Pedang yang dipegangnya terlempar jauh, membuatnya panik, apalagi dengan tatapan membunuh Archduke menarik kerahnya dan menghantam wajah itu kuat.
Tidak berhenti di sana. Kebencian yang meluap-luap dia luncurkan pada tubuh pria surai biru tua yang kini menjadi samsak tinju yang diserangnya habis-habisan. Leo kini tidak berdaya dengan setiap serangan yang diluncurkan Archduke. Kekuatan seorang Archduke memang tidak bisa disepelekan. Dia tidak tahu apakah dirinya bisa bertahan terlebih bagaimana keadaan tubuhnya yang kini dihajar dari ujung kaki hingga dadanya. Mulai dari tangan dan kakinya yang dipatahkan hingga dirinya tersungkur di lantai tidak berdaya.
"KUMOHON, TOLONG JANGAN BUNUH LEO! BIAR, BIAR AKU YANG MENGGANTIKANNYA. BIAR AKU YANG MENGGANTIKANNYA. TOLONG LEPASKAN DIA!" Regel memohon dengan sangat di bawah kungkungan pertahanan Amaris dan Dokter Starla. Tubuhnya bergetar dengan teriakan keras yang bahkan dibalas Archduke dengan tawa keras dan suara tinju tidak terhenti. "Untuk apa mengasihani sampah ini, hah?"
Bertepatan dengan perkataan yang Archduke lontarkan, pria itu mulai terbatuk darah. Tubuhnya sudah lemas dipenuhi lebam. Dengan menarik surainya kasar Archduke berbisik kecil. "Ini belumlah berakhir."
"Giliranmu, 'Nak. Terserah ingin kamu apakan dia asal jangan sampai mati." Archduke beranjak dari tubuh pria yang itu yang kini mulai terkulai lemas, dengan ekspresi senang mendekati pemuda tersebut dan menggantinya menahan tubuh Regel.
Amaris kini berada di hadapan mantan sahabatnya. Matanya masih memancarkan rasa kecewa, dengan perasaan bergejolak. Pertanyaan putus asa masih berbisik di kepalanya mengapa pria itu begitu tega melakukan hal seperti itu padanya. "Tolong jangan pukul aku."
Amaris tidak menghiraukan ucapan lirih yang dikeluarkan pria tersebut. Dengan mengepalkan tangan dan mengumpulkan tenaga pada kepalan tangan. Amaris mulai meninju wajah pria tersebut dengan kekuatan penuh. Tidak peduli apapun keputusasaan yang menyebar dalam dadanya. Yang dia pikirkan kini hanyalah pria ini pantas untuk tersiksa.
Serangan Amaris memang tidak sekuat sang ayah. Namun, serangan pemuda itu terus-terusan menghantam wajah dan daerah vital panca indera pria itu. Suara tinjuan terdengar merdu hingga membuat mahakarya indah yakni wajah hancur sudah tidak bisa dikenali. Bibir yang robek, hidung patah, dan wajah hancur tidak berbentuk. Leo bahkan tidak bisa membuka matanya dengan benar. Pandangannya memburam seiring tinjuan yang melayang ke wajahnya.
Amaris mundur, mengusap peluh di wajahnya dengan siku. Tangannya kotor dengan darah. Wajah suram yang sedari tadi terpampang di wajahnya menghilang, dirinya tersenyum hangat menatap Dokter Starla . "Sekarang giliran Anda. Dokter Starla."
Wanita yang mendapatkan panggilan itu menggantikan posisi Amaris dihadapan ayah biologisnya. Suara rintihan terdengar dari pria itu yang kini menggapai sepatu hak wanita itu gemetaran meminta pengumuman. "Nak, ma-maaf.., Maafkan Ayah..."
Starla tersenyum miring dengan tawa keras. Dirinya tidak percaya pria yang pernah menghancurkan hidup paman dan ibunya yang berharga kini memohon padanya seperti anjing pada majikannya. "Atas segala apa yang telah terjadi. Kamu baru memohon maaf sekarang? Dasar bajing*n brengs*k."
"Dan satu hal yang harus kamu tahu." Starla mendekati tubuh penuh luka tersebut, dengan bisikan kebencian dia mengatakan kata-kata yang dia ingin ucapkan sepanjang hidupnya pada pria itu. "Aku tidak pernah menganggapmu sebagai Ayah. Karena aku tidak pernah memilikinya."
Tidak banyak yang bisa Starla lakukan pada pria hina ini. Tapi satu hal yang terpikirkan ketika dirinya menatap sepatu hak tinggi yang selalu dia keluhkan sepanjang masa. Dengan senyuman licik dia berpikir kejam. Dengan tanpa rasa kasihan, Starla menginjak alat vital pria tersebut dengan sepatu hak tingginya berkali-kali.
Teriakan Leo terdengar melengking, menggema ke seluruh ruangan. Satu, dua, tiga, delapan, sepuluh, sampai dua puluh. Hingga entah sudah yang berapa kali serangan diluncurkan wanita dengan surai pendek pirangnya. Pria itu sekarang tampak sudah sekarat.
Regel sedari tadi masih saja memohon dari kungkungan ayah dan anak ini kalau dia ingin menggantikan hukuman sang adik. Perlu diketahui, bagi mereka berempat, pria yang kini terkapar di lantai dengan berlumuran luka dan darah ini sudah terlalu berdosa hingga tidak pantas mendapatkan pengampunan lagi.
Starla mulai berhenti ketika rasa amarahnya terpuaskan. Dengan anggun kini dia mendekati Stella yang masih memegang pedang dengan tatapan kosong diliputi benci. Menatap segala penyiksaan pada pria yang menghancurkan hidupnya. "Hancurkan dia, Putri," bisik wanita itu pelan dan pasti.
Stella mengangguk, kini semua mata tertuju padanya yang mulai berjalan mendekati pria menyedihkan yang tengah sekarat menunggu ajal. Tatapannya dalam penuh perasaan aneh yang bercampur aduk menjadi satu. Bahwasanya dia sudah berhasil berada di hadapan penjahat yang menghancurkan dirinya hingga menuju ujung tidak terbentuk. "Ini adalah hukuman atas segala dosamu bajing*n. Dan atas penderitaan yang Keluarga Scheinen alami."
Stella mengambil napas dalam-dalam mengangkat pedang tinggi-tinggi. Dengan dirinya melakukan hal ini, kini semua penyebab penderitaan ini sudah berakhir, dan dirinya sudah cukup untuk masuk dalam hidup baru yang dia pilih. "Selamat tinggal."
Sring!
"TIDAK!"
Darah menyembur membasahi pakaian Stella. Kepala ripa itu menggelinding terlepas dari tubuh. Tatapannya penuh dengan kelegaan tidak terbendung. Kini semuanya sudah berakhir. Yang jahat mati dan yang terluka menemukan jalan kembali. Ketika semua sudah merasa kedamaian akhirnya datang. Regel terdiam lemas dengan air mata bercucuran. "Kalau begini. Lebih baik aku mati dan ikut ke neraka."
Jleb!
Sebuah belati menusuk tepat di jantung pria tua yang ikut mati bersama sang adik menuju neraka. Ruangan dengan darah dan mayat kini lengang dan sunyi. Tidak ada yang berbicara atau berkata apapun saat ini.
Semua telah terselesaikan.
Semua sudah benar-benar berakhir.
.
.
.
Langit tampak biru dan indah ditemani awan yang bergelung lembut bagai kapas. Di bawah rimbunnya pohon trembesi. Tergelar karpet piknik dan beraneka ragam makanan ringan.
"Ah, cuaca hari ini tampak begitu bersahabat." Amaris meregangkan tubuh segera duduk di karpet dengan lirikan malas sang adik. "Ya, cuaca hari sangat mendukung untuk piknik bersama. Pasti akan lebih baik jika Anda atau si bodoh itu tidak hadir."
Amaris menatap adiknya kesal, semenjak satu bulan lalu adiknya makin menyebalkan. Senang sekali merusak suasana menyenangkan. "Harusnya kamu tidak datang jika begitu? Ini khusus acara keluarga."
"Tapi, Ketua Kesatria Aencas sendiri yang meminta saya hadir. Tidak sopan untuk menolak permintaan Anda bukan?"
"Sekarang kamu lebih tidak sopan! Dasar menyebalkan!"
"Saya menyebalkan? Anda yang sampah. Kemarin saja Anda tanpa perasaan membuang semua surat yang diberikan para Lady."
"Kamu ya!"
"Anda yang mulai lebih dulu!"
Keduanya bertengkar hebat diiringi Ketua Pelayan yang tersenyum kecil memperhatikan dari jauh. Entah harus tertawa atau sedih atas sikap keduanya yang senang sekali bertengkar setiap waktu. Tapi mereka terlihat lebih dekat di banding keluarga dingin yang dia layani di masa lalu.
Dari arah bawah, dengan wajah masam Ilios mendekati kedua anaknya yang tengah asyik bertengkar sembari mengungkit kesalahan satu sama lain di masa lalu. "Sepertinya kalian melupakan Ayah kalian ini."
Keduanya yang mendengar kedatangan sang ayah menghela napas. "Ya, Archduke memang sangat sibuk. Tidak perlu Anda meluangkan waktu jika begitu." Amaris sepertinya ikut menjadi menyebalkan semenjak perubahan Stella. Ilios hanya bisa melihat anak-anaknya yang saling melontarkan sarkastik dan terkadang menjadikannya pusat penistaan keduanya.
"Saya tidak mau setuju dengan perkataannya. Tapi yang dikatakannya benar, Archduke sangat sibuk. Padahal Anda hanya tinggal pensiun jika hanya ingi bermain dan bersantai. Dasar Ayah bodoh."
Amaris dan Stella saling lirik, lantas membuang wajah. Sembunyi-sembunyi mereka menertawakan ayah mereka yang tersenyum masam. "Bagus sekali. Menistakan Ayah kalian sendiri, huh? Kalau begitu bagaimana jika besok kalian saja yang menggantikan posisiku." Ilios tersenyum sarkastik pada keduanya yang hendak protes sebelum dia kembali berbicara.
"Tidak ada penolakan. Kalian berduaan akan mengikuti pelatihan pewaris. Ayah tidak mau tahu. Tahun depan salah satu dari kalian yang akan menggantikan aku sebagai pemilik gelar."
Amaris dan Stella memasang wajah tidak percaya menatap sang ayah. Keduanya sama-sama berseru lirih. "Dasar kejam." Ilios tertawa senang melihat kedua anaknya tidak berdaya, sudah cukup dirinya selalu dinistakan oleh anak-anaknya. "Baru tahu kalian?"
Ketiganya kini mulai menghela napas memandangi langit dengan wajah damai dan tenang. Seakan-akan percakapan saling menyudutkan itu menghilang digantikan kenyamanan. Sekarang mereka bersama keluarga yang mereka sayangi. Walau tentu saja Stella tidak akan mengatakan hal itu secara terang-terangan.
Ilios merangkul kedua anaknya tersebut dengan senyuman. "Semoga kita selalu seperti ini selamanya."
Mereka tidak berkata apa-apa, bahkan Stella. Dalam hati terdalam mereka mengamini ucapan sang ayah. Benar, walau bukan keluarga seperti ini yang mereka bayangkan. Ini tidak begitu buruk dan rasanya hangat.
Mereka semua tidak sempurna dengan begitu banyak kekurangan dan masa lalu kelam. Namun, kembali pada satu kata yang menjadi pewajaran, mereka hanyalah manusia biasa, bukannya malaikat sempurna.
Mereka hanyalah manusia biasa yang selalu ingin merasakan kehangatan dan kebahagiaan. Dan untuk itu semua. Mereka akan mempertaruhkan segala dan semua yang mereka miliki untuk mempertahankan segalanya.
Dari kepingan hancur terserak.
Dan penyatuan kepingan demi kepingan melalui proses menyakitkan.
Hingga kembali menyatukan kembali Keluarga Scheinen.
Pahamilah, bukan kesempurnaan yang membuat mereka bersatu.
Kasih sayang, kesabaran serta penerimaan atas kekurangan yang dimiliki. Adalah alasan mereka tetap bersama saling memiliki satu sama lain.
Dan atas segala hal yang pernah terjadi.
Terima kasih. Untuk skenario takdir yang selalu menuntun menuju jalan sulit, lantas kembali menyatukan mereka menjadi keluarga sejati.
Tamat.
22/08/2021
Edit: 08/06/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro