Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Ilios Scheinen

Amaris berjalan melewati lapangan luas. Kini dia berada di Camp Kesatria Aencas, tepatnya di tempat pelatihan kesatria. Dari setiap sudut terlihat para kesatria sedang berlatih dengan giat. Peralatan tempur berjejer rapi, dengan berbagai jenis senjata.

Tempat ini adalah surga bagi para kesatria yang selalu menginginkan peralatan lengkap, serta fasilitas mumpuni yang memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Terlebih gaji yang besarnya bukan main-main. Menjadi Kesatria Aencas adalah sebuah mimpi yang selalu diinginkan para kesatria di luar sana.

Kembali berfokus pada pemuda bermarga Scheinen. Kini pemuda dengan iris semerah darah mendekati sahabatnya yang tengah melatih kesatria baru. Beberapa waktu menunggu, akhirnya pria dengan surai biru tua berbalik, menyapa Amaris dengan sinis.

"Hoi, bodoh. Datang juga kamu kemari. Bukankah dokumen-dokumen si*lan itu lebih penting untukmu dibanding apa pun?"

Amaris yang mendapat sindiran halus dari temannya tertawa kecil. "Ya, itu penting. Di banding itu aku mempunyai sesuatu yang lebih berharga." Pria yang berstatus sahabat Amaris bernama Leo itu melirik malas pada pemuda bersurai perak tersebut, sepertinya dia selalu kalah dengan pemuda itu jika sedang bertingkah manis.

"Oh, tentu. Aku adalah satu-satunya orang yang kamu miliki. Tentu saja aku berharga." Leo mengangkat bahu memasang wajah narsis. Bola mata pemuda Scheinen itu berputar malas, dengan perkataan menjijikkan tersebut. Walau begitu itu adalah fakta yang tidak bisa dibantah.

"Jadi bagaimana Tuan Scheinen yang tidak memiliki simpati? Apa yang kamu mau?" Leo menepuk bahu Amaris yang mulai melirik serius. "Aku mau pergi ke luar kota untuk sementara. Kamu ikut aku. Kita harus mengawal putri kerajaan."

Leo tersenyum cerah mendengar ucapan Amaris. Bagaimana juga bertemu putri kerajaan itu adalah kesempatan langka. Bisa saja ini adalah kesempatannya untuk membuat kisah asmara seperti novel romansa. Kali ini dia menepuk bahu sahabatnya keras. "Baiklah, Aku ikut. Ngomong-ngomong, apakah itu putri yang bertunangan denganmu?"

Amaris mengangguk, seakan sudah tahu apa yang dipikirkan sahabatnya yang dipastikan berfantasi hal bodoh tidak berguna. Sedangkan ucapan pria itu membuat Leo mengumpat kesal. "Kamu benar-benar menyebalkan. Padahal kamu beruntung bertunangan dengan tuan putri. Tapi menyebut calon istri terhormat saja seakan dia orang asing. Kacau. Hei, berikan saja tunangan dan adikmu untukku. Mereka terlalu sia-sia untuk orang yang tidak punya hati." Leo mengomel, tidak habis pikir dengan sikap sahabatnya tersebut.

Amaris mengangkat bahu tidak peduli, lagi pula ini hanya pertunangan politik untuk mempererat hubungan kerajaan dengan Scheinen. Jadi tidak ada yang begitu spesial dalam hubungan seperti ini. "Ketemu besok di istana sobat." Amaris menepuk pundak Leo kemudian berlalu pergi.

"Mau kemana kamu?" Leo bertanya kesal. Pasalnya Amaris datang hanya ketika ada maunya saja dan selalu sibuk bekerja.

"Kerja." Sudah Leo duga, jawaban itu yang sahabatnya lontarkan. "Kerja terus sampai mampus." Leo mengakhiri percakapan dengan decakan sebal diiringi tawa kecil Amaris.

.

.

.

"Yang Mulia. Sudah saya katakan Anda belum boleh menemui putri terlebih dahulu." Dokter mencegat Ilios untuk memasuki ruangan, dia tidak mau kejadian tadi malam terulang akibat kekeraskepalaan Ilios.

"Aku Ayahnya. Minggir. Sebelum kepalamu terlepas saat ini juga." Hari masih pagi, namun Ilios sudah membuat awal hari dokter itu buruk, dengan bersiap mengacungkan pedang pada lehernya.

Dokter Starla menghembuskan nafas panjang dengan sakit kepala. Mau tidak mau, dengan berat hati dia mengizinkan Ilios masuk. Mau bagaimana pun dia masih harus hidup untuk menyelesaikan pengobatan pasiennya kali ini.

Ilios yang mendapat persetujuan paksa tersebut mendekati ranjang, kini tampak putrinya tengah tertidur pulas. Tubuh gadis itu terlihat kurus dari hari ke hari. Ilios mendekat perlahan, mengusap rambut perak tersebut. Lantas dia kembali pergi, meninggalkan kamar.

Starla menghembuskan nafas lega atas kepergian Ilios. Jika saja Stella sekarang terbangun. Hancur sudah semua kerja kerasnya. Dia akan mengamuk, memporak porandakan tempat ini.

Kelegaan dokter tampaknya tidak berlangsung lama. Sepertinya dia harus menyediakan hati lebih besar di banding sebelumnya.

"Aku ingin menemui putriku." Ilios kembali datang saat waktu makan malam. Membuat kepala wanita itu sakit bukan main. Dokter Starla menggigit bibirnya menahan kesal, berusaha menjelaskan kondisi pasien. "Tapi, Yang Mulia-"

Sring!

Pedang sudah berada tepat di samping leher Dokter Starla. Wanita itu menegak ludah dengan mata terpejam menahan kesal. Lagi-lagi mati taruhannya jika melawan pria ini. Sungguh. Pria ini benar-benar menyebalkan!

Ilios kembali memasuki kamar putrinya. Kali ini sang putri tampak sedang berdiri di dekat balkon kamar. Ilios berjalan hati-hati mendekati putrinya. "Stella Scheinen. Ini Ayah, 'Nak."

Kejadian yang tidak diinginkan kembali terulang, sesaat Stella berbalik. Dia langsung terjatuh. Tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Lantas memuntahkan isi perutnya di lantai.

Ilios panik mendekati Stella yang sudah gemetaran dengan tubuh mendingin. Tampaknya gadis itu sudah tidak memiliki tenaga untuk mengamuk dan hanya bisa gemetar dengan tubuh lemah.

"Pergi..," Stella berbisik lirih. Matanya ketakutan namun keputusasaan lebih mendominasi. Seakan pasrah pada keadaan Stella menangis, sedetik kemudian, dia langsung pingsan terjatuh ke lantai.

Dokter Starla dan para perawat dengan sigap segera menangani Stella. Ilios hanya terdiam di tempat. Sebelum akhirnya suasana menjadi stabil. Ilios memandang Starla mengintimidasi. "Apa yang kamu berikan pada Stella. Mengapa dia menjadi lemah seperti itu?"

Starla menghembuskan nafas berat, menatap tajam wajah Ilios. Di banding takut, dia merasa kesal dan marah pada tingkah Ilios dengan tidak memperdulikan kondisi Stella dan bertindak egois sendirian.

"Saya memberikan obat yang merangsang kesadaran putri untuk kembali. Reaksi tadi adalah sebab sebagian kesadaran putri sudah sedikit kembali. Namun, kenapa putri bisa shock seperti ini? Diakibatkan Androphobia yang dimiliki putri bereaksi ketika melihat pria." Dokter Starla menjelaskan dengan emosi dan membara. Dia sudah sangat lelah secara mental dan fisik.

"Aku, Ayahnya." Ilios memberikan penekanan di kata terakhir membuat Starla lagi-lagi harus menahan diri lebih keras. Bukankah sudah jelas bahwa putri harus diberi ruang untuk mengobati traumanya pada pria? Sudah jelas walau Ilios adalah keluarganya, dia masih termasuk pria yang masuk dalam kategori trauma putri. Tidakkah Ilios mengerti hal sederhana tersebut?!

Semua orang yang didalam ruangan menahan nafas. Tidak kuat dengan aura intimidasi yang dikeluarkan oleh Ilios serta dokter yang sudah tidak bisa lagi menahan kesabarannya dengan mengatakan kata-kata penting. "Saya tekankan, Yang Mulia. Semua Pria. Tidak mentolerir pria mana pun. Termasuk keluarga pasien sendiri. Jika dia berjenis kelamin pria, maka sudah dipastikan itu adalah pemicu trauma putri."

"Aku berikan kamu waktu satu hari untuk menghilangkan penyakit sialan itu." Kali ini Ilios menatap dengan tatapan membunuh, pedang sudah digenggam, bisa melayang kapan saja. Lagi-lagi Starla tidak bisa mengerti jalan pikiran pria egois tersebut.

"Itu mustahil. Menghilangkan phobia dan trauma harus didasari kemauan pasien yang berkaitan. Bahkan tidak obat yang bisa menyembuhkan trauma dan masalah psikologis secara langsung." Dokter Starla kembali menjelaskan dengan emosional.

Prang!

Ilios melempar pedang sembarang arah. Matanya menunjukkan kemurkaan. Tampak sekali dia juga berusaha menahan amarah dan kesabarannya. Semua orang yang berada di sana bergidik ngeri. Bahkan para perawat sudah menangis dalam diam. Sedangkan Starla dengan tegas berdiri tegak masih menatap tajam, tidak gentar sedikit pun.

Ilios yang kalah dengan kesal berjalan keluar dari kamar. Membuat para perawat bisa menghembuskan nafas lega. Begitupun Dokter Starla yang langsung mengumpat pria itu dengan berbagai macam hinaan.

Ilios berjalan cepat melewati lorong. Kakinya secara tidak sadar langsung membawa Ilios pergi menuju ruang kerja. Di sana Ilios mengamuk, menghancurkan barang-barang yang terpajang. Bisa dilihat bagaimana sifat mengamuk Stella berasal bukan?

"AAKKHH!"

Ilios berteriak, lantas tertawa menahan kekecewaan. Sky dengan wajah datar memasuki ruangan, dia tidak terlalu terkejut masuk melihat kekacauan tersebut. Dengan hati-hati dia mendekati anak asuhnya tersebut.

"BAGAIMANA MUNGKIN?! AKU HANYA INGIN MEMPERBAIKINYA! APA INI SESULIT ITU!" Ilios berteriak kembali melemparkan barang. Sky mengusap punggung Ilios sebentar. Menenangkan Ilios tanpa kata-kata hingga Ilios mulai tenang.

"Pepatah pernah mengatakan. Mencegah lebih mudah daripada mengobati. Saya rasa inilah yang tengah berlaku untuk Anda." Pria itu memberikan minum dan mengatakan kata-kata penenang. Membuat pria itu mulai merilekskan pikirannya lebih dalam.

"Yang Mulia, pikirkanlah dengan kepala dingin. Tenangkan diri Anda. Anda bisa memperbaiki apa yang telah Anda abaikan selama ini. Namun, segala sesuatu memiliki proses. Anda harus bersabar dengan konsekuensi tersebut." Sky kembali menyemangati Ilios yang termenung.

"Aku mau pergi keluar." Ilios yang melihat kekacauan dalam ruangan segera bangkit, lantas meninggalkan Sky bersama ruangan hancur berantakan.

Ilios berjalan keluar rumah. Kuda miliknya sudah siap, berdiri menunggu di halaman. Dia mengambil jubah dari salah satu pelayan. Lantas mulai memecut kudanya berlari jauh menuju pusat kota. Ilios berpikir dia harus menghabisi orang-orang brengsek untuk menyalurkan emosi dan kekesalannya. Tempat tujuan Ilios kini adalah bar, tempat semua keburukan terkumpul.

Namun di perjalanan menuju bar, langkahnya terhenti ketika seorang kakek tua menghalangi jalan. Meminta agar Ilios turun menghampirinya. Dia terlihat kesal, walau pun tetap menghampiri kakek tua. "Nak, bisakah kamu memberikan sedikit makanan untuk kakek tua ini?"

Ilios menghela nafas pelan, lantas mengangguk. Setidaknya permintaan orang tua di hadapannya bukanlah hal sulit."Aku tidak punya makanan. Tapi, ambillah ini. Anda bisa membeli makanan di kota." Ilios memberikan sekantung uang untuk kakek tersebut. Kakek itu tersenyum. Menerima pemberian Ilios tersebut dengan suka cita. "Terimakasih, 'Nak. Terimakasih."

"Sama-sama, Kakek tua. Kalau begitu saya pamit." Ilios berbalik untuk menaiki kudanya kembali. Sebelum pria tua itu kembali memanggilnya. "Tunggu, biarkan orang tua ini memberikanmu hadiah. Ini tidak seberapa. Tapi, terimalah." Kakek tua itu memberikan kantong usang berisikan botol-botol kecil.

Ilios menerimanya tanpa basa-basi. Setelah pamit, Ilios segera berbalik arah untuk kembali menuju ke kediaman Scheinen. Emosi Ilios sudah lumayan stabil setelah bertemu pria tua tadi. Mungkin para bajingan di bar beruntung hari ini. Karena jika tidak, mereka sudah dibabat habis oleh Ilios menuju alam lain.

Bersambung...

23/06/2021

Edit:16/03/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro